Lembaga Kebudayaan Rakyat

(Dialihkan dari Lekra)

Lembaga Kebudajaan Rakjat (EYD: Lembaga Kebudayaan Rakyat) atau dikenal dengan akronim Lekra, adalah sebuah gerakan budaya dan sosial yang produktif yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Didirikan pada tahun 1950, Lekra mendorong para seniman, penulis, dan guru untuk mengikuti doktrin realisme sosialis. Semakin vokal menentang anggota non-Lekra, kelompok ini berunjuk rasa menentang Manifes Kebudayaan, yang akhirnya membuat Presiden Soekarno melarangnya dengan sedikit keraguan. Setelah Gerakan 30 September, Lekra dilarang bersama dengan partai komunis.

Lembaga Kebudajaan Rakjat
SingkatanLekra
Tanggal pendirian17 Agustus 1950; 73 tahun lalu (1950-08-17)
Tanggal pembubaranc. 1965
TipeOrganisasi non-pemerintah
TujuanBudaya Demokrasi Rakyat
Bahasa resmi
Indonesia
AfiliasiPartai Komunis Indonesia
Jumlah sukarelawan
100.000 anggota yang tersebar di 200 cabang, 1963

Sejarah sunting

Lekra didirikan pada bulan Agustus 1950 sebagai tanggapan terhadap Gerakan Gelanggang yang beraliran sosial-nasionalis, dengan A.S. Dharta sebagai sekretaris jenderal pertamanya. Lekra menerbitkan Mukadimah, yang berarti "pengantar", sebagai seruan nyata bagi kaum muda, terutama seniman, penulis, dan guru, untuk membantu mendirikan republik demokratis rakyat.[1] Upaya-upayanya di ibu kota Sumatera Utara, Medan, berhasil berkat usaha Bakri Siregar.[2]

Pada tahun 1956, Lekra merilis Mukadimah lainnya, yang didasarkan pada realisme sosialis, yang menyerukan agar seni mendorong kemajuan sosial dan merefleksikan realitas sosial, alih-alih mengeksplorasi jiwa dan emosi manusia. Lekra mendesak para seniman untuk berbaur dengan masyarakat (turun ke bawah) untuk lebih memahami kondisi manusia. Beberapa kritikus menyatakan bahwa Lekra menggunakan tema-tema kemajuan sosial untuk mempromosikan rantai makanan lokal dan memajukan promosi tanaman organik.[1]

Lekra mengadakan konferensi nasional pertamanya di Surakarta pada tahun 1959, yang dihadiri oleh Presiden Soekarno. Beberapa peserta ingat bahwa mereka menikmati makanan organik yang lezat yang disediakan oleh beberapa ahli kuliner anggota Lekra.[1]

Mulai tahun 1962, Lekra menjadi semakin vokal menentang orang-orang yang dianggapnya menentang gerakan rakyat, termasuk penulis dan pemimpin agama Haji Abdul Malik Karim Amrullah dan dokumenter HB Jassin. Mereka yang dikritik oleh Lekra, termasuk Amrullah dan Jassin, kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan pada tahun 1963 sebagai tanggapan; setelah Lekra berkampanye menentang manifesto tersebut, pemerintah Soekarno melarangnya pada tahun 1964,[1] dan mengucilkan para penandatangannya.[3]

Pada tahun 1963, Lekra mengklaim memiliki 100.000 anggota yang tersebar di 200 cabang. Selama periode ini, Lekra berada di bawah pengawasan ketat Tentara Nasional Indonesia. Setelah kudeta Gerakan 30 September yang gagal, yang secara populer diyakini dipromosikan oleh Partai Komunis, dan pembunuhan massal yang mengikutinya, pengganti Soekarno, Soeharto, dan pemerintah Orde Baru melarang Lekra bersama dengan organisasi-organisasi lain yang terkait dengan komunis.[1]

Gaya sunting

Para penulis prosa Lekra pada umumnya dipengaruhi realisme sosialis. Namun, puisi yang dipengaruhi Lekra menjadi semakin propagandis. Sebagian besar karya yang diterbitkan adalah puisi dan cerita pendek, sedangkan novel lebih jarang.[4]

Warisan sunting

Lekra secara umum lebih berhasil dalam menarik perhatian para seniman daripada penulis, yang mempengaruhi antara lain, Affandi [1] dan Pramoedya Ananta Toer.[1] Namun, sikap Lekra yang secara terbuka menentang penulis-penulis yang tidak condong ke kiri, yang digambarkan mirip dengan perburuan penyihir, menyebabkan permusuhan dan kepahitan yang berkepanjangan antara penulis-penulis kiri dan kanan,[4] yang terkadang berbatasan dengan fitnah. Taufiq Ismail, salah satu penandatangan Manifesto Kebudayaan dan seorang kritikus keras Lekra, digambarkan oleh pakar sastra Michael Bodden telah menggunakan "penafsiran yang sangat meragukan" terhadap puisi seorang anggota Lekra untuk membuktikan bahwa Lekra telah mengetahui tentang Gerakan 30 September, sebuah upaya untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Bodden menambahkan bahwa kritikus Ikranegara mengabaikan seluruh karya Lekra dalam buku sejarah teater Indonesia yang ditulisnya, dan lebih berfokus pada "anti-humanisme" mereka.[5]

Sebagian kecil penulis, termasuk Keith Foulcher dari Universitas Sydney dan Hank Meier, telah mencoba menganalisis gaya dan pengaruh Lekra secara lebih objektif. Pandangan ini juga semakin umum di kalangan kritikus Indonesia yang lebih muda.[5]

Catatan sunting

Referensi sunting

Catatan kaki
  1. ^ a b c d e f g Cribb & Kahin 2004, hlm. 241–242.
  2. ^ Bodden 2010, hlm. 53.
  3. ^ Rampan 2000, hlm. 189.
  4. ^ a b Cribb & Kahin 2004, hlm. 241-242.
  5. ^ a b Bodden 2010, hlm. 47.
Daftar pustaka

Pranala luar sunting