Dwifungsi
Dwifungsi adalah gagasan yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru yang menyebutkan bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia—terutama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat—memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dwifungsi sekaligus digunakan untuk membenarkan militer dalam meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan Indonesia, termasuk melalui fraksi militer di parlemen (Faksi ABRI), dan berada di posisi teratas dalam pelayanan publik nasional secara permanen.
Sejarah
suntingLatar belakang
suntingSetelah penyerahan kedaulatan 1949, Angkatan Darat menerima kekuasaan sipil. Melihat bahwa kelemahan sistem politik menjadi jelas, perwira semakin merasa mereka memiliki tanggung jawab untuk melibatkan diri dalam politik untuk "menyelamatkan bangsa". Ketika darurat militer dideklarasikan pada tahun 1957 sampai sekarang, Angkatan Darat memperluas perannya dalam bidang ekonomi dan administrasi politik.
Jendral A.H. Nasution, pimpinan TNI-AD pada saat itu berbicara kepada Presiden Soekarno, bahwa sangat ingin melanjutkan peran ini setelah darurat militer dicabut, dan karena itu mengembangkan konsep "Jalan Tengah" di mana Angkatan Darat diberikan peluang bagi peranan terbatas di dalam pemerintahan sipil.[1]
...memberikan cukup saluran pada tentara kita bukan sebagai organisasi, tetapi sebagai perorangan-perorangan yang menjadi eksponen daripada organisasi kita, (untuk) turut serta menentukan, kebijaksanaan negara kita pada tingkat-tingkat yang tinggi
Dari 25-31 Agustus 1966, Seminar Angkatan Darat Kedua diadakan. Para peserta yang perwira Angkatan Darat senior dan lebih dari 100 peserta dari SESKOAD. Ini revisi dari doktrin Angkatan Darat, yang dipandang mengandung terlalu banyak pengaruh komunis. Doktrin baru ini menetapkan fungsi Angkatan Darat di luar militer, yaitu "untuk berpartisipasi dalam setiap usaha dan kegiatan masyarakat di bidang ideologi, politik dan ekonomi dan bidang sosial budaya".[2]
Hal ini juga menghasilkan dokumen berjudul "Kontribusi Angkatan Darat dari Ide untuk Kabinet Ampera". Ini memiliki dua bagian:
- Rencana untuk stabilisasi politik
- Rencana untuk stabilisasi ekonomi [3]
Pada masa pemerintahan Soeharto, konsep ini mengalami perubahan dan menjadikan TNI secara organisatoris (bukan perorangan) menduduki jabatan-jabatan strategis di lingkungan pemerintahan seperti menteri, gubernur, bupati, serta lembaga-lembaga legislatif dalam wadah Fraksi ABRI/TNI.
Faksi ABRI
suntingFaksi ABRI, yang mewakili militer dalam DPR, didirikan pada tanggal 25 Juni 1960. Tanggal ini menandai pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), yang termasuk perwakilan militer. DPRGR menggantikan DPR yang terpilih dalam Pemilihan Umum 1955 melalui Dekrit Presiden Soekarno tahun 1959. Oleh karena itu, tanggal 25 Juni 1960, diakui sebagai tanggal pendirian Faksi ABRI dalam DPR.[4]
Jumlah total anggota DPR dan perwakilan ABRI telah berfluktuasi seiring berjalannya waktu. Selama era Demokrasi Terpimpin, terdapat 35 perwakilan militer dari total 283 anggota DPRGR. Pada tahun 1967, setelah percobaan kudeta G30S yang gagal, jumlah tersebut naik menjadi 43. Setahun kemudian, 32 perwakilan ABRI lebih masuk ke DPR, sehingga terdapat 75 perwakilan ABRI dari total 414 anggota DPR. Pada tahun 1971, setelah pemilihan umum yang berlangsung pada tahun yang sama, DPR meningkat menjadi 450 sementara Faksi ABRI tetap sama, 75 perwakilan. Setelah Pemilu Umum 1977 juga, masih ada hanya 75 perwakilan Fraksi ABRI di DPR. Barulah pada tahun 1985 jumlah itu bertambah dengan 25 kursi baru untuk Fraksi ABRI, dengan DPR juga meningkat, sehingga terdapat 100 perwakilan ABRI dari total 500 anggota DPR.[4] Faksi ABRI tetap memiliki seratus perwakilan selama sisa periode Orde Baru.
Akhir
suntingDwifungsi ABRI secara perlahan-lahan dihapuskan menyusul runtuhnya rezim Soeharto. Pasca-Reformasi, pengaruh militer dalam politik sangat melemah dan Faksi ABRI, yang pada saat itu telah mengubah namanya menjadi Faksi TNI-POLRI, juga kehilangan perwakilan di DPR.[4] Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000 di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), disepakati untuk menghapus doktrin ini yang akan dimulai setelah Pemilu 2004 dan diharapkan selesai pada Pemilu 2009.
Pasca-reformasi
suntingKekhawatiran mengenai kemunculan kembali Dwifungsi muncul pada Maret 2025 saat Komisi I DPR RI melakukan perubahan terhadap Undang-Undang TNI melalui Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Revisi ini mencakup tiga poin utama, yaitu Pasal 3 mengenai kedudukan TNI, Pasal 53 tentang batas usia pensiun, dan Pasal 47 yang mengatur prajurit aktif yang dapat menduduki jabatan sipil.[5]
Koalisi Masyarakat Sipil menolak revisi UU TNI karena dianggap berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI dan mengancam kualitas demokrasi. Mereka juga mengkritik proses pembahasan yang dinilai terburu-buru dan kurang melibatkan partisipasi publik.[5]
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya Saputra, menyampaikan kekhawatirannya bahwa RUU ini bisa membuka jalan bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil di luar ketentuan yang ada. Menurutnya, hal ini bisa menghambat fungsi utama TNI dan bertentangan dengan prinsip reformasi militer.[5]
Meskipun mendapat penolakan dari kelompok sipil, berbagai fraksi di DPR RI tetap melanjutkan pembahasan RUU TNI. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, membantah tudingan bahwa pembahasan dilakukan secara tertutup dan terburu-buru. Ia menegaskan bahwa rapat yang digelar di Hotel Fairmont berlangsung secara terbuka dan sudah berlangsung selama beberapa bulan.[5][6]
PDI-P yang sebelumnya menolak revisi ini kini justru mendukungnya. Utut Adianto, kader PDI-P, bahkan menjabat sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TNI di DPR. Puan Maharani menyatakan bahwa partainya berperan dalam meluruskan aturan agar sesuai dengan prinsip demokrasi.[5][7]
Selain PDI-P dan Gerindra, Fraksi Demokrat juga mendukung revisi ini, dengan penekanan pada pemisahan antara militer dan politik. Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Demokrat, Anton Sukartono Suratto, menegaskan bahwa prajurit TNI aktif yang ingin bertugas di instansi sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dini, sebagaimana yang pernah ditegaskan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).[5]
Pemerintah dan DPR RI kompak membantah anggapan bahwa revisi UU TNI akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI. Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, menyatakan bahwa revisi ini justru membatasi jabatan sipil yang bisa ditempati prajurit aktif, bukan sebaliknya.[5]
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam), Budi Gunawan, juga menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir karena revisi UU TNI tidak bertujuan mengembalikan dwifungsi ABRI seperti pada era Orde Baru. Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menambahkan bahwa tidak ada pasal atau ayat dalam RUU TNI yang memungkinkan kembalinya dwifungsi ABRI.[5]
Penerapan
suntingMelalui dwifungsi dan "Orde Baru" sebagai kendaraan politik, tentara bisa masuk dalam semua jaring lapisan masyarakat Indonesia, dengan cara ini yang mencapai puncaknya pada 1990-an, namun masih tetap kuat setelahnya. Para perwira militer selama kepresidenan Soeharto memegang posisi kunci dalam semua tingkat pemerintahan di Indonesia, termasuk wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, perusahaan milik negara, peradilan, dan kabinet Soeharto.
Catatan
sunting- ^ Crouch (2007), p. 24
- ^ Nugroho (1970), p. 12
- ^ Nugroho (1970), p. 14
- ^ a b c "Fraksi ABRI Riwayatnya Dulu". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2023-06-28. Diakses tanggal 2023-09-30.
- ^ a b c d e f g h Carina, Jessi (2025-03-18). "Pro Kontra RUU TNI yang Disebut Kembalikan Dwifungsi ABRI, Siapa Dukung? Siapa Tolak?". Kompas.com. Diakses tanggal 2025-03-19.
- ^ "DPR Pastikan Revisi UU TNI Tidak Menghidupkan Kembali Dwifungsi TNI". pantau.com. 2025-03-17. Diakses tanggal 2025-03-19.
- ^ "Puan Tepis RUU TNI akan Hidupkan Kembali Dwifungsi ABRI". pantau.com. 2025-03-18. Diakses tanggal 2025-03-19.
Referensi
sunting- Crouch, Harold (2007) The Army and Politics in Indonesia, Equinox, Jakarta ISBN 979-3780-50-9
- Nugroho Notosusanto (1970) The Dual Function of the Indonesian Armed Forces Especially Since 1966 Department for Defence and Security Centre for Armed Forces History Djakarta
- Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press. ISBN 1-86373-635-2.
- Doktrin TNI-AL[pranala nonaktif permanen]
- Makna Reposisi TNI Pasca-Pemilu 2004[pranala nonaktif permanen]
- Indonesia Tanah Airku