Tari Payung

salah satu tarian di Indonesia

Tari Payung (berasal dari bahasa Bali: ᬧᬬᬸᬂbahasa Jawa: ꦥꦪꦸꦁbahasa Sunda: ᮕᮚᮥᮀ) adalah salah satu bentuk pertunjukan tarian Indonesia yang berasal dari Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil yang biasa dipentaskan oleh berbagai etnis pribumi Indonesia seperti Alas, Bali, Cirebon, Jawa, Lampung, Melayu, Minangkabau, Osing, dan Sunda yang mana para penarinya menggunakan atribut payung sebagai daya tarik utama, pertunjukan ini biasanya diiringi oleh gamelan atau alat musik tradisional khas Indonesia lainnya. Jenis tarian ini biasanya dianggap sebagai simbolisasi kasih sayang dan hubungan dari pemuda dan biasanya dibawakan oleh tiga atau empat penari.

Payung
Pertunjukan tarian Payung di Festival Payung 2019 dihelat di candi Prambanan
Nama aslibahasa Bali: ᬧᬬᬸᬂ
bahasa Jawa: ꦥꦪꦸꦁ
bahasa Minangkabau: Payuang
Instrumenangklung, gamelan
PenciptaPribumi Indonesia
AsalIndonesia
Tiga Genre Tari Tradisional di Bali
NegaraIndonesia
KriteriaDaftar Perwakilan
Referensi617
KawasanAsia dan Pasifik
Sejarah Inskripsi
Inskripsi2015 (sesi ke-10th)
Penggunaan payung sebagai bagian dari seni pertunjukan prosesi Jawa tergambar pada relief abad ke-13 Candi Jawi di Jawa Timur, Indonesia

Etimologi

sunting
 
Payung keraton Susuhunan Surakarta di Keraton Surakarta, Jawa

Istilah payung secara etimologis diambil langsung dari tiga bahasa yaitu bahasa BaliJawaSunda, yang mana diturunkan dari Kawi dan Sunda Kuno yaitu payuṅ, yang secara harfiah berarti "payung" atau "parasol".[1]

Sejarah

sunting

Tari payung ini tidak dapat terlepas dari kebudayaan suku Minangkabau. Jika dilihat dari gerakan tariannya, maka tarian ini diperuntukkan untuk muda-mudi suku Minangkabau. Tarian tersebut juga bersifat menghibur. Selain itu, tari payung juga seperti menjelaskan bagaimana seharusnya perilaku pasangan dalam menjalin hubungan kasih sayang, yaitunya yang sesuai dengan norma agama dan norma adat yang ada di Minangkabau.[2]

Menurut catatan sejarah, adanya tari payung ini berkaitan erat dengan seni drama yang ditampilkan pada masa penjajahan Belanda. Drama yang dipentaskan ketika itu merupakan hiburan bagi masyarakat. Dalam penampilan seni drama tersebut terdapat juga penampilan tari, yakninya tari payung. Tari payung yang ditampilkan dalam seni drama tersebut awalnya hanyalah sebagai pelengkap saja atau hanya dianggap sebagai penampilan selingan. Pada tahun 1920-an penampilan tari payung tersebut semakin terkenal hingga mendapat sambutan positif dari masyarakat yang menyaksikannya pada masa itu.[3]

Pada sekitaran tahun 1960-an, tari payung ini merupakan salah satu tari Minangkabau yang populer di lingkungan masyarakat Minangkabau. Sebagian masyarakat Minangkabau pada saat itu merasa belum melihat pertunjukan tari Minangkabau sebelum menyaksikan penampilan tari payung. Tari payung pada waktu tersebut sering tampil dalam paket pertunjukkan tari Minangkabau baik itu sebagai pertunjukan tunggal kesenian maupun hanya sebagai hiburan masyarakat.[3] Pada tahun 2000-an terjadi perkembangan dari tarian payung tersebut. Salah seorang koreografer tari dan maestro tari yang berasal dari Bukittnggi pada waktu, Syofiyani Yusaf, melakukan pengembangan tari payung dengan tetap mempertahankan karakteristik dan etika tradisi Minangkabau. Hal tersebut dilakukan berdasar kepada karakter gerak tarinya sehingga mudah ditiru bagi siapa saja yang ingin belajar mengikuti tarian tersebut.[4]

Pada saat sekarang ini, tari payung sering ditampilkan dalam berbagai acara kegiatan baik itu di Sumatera Barat dan luar Sumatera Barat dan bahkan tari payung juga tampil di pertunjukan-pertunjukan yang ada di luar negeri.[5] Selain itu, saat ini juga banyak para pelajar baik dari tingkat sekolah dasar hingga tingkat sekolah atas yang ikut ambil bagian dalam mempopulerkan tari payung tersebut. Mereka berpartisipasi dengan cara bergabung dengan berbagai sanggar seni yang ada di berbagai kabupaten dan kota di Sumatera Barat. Di lingkungan pendidikan formal di Sumatera Barat, Sekolah Menengah Kejuruan 7 Padang yang berkonsentrasi di bidang keahlian seni dan juga Institut Seni Indonesia Padangpanjang menjadikan tari payung sebagai salah satu mata pelajaran atau paket pembelajarannya.[3]

Pakaian penari

sunting

Dalam hampir semua tari tradisional pasti memperhatikan busana dan riasan. Hal itu berlaku juga pada tari payung. Untuk para penari wanita, kostum yang digunakan adalah pakaian adat melayu sesuai adat Minangkabau yang terdiri dari baju kurung atau kebaya, bawahan memakai kain songket, rambut disanggul, dan hiasan kepala berbentuk mahkota atau “suntiang” yang agak rendah dan berwarna keemasan. Penari laki-laki memakai baju lengan panjang “teluk belanga” dengan model kerah “cekak musang” serta bawahan celana panjang berwarna senada, kain sesamping berbahan songket, dan penutup kepala khas Minang atau kopiah (peci) hitam.[6]

Makna Properti

sunting

Makna tarian ini dilambangkan dengan properti yang digunakan yaitunya berupa payung dan selendang. Payung tersebut digunakan oleh pria dan selendang digunakan oleh wanita dalam tari tersebut. Payung dilambangkan sebagai bentuk perlindungan pria yang merupakan sebagai pilar utama dalam keluarga. Si penari pria akan melindungi kepala penari wanita. Sedangkan, Selendang ini digunakan oleh pihak penari wanita. Makna dari selendang ini adalah pelambang ikatan cinta suci dari pasangan. Selain itu, selendang ini juga bermakna kesetiaan seorang wanita dan kesiapannya dalam membina rumah tangga bersama suami. Hal itu tampak dari selendang yang dikaitkan pihak penari wanita kepada penari laki-laki. Dalam hal ini tidak lengkap rasanya menari payung tanpa selendang dan payung sebab properti inilah yang menjadi sarana penyampaian makna filosofi dari tarian ini. Kedua properti ini saat pertengahan sampai di akhir tarian akan saling bertemu dan melengkapi satu sama lain. Seperti halnya pada sepasang kekasih yang akhirnya dipertemukan di pelaminan untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersama-sama.[6] selain itu, dalam penampilannya tari payung tersebut juga diiringi lagu dan musik. Lagu pengiring tari payung tersebut biasanya berjudul Babendi-bendi ke Sungai Tanang. Dikisahkan bahwa makna dalam lagu ini menceritakan tentang sepasang suami-istri yang sedang berbulan madu di Sungai Tanang, sedangkan untuk musik pengiring didiringi oleh alat musik saluang dan gendang.[7]

Referensi

sunting
  1. ^ Featherman, Americus (1887). Social History of the Races of Mankind. 
  2. ^ "Tari Payung dari Sumatera Barat - Bobo". bobo.grid.id. Diakses tanggal 2020-09-18. 
  3. ^ a b c Syafrayuda, Diah Rosari (November 2015). "Eksistensi Tari Payung Sebagai Tari Melayu Minangkbau di Sumatera Barat" (PDF). Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni. 17 (2): 180–203. 
  4. ^ wardibudaya (2017-11-16). "Syofyani Yusaf: Hidup untuk Tarian Minangkabau". Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. Diakses tanggal 2020-09-18. 
  5. ^ "Saat Tari Piring dan Tari Payung Sita Perhatian Publik Internasional di Jepang". Langgam.id. 2020-01-31. Diakses tanggal 2020-09-18. 
  6. ^ a b "Mengenal Tari Payung Dari Sumatera Barat". EGINDO.co. 2020-08-25. Diakses tanggal 2020-09-18. 
  7. ^ Darmawati, Darmawati (1999). "Analisis Struktur Tari Payung Padang Magek Kabupaten Tanah Datar". repository.unp.ac.id (dalam bahasa Inggris). hlm. 65-66. Diakses tanggal 2020-09-19.