Jalur ABG adalah sebuah istilah yang digunakan oleh kelompok intelektual dalam menyebut unsur atau komponen politik dalam proses dan struktur pemerintahan Indonesia di masa Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto, yaitu militer (ABRI), birokrasi, dan Golkar.

Latar Belakang sunting

Pada masa Orde Baru dibawah kekuasaan Presiden Soeharto, ada sebuah istilah yang lahir dari proses politik dominasi militer dan birokrasi, atau yang disbeut sebagai "Jalur ABG". Jalur ABG ini dimaksudkan oleh rezim Orde Baru sebagai landasan untuk mengelola pemerintahan dengan tiga unsur utama, yaitu; "A" untuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, "B" untuk birokrasi, dan "G" untuk Golongan Karya. Ketiga unsur utama itu berperan penting dalam hal pengambilan keputusan politik, menerapkan kebijakan publik, hingga penempatan jabatan publik seseorang, termasuk presiden. Ketiga unsur politik itu menjadi yang paling dominan dalam pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, sampai seroang pengamat politik bernama Karl D. Jackson mengatakan Indonesia di masa Orde Baru sebagai Bureucratic Polity atau masyarakat birokratik,[1] yang artinya segala keputusan yang dilakukan oleh dan untuk masyarakat harus mendapatkan persetujuan dari birokrat.[2]

Dengan adanya "ABG" dalam struktur pemerintahan Orde Baru, maka tidak mengherankan bila ada dominasi yang terpusat pada kekuatan politik militer dan birokrasi, sementara Golkar berfungsi sebagai "kendaraan politik" Orde Baru untuk menjaga kekuasaannya melali keikutsertaan dalam pemilihan umum. Ketiga unsur politik ini bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan politik nasional Indonesia.

Militer sebagai Stabilisator sunting

 
Jenderal Abdul Haris Nasution, pengagas Konsep "Jalan Tengah" dan Dwifungsi ABRI

Sebenarnya keterlibatan militer dalam politik Indonesia sudah dimulai sejak pemerintahan Orde Lama atau Presiden Soekarno, tepatnya ketika Soekarno membentuk Dewan Nasional pada 6 Mei 1957, yang mengikut sertakan unsur militer di dalamnya. Keberadaan militer dalam Dewan Nasional yang dibentuk oleh Soekarno itu disebut sebagai "golongan fungsional" dari keanggotaan Dewan Nasional, hal itu disampaikan oleh Soekarno pada 9 Juni 1957 di Serang, Jawa Barat (sekarang menjadi Ibu kota Provinsi Banten). Meskipun unsur militer itu ada dalam Dewan Nasional, tetapi tugasnya tidak terlalu strategis, karena Soekarno lebih dekat dengan kelompok atau kekuatan politik sipil, terutama dari golongan sayap kiri.[3]

Peran militer dalam politik Indonesia semakin kuat ketika Jenderal Abdul Haris Nasution memperkenalkan konsepsinya tentang Dwifungsi ABRI atau yang saat itu dikenal sebagai konsepsi "Jalan Tengah" pada 1958. Konsep "Jalan Tengah" sendiri sebenarnya dibentuk oleh Nasution untuk mengupayakan pembatasan peran dan keterlibatan militer dalam politik, terutama dalam hal pengambilalihan kekuasaan pemerintah dari tangan sipil. Namun, menurut Nasution, militer juga tidak boleh "buta" sama sekali dengan politik, bagi Nasution militer harus sadar dan mengerti politik dan tata negara.[4]

Seiring berjalannya sejarah, konsep "Jalan Tengah" gagasan Nasution tidak terdengar lagi pada Seminar Angkatan Darat Pertama pada April 1965, tetapi justru konsep "Jalan Tengah" itu terpotong pada bagian Dwifungsi ABRI saja, yang akhirnya menjadi landasan ideologi neofasis dan militeristik rezim Orde Baru dibawah Jenderal Soeharto. dalam Dwifungsi ABRI itu, peran militer sebagai unsur kekuatan sosial-politik tidak memiliki batasan, sehingga militer bisa masuk ke ranah sipil dan ikut terlibat mengurusi hal-hal non-militer.[5]

 
Ali Moertopo

Konsep Dwifungsi ABRI itu kemudian semakin dipertegas dalam Seminar Angkatan Darat Kedua pada Agustus 1966. Penegasan itu terlihat pada keinginan militer untuk terlibat dalam berbagai hal dalam politik, meskipun hal itu tidak menyangkut urusan militer. Penegasan konsep Dwifungsi ABRI itu kemudian semakin jelas dimasa Orde Baru, yaitu ketika juru bicara Orde Baru, Ali Moertopo mengatakan bahwa:

"Pernyataan-pernyataan para pemeimpin ABRI telah menegaskan bahwa Dwifungsi ABRI akan dipertahankan, dan ini diakui oleh Undang-Undang Konsep ABRI dalam kaitannya dengan Ideologi Negara telah dilembagakan, dan ABRI tidak ingin menjadi alat negara yang memiliki ideologi berbeda. Oleh karena itu, hak konstitusional ABRI untuk melibatkan diri di dalam perjuangan politik tidak akan ditinggalkan oleh ABRI".[5]

Selain itu, pernyataan dukunganterhadap konsep Dwifungsi ABRI juga dilontarkan oleh pemimpin tertinggi, Presiden Soeharto. Presiden Soeharto mengatakan dalam pidatonya pada 1971 - menjelang pemilihan umum pertama pada masa demokrasi Pancasila - sebagai berikut:

 
Jenderal Soeharto saat merangkap jabatan sebagai Presiden dan juga Panglima Angkatan Bersenjata

"Jangan ada lagi kelompok di dalam masyarakat yang ingin memuaskan kehendaknya untuk mengubah sistem dwifungsi ini. Desakan untuk menghapus Dwifungsi ABRI secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi akan sangat berakibat negatif dan bahkan akan menumbuhkan sentimen ABRI untuk bertindak tidak demokratis."[6]

Di masa Orde Baru, Dwifungsi ABRI menjadi satu kebutuhan politik bagi pemerintah dalam rangka menjaga stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, hal ini dikarenakan militer lebih kompeten untuk menjadi modernisator dan lebih terikat secara konsekuen kepada proses pembangunan. Menurut Arbi Sanit kelebihan militer dalam hal menjaga stabilitas politik adalah sebagai berikut:[7]

  1. Militer terbiasa membandingkan masyarakat sendir dengan masyarakat negara lain, sehingga mereka memiliki data dan riset bagi suatu negara dengan tolok ukur negara lain.
  2. Militer lebih rasional, efisien, dan pragmatis.
  3. Militer memiliki jarak dengan masyarakat sipil, yang membuat mereka sering menjadi kekuatan yang ekslusif.

Stabilitas politik diperlukan untuk membangun ekonomi yang lebih baik karena Orde Lama dibawah Soekarno meninggalkan warisan sekaligus tantangan bagi negara Indonesia, yaitu berupa inflasi yang tinggi (sekitar 650%) yang mengakibatkan pada kemiskinan yang luar biasa. Kemereosotan ekonomi Indonesia pasca Orde Lama itu kemudian menjadi tanggungjawab Orde Baru untuk memperbaikinya, maka kemudian Orde Baru lebih mengutamakan kepada pembangunan ekonomi, dan untuk itu kelompok militer dianggap sebagai kelompok yang paling mampu menjaga stabilitas politik agar pembangunan ekonomi dapat berjalan dengan baik. Militer mampu menjadi stabilisator karena memiliki sumber daya yang tidak dimiliki sipil, yaitu senjata, sistem komando, dan disiplin yang tinggi.[7]

Militer menjadi salah satu unsur utama di dalam pemerintahan Orde Baru Jenderal Soeharto. Peran militer itu selain sebagai stabilisator, juga sebagai fasilitator, sistem otoritarianisme melalui Dwifungsi ABRI. ABRI menerapkan doktrin Dwifungsi diseluruh tingkatan dalam pemerintahan, dari yang tertinggi sampai yang terendah. Implementasi Dwifungsi ABRI itu dilakukan dengan cara memasukan personil militer yang aktif maupun yang telah purnawirawan ke dalam jabatan-jabatan publik, dari presiden, gubernur, walikota, bupati, camat, bahkan lurah. Tujuan dari memasukkan personil militer aktif kedalam struktur pemerintahan adalah untuk membangun struktur komando seperti halnya stuktur komando teritorial dalam militer, sehingga pemerintah dapat mengendalikan masyarakat. Alasan keamanan dan ketahanan, menjadi alasan pemerintah untuk menempatkan perwira militer yang diangkat menjadi pejabat publik.[8]

Atas nama pembangunan ekonomi, kemudian pihak penguasa militer atau junta militer di masa Orde Baru kemudian menjalankan kebijakan apapun untuk menjaga stabilitas politik, agar pembangunan ekonomi dapat berlangsung dnegan baik dan sesuai rencana. Salah satu yang dilakukan oleh junta militer adalah membatasi kebebasan berpendapat, karena kebebasan berpendapat yang tanpa batas akan memunculkan potensi-potensi disabilitas dan ideologi-ideologi yang dianggap destruktif, seperti anarkisme. Namun, pembatasan yang dilakukan oleh Orde Baru kemudian bersifat terlalu mengekang, membatasi partisipasi masyarakat, dan cenderung represif. Kebijakan-kebijakan represif yang dilakukan oleh Orde Baru antara lain; mewajibkan para mubalig untuk melaporkan tema khotbah mereka, para mahasiswa dilarang untuk mengikuti organisasi yang dianggap bertentangan dengan negara, kekuatan politik sayap kiri dibungkam, dan sayap kanan, khususnya fundamentalisme keagamaan mengalami kriminalisasi. Kestabilan politik juga direkayasa oleh pemerintah Orde Baru kepada peran legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Fungsi kontrol dan pengawasan dari DPR kepada pihak eksekutif atau pemerintah tidak berjalan dengan seharusnya. Setiap anggota DPR yang dianggap terlalu vokal atau terlalu kritis dalam menyerang pemerintah akan dicopot, sehingga kinerja DPR menjadi tidak maksimal, dan sering kali ada ugkapan pekerjaan DPR hanya, "D5" yaitu "Datang, Duduk, Dengar, Dapat Duit".[9]

Orde Baru menggunakan militer dan termasuk badan intelejen untuk membatasi ruang gerak aspirasi masyarakat, banyak kelompok-kelompok masyarakat yang kemudian bila melakukan aksi protes terhadap pemerintah kemudian akan dilabeli subversif yang kemudian harus berhadapan dengan pihak militer. Militer menjadi pilar penopang stabilnya rezim Orde Baru dalam mempertahankan status quo atas nama keberlangsungan pembangunan ekonomi. Akhirnya atas nama menjaga dan mempertahankan itulah, ABRI tersandung banyak kasus pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, seperti di Aceh, Irian Jaya (sekaran Papua), dan Timor Timur (sekarang Timor Leste), selain itu ABRI juga bertanggungjawab atas hilangnya aktivis dan beberapa tragedi kemanusiaan lainnya, seperti Tragedi Semanggi, Tragedi Trisakti, Tragedi Tanjung Priok, dan masih banyak lagi.

Pada rentang waktu 1980 - 1990 peran militer mulai berkurang, hal ini karena adanya proses demokratisasi yang terjadi di seluruh dunia, banyak rezim militer sayap kanan yang mulai berjatuhan seperti di Spanyol, Argentina, Chile, Portugal, dan masih banyak lagi, selain itu komunisme yang menjadi lawan dari militerisme juga mengalami kebangkrutan di banyak negara yang dahulu menjadi pusatnya, seperti Uni Soviet, hal ini juga berdampak pada rezim Orde Baru yang kemudian tumbang pada 1998 melalui sebuah proses Reformasi yang sekaligus juga memberikan pengaruh dan perkembangan terhadap demokrasi di Indonesia.

Birokrasi sebagai Penggerak sunting

Peran birokrasi pada masa pemerintahan junta militer Orde Baru menjadi sangat vital, terutama untuk mengontrol aktivitas masyarakat sipil yang tidak memiliki struktur komando dalam militer. Birokrasi kemudian menjalankan perannya dalam pemerintahan Orde Baru sebagai pembangun jaringan dan struktur yang berfungsi sebagai penjamin terlaksananya kebijakan pemerintah kepada masyarakat agar lebih efektif dan efisien. Peran birokrasi sebagai pelaksana kebijakan pemerintah berangkat dari teori Max Weber tentang birokrasi dan peran negara dalam mengendalikan masyarakat.[10] Max Weber berkata:

"Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah."[11]

Menurut Max Weber, birokrasi bisa menjalanan program pemerintah dengan efektif dan efisien karena memiliki karakteristik yang ideal, seperti pembagian kerja, jenjang hierarki, pengaturan perilaku pemegang jabatan birokratis, hubungan yang bersifat impersonalitas, memiliki kemampuan teknis, dan adanya jenjang karier, dengan struktur demikian, membuat birokrasi menjadi hal yang penting sebagai penggerak pembangunan dan pelaksana tugas kebijakan pemerintah dalam suatu negara dan dibutuhkan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Namun, sering kali peran birokrasi menjadi berlebihan dan bahkan sering menjadi bagian dari pembuat kebijakan, bukan lagi sekadar pelaksana kebijakan, hal itu diakibatkan karena adanya penguasaan informasi dan teknis yang dimiliki oleh para birokrat, sehingga hampir seluruh kehidupan masyarakat dimasuki oleh proses-proses birokrasi yang terkadang justru menjadi menyulitkan.[12]

Dalam hal pembangunan ekonomi, investasi menjadi hal yang penting, khususnya investor asing. Peran birokrasi dalam proses masuknya investasi itu adalah sebagai regulator atau membuat peraturan-peraturan yang menjamin masuknya investasi tersebut dan termasuk juga jaminan keamanan uang dari investor itu sendiri. Kekuasaan yang dimiliki oleh birokrasi itu kemudian juga berdampak kepada perkembangan organisasi-organisasi lain, tidak hanya pada permasalahan investasi, tetapi juga administrasi dan pelayanan publik masyarakat umum. Pelayanan publik pada dasarnya tidak menyalahi aturan, karena pelayanan publik berkenaan dengan partisipasi masyarakat dalam negara. Namun, permasalahanya adalah, ketika di masa Orde Baru, birokrasi justru menjadi penghambat partisipasi masyarakat, karena birokrasi digunakan untuk menetapkan sederet aturan yang mewajibkan masyarakat agar patuh pada seluruh peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah.[13]

Golkar sebagai Penjaga sunting

Pada awal berdirinya, Golongan Karya atau Golkar sebenarnya bukan sebuah partai politik, tetapi sebagai sebuah organisasi gabungan yang terdiri dari berbagai golongan fungsional yang terdapat dalam Dewan Nasional. Masuknya Golkar ke dalam pemilihan umum adalah ketika dibentuk sebuah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada Oktober 1964 yang didalamnya terdiri dari berbagai macam kelompok profesi yang berbeda-beda, seperti buruh, pegawai negeri, guru, termasuk militer. Meskipun pada saat itu militer tidak ikut politik praktis, ide pembentukan Golkar itu sendiri sebenarnya lahir untuk menampung aspirasi politik dari pihak militer yang tak bisa ikut politik praktis secara langsung, sehingga melalui Golkar-lah militer menopang kepentingan politiknya, sekaligus untuk menandingi kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tidak mengedepankan Pancasila, bahkan akan menggati landasan dasar negara yaitu UUD 1945. Dan moderat PKI yang menjadi saingan utama militer pada saat itu.[14] Di era Orde Baru, bila militer menjadi stbilisator dan birokrasi sebagai regulator dan penggerak, maka Golkar menjadi penjaga kans kekuasaan militer dalam pemilihan umum sebagai kendaraan politik yang sejajar dengan partai politik. Pertama kali Golkar ikut dalam pemilihan umum Orde Baru adalah pada pemillihan umum 1971, dan seterusnya sebanyak enam kali pemilihan umum yang hasilnya selalu menjadi pemenang dan terus menjadikan Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Kemenangan Golkar itu tak lepas dari peran dominasi militer dan pegawai negeri sipil (KORPRI) atau kelompok birokrat yang kemudian dibentuk sebuah doktrin sindikalisme monoloyalitas hanya kepada Golongan Karya dan Presiden Soeharto, yaitu mewajibkan seluruh pegawai negeri untuk memilih Golkar saat pemilihan umum.[14]

Melalui doktrin monoloyalitas, suara dukungan dari pegawai negeri birokrat di seluruh Indonesia kemudian terakumulasi, hal itulah yang menjadikan Gokar selalu mengungguli dua partai politik lainnya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Doktrin monoloyalitas pegawai negeri itu dilegalkan melalui Peraturan Presiden No. 82/1971 tentang pembentuk n Korps Pegawai Negeri, yang isinya melarang seluruh pegawai negeri untuk melakukan kegiatan politik dan terlibat dalam partai politik dan mengharuskan untuk menyatakan kesetiaan tunggal (monoloyalitas) kepada pemerintah. Berdasarkan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan dijalankan melalui birokrasinya yang terutama berada di dalam Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, sebagai instansi yang membawahi urusan politik dalam negeri dan penanggungjawab aparatur birokrasi, yaitu pergawai negeri sipil, maka negara Orde Baru semakin kuat menghimpun kekuatan politik secara vertikal.[15]

Selain menghimpun kekuatan politik secara vertikal di dalam tubuh birokrasi, Golongan Karya juga membangun hubungan secara horizontal, atau membangun hubungan dengan masyarakat. Dalam setiap pemilihan umum, Golkar selalu menawarkan penghargaan atau "umpan balik" kepada masyarakat bila Golkar menang dalam pemilihan umum di lingkungan tersebut. Masyarakat di lingkungan yang dimenangkan oleh Golkar biasanya akan mendapatkan banyak keistimewaan dan kemudahan, misalkan kemudahan dalam mengurus perizinan, kemenangan tender, membuka kesempatan menjadi rekan pemerintah, pembangunan infrastruktur, dan tentu keuntungan-keuntungan finansial lainnya, hal ini jelas membuat masyarakat tentu akan memilih Golkar. Namun, hal berbeda bila PDI atau PPP yang memenangkan pemelihan umum, masyarakat di lingkungan tempat Golkar kalah akan benayak mendapatkan kesulitan, terutama dalam hal administrasi dan pelayanan publik.[15]

Referensi sunting

  1. ^ Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 2
  2. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) hal. 76
  3. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) hal. 77
  4. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) hal. 77 - 78
  5. ^ a b Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) hal. 78
  6. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) hal. 78 - 79
  7. ^ a b Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) hal. 79
  8. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) hal. 81
  9. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 80
  10. ^ Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 17
  11. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 49
  12. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 82 - 83
  13. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 83
  14. ^ a b Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 84
  15. ^ a b Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 85