Awololo

pulau di Indonesia

Awololo atau Awenglolo adalah pulau pasir di teluk Lewoleba berjarak beberapa mil dari pantai Rayuan Kelapa, Lewoleba, Kabupaten Lembata, NTT. Pulau itu baru tampak dari darat waktu air laut surut, sedangkan dalam keadaan pasang naik hanya tampak bayangan kehijaun dari dalam laut. Kawasan di tengah laut ini berukuran kurang lebih 600 x 25 meter waktu air laut surut berbentuk gundukan pasir. Biarpun begitu gundukan pasir Awololo yang selalu 'berisi' karena terdapat banyak berbagai jenis siput atau kerang yang tak pernah habis biarpun selalu diambil orang.[1]

Kerajaan Awo Lolon sunting

Masyarakat Lembata meyakini bahwa Awololo/Awenglolo sebelumnya adalah sebuah kota bahkan negeri yang dihuni oleh banyak suku. Hal itu diketahui dari suku-suku yang tersebar di kawasan berkebudayaan Lamaholot, misalnya suku Tukan, Nunang, Koban, Bungan, Kolin, Tapun, Telupun, Nadin, Puor, Haken(Sakeng), Mudaj, Ladjar, dan Malun.[1] Larensius Molan dalam tulisan di Kompas.com dengan judul Mencontoh Tradisi Kerukunan Beragama Orang Lamaholot menggambarkan bahwa Awololo pada zaman lampau adalah sebuah kerajaan.[2]

Penduduk Kerajaan Awololo tersebar menyelamat diri ke berbagai arah. Mereka yang ke barat menetap di Flores Timur daratan dan pulau Solor, yang utara menetap di pulau Adonara, dan yang ke selatan sebagian menetap pulau Lembata sampai kepulauan Alor. Pemakaian asal suku, barang adat, kesenian dan kebudayaan, menjadi tanda dan pengikat kebersamaan itu. Biarpun berbeda keyakinan, mereka tetap bersatu hidup berdampingan serta bersaudara.[2]

Suku-suku di atas kemudian tersebar ke banyak daerah lain akibat dilanda bencana dahsyat, naiknya permukaan air laut yang menenggelamkan seluruh negeri itu. Peristiwa tentang bencana itu masih beredar di kawasan kepulaun Solor yang berkebudayaan Lamaholot dalam bentuk cerita rakyat. Dan hampir semua suku itu yang mengaku berasal dari Awololo mempercayai cerita Awololo sebagai kisah nyata yang pernah terjadi bukan fiksi atau cerita kayalan.[1]

Masyarakat Lamaholot menggunakan bahasa yang sama meski berbeda dalam pengucapan yang dipengaruhi oleh korespodensi fonetik, namun masyarakat yang berbeda pulau itu dapat berkomunikasi. Kata-kata tertentu bila sulit diucapkan, secara otomatis pembicara menggantinya dengan kosakata bahasa Indonesia sehingga kebuntuan komunikasi segera teratasi. Dr. Goris Keraf dalam mempersiapkan disertasi doktoralnya di Universita Indonesia, mengadakan penelitian khusus tentang pemakaian bahasa Lamaholot [3] di kepulauan Solor (Flores Timur, Solor, Adonara, dan Lembata).[4]

Budaya dan kesenian warisan merupakan kesamaan yang mengingat persatuan dan rasa persaudaraan suku-suku yang mendiami keempat pulau itu. Kesenian tradisional[3] yang lebih populer, yaitu dolo-dolo, karena merata dipentaskan dan semua peserta tahu dapat menjalankannya. Dolo-dolo tidak memerlukan keterampilan khusus, karena siapa pun dapat bergabung, saling berpegangan tangan membentuk lingkaran, menyanyi sebuah lagu bersama yang diselingi pantun yang dibawakan secara bergantian.[5] Peserta yang lain menyambung bagian ulangan lagu yang dibawakan itu yang berlangsung berjam-jam apabila pembawa pantun berbalas-balasan secara berlawanan sehingga membuat para pemain bersemangat menikmatinya. Terkadang dolo-dolo dapat berlangsung semalam suntuk dan semua tetap bergembira karena merupakan hiburan pergaulan serta keakraban. Pertunjukkan bertambah seru ketika dolo-dolo diiringi gendang dan giring-giring atau krincingan.[5]

Kesenian tradisional lain yang berasal dari kebudayaan Lamaholot yaitu Hamang dan Sole, di samping Are serta Kolewalan dan Holobeba. Kesenian-kesenian itu baru diadakan pementasan ketika ada urusan atau peristiwa adat atau budaya. Hamang[3] seperti dolo, tetapi gerak tubuh serta iramanya berbeda dengan dolo-dolo. Begitu juga Sole yang hanya dibawakan oleh satu orang khusus yang memiliki keahlian melantunkan syair-syair sedangkan peserta lain turut meramaikan dengan irama dan hentakan kaki yang cepat. Kesenian ini indah tetapi sangat melelahkan karena irama gerakan maupun hentakan kaki sangat cepat.[5]

Referensi sunting

  1. ^ a b c Ata Ladjar, Thomas (31/1/2019). "awololo-situs-sejarah-dan-budaya-lembata". nttsatucom. Bonne Pukan. Diakses tanggal 10/3/2019. 
  2. ^ a b Molan, Laurensius (18/1/2012). "Mencontoh Tradisi Kerukunan Beragama Orang Lamaholot". Kompas.com. Jobdo Yudono. Diakses tanggal 10/1/2019. 
  3. ^ a b c Dewa Ledjap, S.IP, M.Si, Donatus (2014). Suku Ledjap - Rekonstruksi Jati Diri Orang Watuwawer. Lembata: Absolut Media. hlm. 05. ISBN 978-602-7709-73-7. 
  4. ^ Keraf, Dr. Goris (1989). Komposisi. Ende Flores: Penerbit Nusa Indah. hlm. 1–11. 
  5. ^ a b c Wangak, Sandro (01 Agustus 2015). "Seni budaya". Muasal Tarian Dolo-dolo. Weeklyline. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-02. Diakses tanggal 11 Maret 2019.