Kadipatèn Mangkunagaran
Kadipaten Mangkunagaran (Jawa: ꦑꦢꦶꦥꦠꦺꦤ꧀ꦩꦁꦏꦸꦤꦒꦫꦤ꧀, translit. Kadipatèn Mangkunagaran) adalah sebuah kadipaten otonom yang pernah berkuasa di wilayah Yogyakarta dan Surakarta sejak 1757 sampai sekarang. Penguasanya adalah merupakan bagian dari Wangsa Mataram, yang dimulai dari Mangkunagara I (Raden Mas Said). Meskipun berstatus otonom yang sama dengan tiga kerajaan pecahan Mataram lainnya, penguasa Mangkunegaran tidak memiliki otoritas yang sama tinggi dengan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Penguasanya tidak berhak menyandang gelar Susuhunan ataupun Sultan melainkan Adipati.
Kadipatèn Mangkunagaran ꦟꦒꦫꦶꦑꦢꦶꦥꦠꦺꦤ꧀ꦩꦁꦏꦸꦤꦒꦫꦤ꧀ Nagari Kadipatèn Mangkunagaran | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
17 Maret 1757–Sekarang | |||||||||||
![]() Wilayah Mangkunegaran yang berwarna terang di sebelah tenggara | |||||||||||
Ibu kota | Mangkunegaran | ||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jawa | ||||||||||
Agama | |||||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||||
Adipati | |||||||||||
• 1757-1795 | Mangkunegara I | ||||||||||
• 1795-1835 | Mangkunegara II | ||||||||||
• 1916-1944 | Mangkunegara VII | ||||||||||
• 1944-1987
(1946 status diturunkan) | Mangkunegara VIII | ||||||||||
• 1987-2021 | Mangkunegara IX | ||||||||||
• 2022-sekarang | Mangkunegara X | ||||||||||
Sejarah | |||||||||||
17 Maret 1757 | |||||||||||
• Pengundangan Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 (pembekuan) | Sekarang | ||||||||||
Situs web resmi www | |||||||||||
| |||||||||||
Sekarang bagian dari | Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Indonesia Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia |
Adipati Mangkunagaran | |
---|---|
![]() | |
Sedang berkuasa | |
![]() | |
Mangkunagara X sejak 12 Maret 2022 | |
Adipati Mangkunagaran | |
Perincian | |
Sapaan resmi | Baginda |
Penguasa pertama | Mangkunagara I |
Pembentukan | 1757[1] |
Kediaman | Pura Mangkunagaran |
Penunjuk | Hereditas |
Pendirian dan wilayahSunting
Satuan politik ini dibentuk berdasarkan Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga sebagai solusi atas perlawanan yang dilakukan Raden Mas Said terhadap Sunan Pakubuwana III, penguasa Kasunanan Surakarta yang telah terpecah akibat Perjanjian Giyanti, dua tahun sebelumnya.[2]
Berdasarkan Perjanjian Salatiga, Raden Mas Said diberi hak untuk menguasai wilayah timur dan selatan sisa wilayah Mataram sebelah timur. Jumlah wilayah ini secara relatif adalah 49% wilayah Kasunanan Surakarta setelah tahun 1830, yaitu pada saat berakhirnya Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Wilayah itu kini mencakup bagian utara Kota Surakarta (Kecamatan Banjarsari, Surakarta), seluruh wilayah Kabupaten Karanganyar, seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri, dan sebagian dari wilayah Kecamatan Ngawen dan Semin di Kabupaten Gunung Kidul[3][4][5].
Kekuasaan politikSunting
Secara tradisional penguasanya disebut Mangkunegara. Raden Mas Said merupakan Mangkunegara I. Penguasa Mangkunegaran berkedudukan di Pura Mangkunegaran, yang terletak di Kota Surakarta. Penguasa Mangkunegaran, berdasarkan perjanjian pembentukannya, berhak menyandang gelar Adipati (secara formal disebut Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Senopati Ing Ayudha Sudibyaningprang) tetapi tidak berhak menyandang gelar Sunan ataupun Sultan. Mangkunegaran merupakan Kadipaten, sehingga posisinya lebih rendah daripada Kasunanan dan Kasultanan. Status yang berbeda ini tercermin dalam beberapa tradisi yang masih berlaku hingga sekarang, seperti jumlah penari bedaya yang tujuh, bukan sembilan seperti pada Kasunanan Surakarta. Namun, berbeda dari Kadipaten pada masa-masa sebelumnya, Mangkunegaran memiliki otonomi yang sangat luas karena berhak memiliki tentara sendiri yang independen dari Kasunanan.[4]
Setelah kemerdekaan Indonesia, Mangkunegara VIII (penguasa pada waktu itu) menyatakan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada September 1946. Setelah terjadi revolusi sosial di Surakarta (1945-1946), Mangkunegaran kehilangan kedaulatannya sebagai satuan politik. Walaupun demikian Pura Mangkunegaran dan Mangkunegara masih tetap menjalankan fungsinya sebagai penjaga budaya. Setelah Mangkunegara VIII mangkat, karena putra pertamanya RM. Raditya telah mendahului wafat ia digantikan oleh putra ke duanya RM. Sudjiwa Kusuma yang bergelar Mangkunegara IX.[4]
Para penguasa Mangkunegaran tidak berhak dimakamkan di Astana Imogiri melainkan di Astana Mangadeg dan Astana Girilayu, yang terletak di lereng Gunung Lawu. Perkecualian adalah lokasi makam Mangkunegara VI, yang dimakamkan di tempat tersendiri.
Warna resmi bendera Mangkunagaran adalah hijau dan kuning emas serta dijuluki pareanom (pare muda), yang dapat dilihat pada lambang, bendera, pataka, serta samir yang dikenakan abdi dalem atau kerabat istana.
Daftar Adipati MangkunegaraSunting
Nama |
Jangka hidup |
Awal memerintah |
Akhir memerintah |
Keterangan |
Keluarga |
Gambar |
Mangkunegara I Raden Mas Said |
7 April 1725 – 8 Desember 1795 (umur 70) | 28 Desember 1757 | 23 Desember 1795 | Anak dari Putra Mahkota Pangeran Mangkunagara dan Cucu dari Amangkurat IV | ||
Mangkunegara II Raden Mas Sulomo |
5 Januari 1768 – 17 Januari 1836 (umur 68) | 1795 | 1835 | Cucu dari anak laki-laki Mangkunegara I | ||
Mangkunegara III Raden Mas Sarengat |
16 Januari 1803 - 27 Januari 1853 (umur 50) | 29 Januari 1835 | 27 Januari 1853 | Cucu dari anak perempuan Mangkunegara II | ||
Mangkunegara IV Raden Mas Sudira |
3 Maret 1811 - 1881 (±umur 70) | 1853 | 1881 | Cucu dari anak perempuan Mangkunegara II [6] | ||
Mangkunegara V Raden Mas Sunito |
16 April 1855 - 2 Oktober 1896 (umur 41) | 1881 | 1896 | Anak dari Mangkunegara IV | ||
Mangkunegara VI Raden Mas Suyitno |
1 Maret 1857 - 25 Juni 1928 (umur 71) | 21 November 1896 | 11 Januari 1916 | Saudara dari Mangkunegara V | ||
Mangkunegara VII Raden Mas Soerjo Soeparto |
12 November 1885 – 19 Juli 1944 (umur 58) | 1916 | 1944 | Anak dari Mangkunegara V | ||
Mangkunegara VIII Raden Mas Hamidjojo Saroso |
7 April 1925 – 2 Agustus 1987 (umur 62) | 1944 | 1987 | Anak dari Mangkunegara VII | ||
Mangkunegara IX Raden Mas Soedjiwo Koesoemo |
18 Agustus 1951 - 13 Agustus 2021 (umur 69) | 1987 | 13 Agustus 2021 | Anak dari Mangkunegara VIII | ||
Mangkunegara X Gusti Pangeran Haryo Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo |
29 Maret 1997 (umur 26) | 12 Maret 2022 | Sekarang | Anak dari Mangkunegara IX |
Birokrasi dan pemerintahanSunting
BirokrasiSunting
Mangkunegaran sebagai sebuah wilayah otonom di Hindia Belanda memiliki struktur birokrasi yang baik. Birokrasi Mangkunegaran mewarisi birokrasi pendahulunya, Mataram Islam. Pada masa-masa awal Mangkunegaran, birokrasi ala Mataram masih kuat dalam kehidupan Mangkunegaran. Corak birokrasi mengalami perubahan pada akhir abad XIX hingga pada awal abad XX.. Birokrasi Mangkunegaran mengadaptasi birokrasi Barat yang bersifat legal-rasional.[7]
Dalam tatanan birokrasi Mangkunegaran, Pengageng Pura (Pangeran Aria Adipati Mangkunegaran), merupakan jabatan tertinggi dan berkuasa penuh atas aparat-aparat di bawahnya. Awalnya pengangkatan Pengageng Pura atas kehendak Pemerintah Hindia Belanda dengan persetujuan Susuhunan Surakarta. Tetapi pada akhir abad XIX dan awal abad XX, pengangkatannya tidak harus mendapat persetujuan Susuhunan Surakarta. Dalam akta pengangkatan Mangkunegara VI dan Mangkunegara VII hanya dicantumkan bahwa penguasa diangkat oleh Belanda dan hanya tunduk kepada Ratu Belanda sehingga dalam pengambilan keputusan pemerintahan tidak boleh bertentangan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk urusan ini, Pengageng Pura harus mendapat persetujuan dari Residen Surakarta.[7]
Di bawah Pengageng Pura adalah Patih Mangkunegaran. Awalnya jabatan ini adalah jabatan yang bersifat pribadi. Dalam perkembangannya, jabatan ini menjadi bersifat resmi dalam mengurus pemerintahan sejak Mangkunegara II dengan nama Bupati Patih dengan pangkat Tumenggung. Perubahan status ini tidak dapat diketahui secara pasti, kemungkinan berkaitan dengan keyakinan Mangkunegaran II bahwa dalam skala kecil Manguknegaran tetap merupakan sebuah kerajaan sehingga perlu ada jabatan Patih yang bersifat resmi.[7]
Aparat birokrasi di bawah Bupati Patih sejak berdirinya Mangkunegaran hingga abad XX telah mengalami beberapa kali perubahan. Mulai dari masa Mangkunegara I hingga Mangkunegara III, di bawah Patih terdiri atas empat pejabat dengan nama Priyayi Punggawa. Mereka adalah dua orang Lurah dan dua orang Bekel. Masing-masing Priyayi Punggawa dibantu oleh 14 orang Jajar. Tugas dan kewajiban para Punggawa adalah menjalankan perintah yang berasal dari Mangkunegara seperti menerima pajak tanah, menerima kayu bakar, dan lain-lain.[7]
Struktur pemerintahanSunting
Pada awal pendiriannya, struktur pemerintahan masih sederhana, mengingat lahan yang dikuasai berstatus "tanah lungguh" (apanage) dari Kasunanan Surakarta.[8] Ada dua jabatan Pepatih Dalem, masing-masing bertanggung jawab untuk urusan istana dan pemerintahan wilayah. Selain itu, Mangkunagara I sebagai Adipati Anom membawahi sejumlah Tumenggung (komandan satuan prajurit).[9]
Pada masa pemerintahan Mangkunegara II, situasi politik berubah. Status kepemilikan tanah beralih dari tanah lungguh menjadi tanah vazal yang bersifat diwariskan turun-temurun.[10] Hal ini memungkinkan otonomi yang lebih tinggi dalam pengelolaan wilayah. Perluasan wilayah juga terjadi sebanyak 1500 karya. Perubahan ini membuat diubahnya struktur jabatan langsung di bawah Adipati Anom dari dua menjadi tiga, dengan sebutan masing-masing adalah Patih Jero (Menteri utama urusan domestik istana), Patih Jaba (Menteri Utama urusan wilayah), dan Kapiten Ajudan (Menteri urusan kemiliteran).
Semenjak pemerintah Mangkunegara III, struktur pemerintahan menjadi tetap dan relatif lebih kompleks. Raja (Adipati Anom) semakin mandiri dalam hubungan dengan Kasunanan. Wilayah praja dibagi menjadi tiga Kabupaten Anom (Karanganyar, Wonogiri, dan Malangjiwan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang Wedana Gunung.[11] Ketiga Wedana Gunung merupakan bawahan seorang Patih. Patih bertanggung jawab kepada Adipati Anom. Di bawah setiap Kabupaten Anom terdapat sejumlah Panewuh.
Penyatuan administrasi bulan Agustus 1873 membuat pemerintahan otonom Mangkunegaran harus terintegrasi dengan pemerintahan residensial dari pemerintah Belanda. Wilayah Mangkunegaran dibagi menjadi empat Kabupaten Anom (Kota Mangkunegaran, Karanganyar, Wonogiri, dan Baturetno) yang masing-masing membawahi desa/kampung.[12]
Lihat pulaSunting
ReferensiSunting
- ^ "Sejarah Singkat Puro Mangkunegaran". Pura Mangkunagaran. Mei 2017. Diakses tanggal 11-12-2022.
- ^ Dhian Lestari Hastuti, Imam Santosa, Achmad Syarief (2020). "Indis Style Sebagai Representasi Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta". Gestalt. Fakultas Arsitektur dan Desain, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran", Jawa Timur. 2 (2): 148. ISSN 2657-1641.
- ^ Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. 2008. hlm. 12–15.
- ^ a b c Adiwardoyo, Sutrisno (1974). Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai Masuknya ke Provinsi Jawa Tengah. Surakarta: Institut Keguruan Ilmu Pendidikan.
- ^ Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran: Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX. Universitas Gajah Mada. 1994. hlm. 50–60.
- ^ "Profil KGPAA Mangkunegara IV". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-23. Diakses tanggal 2022-05-08.
- ^ a b c d Wasino (2012). "Moderenisasi Pemerintahan Praja Mangkunagaran Surakarta". Paramita: Historical Studies Journal. 22 (1): 31–33. doi:10.15294/paramita.v22i1.1842. ISSN 2407-5825.
- ^ Soedarmono, Warto, Susanto, Supariadi, W.W. Wardoyo, I. Febriary S. 2011. Tata Pemerintahan Mangkunegaran. Penerbit Balai Pustaka dan Yayasan Suryasumirat. Jakarta. Hal. 42.
- ^ Soedarmono et al. 2011. Ibid. Hal. 129.
- ^ Soedarmono et al. 2011. Ibid. Hal. 131.
- ^ Soedarmono et al. 2011. Ibid. Hal. 133.
- ^ Soedarmono et al. 2011. Ibid. Hal. 122
Pranala luarSunting
Didahului oleh: Kasunanan Surakarta |
Kadipaten Mangkunagaran 1757-1945 |
Diteruskan oleh: Provinsi Surakarta |