Taman Nasional Gunung Leuser

taman nasional di Indonesia

Taman Nasional Gunung Leuser (biasa disingkat TNGL) adalah salah satu Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia seluas 1.094.692 hektare yang secara administrasi pemerintahan terletak di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Provinsi Aceh yang terdeliniasi TNGL meliputi wilayah Aceh Tenggara , Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tamiang, sedangkan Provinsi Sumatera Utara yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Dairi, Karo, dan Langkat.[1]

Taman Nasional Gunung Leuser
IUCN Kategori II (Taman Nasional)
Hutan hujan di zona inti TN Gunung Leuser
Peta memperlihatkan letak Taman Nasional Gunung Leuser
Peta memperlihatkan letak Taman Nasional Gunung Leuser
TN Gunung Leuser
Peta memperlihatkan letak Taman Nasional Gunung Leuser
Peta memperlihatkan letak Taman Nasional Gunung Leuser
TN Gunung Leuser
Lokasi TN Gunung Leuser di Pulau Sumatra
LetakAceh dan Sumatera Utara, Indonesia
Koordinat3°46′21.6″N 97°14′43.5″E / 3.772667°N 97.245417°E / 3.772667; 97.245417Koordinat: 3°46′21.6″N 97°14′43.5″E / 3.772667°N 97.245417°E / 3.772667; 97.245417
Luas830.268,95 hektare (8.302,36 km²)
Didirikan1980
Pihak pengelolaKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Situs webgunungleuser.or.id
Bagian dariWarisan Hutan Hujan Tropis Sumatra
KriteriaAlam: vii, ix, x
Nomor identifikasi1167
Pengukuhan2004 (Sesi ke-28)
Endangered2011—sekarang
Pintu masuk Taman Nasional Gunung Leuser

Taman nasional ini mengambil nama dari Gunung Leuser yang menjulang tinggi dengan ketinggian 3404 meter di atas permukaan laut di Aceh. Taman nasional ini meliputi ekosistem asli dari pantai sampai pegunungan tinggi yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis. Dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Taman Nasional Gunung Leuser memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu:

  1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
  2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
  3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Diterimanya Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatra ke daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 2004, membuat Taman Nasional Gunung Leuser juga masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, bersama dengan Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan Taman Nasional Gunung Leuser seluas 1.094.692 hektare yang terletak di Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa Taman Nasional Gunung Leuser terdiri dari gabungan:

  1. Suaka Margasatwa Gunung Leuser: 416.500 hektare
  2. Suaka Margasatwa Kluet: 20.000 hektare
  3. Suaka Margasatwa Langkat Barat: 51.000 hektare
  4. Suaka Margasatwa Langkat Selatan: 82.985 hektare
  5. Suaka Margasatwa Sekundur: 60.600 hektare
  6. Suaka Margasatwa Kappi: 142.800 hektare
  7. Taman Wisata Gurah: 9.200 hektare
  8. Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas: 292.707 hektare

Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.03/Menhut-II/2007, Saat ini pengelola TNGL adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA)Departemen Kehutanan yaitu Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) yang dipimpin oleh Kepala Balai Besar (setingkat eselon II).

Salah satu Objek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) yang terkenal di dalam kawasan TNGL adalah Pusat Pengamatan Orangutan Sumatra - Bukit Lawang di Kawasan Wisata Alam Bukit Lawang - Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.[2]

Pada sisi lain, taman nasional ini juga mendapat perhatian karena maraknya kasus penebangan pohon illegal di beberapa lokasi yang menyalahi reservasi lingkungan.[3] Sebagian besar kawasan TNGL memiliki topografi curam serta struktur dan tekstur tanah yang rentan terhadap longsor. Hal ini terbukti pada saat banjir bandang telah menghancurkan kawasan wisata alam Bukit Lawang beberapa tahun lalu. Untuk lebih menjaga TNGL dari kerusakan yang lebih parah, dibentuklah suatu kawasan yang disebut Kawasan Ekosistem Leuser. Kawasan yang memiliki luas 2,6 juta hektare ini meliputi area yang lebih datar di sekeliling TNGL dan berfungsi sebagai penyangga (buffer).

Sejarah sunting

Sejarah terbentuknya TNGL diawali pada tahun 1920-an atau zaman Pemerintah Kolonial Belanda, melalui serangkaian proses penelitian dan eksplorasi seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn di Aceh.[4] Diarsipkan 2022-07-17 di Wayback Machine. Dalam perkembangannya muncul inisiasi positif yang didukung para tokoh masyarakat untuk mendesak Pemerintah Kolonial Belanda agar memberikan status kawasan konservasi (Wildlife Sanctuary) dan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian utara.

Pada tanggal 6 Februari 1934, dilaksanakan Deklarasi Tapak Tuan yang merupakan tekad dari perwakilan masyarakat lokal di sekitar kawasan leuser untuk melakukan perlindungan lingkungan yang sekaligus mengatur sanksi pidana. Deklarasi ini juga ditandatangani oleh Gubernur Hindia Belanda.[5] Berdasarkan hal tersebut, pada tanggal 3 Juli 1934 ditetapkan Suaka Margasatwa Gunung Leuser dengan luas 142.800 Ha berdasarkan Zelfbestuur Besluit (ZB) Nomor 317/35. Tahun 1936 ditetapkan kawasan Suaka Margasatwa Kluet di Provinsi Aceh dengan luas 20.000 Ha. Tahun 1938 ditetapkan kawasan Suaka Margasatwa Langkat di Provinsi Sumut dengan luas 51.000 Ha. Tahun 1976 ditetapkan kawasan Suaka Margasatwa Kappi di Provinsi Aceh dengan luas 142.000 Ha.

Pada tanggal 6 Maret 1980 Menteri Pertanian mengumumkan keempat suaka margasatwa tersebut dan beberapa hutan wisata sebagai di sekitarnya sebagai kawasan taman nasional. Pada tahun 1984, wilayah kerja TNGL ditetapkan mencakup 5 kawasan Suaka Margasatwa dan 2 Hutan Wisata, seluas 862.975 Ha. Tanggal 23 Mei 1997 dilakukan penunjukan Taman Nasional Gunung Leuser dengan luas 1.094.692 hektar.

Secara yuridis formal, keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor: 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia, yaitu; Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gede Pangrango, Taman Nasional Baluran, dan Taman Nasional Komodo. Berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, ditetapkan luas Taman Nasional Gunung Leuser adalah 792.675 ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor: 719/Dj/VII/1/80, tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa diberikannya status kewenangan pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser kepada Sub. Balai KPA Gunung Leuser.[6] Diarsipkan 2022-07-17 di Wayback Machine.

Keunikan sunting

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi di Pulau Sumatera. Tipe ekosistemnya beragam dari ekosistem pantai hingga ekosistem pegunungan sub alpine, dengan puncak tertinggi pada ketinggian 3.404 mdpl. TNGL merupakan satu-satunya area di dunia yang menjadi tempat hidup dari 4 spesies penting. Spesies tersebut yakni, Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus).

Terdapat 350 spesies burung di kawasan TNGL. Hampir 65% atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatera tercatat menempati kawasan TNGL. Berdasarkan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan unik tersebut, kawasan TNGL ditetapkan sebagai Natural World Heritage Site (situs warisan alam dunia), cagar biosfer, serta ASEAN Heritage Park (Taman Warisan ASEAN).

Nilai konservasi sunting

Taman Nasional Gunung Leuser menyandang 2 status yang berskala global yaitu sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981 dan sebagai Warisan Dunia pada tahun 2004. Kedua status tersebut ditetapkan oleh UNESCO dan World Heritage Committee (WHC) atas usulan Pemerintah Indonesia setelah melalui rangkaian proses seleksi yang ketat. Di samping itu terdapat nilai eksistensi lain yang menjadi potensi dari TNGL yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Cagar biosfer sunting

Cagar Biosfer didefinisikan sebagai kawasan ekosistem daratan atau pesisir yang diakui oleh Program Man and the Biosphere UNESCO (MAB-UNESCO) untuk mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam. Cagar Biosfer melayani perpaduan tiga fungsi yaitu, (1) kontribusi konservasi lansekap, ekosistem, spesies, dan plasma nutfah, (2) menyuburkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan baik secara ekologi maupun budaya, dan (3) mendukung logistik untuk penelitian, pemantauan, pendidikan, dan pelatihan yang terkait dengan masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal,regional, nasional, maupun global. Sebagai hasil KTT Bumi 1992, berbagai fungsi Cagar Biosfer serta Jaringan Cagar Biosfer Dunia telah didefinisikan dan diuraikan dalam “Strategi Seville dan Kerangka Hukum Jaringan Dunia” (LIPI, 2004).[7] Diarsipkan 2022-07-18 di Wayback Machine.

Warisan Dunia (World Heritage) sunting

Konvensi Warisan Dunia (World Heritage Convention) mengenai Perlindungan Warisan Budaya dan Alam diadopsi pada sidang ke-17 Konferensi Umum UNESCO di Paris tanggal 16 November 1972, dan berlaku efektif sejak 17 Desember 1975. Sampai dengan bulan Maret 2005, Konvensi Warisan Dunia telah diratifikasi oleh lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 29 tahun 1989. Warisan Dunia adalah warisan yang: (1) Terdiri dari Warisan Alam dan Warisan Budaya, (2) Melestarikan warisan yang tidak dapat digantikan dan warisan yang memiliki “Nilai Universal Istimewa”, (3) Perlu melindungi warisan yang tidak dapat dipindahkan, dan (4) Menjadi tanggungjawab kesadaran dan kerjasama kolektif international (UNESCO, 2004). Hingga tahun 2006, terdapat 830 situs di 138 negara yang telah tercantum di dalam Daftar Warisan Dunia, terdiri dari 644 situs budaya, 162 situs alami dan 24 situs campuran.[8] Diarsipkan 2022-07-18 di Wayback Machine.

Laboratorium Alam sunting

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan laboratorium alam yang kaya keanekaragaman hayati sekaligus juga merupakan ekosistem yang rentan. MacKinnon and MacKinnon (1986) menyatakan, Leuser mendapatkan skor tertinggi untuk kontribusi konservasi terhadap kawasan konservasi di seluruh kawasan Indo Malaya. Leuser merupakan habitat sebagian besar fauna, mulai dari mamalia, burung, reptil, amfibia, ikan, dan invertebrata. Leuser menjadi kawasan dengan daftar burung terpanjang di dunia dengan 380 spesies, di mana 350 diantaranya merupakan spesies yang tinggal di Leuser.

Leuser juga rumah bagi 36 dari 50 spesies burung “Sundaland”. Hampir 65% atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatera tercatat ada di tempat ini. Ekosistem Leuser merupakan habitat orangutan Sumatera (Pongo abelii), harimau Sumatera (Panthera tigris), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), owa (Hylobathes lar), kedih (Presbytis thomasii), dan masih banyak yang lainnya.[9] Diarsipkan 2022-07-18 di Wayback Machine.

Di samping rumah bagi berbagai fauna kunci, di Taman Nasional Gunung Leuser terdapat lebih dari 4.000 spesies flora. Juga ditemukan 3 jenis dari 15 jenis tumbuhan parasit Rafflessia. Demikian pula, Leuser merupakan tempat persinggahan dari banyak jenis tumbuhan obat.[10]

Pada wilayah Bukit Lawang di Sumatera Utara, terdapat tempat rehabilitasi orang utan. Bukit Lawang merupakan salah satu destinasi pariwisata yang menyimpan alam serta lingkungan terjaga. Alam yang masih terjaga menjadi habitat asli orang utan sejak 1973. Selain orang utan, terdapat satwa lain seperti musang, burung kaua raja, monyet ekor panjang, beruk, dan satwa lain dari habitat asli Bukit Lawang. Wilayah ini terletak di Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat.[11] Bukit Lawang juga memiliki area khusus habitat kelelawar. Goa Kelelawar menyimpan stalaktit berukuran besar yang telah terbentuk sejak ratusan tahun lalu.[12]

Selain Bukit Lawang, terdapat wilayah Tangkahan yang terletak di Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Di wilayah Tangkahan, daya tarik pariwisata ada pada konservasi gajah Sumatera.

Sistem penyangga kehidupan (life support system) sunting

Taman Nasional Gunung Leuser menyediakan suplai air bagi 4 (empat) juta masyarakat yang tinggal di Propinsi Aceh dan Propinsi Sumatera Utara. Hampir 9 (sembilan) kabupaten tergantung pada jasa lingkungan TNGL, yaitu berupa ketersediaan air konsumsi, air pengairan, penjaga kesuburan tanah, mengendalikan banjir, dan sebagainya. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dilindungi oleh TNGL dan Ekosistem Leuser sebanyak 5 (lima) DAS di wilayah Propinsi Aceh, yaitu DAS Jambo Aye, DAS Tamiang-Langsa, DAS Singkil, DAS Sikulat-Tripa, dan DAS Baru-Kluet. Sedangkan yang berada di wilayah Propinsi Sumatera Utara adalah DAS Besitang, DAS Lepan, DAS Batang Serangan dan DAS Wampu Sei Ular. Studi yang dilakukan oleh Beukering, dkk (2003) mensinyalir bahwa Nilai Ekonomi Total Ekosistem Leuser, termasuk TNGL di dalamnya, dihitung dengan suku bunga 4% selama 30 tahun adalah USD 7.0 milyar (bila terdeforestasi), USD 9.5 milyar (bila dikonservasi), dan USD 9.1 milyar (bila dimanfaatkan secara lestari). Hal ini menunjukkan bahwa peran dan fungsi kawasan hutan di Ekosistem Leuser dan TNGL sangat besar dalam mendukung sistem penyangga kehidupan (life support system) dan keberlanjutan pembangunan (sustainable development) khususnya di daerah hilir.

Topografi sunting

Sebagian besar kawasan TNGL berada di wilayah pegunungan yang berbukit dan bergelombang, dengan 33 bukit atau gunung, dan 80% wilayahnya memiliki kemiringan di atas 40%. Sebagian kecil saja areal yang berupa dataran rendah dan tidak begitu luas yaitu di wilayah Sekundur dan Langkat. Sedangkan ketinggian kawasan 3404 mdpl.

Tanah dan Geologi sunting

Secara umum, pada kawasan TNGL terdapat minimal 11 jenis tanah. Tiga jenis mendominasi kawasan ini yaitu komplek podsolik dan litosol, komplek podsolik merah kuning latosol dan litosol dan andosol. Jenis-jenis tanah tersebut mencakup organosol dan gleihumus, regosol, podsolik merah kuning (batuan endapan), podsolik merah kuning (batuan aluvial), regosol, andosol, litosol, podsolik merah kuning (bahan endapan dan batuan beku), kompleks podsolik merah kuning latosol dan litosol, kompleks podsolik coklat, podsolik dan litosol, kompleks resina serta litosol.

Kawasan TNGL di wilayah Aceh memiliki tanah yang terdiri dari jenis: podsolik merah kuning, latosol dan litosol, podsolik cokelat, podosol dan litosol, andosol, regosol, podsolik merah kuning, rensing dan litosol, serta jenis organosol dang le humus. Adapun di wilayah Sumatera Utara, tanahnya terdiri atas jenis podsolik merah kuning, komplek podsolit cokelat, podosol dan litosol, tanah gambut, tanah vulkanik, adosol, komplek podsolit merah kuning, latosol dan litosol, dan tanah sedimentasi.

Bagian Utara Kawasan TNGL adalah pegunungan Leuser Simpoli yang terbentuk dari formasi Munkap mata-sedimen dan Glanelei dan baru mengalami sedikit pelapukan. Bagian Barat terdapat sabuk batu kapur yang membentuk rintangan.

Derah aliran sungai sunting

DAS : Bakongan, Batang Serangan, Batee, Belawan, Belumai, Besitang, Deli, Kluet, Lembang, Lepan, Manyak Payed/ Tamiang, Pawoh Baroh, Percut, Singkil, Susoh, Tripa, Ular, Wampu

Tipe Iklim sunting

Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kawasan Taman Nasional Gunung Leuser termasuk ke dalam A (Sangat Basah) dengan rata-rata curah hujan sekitar 2468 mm/tahun serta memiliki kelembaban sekitar 65 - 75% dan Temperatur bulanan kawasan suhu sekitar 25 °C.

Fauna sunting

 
Orangutan sumatera di Taman Nasional Gunung Leuser

Di taman nasional ini terdapat 130 jenis mamalia,[1] di antaranya orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii), sarudung (Hylobates lar), siamang (Hylobates syndactilus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestriana) dan kedih (Presbytis thomasi). Satwa karnivora di antaranya: macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus), harimau sumatera (Phantera tigris Sumatraensis). Satwa herbivora yang ada di taman nasional ini adalah gajah sumatera (Elephas maximus), badak sumatera (Dicerorhinus sumatraensis), dan rusa sambar (Cervus unicolor).[1]

Diperkirakan ada sekitar 89 spesies langka dan dilindungi berada di Taman Nasional Gunung Leuser, di antaranya:

Flora sunting

Vegetasi di kawasan TNGL termasuk flora Sumatera dan erat hubungannya dengan flora di Semenanjung Malaysia, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa dan bahkan Philipina. Formasi vegetasi alami di TNGL ditetapkan berdasarkan 5 kriteria, yaitu bioklimat (zona klimatik ketinggian dengan berbagai formasi floristiknya). Empat kriteria lainnya adalah hubungan antara komposisi floristik dengan biogeografi, hidrologi, tipe batuan dasar dan tanah. Van Steenis yang melakukan penelitian pada tahun 1937 (de Wilde W.J.J.O dan B.E.E. Duyfjes, 1996), membagi wilayah tumbuh-tumbuhan di TNGL dalam beberapa zona, yaitu:

  • Zona Tropika (termasuk Zona Colline, terletak 500 – 1000 mdpl). Zona Tropika merupakan daerah berhutan lebat ditumbuhi berbagai jenis tegakan kayu yang berdiameter besar dan tinggi sampai mencapai 40 meter. Pohon atau tegakan kayu tersebut digunakan sebagai pohon tumpangan dari berbagai tumbuhan jenis liana dan epifit yang menarik, seperti anggrek, dan lainnya.
  • Zona Peralihan dari Zona Tropica ke Zona Colline dan Zona Sub-Montane ditandai dengan semakin banyaknya jenis tanaman berbunga indah dan berbeda jenis karena perbedaan ketinggian. Semakin tinggi suatu tempat maka pohon semakin berkurang, jenis liana mulai menghilang dan makin banyak dijumpai jenis rotan berduri.
  • Zona Montane (termasuk zona sub montane,terletak 1000 – 1500 mdpl). Zona montane merupakan hutan montane. Tegakan kayu tidak lagi terlalu tinggi hanya berkisar antara 10 – 20 meter. Tidak terdapat lagi jenis tumbuhan liana. Lumut banyak menutupi tegakan kayu atau pohon. Kelembaban udara sangat tinggi dan hampir setiap saat tertutup kabut.
  • Zona Sub Alphine (2900 – 4200 mdpl), merupakan zona hutan Ercacoid dan tak berpohon lagi. Hutan ini merupakan lapisan tebal campuran dari pohon-pohon kerdil dan semak-semak dengan beberapa pohon berbentuk payung (familia Ericacae) yang menjulang tersendiri serta beberapa jenis tundra, anggrek dan lumut.[13] Diarsipkan 2022-07-18 di Wayback Machine.

Rujukan sunting

  1. ^ a b c "Taman Nasional Gunung Leuser". Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-30. Diakses tanggal 2013-06-09. 

Lihat pula sunting