Herman Thomas Karsten (22 April 1884, Amsterdam – 1945, Cimahi) dulu adalah seorang insinyur asal Belanda yang berkontribusi besar terhadap arsitektur dan perencanaan perkotaan di Indonesia selama dijajah Belanda. Paling signifikan, ia mengintegrasikan praktek lingkungan perkotaan kolonial dengan elemen lokal; sebuah pendekatan radikal terhadap perencanaan tata ruang untuk Indonesia pada saat itu. Ia juga memperkenalkan lingkungan untuk semua etnis di Semarang, membangun pasar di Yogyakarta dan Surakarta, serta alun-alun di Batavia (kini 'Jakarta'). Antara tahun 1915 dan 1941, ia diberi tanggung jawab untuk merencanakan 12 dari 19 munisipalitas di Jawa, 3 dari 9 kota di Sumatra, dan 1 kota di Kalimantan (Borneo Indonesia). Ia pun mendapat pengakuan resmi dari pemerintah dengan ditunjuk menjadi anggota Komite Perencanaan Perkotaan, serta dari komunitas akademik dengan ditunjuk sebagai dosen luar biasa pada mata kuliah perencanaan perkotaan di TH Bandung. Ia meninggal di sebuah kamp interniran di dekat Bandung pada tahun 1945 selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Balai Kota Padang hasil rancangan Thomas Karsten

Biografi

sunting
 
Pasar Gede Harjonagoro, sebuah pasar di Surakarta yang dirancang oleh Karsten.
 
Interior Pasar Johar di Semarang yang dirancang oleh Karsten.

Dibesarkan di keluarga terpelajar, Thomas Karsten pun mengembangkan ide yang progresif dan liberal.[1] Ayahnya dulu adalah profesor di bidang filosofi dan wakil rektor universitas, sementara saudaranya adalah wanita pertama di Belanda yang mempelajari kimia. Thomas Karsten berkuliah di Delft Polytechnische School (pendahulu Universitas Teknologi Delft) di Belanda dan awalnya belajar teknik mesin, sebelum akhirnya beralih ke teknik struktur pasca adanya reformasi institusional terhadap kampusnya. Karsten bukan mahasiswa terpintar, tetapi ia berhasil lulus dari fakultas yang hanya meluluskan 3-10 orang per tahun hingga tahun 1920.

Kota asal Karsten adalah Amsterdam dan pada awal dekade 1920-an, kota tersebut mengalami masalah sosial ekonomi besar. Terdapat lingkungan perkotaan dengan kemiskinan ekstrim, serta lingkungan perkotaan dengan segregasi dan diskriminasi etnis (terutama Yahudi). Antara 1908–11, saat Karsten masih berstatus mahasiswa, ia terlibat aktif sebagai pendukung reformasi perumahan rakyat melalui penyiapan proyek perumahan baru. Ideologi Thomas Karsten terhadap gerakan reformasi sosial pun dikembangkan pada saat itu. Ia dulu adalah anggota Socialistische Technische Vereeniging (Asosiasi Insinyur Sosialis), dan kemudian juga bergabung ke asosiasi serupa di Jawa. Ia pun berkontribusi signifikan terhadap laporan perencanaan perkotaan di Belanda yang diberi judul Volkshuisvesting in de Nieuwe Stad te Amsterdam (1909) (Perumahan Rakyat di Kota Baru Amsterdam). Anggota proyek tersebut meliputi arsitek, feminis, dan reformis sosialis.[1]

Untuk menghindari Perang Dunia I di Eropa, ia lalu pindah ke Hindia Belanda (kini Indonesia), yang ia lihat sebagai tempat yang netral dan jauh dari perang. Ia pergi ke Jawa atas undangan dari Henri Maclaine Pont, temannya semasa kuliah, untuk membantu firma arsitektur milik Pont. Tidak pernah berlatih untuk menjadi perencana perkotaan, Karsten pun membayangkan elemen arsitektur Hindia dengan pendekatan perencanaan perkotaan dari nol. Visi sosialnya membuatnya menolak perencanaan perkotaan kolonial, dan membentuk lingkungan perkotaan kolonial dengan memasukkan elemen lokal. Pada dekade 1920-an, ia berkomitmen terhadap Hindia Belanda dengan menyatakan bahwa Jawa adalah 'rumahnya' dan antipatinya terhadap 'peradaban Barat' membantunya untuk mengartikulasikan karyanya.[1] Ia lalu menikahi seorang wanita Jawa.

Pada tahun 1918, ia telah menetapkan sejumlah prinsip untuk perencaaan perkotaannya. Ia pun menjadi konsultan perencanaan perkotaan untuk Semarang (1916–20, 1936), Buitenzorg (kini 'Bogor') (1920–23), Madiun (1929), Malang (1930–35), Batavia (Jakarta) (1936–37), Magelang (1937–38), Bandung (1941), serta Cirebon, Meester Cornelis (bagian dari Jakarta yang kini dikenal sebagai Jatinegara), Yogyakarta, Surakarta, Purwokerto, Padang, Medan, dan Banjarmasin.[2]

Setelah cukup lama bekerja untuk sejumlah pemerintah daerah, pemerintah kolonial lalu mengakui Thomas Karsten dengan menunjuknya sebagai anggota komite resmi. Awalnya ia ditunjuk sebagai anggota Bouwbeperkingscommissie (Komite Pekerjaan Bangunan, 1930), dan kemudian sebagai anggota Stadsvormingscommissie (Komite Perencanaan Perkotaan, 1934). Pada tahun 1941, ia ditunjuk menjadi dosen luar biasa di TH Bandung. Selama pendudukan Jepang di Indonesia, Thomas Karsten dipenjara di kamp Baros di Cimahi dekat Bandung. Ia lalu meninggal di kamp tersebut pada tahun 1945.[3]

Proyek bangunannya meliputi rumah dua lantai besar dengan atap curam untuk masyarakat elit Belanda, paviliun istana baru untuk kerajaan di Eropa maupun di Jawa, pasar di Yogyakarta dan Surakarta, serta kantor pusat dari sejumlah perusahaan.[3]

Perencanaan perkotaan

sunting

Pada awal abad ke-20, setelah pemerintah Belanda memperkenalkan Politik Etis, sejumlah kota di Jawa dan Sumatra pun direnovasi besar-besaran. Decentralitatiewet (Undang-Undang Desentralisasi) baru juga diterbitkan pada tahun 1903, sehingga memungkinkan pemerintah daerah untuk mengembangkan dan merencanakan wilayahnya masing-masing. Sebagian besar kota di pantai utara Jawa harus berurusan dengan pertambahan penduduk yang tidak ada hentinya, yang meningkatkan juga permintan terhadap rumah, infrastruktur, sanitasi, dsb. Pada tahun 1914, Thomas Karsten pun terlibat dalam perencanaan perkotaan Semarang dengan bekerja di firma arsitektur milik Henry Maclaine Pont.

Pada kolonialisme, semua komponen sosial diekspresikan melalui artikulasi 'bentuk perbedaan', dan perencanaan perkotaan kolonial diimplementasikan secara presisi dengan urutan hubungan antara berbagai penduduk perkotaan secara etnis, ras, dan ekonomi.[1] Karsten menolak ide tersebut dan mulai memasukkan lebih banyak elemen lokal dikombinasikan dengan elemen tipikal Eropa.[1] Pada tahun 1917, ia mempresentasikan rencana 'Candi Baru', sebuah rencana ekstensi dari rencana induk Semarang untuk mengakomodasi semua kelompok etnis berdasarkan kebiasaannya masing-masing.[4] Ia juga menyusun rencana induk untuk suburban baru di Batavia yang dilengkapi dengan alun-alun.

Pada tahun 1921, Thomas Karsten mempresentasikan sebuah paparan mengenai Perencanaan Perkotaan Hindia di Kongres Desentralisasi. Paparan tersebut dilihat sebagai ide radikal baru, di mana Karsten berargumen bahwa perencanaan perkotaan adalah aktivitas komponen yang terinterkoneksi (sosial, teknologi, dsb.) yang harus ditangani secara harmonis. Idenya mengenai pendekatan metodologis untuk membuat rencana perkotaan organik dengan mempertimbangkan dimensi sosial mendapat banyak pujian di Hindia Belanda, maupun di Belanda.[5]

Paparan Karsten pun memberi pengaruh besar terhadap rencana pemerintah untuk membangun perumahan rakyat. Antara lain panduan untuk ekstensi dan perumahan perkotaan (1926), hak prioritas daerah terhadap tanah (1926), serta pemberian subsidi hingga 50% dan panduan untuk proyek peningkatan kampung (1928).[4] Pada tahun 1930, Thomas Karsten bersama dengan sejumah arsitek, politisi, dan birokrat terkemuka di Hindia Belanda, ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi anggota Komite Perencanaan Perkotaan. Komite tersebut menyusun draf Undang-Undang Perencanan Perkotaan pada tahun 1938 untuk mengatur bangunan dan kontruksi agar sesuai dengan karakteristik sosial dan geografis setempat, serta sesuai dengan perkiraan pertumbuhannya. Undang-undang tersebut lalu tertunda akibat Perang Dunia II, dan akhirnya tidak pernah diterbitkan, karena Belanda kehilangan kekuasaannya atas Indonesia.

Bandung
Banjarmasin
Bogor
Cirebon
Jakarta (termasuk Jatinegara/Meester Cornelis)
  • Lapangan Monas (1937)
Madiun
Magelang
Malang
  • Kawasan Jalan Ijen
Padang
Palembang
  • Pasar Cinde[6]
  • Pasar Sentral
  • Pasar Ilir
Purwokerto
Semarang
  • Penataan kota daerah Candi (1916), Pekunden, Peterongan, Sompok, Semarang Timur (1919), Kampung Senjoyo, Progo, Mlatiharjo[7]
  • Pasar Jatingaleh (1930)
  • Pasar Randusari
  • Pasar Johar (1933)
  • Zustermaatschappijen de Semarang (sekarang Kantor PT KAI Daop IV)
  • Djakarta LLyod Stoomvart Nederland (Kantor PT (Persero) Djakarta Lloyd)
  • Rumah Sakit Elizabeth
  • Taman Diponegoro.
Surakarta
Yogyakarta

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e Joost Coté (2004). "Colonial designs: Thomas Karsten and the planning of urban Indonesia" (PDF). 15th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia. Canberra. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-09-05. Diakses tanggal 2022-06-24. 
  2. ^ Erica Bogaers. "Ir. Thomas Karsten: De Ontwikkeling van de Stedebouw in Nederlands-Indië 1915–1940". Doktoralscriptie planologie, Universiteit van Amsterdam.
  3. ^ a b Adrian Vickers (2005). A History of Modern Indonesia . New York: Cambridge University Press. hlm. 23–24. ISBN 0-521-54262-6. 
  4. ^ a b Pauline K.M. van Roosmalen (2004). "Expanding grounds. The roots of spatial planning in Indonesia" (PDF). 1st International Urban Conference. Surabaya. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2007-04-14. 
  5. ^ M. J. Granpré Molière (1922). "Indiese stedebouw door Ir. Th. Karsten". Tijdschirft voor Volkshuisvesting. 9: 226–234. 
  6. ^ Adrian Fajriansyah (2017) "Pengembang Tidak Terlibat Pembongkaran Pasar Cinde" Kompas.id
  7. ^ Kampung Senjoyo, Dulu dan Sekarang (1). Hasil Rancangan Thomas Karsten Diarsipkan 2011-11-26 di Wayback Machine. Suara Merdeka daring

Pranala luar

sunting