Bahasa Sunda Kuno

tahapan tercatat bahasa Sunda yang paling awal

Bahasa Sunda Kuno adalah tahap pendahulu dari apa yang sekarang dikenal sebagai bahasa Sunda beserta segala variannya yang diketahui pernah dituturkan dan tercatat pada prasasti dan naskah-naskah lontar kuno di wilayah pulau Jawa bagian barat. Bahasa ini sudah tidak digunakan di masa sekarang, tetapi masih memiliki kaitan dekat dengan bahasa Sunda modern.[3]

Bahasa Sunda Kuno
Carék Sunda
ᮎᮛᮦᮊ᮪ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ
Basa Sunda Buhun
ᮘᮞ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ ᮘᮥᮠᮥᮔ᮪
Prasasti Astana Gede, mencatat bahasa Sunda kuno menggunakan aksara Sunda Kuno
WilayahBagian barat dan tengah pulau Jawa, serta diperkirakan hingga ke daerah selatan pulau Sumatera
KepunahanBerkembang menjadi bahasa Sunda Klasik menjelang abad ke-17.
Lihat sumber templat}}
Aksara Buda
Aksara Sunda Kuna
Aspek ketatabahasaan
Tipologi
Kode bahasa
ISO 639-3osn
Glottologsund1255
IETFosn
QIDQ56197074
Status konservasi
Terancam

CRSingkatan dari Critically endangered (Terancam Kritis)
SESingkatan dari Severely endangered (Terancam berat)
DESingkatan dari Devinitely endangered (Terancam)
VUSingkatan dari Vulnerable (Rentan)
Aman

NESingkatan dari Not Endangered (Tidak terancam)
ICHEL Red Book: Extinct

Bahasa Sunda Kuno diklasifikasikan sebagai bahasa yang telah punah (EX) pada Atlas Bahasa-Bahasa di Dunia yang Terancam Kepunahan

Referensi: [1][2]

Artikel ini mengandung simbol fonetik IPA. Tanpa bantuan render yang baik, Anda akan melihat tanda tanya, kotak, atau simbol lain, bukan karakter Unicode. Untuk pengenalan mengenai simbol IPA, lihat Bantuan:IPA.
Artikel ini mengandung karakter aksara Sunda. Tanpa bantuan render yang baik, Anda akan melihat tanda tanya, kotak, atau simbol lain, bukan karakter Unicode.
 Portal Bahasa
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B • PW
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Bukti tertua penggunaan bahasa Sunda Kuno adalah prasasti Rumatak tahun 1111 Masehi yang ditemukan di Tasikmalaya,[4][5][6] selain itu, ada pula sekumpulan prasasti tanpa candrasangkala yang ditemukan di Ciamis, tepatnya Kawali bernama prasasti Astana Gede yang diperkirakan dibuat pada sekitar abad ke-14.[7]

Bukti tertulis sunting

Penggunaan bahasa Sunda kuno antara lain tercatat dalam prasasti berbahan batu alam seperti Prasasti Kawali di Ciamis, dan Prasasti Batutulis di Bogor, juga dalam prasasti berbahan pelat tembaga seperti Prasasti Kabantenan dari daerah Bekasi.[8][9] Peninggalan lain yang mendokumentasikan penggunaan bahasa Sunda Kuno yaitu pada naskah-naskah lontar dan gebang dari wilayah Bandung, Garut, dan Bogor. Naskah-naskah itu kini tersimpan di beberapa lembaga, antara lain Kabuyutan Ciburuy di Bayongbong Garut, Museum Sri Baduga di Bandung, Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, dan Perpustakaan Bodleian di London.[10][11][12][13]

Karakteristik sunting

Leksikon sunting

Kosakata yang digunakan dalam bahasa Sunda kuno masih banyak dikenali dalam bahasa Sunda modern, baik yang memiliki arti sama maupun mengalami perubahan atau pergeseran makna. Penggunaan bahasa Sanskerta yang disesuaikan dengan pelafalan atau penulisan Sunda kuno berbaur cukup mencolok. Hal ini karena nuansa penggunaan bahasa Sunda kuno dalam teks-teks keagamaan Hindu maupun Buddha. Pada beberapa bagian sering ditemukan kosakata yang sama, bahkan berpadu dengan untaian kalimat dalam bahasa Kawi.[14] Dalam bagian lain ditemukan juga penggunaan kosakata Melayu kuno[15] dan bahasa Arab.[16] Beberapa peneliti teks Sunda kuno telah mendaftarkan leksikon Sunda kuno menjadi kamus dwibahasa (Sunda Kuno-Indonesia).

Morfologi sunting

Morfologi pembentukan kata pada umumnya dapat dikenali dalam bahasa Sunda modern dengan beberapa pengecualian, misalnya penggunaan imbuhan awal a- dalam kata awurung. Imbuhan akhir -keun memiliki fungsi gramatikal yang mirip dengan -kan dalam bahasa Indonesia. Selain itu, penggunaan bentuk imbuhan sisipan (infiks) -in- dan -um- dalam kata ginawé (kata dasar gawé; ‘dikerjakan’) dan gumanti (kata dasar ganti: ‘mengganti’) adalah sisipan yang tergolong produktif digunakan dalam bahasa Sunda kuno, kini kata-kata yang bersisipan -in- dan -um- seringkali dianggap sebagai monomorfemik. Kata-kata berikut sering tidak dirasakan sebagai kata bersisipan seperti kata sumebar yang terdiri atas sebar dan -um-, cumeluk yang terdiri atas celuk dan -um- atau tinangtu yang terdiri atas tangtu dan -in- serta pinareng terdiri atas pareng dan -in-.[17] Yang terakhir adalah penggunaan sisipan -ar- yang berfungsi untuk membuat suatu nomina atau adjektiva menjadi jamak, misalnya dalam kata karolot (kata dasar kolot; ‘yang tua-tua’) yang masih digunakan hingga sekarang.[18]

Sintaksis sunting

Dalam tingkatan sintaksis, secara umum bentuk kalimat dalam bahasa Sunda kuno masih memiliki kemiripan dengan bahasa Sunda modern.[19][19][20] Salah satu fitur dari bahasa Sunda kuno yang dapat dibedakan dari struktur bahasa Sunda moderen yaitu adanya penggunaan pola predikat-subjek pada struktur kalimat bahasa Sunda kuno dengan predikat berupa kata kerja (verba) dan subjek berupa kata benda (nomina) yang cukup konsisten.[20] Fitur lain yang menjadi ciri khas yaitu penggunaan partikel ma yang dapat berfungsi sebagai penguat frasa atau klausa sebelumnya. Dalam konstruksi kalimat, partikel ma berfungsi sebagai pemarkah yang memisahkan klausa, dan berfungsi untuk memperkenalkan informasi baru.[21]

Contoh penggunaan sunting

 
Prasasti Kawali I di kawasan kabuyutan Astana Gede, Kawali

Prasasti sunting

Berikut ini adalah contoh penggunaan bahasa Sunda kuno yang tercatat dalam Prasasti Kawali. Alihaksara diplomatis dikerjakan oleh arkeolog Hasan Jafar & Titi Surti Nastiti[9]

"nihan tapak walar nu sang hyang mulia tapa(k) inya parĕbu raja wastu mangadĕg di kuta kawali nu mahayu na kadatuan surawisesa nu marigi sakuliling dayĕh nu najur sakala desa aya ma nu pa(n)deuri pakĕna gawe rahayu pakĕn hĕbĕl jaya dina buana"

Terjemahan:

''Inilah jejak (tapak) (di) Kawali (dari) tapa dia Yang Mulia Prabu Raja Wastu (yang) mendirikan pertahanan (bertahta di) Kawali, yang telah memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan di sekeliling wilayah kerajaan, yang memakmurkan seluruh pemukiman. Kepada yang akan datang, hendaknya menerapkan keselamatan sebagai landasan kemenangan hidup di dunia.''

Naskah kuno sunting

Bahasa Sunda kuno yang digunakan pada naskah-naskah lontar dan gebang dapat dibedakan berdasarkan bentuk teksnya, yaitu puisi dan prosa.[14][19][20]

Puisi sunting

 
Naskah lontar Kawih Pangeuyeukan koleksi Perpusnas RI berisi teks dengan bahasa Sunda Kuno.

Beberapa naskah Sunda kuno yang memuat teks dengan bentuk puisi antara lain Sewaka Darma,[22] Carita Purnawijaya,[23] Bujangga Manik, Sri Ajnyana,[14] Kawih Pangeuyeukan[24] dan Sanghyang Swawarcinta.[25] Bahasa Sunda kuno yang dituliskan dalam bentuk teks puisi umumnya menggunakan pola delapan suku kata, walaupun dalam beberapa naskah kaidah ini tidak begitu ketat.[14][26]

Teks Pendakian Sri Ajnyana:

Bahasa Sunda Kuno Bahasa Indonesia
Alfabet bahasa Sunda Aksara Sunda Baku
"sakit geui ngareungeuheun.

cicing hanteu dék matingtim,

usma ku raga sarira.

béngkéng upapen rasana,

dosa a(ng)geus kanyahoan,

ngeureuy teuing gawé hala,

hanteu burung katalayahan,

ja kini teuing rasana,

kasasar jadi manusa.

saurna sri ajnyana:

‘adiing, ambet ka dini.

mulah ceurik nangtung dinya.

dini di lahunan aing.

tuluy dirawu dipangku"

"ᮞᮊᮤᮒ᮪ ᮌᮩᮄ ᮍᮛᮩᮍᮩᮠᮩᮔ᮪.

ᮎᮤᮎᮤᮀ ᮠᮔ᮪ᮒᮩ ᮓᮦᮊ᮪ ᮙᮒᮤᮀᮒᮤᮙ᮪,

ᮅᮞ᮪ᮙ ᮊᮥ ᮛᮌ ᮞᮛᮤᮛ.

ᮘᮦᮀᮊᮦᮀ ᮅᮕᮕᮨᮔ᮪ ᮛᮞᮔ,

ᮓᮧᮞ ᮃᮌᮩᮞ᮪ ᮊᮑᮠᮧᮃᮔ᮪,

ᮍᮩᮛᮩᮚ᮪ ᮒᮩᮄᮀ ᮌᮝᮦ ᮠᮜ,

ᮠᮔ᮪ᮒᮩ ᮘᮥᮛᮥᮀ ᮊᮒᮜᮚᮠᮔ᮪,

ᮏ ᮊᮤᮔᮤ ᮒᮩᮄᮀ ᮛᮞᮔ,

ᮊᮞᮞᮁ ᮏᮓᮤ ᮙᮔᮥᮞ.

ᮞᮅᮁᮔ ᮞᮢᮤ ᮃᮏ᮪ᮑᮔ:

‘ᮃᮓᮤᮄᮀ, ᮃᮙ᮪ᮘᮨᮒ᮪ ᮊ ᮓᮤᮔᮤ.

ᮙᮥᮜᮂ ᮎᮩᮛᮤᮊ᮪ ᮔᮀᮒᮥᮀ ᮓᮤᮑ.

ᮓᮤᮔᮤ ᮓᮤ ᮜᮠᮥᮔᮔ᮪ ᮃᮄᮀ.

ᮒᮥᮜᮥᮚ᮪ ᮓᮤᮛᮝᮥ ᮓᮤᮕᮀᮊᮥ"

Tertekan, kecewa,

dia berdiri tak bergerak, tidak mau berbicara,

panas membara di tubuhnya.

Dia merasa lemah dan tidak pasti,

setelah menyadari dosa-dosanya,

dia sangat menyesali tindakan buruknya,

karena dia pasti akan mengalami kesengsaraan.

Jadi dia akan merasa terlalu buruk,

bagaimana, setelah berbuat salah, dia akan menjadi

manusia.

Sri Ajnyana berkata:

'Adikku, datanglah padaku.

Jangan menangis berdiri di sana!

Ke marilah di pangkuanku.'

Kemudian dia membawanya ke pangkuannya.

Prosa sunting

 
Naskah gebang dengan bahasa Sunda Kuno Sanghyang Raga Dewata koleksi Museum Sribaduga, Bandung.

Teks yang memuat bahasa Sunda dalam bentuk prosa antara lain Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Amanat Galunggung,[22] Sanghyang Sasana Maha Guru, dan Sanghyang Raga Dewata. Berikut ini contoh kalimat yang digunakan dalam Amanat Galunggung.[22]

"Awignam astu. Nihan tembey sakakala Rahyang Ba/n/nga, masa sya nyusuk na Pakwan makangaran Rahyangta Wuwus, maka manak Maharaja Dewata, Maharaja Dewata maka manak Baduga Sanghyang, Baduga Sanghyang maka manak Prebu Sanghyang, Prebu Sanghyang maka manak Sa(ng) Lumahing rana, Sang Lumahing Rana maka manak Sa(ng) Lumahing Winduraja, Sa(ng) Lumahing Winduraja maka manak Sa(ng) Lumahing Tasikpa(n)jang, Sang Lumahing Tasik pa(n)jang (maka manak) Sa(ng) Lumahing Hujung Kembang, Sa(ng) Lumahing Hujung Kembang maka manak Rakeyan Darmasiksa."

Terjemahan:

"Semoga selamat. Inilah permulaan tanda peringatan Rahiyang Banga, ketika ia membuat parit (pertahanan) Pakuan, bernama Rahingta Wuwus, maka (ia) berputera Maharaja Dewata berputera Baduga Sanghiyang, Baduga Sanghyang berputera Prabu Sanghiang, Prabu Sanghiyang berputera Sang Lumahing rana, Sang Lumahing rana berputera Sang Lumahing Winduraja, Sang Lumahing Winduraja berputera Sang Lumahing Tasikpanjang, Sang Lumahing Tasikpanjang berputera Sang Lumahing Ujung Kembang, Sang Lumahing Ujung Kembang berputera Rakeyan Darmasiksa."

Galeri sunting

Rujukan sunting

  1. ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011. 
  2. ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022. 
  3. ^ Iskandarwassid (1992), hlm. 43.
  4. ^ "Prasasti Geger Hanjuang" (PDF). 2010. 
  5. ^ Rosyadi (1997), hlm. 35.
  6. ^ Rosyadi (1997), hlm. 54.
  7. ^ Rosyadi (1997), hlm. 36.
  8. ^ Djafar (1991).
  9. ^ a b Djafar & Nasiti (2016), hlm. 101-116.
  10. ^ Djambatan (1990).
  11. ^ Ekadjati (1999), hlm. 7.
  12. ^ Chambert-Loir & Fathurahman (1999), hlm. 181.
  13. ^ Ekadjati (2000), hlm. 453-573.
  14. ^ a b c d Noorduyn & Teeuw (2009), hlm. 2.
  15. ^ Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (2000), hlm. 6.
  16. ^ Darsa (2006), hlm. 27.
  17. ^ Arifin (1996), hlm. 14.
  18. ^ Nurwansah (2014), hlm. 5-10.
  19. ^ a b c Ruhaliah (1997).
  20. ^ a b c Nurwansah, Sudaryat & Ruhaliah (2017), hlm. 181-196.
  21. ^ Gunawan & Fauziyah (2018), hlm. 10.
  22. ^ a b c Danasasmita (1987), hlm. 1.
  23. ^ Lange & Company (1914), hlm. 392.
  24. ^ Ruhimat, Gunawan & Wartini (2014).
  25. ^ Wartini et al. (2011), hlm. 6.
  26. ^ Kurnia & Gunawan (2019).

Bibliografi sunting

Pustaka lanjutan sunting

Pranala luar sunting