Basa budak

Bahasa yang dipakai oleh dan untuk anak-anak penutur bahasa Sunda

Basa budak atau basa Lemes keur budak (aksara Sunda: ᮘᮞ ᮘᮥᮓᮊ᮪, dapat diterjemahkan menjadi bahasa budak,[a] kadang hanya disebut sebagai Lemes Budak[2]) adalah sebuah istilah dalam bahasa Sunda untuk sejumlah kosakata yang digunakan oleh orang dewasa ketika berkomunikasi dengan anak-anak maupun sebaliknya.[3][4][5][6] basa dan budak berasal dari bahasa Sunda Loma yang masing-masing secara berurutan bermakna bahasa dan anak, dalam bahasa Sunda Hormat, budak disebut sebagai murangkalih.[7][8]

Perbandingan antara kosakata yang digunakan dalam basa Budak dengan ragam bahasa lainnya (tatakrama basa) dalam bahasa Sunda

Basa budak dapat dimaknai sebagai suatu bentuk atau ragam[9] bahasa kanak-kanak/anak-anak dalam bahasa Sunda.[10][11][12][13][14] Bahasa ini diciptakan untuk anak-anak yang masih dalam proses belajar berbicara, sehingga masih cadel dalam mengucapkan kata-kata yang mengandung huruf "r" dan belum terbiasa menggunakan kata-kata yang panjang.[15][16]

Penggunaan

sunting

Basa budak umumnya dipakai oleh anak-anak ketika hendak berbicara dengan orangtuanya terutama ketika sang anak mengungkapkan apa yang ia inginkan. Contohnya ketika seorang anak hendak meminta makan kepada orang tuanya maka ia akan menggunakan kata "emam" untuk menyatakan kata "makan" dan bukannya kata "neda" seperti pada bahasa hormat ka sorangan.[17] Selain dengan mempergunakan leksikon-leksikon/kosakata khusus, pemakaian basa budak juga dicampurkan dengan leksikon-leksikon lain dari bahasa Sunda Hormat[18][19][20] yang diucapkan dengan gaya kekanak-kanakan misalnya, dengan mengganti huruf "l" dengan huruf "y", menghilangkan huruf "r" atau menggantinya dengan huruf "l"[b], mengganti huruf "s" dengan huruf "c" dan dengan menghilangkan beberapa huruf di awal maupun akhir kata,[21] serta dengan menggunakan kata-kata nénéh, yaitu kata-kata manis atau kasih sayang.[22][23] Contoh kalimat yang mengandung perubahan huruf "l" & "r" menjadi huruf "y":[21]

  • "Geuya ageung ambéh énggay pintey di sakoya." <=> "Geura ageung ambéh énggal pinter di sakola." artinya: "Lekas besar agar cepat pintar di sekolah."
  • "Teu kénging bangoy, da Encép mah apan bageuy." <=> "Teu kénging bangor, da Encép mah apan bageur." artinya: "Tak boleh nakal, Encep kan anak baik."
  • "Tos atuh uyah nangis, isin ku Adé." <=> "Tos atuh ulah nangis, isin ku Adé." artinya: "Sudah dong jangan menangis, malu sama Adik."

Atau jika si anak yang diajak bicara sudah mampu mengucapkan huruf "l" namun belum mampu mengucapkan huruf "r", maka contoh kalimatnya:[21]

  • "Ujang, engké aya pasal malam di alun-alun, badé nongton moal?" <=> "Ujang, engké aya pasar malam di alun-alun, badé nongton moal?" Artinya: "Ujang, nanti ada pasar malam di alun-alun, mau ikut menonton atau tidak?"
  • "Ulang ngaheulap yu, ambéh kénging lauk mujaél." <=> "Urang ngaheurap yu, ambéh kénging lauk mujaér." Artinya: "Kita tangkap ikan menggunakan jala yuk, agar bisa mendapatkan ikan mujair."
  • "Enéng kelesa tuang lujak nu lada pisan?" <=> "Enéng keresa tuang rujak nu lada pisan?" Artinya: "Enéng (panggilan anak perempuan) suka makan rujak yang sangat pedas?"

Pada awalnya, penggunaan basa budak dibatasi untuk anak-anak yang masih di bawah umur, tetapi kini beberapa kosakata dari basa Budak sudah cukup umum diterapkan di luar konteks penggunaan basa Budak misalnya, ketika berbicara dengan maupun membicarakan orang yang lebih tua,[2][4] apalagi jika penguasaan terhadap bahasa Sunda Hormat masih kurang, selain itu, ada kecenderungan penggunaan kosakata basa Budak bahkan oleh orangtua sekalipun[24] sebagai pengganti beberapa kosakata pada bahasa hormat ka sorangan/Kata sedeng' (bahasa halus untuk diri sendiri) yang sama bentuknya dengan kosakata loma,[25] karena kosakata tersebut dianggap netral,[26] contoh kalimatnya adalah:[15][21][c]

  • "Punten abdi badé papang heula." Seharusnya: "Punten abdi badé kiih heula". Artinya: "Permisi, saya hendak buang air kecil terlebih dahulu."
  • "Kamari téh henteu katahan ku tunduh, sadugina ka rorompok teras baé bobo." Seharusnya: "Kamari téh henteu katahan ku tunduh, sadugina ka rorompok teras baé mondok." Artinya: "Kemarin saya tak bisa menahan rasa kantuk, sesampainya di rumah saya langsung tidur."
  • "Acuk abdi soéh, numawi nganggo jakét." Seharusnya: "Baju abdi soéh, numawi nganggo jakét." Artinya: "Baju saya sobek, yang menyebabkan saya memakai jaket."
  • "Kumaha upami saméméh solat teh urang emam heula?" Seharusnya: "Kumaha, upami saméméh solat téh urang tuang heula?" Artinya: "Bagaimana, jika sebelum salat kita makan terlebih dahulu?."

Ciri bahasa dan kosakata

sunting

Bahasa ini mengandung beberapa kosakata khusus yang jumlah suku katanya cenderung sedikit (biasanya hanya dua suku kata) serta tidak mengandung huruf "r" dan pembentukan kosakatanya berasal dari kosakata lemes[24] yang mengalami perubahan/dihilangkan beberapa fonemnya[27] serta berasal dari kecap panganteur[d] yang digeser maknanya.[29] Penggunaan kosakatanya pun hanya meliputi hal-hal atau aktivitas yang sering dijumpai atau dilakukan oleh anak-anak.[30]

Dalam kamus-kamus bahasa Sunda, kosakata yang termasuk kedalam basa budak biasanya ditandai dengan frasa "basa budak"[31][32][33] atau ditandai dengan bb/b.[34][35][36]

Berikut ini adalah contoh kosakata yang sering dituturkan dalam penggunaan basa budak beserta padanan kosakatanya dalam bahasa Sunda loma, di antaranya yaitu:[15][17]

  • "aa"/"aang" (perubahan dari akang, bahasa Sunda hormat: engkang) berarti "kakak laki-laki";[37]
  • "inggin" (bahasa Sunda loma: nini ti gigir, terj. har.'"nenek dari samping"'), merupakan istilah kekeluargaan yang berarti "saudara nenek";[38]
  • "acuk" (perubahan dari raksukan, bahasa Sunda loma: baju) berarti "baju";[e][32][3][39]
  • "papang" (perubahan dari kahampangan, bahasa Sunda loma: kiih) berarti "buang air kecil";[3][40][41]
  • "emam" (bahasa Sunda loma: dahar) berarti "makan", bentuk jamak: aremam;[42]
  • "eueut" (perubahan dari ngaleueut, bahasa Sunda loma: nginum) berarti "minum";[43][44]
  • "bobo" (perubahan dari ébog[45] atau berasal dari bahasa Tionghoa,[46] bahasa Sunda loma: saré) berarti "tidur";[43]
  • "uih" (perubahan dari mulih, bahasa Sunda loma: balik) berarti "pulang";[47][48][e]
  • "acis" atau "cicis" (kemungkinan berasal dari kata "picis" yang bermakna uang sepuluh sen, bahasa Sunda loma: duit) berarti "uang";
  • "abi" (perubahan dari abdi yang berasal dari bahasa Arab عبدون, abdun, bahasa Sunda loma: kuring/urang) berarti "saya";[49]
  • "bubulucun" (bahasa Sunda loma: tataranjang) "bertelanjang";
  • "pupuk" (perubahan dari kurupuk) berarti "kerupuk";[34]
  • "tatih" (bahasa Sunda loma: nangtung) berarti "berdiri";[e]
  • "engo" (bahasa Sunda loma: cium) berarti "cium", bentuk pasif: diengo (dicium);[50]
  • "ukeun" (perubahan dari nyuhunkeun, bahasa Sunda loma: ménta) berarti "minta"/"meminta";[e][34]
  • "atos" (perubahan dari parantos, bahasa Sunda loma: anggeus) berarti "sudah";[51]
  • "kokocok" (bahasa Sunda loma: kukumbah) berarti "mencuci tangan";[52]
  • "patu" (perubahan dari sapatu yang berasal dari bahasa Portugis sapato) berarti "sepatu";
  • "péan" (perubahan dari sampéan, bahasa Sunda loma: suku) berarti "kaki";[53]
  • "gogog" (berasal dari tiruan bunyi anjing, bahasa Sunda loma: anjing) berarti "anjing";[54]
  • "eméng" (berasal dari tiruan bunyi kucing, bahasa Sunda loma: ucing) berarti "kucing";
  • "papah" (berasal dari bahasa Sunda Kuno,[55] bahasa Sunda loma: leumpang) berarti "berjalan";[56]
  • "'éa" (berasal dari kecap panganteur dan tiruan suara bayi,[57] bahasa Sunda loma: orok) berarti "bayi";[33][29]
  • Sebetulnya dalam bahasa Budak, tidak ada istilah khusus sebagai kata ganti (pronomina) orang kedua tunggal, tetapi kata "hidep" (bahasa Sunda loma: manéh) yang berarti "anda"/"kamu" bisa digunakan secara khusus oleh orangtua yang berbicara kepada anaknya.[58] Hal ini didasarkan pada kekhususan kata ini untuk dipakai oleh orang yang lebih dewasa kepada orang yang lebih muda, sementara untuk anak-anak biasanya akan menyebut nama, sebutan atau panggilan seseorang untuk menyebut kata ganti orang kedua tunggal.[59]
  • "acing" (perubahan dari lancingan, bahasa Sunda loma: calana) berarti "celana";
  • "obin" (perubahan dari mobil yang berasal dari bahasa Latin mobilis) berarti "mobil".

Contoh perbandingan kalimat

sunting
  • bahasa Indonesia: "Kamu jangan makan sambil berdiri."
  • bahasa Sunda loma: "Manéh ulah dahar sabari nangtung."
  • bahasa Sunda hormat: "Anjeun teu kénging tuang sabari ngadeg."
  • bahasa Sunda budak: "Hidep enging emam sabari tatih."

Kalimat di atas merupakan contoh ketika orangtua sedang memperingatkan anaknya untuk jangan makan sambil berdiri, sehingga masih ada kata yang mengandung huruf "r" yakni sabari, sementara contoh kalimat yang diucapkan langsung oleh anak anak adalah:

  • bahasa Indonesia: "Setelah bangun tidur, saya langsung makan."
  • bahasa Sunda loma: "Sanggeus hudang saré, urang langsung dahar."
  • bahasa Sunda hormat: "Saréngsé gugah mondok, abdi langsung neda."
  • bahasa Sunda budak: "Saentos ugah obo, abi langsung emam."

Selain kosakata, ada beberapa ungkapan atau idiom yang termasuk ke dalam basa budak meskipun kosakata yang digunakan dalam ungkapan tersebut merupakan kosakata bahasa Sunda biasa (kata loma), seperti contohnya ungkapan "pabalik létah" atau "tibalik létah" (secara harfiah berarti "terbalik lidah") yang mempunyai makna "pemberian barang yang dikembalikan lagi".[60]

Referensi

sunting

Keterangan

sunting
  1. ^ dalam bahasa Indonesia, entri "budak" juga terdapat dalam KBBI yang salah satu maknanya bersinonim dengan kata "anak-anak"[1]
  2. ^ Untuk anak-anak yang sudah cukup menguasai pengucapan huruf "l" namun belum mampu mengucapkan huruf "r" dengan benar
  3. ^ Kosakata yang termasuk ke dalam bahasa Budak digarisbawahi
  4. ^ Kecap panganteur merupakan sebuah kata pengantar berfungsi untuk mengantarkan kata kerja atau kata lainnya dalam perkataan/percakapan dan juga menguatkan kata atau frasa supaya lebih jelas atau kuat.[28]
  5. ^ a b c d Kata ini sudah cukup umum diterapkan untuk atau oleh orang yang lebih tua di luar konteks Bahasa Budak

Catatan kaki

sunting
  1. ^ KBBI Daring (2016).
  2. ^ a b Rosidi (2007a), hlm. 44.
  3. ^ a b c Rosidi (2007b), hlm. 124.
  4. ^ a b Suwondo (2017), hlm. 28.
  5. ^ Rosidi (2000), hlm. 105.
  6. ^ S., Adang (1992), hlm. 62.
  7. ^ Luthfiyani (2017), hlm. 16.
  8. ^ Coolsma (1985), hlm. 18.
  9. ^ Paguyuban Pasundan (1996), hlm. 51.
  10. ^ Brandstetter (1931), hlm. 23.
  11. ^ Djajasudarma (1994), hlm. 22.
  12. ^ Djajasudarma & Abdulwahid (1987), hlm. 5.
  13. ^ Henrayana & R. Ismail (2019), hlm. 240.
  14. ^ Satjadibrata (2005), hlm. 61.
  15. ^ a b c Windyagiri (2018), hlm. 13.
  16. ^ Rosidi (2007b), hlm. 126.
  17. ^ a b E. Hasim (1984), hlm. 76.
  18. ^ Suwondo (2017), hlm. 33.
  19. ^ Suwondo (2017), hlm. 36.
  20. ^ Suwondo (2017), hlm. 38.
  21. ^ a b c d Rosidi (2007b), hlm. 125.
  22. ^ Coolsma (1985), hlm. 26.
  23. ^ Luthfiyani (2017), hlm. 5.
  24. ^ a b Locher (1996), hlm. 6.
  25. ^ Djajasudarma (1994), hlm. 8.
  26. ^ Djajasudarma (1994), hlm. 10.
  27. ^ Suwondo (2017), hlm. 30.
  28. ^ Pratama (2017), hlm. 11.
  29. ^ a b Luthfiyani (2017), hlm. 24.
  30. ^ Satjadibrata (1954), hlm. 105.
  31. ^ Danadibrata (2006), hlm. 1.
  32. ^ a b Danadibrata (2006), hlm. 3.
  33. ^ a b Danadibrata (2006), hlm. 181.
  34. ^ a b c Locher (1996), hlm. 9.
  35. ^ Sumarsono (1995), hlm. 8.
  36. ^ Lembaga Basa & Sastra Sunda (1985).
  37. ^ Satjadibrata (2005), hlm. 35.
  38. ^ Satjadibrata (2005), hlm. 162.
  39. ^ Suwondo (2017), hlm. 32.
  40. ^ Suwondo (2017), hlm. 35.
  41. ^ Danadibrata (2006), hlm. 534.
  42. ^ Djajasudarma (1994), hlm. 11.
  43. ^ a b Suwondo (2017), hlm. 37.
  44. ^ Djajasudarma (1994), hlm. 21.
  45. ^ Satjadibrata (2005), hlm. 75.
  46. ^ Jung (2001), hlm. 126.
  47. ^ Djajasudarma (1994), hlm. 23.
  48. ^ Djajasudarma (1994), hlm. 24.
  49. ^ Suwondo (2017), hlm. 29.
  50. ^ Satjadibrata (2005), hlm. 122.
  51. ^ Danadibrata (2006), hlm. 39.
  52. ^ Suwondo (2017), hlm. 34.
  53. ^ Suwondo (2017), hlm. 31.
  54. ^ Setiawan (2020), hlm. 1.
  55. ^ Noorduyn & Teeuw (2006), hlm. 391.
  56. ^ Satjadibrata (2005), hlm. 282.
  57. ^ Satjadibrata (2005), hlm. 118.
  58. ^ Wibisana (2002), hlm. 59.
  59. ^ Coolsma (1985), hlm. 183.
  60. ^ Satjadibrata (2005), hlm. 57.

Daftar pustaka

sunting

Pranala luar

sunting