Sang Hyang Adi Buddha

(Dialihkan dari Sanghyang Adi Buddha)

Sang Hyang Adi Buddha adalah salah satu sebutan untuk konsep ketuhanan dalam Buddhisme yang digunakan oleh Buddhisme di Indonesia. Nama ini digunakan oleh Buddhisme Esoteris Indonesia dan dihidupkan kembali oleh Y.M. Ashin Jinarakkhita pada saat membangkitkan Buddhisme di Indonesia, mengingat sila pertama dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila, yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa".[1][2] Konsep ini digunakan oleh Buddhayana, yaitu organisasi dengan semangat nonsektarian yang mewadahi semua aliran Buddhisme, seperti Theravada, Mahayana, dan Tantrayana. Ketika menyinggung konsep Ketuhanan, diperlukan suatu "sebutan". Adi Buddha merupakan salah satu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa. Sebutan lainnya adalah Advaya, Diwarupa, Mahavairocana (kitab-kitab Buddhis bahasa Kawi), Vajradhara (aliran Kagyu dan Gelug dari Tibet), Samantabhadra (aliran Nyingma dari Tibet), Adinatha (Nepal).[3]

Istilah Sang Hyang Adi Buddha adalah istilah yang disepakati dan dipergunakan oleh Sangha Agung Indonesia dan Majelis Buddhayana Indonesia sebagai sebutan Tuhan Yang Maha Esa. Istilah ini tidak terdapat dalam Tipitaka Pāli yang dipegang teguh oleh aliran Theravāda, melainkan terdapat dalam beberapa kitab seperti Sang Hyang Kamahayanikan (kitab Jawa kuno) yang menggunakan bahasa Kawi (bahasa Jawa kuno).

Konsep

Sang Hyang Adi Buddha merujuk pada "Benih Kebuddhaan" yang terdapat dalam diri seseorang. Dalam aliran Mahayana, Adi‐Buddha merujuk pada Buddha primordial yang menggariskan Dhamma Universal yang sama.

Adi‐Buddha merupakan Buddha primordial Yang Esa, atau dinamakan juga Paramadi Buddha (Buddha Yang Pertama dan Tiada Terbandingkan). Sebutan lain adalah Adau‐Buddha (Buddha dari permulaan), Anadi‐Buddha (Buddha yang tidak diciptakan), Uru‐Buddha (Buddha dari segala Buddha). Juga disebut Adinatha (Pelindung Pertama), Svayambhulokanatha (Pelindung dunia yang ada dengan sendirinya), Vajradhara (Pemegang vajra), Vajrasattva (Mahluk Vajra), Svayambhu (Yang ada dengan sendirinya), atau Sang Hyang Adwaya (Tiada duanya). Dalam bahasa Tionghoa, Adi‐Buddha adalah Pen‐chu‐fu, sedangkan aramadi‐Buddha diterjemahkan menjadi Sheng‐chu‐fu. Di Tibet Dan‐pohi‐sans‐rgyas, Mchog‐gi‐dan‐pohi‐sans‐rgyas, atau Thogmahi‐sans‐rgyas, yang kesemuanya menunjukkan "Buddha dari segala Buddha", yang muncul sejak bermula, sebagai yang pertama: Paramadi‐buddhoddhrta‐sri‐kalacakra‐nama‐tantraraja dan Jnanasattva‐manjusryadi‐buddha‐nama‐sadhana.[4][5]

Dalam aliran Mahayana, Buddha memiliki tiga tubuh (Trikaya), yaitu: "Tubuh Perubahan" (Nirmanakaya) untuk mengajar manusia biasa; "Tubuh Kenikmatan" (Sambhogakaya) yaitu tubuh cahaya atau perwujudan surgawi; dan "Tubuh Dharma" (Dharmakaya) yang kekal, ada di mana‐mana, bukan realitas perseorangan, esa, bebas dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sendirinya (svabhava‐kaya). Terdapat banyak Buddha, tetapi hanya ada satu Dharmakaya. Dharmakaya ini identik dengan Adi‐Buddha. Sumber doktrin Trikaya ini antara lain Avatamsaka Sutra dan Mahayana‐sraddhotpada‐shastra. Kitab yang terakhir adalah karya Asvagosha, seorang biksu yang hidup sekitar abad ke‐1 Masehi. Menurut Perguruan Vetulyaka Lokottaravada, Buddha Sakyamuni sebenarnya adalah wujud yang mewakili Adi‐Buddha di dunia. Herman S. Hendro (1968) menulis:[4]

"Dalam Kitab Sutji Sang Hyang Kamahayanikan, pupuh ke-19 didjelaskan bahwa Sang Buddha Gautama telah menunggal dengan Sang Hyang Adhi Buddha atau dengan kata lain bahwa Sang Buddha Gautama adalah pengedjawantahan dari Sang Adhi Buddha. Karena itu bila kita menjebut Sang Adhi Buddha maka itu adalah Sang Buddha jang tidak berkarya (saguna)."

Meskipun dipuja, doa-doa tidak pernah ditujukan kepada Adi‐Buddha. Dengan kekuatannya, Ia menghasilkan lima Dhyani Buddha. Surga dari Adi‐Buddha disebut Ogamin dalam bahasa Tibet atau Akanistha dalam bahasa Sanskerta (lit. "tidak ke bawah" atau "tanpa (kembali) ke arah bawah").[5]

Konsep Buddhayana

Dalam Udana Nikaya (VIII: 3), Buddha Sakyamuni memberikan ajaran:[3]

Ketahuilah Para Bhikkhu, Ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Wahai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."

Sifat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah "Athi Ajatam Adbhutam Akatam Samkhatam", artinya: "Suatu yang tidak dilahirnya, tidak menjelma, tidak diciptakan dan yang mutlak". Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sesuatu tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun. Tetapi dengan adanya yang mutlak, yang tidak berkondisi (Asamkhatam) dapat dicapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara meditasi.

Sang Hyang Adi Buddha adalah asal usul dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, ia sendiri tanpa asal dan tanpa akhir, ada dengan sendirinya, tidak terhingga, unggul dalam segala kondisi, tak berkondisi, absolut, ada di mana-mana, esa tiada duanya, kekal abadi. Namun semua kata-kata indah dan besar itu tidak mampu melukiskan keadaannya yang sebenarnya dari Sang Hyang Adi Buddha. Adanya Adi Buddha merupakan penegasan yang penting, bahwa kehidupan ini bukanlah produk kekacauan, melainkan hasil dari tata kerja hierarki spiritual yang menghendakinya. Dengan adanya Adi Buddha, kehidupan ini menjadi berarti dan dapat dimungkinkan untuk mencapai pencerahan dan kebuddhaan.[3]

Sangha Agung Indonesia menjabarkan Ketuhanan dalam agama Buddha dan mendefinisikan Tuhan sebagai "sumber dari segala sesuatu yang ada". Dengan sendirinya: Maha Esa, kekal, segala sesuatu di alam semesta adalah babaran dari-Nya, tidak berwujud dan tidak mewujudkan diri-Nya, namun segala kata-kata yang indah ini tidak mampu untuk melukisan keadaan dari Sang Hyang Adi Buddha.

Ensiklopedi Nasional Indonesia

Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988), Adi Buddha dan tradisi yang menggunakan istilah ini dijelaskan sebagai berikut.[4]

"Adi‐Buddha adalah salah satu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Sebutan ini berasal dari tradisi Aisvarika dalam aliran Mahayana di Nepal, yang menyebar lewat Benggala, hingga dikenal pula di Jawa. Sedangkan Aisvarika adalah sebutan bagi para penganut paham ketuhanan dalam agama Buddha. Kata ini berasal dari ‘Isvara’ yang berarti ‘Tuhan’ atau ‘Maha Buddha’ atau ’Yang Mahakuasa’, dan ‘ika’ yang berarti ‘penganut’ atau ‘pengikut’."
"Istilah ini hidup di kalangan agama Buddha aliran Svabhavavak yang ada di Nepal. Aliran ini merupakan salah satu percabangan dari aliran Tantrayana yang tergolong Mahayana. Sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa dalam aliran ini adalah Adi‐Buddha. Paham ini kemudian juga menyebar ke Jawa, sehingga pengertian Adi‐Buddha dikenal pula dalam agama Buddha yang berkembang di Jawa pada zaman Sriwijaya dan Majapahit. Para ahli sekarang mengenal pengertian ini melalui karya tulis B.H. Hodgson. Ia adalah seorang peneliti yang banyak mengkaji hal keagamaan di Nepal."
"Menurut paham ini seseorang dapat menyatu (moksa) dengan Adi‐Buddha atau Isvara melalui upaya yang dilakukannya dengan jalan bertapa (tapa) dan bersamadhi (dhyana)."

The Seeker's Glossary of Buddhism

The Seeker's Glossary of Buddhism[6] memberikan pengertian mengenai Adi Buddha:

"Sebuah istilah yang digunakan oleh Buddhisme Mahayana, terutama di Nepal dan Tibet, untuk sang 'Buddha primordial', Buddha yang tanpa awal." (Ling: 8)
"Sang Buddha primordial. Meskipun konsep ini sendiri dapat ditelusuri hingga ke Buddhisme awal, secara luas diketahui bahwa penyebutan Adi-Buddha berkembang sempurna dalam Buddhisme esoterik. Dalam Buddhisme (Mahayana tradisional), sang Adi-Buddha diwakili oleh Mahavairocana Buddha". (Preb: 38)

Sementara itu, pengertian "Buddhisme esoterik" adalah istilah yang digunakan untuk menyebut sekolah-sekolah Buddhisme yang menggunakan mantra dan mudra sebagai metode utama pelatihan diri. Sekolah-sekolah ini ada dalam tradisi Mahayana di sebagian besar negara-negara Asia. Namun, dalam praktiknya, istilah ini sering digunakan sebagai sinonim Sekolah Tantra Tibet (Vajrayana). (Yokoi: 203)[7]

Sejarah

Konsep Adi‐Buddha adalah sebuah konsep yang muncul dari perkembangan Buddhisme Teistik yang merupakan tahapan terakhir Mahayana dan terutama dipengaruhi pemikiran Saivite (aliran Siwaisme dalam agama Hindu). Perkembangan ini khususnya ditemukan di Nepal dan Jawa, sementara asalnya adalah Benggala. Konsep ini mencapai pengembangan sepenuhnya dalam literatur Kālacakra (Vajrayana). Sir Charles Eliot dalam Hinduism and Buddhism (III, 387) mengajukan hipotesis bahwa perkembangan tersebut merupakan usaha akhir dari Buddhisme Asia Tengah untuk menghadapi perkembangan Islam dengan menunjukkan bahwa monoteisme dapat juga ditemukan dalam agama Buddha. Hal penting yang fundamental dari doktrin ini adalah bahwa dari satu Buddha primordial ini akhirnya timbul Buddha-Buddha yang lain. Meskipun demikian, para pengikut Kālacakra tidak menjadi teis dalam arti memuja satu Tuhan Yang Maha Kuasa, tetapi mereka mengidentifikasi Adi Buddha berbeda-beda sesuai dengan sektenya.[5]

Sukar ditentukan kapan dan bagaimana konsep Ādi Buddha atau Paramādi Buddha muncul untuk pertama kalinya. Csoma Körösi mengatakan bahwa nama dan sistem yang dikaitkan dengannya berhubungan erat dengan Srikāla-cakra-tantra, sebuah tantra yang terang-terangan Saivite dalam inspirasinya yang muncul pada abad ke-10 atau 11 Masehi. Namun, kata Ādi Buddha sudah terlebih dulu muncul dalam Nāmasangiti sebagai nama Mañjusri, sebuah kitab yang dianggap lebih dini dari abad ke-10 karena diperkirakan tulisan yang mengomentari kitab tersebut ditulis setidak-tidaknya pada abad ke-7 Masehi.[5][8]

Konsepsi Adi‐Buddha berkembang dalam ajaran esoterik Tantra, sekalipun embrio konsepsi dapat ditelusuri jauh sebelumnya. Tulisan yang dianggap paling awal adalah Kitab Namasangiti yang diperkirakan merupakan karya abad ke‐7. Kitab‐kitab lain di antaranya Guna Karanda Vyuha, Svayambhu Purana, Maha Vairocanabhisambodhi Sutra, Tattvasangraha Sutra, Guhya‐samaya Sutra, dan Paramadi‐buddhoddhrta‐sri‐kalacakra Sutra. Kitab dari Indonesia adalah Namasangiti versi Candrakirti dari Sriwijaya dan Sang Hyang Kamahayanikan karya pada zaman pemerintahan Mpu Sindok (abad ke‐10).[4]

Periode perkembangan

Secara garis besar, perkembangan konsep Ādi Buddha dibagi menjadi tiga periode.[5]

  1. Periode pertama (Buddhisme Esoterik tercampur), meliputi asal dan pembentukan dalam dua jenis sistem, yaitu Madhyamika dan 'Vijnaptivada. Dalam periode ini, hanya tersirat benih dari Buddhisme Esoterik. Berbagai aturan upacara keagamaan, lukisan dan patung-patung berbagai Buddha, disusun secara terpisah, tak lengkap, dan tidak teratur. Sutra Suiddhikara dan Sutra Subahu-pariprccha adalah sutra-sutra esoterik yang tergolong periode ini; jarang memiliki arti filosofis sehingga disebut dhyanottarapatalakrama.
  2. Periode kedua, Buddhisme Esoterik murni, mengatur dan mensistematisasi periode pertama serta menambahkan arti filosofis. Madhyamika mensistematiskan aturan upacara dan konsep filosofis bersama-sama; Yoga hanya membicarakan persoalan-persoalan penting secara filosofis. Pada tingkatan ini, Buddhisme Esoterik merupakan pekembangan yang lebih awal daripada esoterik Hinduisme dan agama lainnya. Sutra Maha-Vairocanabhisambodhi, Sutra Tattvasangraha, dan Sutra Paramadi tergolong dalam periode ini.
  3. Periode ketiga, terlihat munculnya aliran yang berlawanan dari aliran resmi setelah berdirinya Buddhisme Esoterik murni. Sutra Guhya-samaja merupakan salah satu contoh sutra yang fundamental pada periode ini.

Evolusi konsep Ādi Buddha

Sumber naskah kanonik Theravada

Menurut naskah kanonik Theravada, Buddha Sakyamuni masuk ke Nirwana (parinibbana) pada usia 80 tahun. Namun, juga dijelaskan bahwa jika Ia mau, Ia dapat terus hidup sebagai manusia selama satu masa yang tak terkirakan lamanya (kalpa). Di nirwana, Dia telah melampaui segala pengetahuan Dewa dan manusia, ke dalam keadaan yang tidak dapat diterangkan, dan di luar batas daya akal, tetapi bukan suatu kondisi yang nihil (ketidakadaan).[5]

Doktrin-doktrin kuno

Sejak masa kuno, terdapat suatu kepercayaan bahwa sang Buddha terus hidup meskipun ia tidak tampak. de La Vallee Pussin (ERE. I, 96a) memperkirakan:[5]

"Sangat mungkin umat Buddhis cepat percaya bahwa Sakyamuni selama berada di bumi hanya merupakan substitusi gaib dan Sakyamuni yang sesungguhnya sudah lama mencapai Buddha yang abadi."

Berikut ini merupakan doktrin-doktrin yang mendukung:[5]

  1. Sukhavati (Bab 2): seorang Buddha hidup selama seratus ribu niyuta (jutaan) koti (10 juta) kalpa atau lebih.
  2. Lokottaravada (Perguruan Vetulyaka): sang Sakyamuni tidak muncul sebagai manusia di dunia, tetapi memberikan gambarannya untuk mewakili dirinya.
  3. Mahavastu dan Suvanaprabhasa: pada masa silam yang tak terhitung, pada permulaan zaman, sang Sakyamuni telah mencapai keBuddhaan; pemunculannya di bumi ada masa kini, masuknya ke nirwana, dan sebagainya semata-mata merupakan gejala dari nirmanakaya.
  4. Vibhajjavadin: sang Sakyamuni pada saat menjadi Buddha, masuk ke dalam sa-upadisesa-nibbana ("nirwana dengan sisa"). Sisanya itu adalah tubuh tanpa "jiwa yang aktif", yang hidup terus dan bicara.

Dengan berkembangnya waktu, ide yang berkembang adalah bahwa Buddha Sakyamuni merupakan salah satu dari serangkaian Buddha (yang untuk mudahnya dihitung menjadi empat, tujuh, atau dua puluh empat) yang membentuk seri tak terhingga, meluas tanpa batas, mundur ke masa silam dan maju ke masa depan. Banyak di antara Buddha-Buddha tersebut yang tidak terlahir di bumi ini, tetapi di berbagai dunia yang disebut sebagai Tanah Suci Buddha. Para Buddha yang bersinar menerangi ruang tak terhingga beserta alam semesta yang tak terbatas ini berada di bawah Ādi Buddha. Namun, dalam Sūtrālankara (IX, 77), doktrin Ādi Buddha ditolak sama sekali, sebab tak seorangpun dapat menjadi Buddha tanpa alat (sambhara) pahala dan pengetahuan, yang hanya bisa diperoleh dari Buddha sebelumnya (yang mendahului dan meramalkan bahwa ia akan menjadi Buddha yang berikutnya pada kehidupan mendatang). Oleh sebab itu, tidak mungkin ada Buddha pertama.[5]

Pernyataan sutra-sutra esoterik

Dalam Sutra Mahā-Vairochanābhisambodhi, keaktifan Buddha berasal dari tubuh (kāya), ucapan (vāca), dan pikiran (citta). Para Buddha dan Bodhisattva merupakan manifestasi dari setiap kebajikan yang tak terbilang banyaknya dari Mahā-Vairochana-tathāgata yang merupakan raja alam semesta. Bab Mahā-virasamādi melukiskan Mahā-Vairochana-tathāgata sebagai berikut:[5]

Kebijaksanaan sang Buddha tidak terbayangkan dan tidak ada bandingnya. Mereka yang telah terbebas dari semua jenis noda dan telah menyadari kebenaran dengan bangkit sendiri akan memperoleh pemenuhan semua hasrat mereka.

Istilah "mereka yang bangkit sendiri" (Svayambhū) dipakai sebagai nama lain dari Ādi Buddha pada masa kemudian dan mempunyai makna penting. Dalam Buddhaguhya, komentar terhadap Sutra Mahā-Vairochanā, arti kata Ādi Buddha dijelaskan sebagai berikut:[5]

Mereka yang "bangkit sendiri" adalah para bodhisattva yang lebih tinggi dari tingkat ke delapan. Mereka tidak dituntun oleh yang lain, tetapi mencapai kebangkitannya sendiri.

Dalam Sutra Tatvasangraha yang termasuk dalam masa akhir periode Buddhisme Esoterik murni, ketiga misteri yang disebutkan dalam Sutra Mahā-Vairochanābhisambodhi telah berkembang lebih lanjut, yaitu mahā mandala (tubuh), samaya mandala (pikiran), dharma mandala (ucapan), dan karma mandala (perbuatan). Masing-masing dilambangkan dengan mudrā sebagai mahā mudrā, samaya mudrā, dharma mudrā, dan karma mudrā. Disebutkan:

Setelah Vajradhātu-mahāsattva sendiri menyadari penerangan dari semua Tathāgata, Dia menjadi Vajradhātu-tathāgata dan memasuki Ujud Permata (Vajra-sattva) yang merupakan sifat dasar dari lima tipe pengertian: pengertian murni tentang dharma-dhātu, pengertian seperti cermin, pengertian kedalam sifat keesaan, pengertian gaib, dan pengertian yang membuat tercapainya pebuatan. Semua Tathagata muncul dalam Vajra-sattva ini. Masing-masing dari mereka dapat berbicara satu sama lainnya, dan dalam kenyataannya mereka adalah esa tanpa ada perbedaan. Yang satu menempati tempat kedudukan raja dari semua Tathagata, yang lainnya menghadap ke empat sudut, maka timbullah ke empat Buddha yang merupakan sifat-sifat penting dari keempat tipe kebijaksanaan. Buddha-Buddha ini adalah Aksobhya (timur), Ratnasambhava (selatan), Amitābha (barat), dan Amoghasiddhi (utara).

Dari perbandingan Sutra Mahā-Vairochanābhisambodhi dan Sutra Tatvasangraha, yang pertama menggolongkan dan menjadikan satu berbagai makhluk suci dari periode pertama Buddhisme Esoterik, sedangkan Sutra Tatvasangraha yang lebih baru menjelaskan bahwa ketigapuluhenam makhluk suci berasal dari Buddha Vajradhātu-tathāgata.[5]

Pada periode lanjut, Namasangiti menyebutkan bahwa Vajrasattva adalah sang Adi Buddha. Alasan mengapa nama Manjusri, bukan Vajrasattva, yang digunakan adalah karena Manjusri adalah manifestasi dari tubuh penerangan yang sejati dari Samantabhadra (nama lain Vajrasattva). Dalam komentar yang sama, Adi Buddha disebut sebagai: "Buddha tidak berawal dan tidak berakhir. Sang Ādi Buddha adalah tidak berbentuk dan tak tampak."[5]

Kepercayaan di Indonesia

Umat Buddha Indonesia sejak zaman Syailendra dan Mataram Kuno sudah meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana umat Buddha di Tibet, Nepal, dan aliran di utara. Di Nepal dikenal istilah Adinata yang berarti "pelindung utama"; juga Swayambhulokanatta yang berarti "pelindung jagat yang tidak dilahirkan". Tibet mengenal istilah-istilah seperti Vajradhara atau Dorjechang atau "penguasa dari semua misteri". Kitab Namasangiti yang ditulis oleh seorang Bhikkhu Indonesia benama Candrakirti, dan simbolisme yang terpancar pada stupa mandala candi Borobudur, memberi bukti bahwa agama Buddha yang dipeluk oleh rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Mataram Kuno, Syailendra, dan Majapahit adalah agama Buddha yang mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa.

Beberapa kitab yang menggunakan istilah Sang Hyang Adi Buddha:
1. Naskah Guna Karanda Vyuha

"Sewaktu belum ada apa-apa, Sambhu sudah ada, inilah yang disebut Svayambhu (yang ada dengan sendirinya), dan mendahului segala sesuatu, karena itu disebut juga Sang Adi Buddha."

2. Naskah Sang Hyang Kamahayanikan

"Segala puji bagi Sang Hyang Adi Buddha, inilah Sang Hyang Kamahayanikan yang hendak Kuajarkan kepadamu, kepada putra Buddha (yang juga) keluarga Tathagata, keagungan pelaksanaan Sang Hyang Mahayana itulah yang kuajarkan kepadamu."

Herman S. Hendro (1968) dalam tulisannya menyebutkan:[4]

"Stupa besar teratas [Borobudur] jang tertutup adalah lambang dari manusia jang telah mentjapai Kebebasan Mutlak (Nibbana/Nirwana) dan manunggal dengan Sang Adi Buddha. Dalam stupa tersebut dulu terdapat sebuah artja Buddha dalam bentuk kasar dan tak terselesaikan jang menggambarkan Sang Adi Buddha jang tak dapat dibajangkan oleh manusia."

Penggunaan modern

 
Patung Buddha yang Tidak Sempurna yang awalnya ditemukan di dalam stupa utama Borobudur, kini terletak di Museum Karmawibhangga

Semenjak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, para pendiri bangsa telah menyetujui sebuah ideologi sebagai dasar negara untuk menyatukan semua etnis, agama, dan ras,[9] yaitu Pancasila sebagai dasar untuk berbangsa dan bernegara. Salah satu sila dari Pancasila, yaitu sila pertama, adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa". Mayoritas orang salah mengartikannya sebagai pengakuan bangsa Indonesia atas keberadaan tuhan yang hanya satu (eka). Dari sudut etimologi bahasa Sanskerta, Ketuhanan Yang Maha Esa tidak mengacu pada keberadaan tuhan yang satu, melainkan pada nilai-nilai atau sifat-sifat luhur yang tinggi dan mutlak ada. Kesalahpengertian tersebut membuat adanya kalangan yang mempertanyakan apakah ajaran agama Buddha mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa.[9][10]

Pemerintah Indonesia, sebagai akibat pemberontakan PKI pada tahun 1965, menyatakan menolak dan melarang pengembangan semua paham berbau komunisme atau atheisme.[4][11] Akibatnya, pemerintah waktu itu merasa ragu untuk menjadikan Agama Buddha sebagai agama resmi. Y.M. Ashin Jinarakkhita mengusulkan nama Sang Hyang Adi Buddha Buddha sebagai nama dari tuhan dalam ajaran Agama Buddha. Ia mencari sumber untuk mengonfirmasi Tuhan versi Buddhisme unik milik Indonesia ini dari kitab-kitab berbahasa Jawa kuno, dan bahkan dari bentuk Candi Borobudur di Jawa Tengah.[11] Hal ini kemudian disampaikan kepada Menteri Agama dan akhirnya pemerintah menerima Agama Buddha sebagai agama resmi negara pada tahun 1978, sebagaimana tercantum dalam GBHN tahun 1978, Kepres R.I No. 30 Tahun 1978, serta Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/1978 (18 November 1978).[10]

Polemik

Penggunaan istilah Sang Hyang Adi Buddha sebagai tuhan menjadi polemik dan kontroversi tersendiri di kalangan umat Buddha Indonesia sampai sekarang. Hal ini dikarenakan konsep Sang Hyang Adi Buddha yang hanya ada dalam Agama Buddha mazhab/tradisi Tantrayana/Vajrayana bukanlah tuhan dalam pengertian tuhan berpersonal seperti pengertian dalam agama monotheis. Politisasi dengan menggunakan dan sekaligus menyandingkan istilah Sang Hyang Adi Buddha sebagai tuhan personal sangat bertentangan dengan ajaran Agama Buddha. Dengan adanya politisasi ini, Agama Buddha di Indonesia menjadi sedikit berbeda dengan Agama Buddha di dunia. Selain itu, hal ini juga menambah kontroversi pada Y.M. Ashin Jinarakkhita sebagai pencetus penggunaan istilah Sang Hyang Adi Buddha sebagai tuhan dalam Agama Buddha.[10]

Meskipun negara puas oleh konsep yang diajukan Ashin Jinarakkhita, pertanyaan-pertanyaan justru muncul dari antara para pengikut Buddhisme, bahkan juga dari antara murid-murid utamanya yang telah berjuang bersama-sama dengan dia semenjak semula. Semenjak saat itu, terjadi perdebatan, disintegrasi, dan perpecahan, yang tidak dapat dihindarkan dalam organisasi-organisasi Buddhis. Oposisi yang paling utama berasal dari pengikut tradisi Theravāda, dan hal tersebut kelihatannya juga dipengaruhi oleh gerakan pemurnian Buddhisme Thailand yang dimulai pada abad ke-19 oleh Raja Mongkut, selanjutnya banyak Bhikkhu-bhikkhu dari sana datang ke Indonesia. Meskipun ada juga bhikkhu-bhikkhu yang datang dari Sri Lanka, seperti Bhikkhu Narada Thera dan Mahasi Sayadaw bersama kelompoknya, mereka hanya datang beberapa kali saja pada tahun-tahun awal.[9]

Akhirnya, pada tahun yang sama dengan memuncaknya polemik (1974), Ditjen Bimas Hindu-Buddha (Gde Puja, MA.) mengeluarkan keputusan bahwa seluruh mazhab/tradisi Agama Buddha berkeyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa dan masing-masing sekte memberikan nama yang berbeda-beda, tetapi pada hakekatnya adalah sama. Dengan demikian, maka secara tidak langsung timbul pemaksaan doktrin oleh pemerintah dimana seluruh mazhab/tradisi Agama Buddha wajib meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan bagi mazhab/tradisi yang tidak meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, maka akan dibubarkan. Hal ini pernah terjadi pada mazhab/tradisi Buddha Mahayana yang diperkenalkan oleh Biksu Surya Karma Chandra. Karena Mazhab/tradisi ini tidak menerima doktrin Tuhan Yang Maha Esa, maka akhirnya mazhab/tradisi ini dilarang keberadaannya pada tanggal 21 Juli 1978.[10]

Penggunaan

Religius

Salam penghormatan

Nama Sang Hyang Adi Buddha digunakan dalam salam penghormatan yang digunakan terutama oleh Buddhayana, yaitu Namo Sang Hyang Adi Buddhaya. Salam ini disebarluaskan oleh Y.A. Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo, salah satu dari lima orang yang pertama kali ditahbiskan menjadi Bhikkhu setelah masa kemerdekaan Indonesia.[12]

Salam penghormatan secara lengkap yang biasa digunakan sebagai salam pembuka pada sambutan buku, surat, atau rapat adalah:

Namo Sang Hyang Adi Buddhaya.
Namo Buddhaya, Bodhisatvaya Mahasatvaya.
[note 1][note 2]

Vandana

Penghormatan kepada Sang Hyang Adi Buddha umumnya tercantum dalam Vandana (ungkapan penghormatan) dalam buku kebaktian Buddhayana:
1. VANDANA[13]

Terpujilah Sang Hyang Adi Buddha Tuhan Yang Maha Esa
Terpujilah Bhagavā, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna
Terpujilah Para Bodhisattva-Mahasattva

2. VANDANA[14]

Namo Sang Hyang Ādi Buddhaya (3x)
"Terpujilah Tuhan Yang Maha Esa Seru Sekalian alam"
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammā-sambuddhassa (3x)
"Terpujilah Sang Buddha Sang Bhagava yang maha suci, Yang telah mencapai penerangan sempurna"
Namo Sarva Bodhisattvāya-Mahāsattvāya (3x)
"Terpujilah para makhluk suci dan makhluk agung"

Politik dan pemerintahan

Peraturan pemerintah RI No. 21/1975 tentang sumpah/janji pegawai negeri sipil, pasal 4 ayat (5), telah mengatur pengucapan sumpah/janji bagi yang beragama Buddha dengan menyebut "Demi Sang Hyang Adi Buddha" pada awal pengucapan sumpah tersebut.[15]

Galeri

Catatan kaki

  1. ^ Bandingan dengan sambutan pada kitab kebaktian Buddhis Li Fo Chan Hui Wen PA SHE PA FO oleh Sagin wilayah III, Saddharma Pundarika Sutra Avalokitesvara Bodhisattva Samanta Mukha Varga (2005) oleh Sagin wilayah III, dan Amitabha Sutra, Evening Service edisi lengkap + terjemahan.
  2. ^ Salam pembukaan pada bagian PRAKATA majalah terbitan Paguyuban Wulan Bahagia dan Majelis Buddhayana Indonesia Daerah Jawa Timur (untuk kalangan sendiri) adalah Namo SangHyang Adi Buddhaya, Namo Buddhaya.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ R. B. Cribb, Audrey Kahin (2004). Historical Dictionary of Indonesia (edisi ke-Second Edition). Scarecrow Press. hlm. 63. ISBN 978-0810849358.  (Inggris)
  2. ^ Andrew Clinton Willford, Kenneth M. George, ed. (2004). Spirited Politics: Religion and Public Life in Contemporary Southeast Asia. Cornell University Southeast Asia Program. hlm. 132. ISBN 978-0877277378.  (Inggris)
  3. ^ a b c Sarjana dan Profesional Buddhis Indonesia. 28 November 2008. Konsep Ketuhanan Dalam Agama Buddha Diarsipkan 2013-10-23 di Wayback Machine..
  4. ^ a b c d e f Hudaya Kandahjaya. 2 September 1989. "ADI BUDDHA dalam AGAMA BUDDHA INDONESIA". Bogor: Forum Pengkajian Agama Buddha Indonesia.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m Penerjemah: Jeanne Martani dan Krishnanda W. Mukti.1976. "Adi Buddha". Diterjemahkan dari "Encyclopedia of Buddhisme" (Edited by G.P. Malalasekera. Published by: Government of Ceylon, 1953). Penerbit: Yayasan Buddhayana Jakarta.
  6. ^ Van Hien Study Group. 2003. The Seeker's Glossary of Buddhism, "Adi-Buddha", hal. 7. New York: Sutra Translation Committee of the United States and Canada. Strictly for free distribution
  7. ^ Van Hien Study Group. 2003. The Seeker's Glossary of Buddhism, "Esoteric School", hal. 228. New York: Sutra Translation Committee of the United States and Canada. Strictly for free distribution
  8. ^ Tārānātha, halaman 152.
  9. ^ a b c Wilis Rengganiasih Endah Ekowati. 2012. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita’s Interpreting and Translating Buddhism in Indonesian Cultural and Political Contexts. University of California, Berkeley, USA.
  10. ^ a b c d Bhagavant. SEJARAH PERKEMBANGAN BUDDHISME DI INDONESIA, "Zaman Wadah Tunggal WALUBI" Diarsipkan 2013-09-23 di Wayback Machine..
  11. ^ a b Library of Congress Country Studies. Indonesia, Buddhism Diarsipkan 2014-02-27 di Wayback Machine..
  12. ^ RO. Rabu, 3 Juni 1987. "Suara Karya", Bhikkhu Uggadhammo Telah Tiada, Halaman IX. Jakarta.
  13. ^ YM. Khemacaro, YM. Pasadiko Nyanavijjananda, dan YM. Thiradhammo. 2006. PARITTĀ (Buku Tuntunan Puja Bhakti). Palembang: Penerbit Svarnadipa Sriwijaya.
  14. ^ Penyusun. September 2013. Buku Tuntunan Puja Kunjungan Kasih, Cetakan kedua, Hal. 4. Surabaya: Yayasan Buddhayana Dharmawira Centre. Dibagikan bebas.
  15. ^ SUMPAH/JANJI PEGAWAI NEGERI SIPIL Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1975 Tanggal 23 Juni 1975 Diarsipkan 2013-04-18 di Wayback Machine.