Sudisman

Politikus Indonesia

Sudisman (27 Juli 1920 – Oktober 1968) adalah Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia (PKI) dan satu-satunya pemimpin PKI yang akan diadili setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sudisman dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi.[1][3][4]

Sudisman
Sekretaris Jendral Partai Komunis Indonesia
tidak dilantik secara sah
Masa jabatan
22 November 1965 – Desember 1966
Sebelum
Pendahulu
D.N. Aidit
Pengganti
Partai dibubarkan
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir27 Juli 1920
Surabaya, Hindia Belanda
MeninggalOktober 1968
Indonesia
KebangsaanIndonesia Indonesia
Partai politik Partai Komunis Indonesia
Afiliasi politik
lainnya
Pemuda Sosialis Indonesia
PekerjaanSekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia[1]
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kita hidup untuk berjuang, dan kita berjuang untuk hidup. Kita hidup bukan hanya demi hidup saja; kita hidup untuk mempertahankan hidup itu dengan keberanian sampai jantung kita berhenti berdetak. Sejak manusia dilahirkan, dari rengekan pertamanya sebagai bayi hingga nafas terakhirnya, hidup adalah perjuangan. Terkadang dia akan menghadapi perjuangan yang sangat sulit, terkadang dia akan menghadapi pertarungan yang sengit. Tidak setiap pertandingan seperti itu dimahkotai dengan kemenangan. Tetapi tujuan hidup adalah memiliki keberanian untuk memasuki pertempuran yang sengit ini dan pada saat yang sama memenangkan kemenangan. Inilah impian setiap orang yang berjuang, tidak terkecuali komunis. Ini juga impian hidupku. Karena tanpa mimpi, tanpa cita-cita, hidup itu tandus dan kosong.

Sudisman[2]

Sudisman merupakan anggota Politbiro PKI yang menduduki jabatan tertinggi keempat, dan merupakan satu-satunya dari lima pemimpin senior PKI yang diadili.[1][5] Semua kecuali satu dari sepuluh anggota Politbiro PKI dieksekusi mati.[5]

Sudisman mencoba mengorganisir kembali PKI menjadi gerakan bawah tanah setelah para pemimpin senior lainnya ditangkap dan dieksekusi tanpa pengadilan. Dia bertindak sebagai pemimpin PKI untuk waktu yang singkat sebelum akhirnya ditangkap pada Desember 1966.[5]

Riwayat hidup sunting

Masa kecil dan awal aktivisme sunting

Sudisman dilahirkan di Kedung Klinter, Surabaya, pada tanggal 27 Juli 1920. Ia merupakan putra Raden Surowisastro, seorang pejabat kotapraja yang juga merupakan anggota Partai Indonesia Raya (Parindra).[6][7][8] Sudisman sendiri berasal dari kalangan bangsawan dan bergelar Raden.[9]

Berkat pengaruh ayahnya, Sudisman sejak remaja sudah menjadi sosok yang nasionalis.[8] Pada usia 13 tahun, saat masih duduk di bangku HIS, Sudisman terlibat dalam perkumpulan Mardi Guna dan Vrienden van de HIS (Kawan-Kawan HIS), keduanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan siswa sekaligus menanamkan kesadaran nasionalisme dan menentang sentimen antipribumi. Saat di MULO, Sudisman aktif di perkumpulan Door Ons voor Ons (Oleh Kita Untuk Kita) dan Pentjak Budi Sedjati (PBS).[10]

Saat menjadi pelajar AMS Bagian B (Afdeeling B) di Surabaya, Sudisman pernah diminta oleh gurunya untuk melepaskan peci yang ia pakai saat memasuki kelas. Dia menolak dan mengatakan bahwa peci bukan termasuk topi, tetapi pakaian sehingga tidak perlu dilepas. Argumen itu diucapkannya dengan lantang agar didengar oleh kawan-kawan bekas Door Ons voor Ons yang mengikutinya di AMS.[8]

Pada masa mudanya, Sudisman juga terlibat dalam gerakan kepemudaan. Dia merupakan anggota Persatuan Pemuda Indonesia Surabaya (PERPIS) dan menjadi wakil organisasi tersebut dalam Kongres Pemuda Ketiga yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1939. Selain itu, Sudisman juga menjadi wakil ketua Indonesia Muda (IM) pada tahun 1940. Di tahun yang sama, Sudisman menjabat sebagai ketua perkumpulan seni Jawa, Laras Driyo, yang berpusat di kawasan Grogol Kauman, Surabaya.[11] Selama aktif dalam perkumpulan tersebut, dia kerapkali mengarang sandiwara dan menjadi sutradara pementasannya. Meski demikian, dia selalu main di belakang layar dan meminta orang lain untuk menjadi pemain utama.[8]

Awal karir politik sunting

Sudisman aktif di Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) sejak tahun 1940 dan menjadi Ketua Barisan Pemuda Gerindo cabang Surabaya.[10][12] Sudisman juga bergerak di dunia pers melalui majalah Tamparan bersama dengan Tjugito, bekas sesama pelajar MULO di Surabaya[13], yang mengakibatkannya dikenai persdelict sebanyak dua kali oleh pemerintah kolonial.[14][15] Akibatnya, dia sempat ditahan selama tiga hari dan harus mempertanggungjawabkan tulisannya di hadapan pemerintah kolonial.[8]

Pada masa pendudukan Jepang, dia terlibat dalam gerakan PKI ilegal di bawah pimpinan Pamudji, yang juga menjadi anggota dan ketua Gerindo di Surabaya dari tahun 1939-1940[16], dan berhasil merombak Persatuan Pemuda (PERDA) cabang Surabaya menjadi sebuah organisasi pemuda antifasis dengan nama Komite Pemuda Nasional Indonesia (KPNI). Sudisman juga mengorganisasi para pelajar Sekolah Menengah Tinggi (SMT) dalam perlawanan terhadap Jepang.[15] Sudisman akhirnya ditangkap Jepang pada 28 September 1942 dan dipenjara di Surabaya, sebelum akhirnya dipindah ke Penjara Sukamiskin di Bandung pada awal 1943.[17]

Masa Revolusi sunting

Karir politik semasa perang sunting

Sudisman keluar dari penjara pada 16 September 1945 dan sempat bergabung dengan BKR di Pasirkaliki, sebelum bergabung dengan Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya yang dipimpin oleh Sumarsono. Sudisman lalu menjabat sebagai ketua Pesindo.[15] Saat Pesindo masih berpusat di Madiun, Sudisman tinggal di sana bersama kakak perempuannya. Tidak hanya berperan sebagai orator ulung, Sudisman juga meluangkan waktu di atas panggung untuk menampilkan tarian Jawa, menyanyi, atau menulis serta membaca puisi untuk menghibur anggota laskarnya.[18] Sudisman juga berperan sebagai redaktur majalah Pesindo, Revolusioner, bersama dengan Tjugito.[19]

Dia menjadi anggota dewan harian Sajap Kiri pada tahun 1947, yang kemudian menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Pada tahun 1948, Sudisman juga menjadi calon anggota Politbiro CC PKI, sebelum akhirnya terpilih sebagai anggota Politbiro pada bulan Agustus 1948. Kemudian, pada tanggal 18 Desember 1948, Sudisman ikut memimpin demonstrasi pelajar untuk menuntut pemerintah Republik agar membalas ultimatum dari Belanda.[15] Setelah Agresi Militer Belanda II dilancarkan, Sudisman ikut memimpin perlawanan gerilya dan bersama M.H. Lukman, membangun kembali kekuatan PKI di berbagai daerah setelah sebelumnya melemah akibat Peristiwa Madiun. Sudisman akhirnya ditangkap tentara Belanda pada tanggal 21 Juni 1949 dan dipenjara selama 9 bulan di Semarang dan Ambarawa.[20][21][15]

Konflik suksesi PKI ilegal sunting

Sudisman berkonflik dengan Subandi Widarta mengenai suksesi kepemimpinan PKI ilegal setelah kematian Pamudji di tangan Jepang. Sudisman dan sekutunya, seperti Tjugito dan Fatkur Hadi, mengklaim bahwa ia mendapat mandat dari kunjungan Musso ke Surabaya pada tahun 1935 melalui Djokosoedjono dan Pamudji sendiri. Adapun Widarta mengklaim bahwa mandatnya berasal "dari rakyat". Widarta kemudian mengusulkan agar segera diadakan suatu pertemuan di internal partai untuk menyelesaikan masalah ini.[22]

Konflik justru diselesaikan dengan menangkap Widarta di Yogyakarta pada tahun 1947. Widarta kemudian dibawa ke markas besar Pesindo di Madiun, sebelum dibawa ke Parangtritis dan ditembak mati di sana.[23] Pelakunya adalah Fatkur Hadi dan Tjugito, dua sekutu Sudisman dalam tubuh PKI ilegal sekaligus anggota Pesindo.[24]

Pasca kemerdekaan sunting

Karir di PKI sunting

Setelah perang berakhir, Sudisman masih mendekam di penjara hingga dibebaskan pada tanggal 21 Maret 1950 dari Penjara Mlaten di Semarang atas perintah Gubernur Militer Jawa Tengah saat itu, Jenderal (saat itu masih berpangkat Kolonel) Gatot Subroto. Sudisman dibebaskan bersama dengan Tjugito.[19] Sudisman resmi kembali memimpin Sekretariat CC PKI pada hari yang sama, bersama dengan Aidit, M.H. Lukman, dan Njoto, yang saat itu masih berada di Yogyakarta dan dalam proses pindah ke Jakarta. Sudisman kembali dipilih sebagai anggota Politbiro CC PKI berdasarkan keputusan Kongres Nasional ke-V PKI pada tahun 1954 dan sidang pleno CC PKI pada tahun 1955. Di tahun yang sama, Sudisman juga terpilih menjadi anggota DPR RI mewakili Fraksi PKI.[15]

Keterlibatan dalam G-30-S dan penangkapan sunting

Sekalipun seorang anggota Politbiro, Sudisman sendiri tidak banyak terlibat dalam pengorganisasian Gerakan 30 September dan tidak begitu tahu mengenai perencanaan peristiwa penculikan. Sudisman mengaku bahwa dia hanya menaati perintah dari Aidit dan yakin bahwa Sjam juga melakukan hal yang sama. Dia tidak mempunyai hubungan dekat dengan para perwira yang terlibat, seperti Letkol Untung dan Brigjen Soepardjo, atau dengan Sjam dan anggota Biro Khusus.[25]

Meski demikian, dia disebut oleh Iskandar Subekti sebagai anggota dari sebuah tim khusus yang terdiri dari lima anggota Politbiro, yakni M.H. Lukman, Oloan Hutapea, Rewang, Aidit, dan Sudisman sendiri.[26] Tim tersebut berfungsi untuk membahas cara-cara yang akan ditempuh partai untuk mendukung gerakan. Dengan demikian, Politbiro hanya terlibat sebagai pendukung dan bukan pemrakarsa. Adapun pada tanggal 30 September, Sudisman bersama Hasan Raid sedang bersembunyi di sebuah rumah di Jakarta untuk memantau siaran radio.[27]

Setelah gagalnya gerakan, Sudisman, seperti kebanyakan pimpinan PKI, menyalahkan Aidit dan mengatakan bahwa ia bergerak atas inisiatif sendiri. Dia menyayangkan bagaimana prinsip sentralisme demokratik partai sudah menyeleweng dan lebih condong pada "sentralisme" ketimbang "demokrasi". Pendapat yang serupa juga diutarakan oleh anggota CC PKI lainnya, Djokosoedjono. Sudisman menegaskan bahwa dominasi Aidit terjadi bukan karena Aidit seorang diktator, tetapi lebih karena penguasaannya terhadap teori yang lebih kuat dari anggota-anggota lainnya. Sudisman juga mempersalahkan pimpinan PKI, termasuk dirinya, yang telah membiarkan Aidit terlalu mendominasi sehingga mampu mewujudkan "avonturismenya".[28]

Sudisman kemudian bersembunyi di rumah Tan Swie Ling, salah seorang sekretarisnya, pada tahun 1966.[29] Selama bersembunyi, Sudisman mengambil alih kepemimpinan partai dan menulis sebuah otokritik berjudul Tegakkan PKI yang Marxis-Leninis untuk Memimpin Revolusi Demokrasi Rakyat Indonesia yang diterbitkan atas nama Politbiro pada bulan September 1966. Kepadanyalah otokritik Soepardjo ditujukan.[30] Sudisman akhirnya ditangkap bersama Tan pada bulan Desember 1966.[31]

Persidangan dan kematian sunting

Sudisman adalah satu-satunya anggota Politbiro PKI dengan jabatan tertinggi yang hadir di hadapan Mahmillub (Mahkamah Militer Luar Biasa),[32] karena anggota-anggota lainnya telah dieksekusi mati. Pengadilan Sudisman diadakan pada bulan Juli 1967.[5] Kesaksian Sudisman dan para pemimpin PKI lainnya sangat memperkuat kasus yang menimpa mereka dalam persidangan. Mereka kurang lebih mengakui keterlibatan mereka dalam upaya kudeta.

Namun, mereka menyatakan bahwa Gerakan 30 September dibenarkan karena memang benar telah terjadi apa yang disebut Dewan Jenderal yang berkomplot dengan Soekarno untuk mengambil alih kekuasaan setelah kematiannya, atau menggulingkannya. Mereka menyangkal tuduhan dan interpretasi bahwa PKI adalah satu-satunya pengatur upaya kudeta tersebut.[32] Versi Angkatan Darat dan Kejaksaan tentang peristiwa tersebut sangat tidak mungkin, dan inisiatif pertama untuk upaya kudeta kemungkinan berasal dari perwira Angkatan Darat yang tidak puas, terlepas dari keterlibatan pimpinan PKI.[32]

Kesaksian Sudisman memberikan penjelasan yang masuk akal bahwa PKI sebagai sebuah organisasi tidak terlibat dalam upaya kudeta, dan Dipa Nusantara Aidit adalah orang yang bertindak atas inisiatif sendiri dan berkomplot dengan para perwira.[1][32] Soeharto berhasil menggunakan tindakan Aidit sebagai pembenaran atas pembantaian di Indonesia 1965-1966. Penghapusan PKI dari politik Indonesia berhasil mencapai tujuan para perwira sayap kanan dan ekstremis Muslim yang didukung oleh Amerika Serikat.[1] Sudisman akhirnya dieksekusi pada bulan Oktober 1968.[5]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e Robert Manne; Mark Aarons (1 March 2016). "Rivers ran red". The Monthly. 
  2. ^ Benedict R. O'G Anderson (January 2006). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Equinox Publishing. hlm. 269. ISBN 978-979-3780-40-5. 
  3. ^ "MIA: Encyclopedia of Marxism: Glossary of People: Su". Marxists Internet Archive. Diakses tanggal 9 May 2016. 
  4. ^ Hunter 2007, hlm. 49.
  5. ^ a b c d e Guy J. Pauker (February 1969). "The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia" (pdf). RAND Corporation. Memorandum RM-5753-PR. 
  6. ^ Anderson 1988, hlm. 481.
  7. ^ Sudisman 2001, hlm. 112.
  8. ^ a b c d e Soeryana (1985). "Soedisman: The Organisator and "the King Maker" that Failed". Flinders Universtiy Library. Diakses tanggal 19 Maret 2024. 
  9. ^ "MULO Soerabaia: Toelatings-examen voorklas". De Indische Courant. 1934-06-11. Diakses tanggal 14 Januari 2024. 
  10. ^ a b Parlaungan 1955, hlm. 295.
  11. ^ "Oprichting Javaansche Jeugd Kunstvereeniging". Soerabaijasch Handelsblad. 1940-03-20. Diakses tanggal 29 Desember 2023. 
  12. ^ Hanafi 1998, hlm. 59.
  13. ^ "MULO te Soerabaia: Wie geslaagd zijn voor het eindexamen". De Indische Courant. 1939-06-30. Diakses tanggal 14 Januari 2024. 
  14. ^ Matanasi, Petrik (2 Desember 2021). "Petualangan Politik Tjugito Berawal dan Berakhir di Bawah Tanah". Tirto.id. Diakses tanggal 29 Desember 2023. 
  15. ^ a b c d e f Parlaungan 1955, hlm. 296.
  16. ^ Lucas 2012, hlm. 463.
  17. ^ Lucas 2012, hlm. 106.
  18. ^ Fanggidaej 2006, hlm. 90-91.
  19. ^ a b "Journalisten vrijgelaten". De Locomotief. 1950-03-22. Diakses tanggal 9 Februari 2024. 
  20. ^ "Gevangenen ontslagen". De Locomotief. 1950-02-06. Diakses tanggal 9 Februari 2024. 
  21. ^ "Communistische leiders duiken op!". De Locomotief. 1949-11-18. Diakses tanggal 2024-02-24. 
  22. ^ Lucas 2012, hlm. 106-107.
  23. ^ Lucas 2012, hlm. 111.
  24. ^ Lucas 2012, hlm. 122.
  25. ^ Roosa, hlm. 203-204.
  26. ^ Roosa, hlm. 212.
  27. ^ Roosa, hlm. 214.
  28. ^ Roosa, hlm. 216-217.
  29. ^ "Rest in Peace | Tan Swie Ling". YPKP 65. 2019-01-25. Diakses tanggal 11 Maret 2024. 
  30. ^ Roosa, hlm. 165.
  31. ^ Roosa, hlm. 217.
  32. ^ a b c d Harold Crouch. "Another Look at the Indonesian 'Coup'" (PDF). sukarnoyears.com. Diarsipkan dari versi asli (pdf) tanggal 2 November 2013. 

Daftar Pustaka sunting

  • Anderson, Benedict Richard O'Gorman (1988). Revoloesi Pemoda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. ISBN 978-979-416-027-5. 
  • Fanggidaej, Francisca C. (2006). Memoar Perempuan Revolusioner. Yogyakarta: Galangpress. ISBN 979-3627-67-0. 
  • Hanafi, Anak Marhaen (1998). A.M. Hanafi Menggugat Kudeta Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar: Catatan Pengalaman Pribadi Seorang Eksponen Angkatan 45. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 
  • Hunter, Helen-Louise (2007). Sukarno and the Indonesian Coup: The Untold Story. Westport: Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-275-97438-1. 
  • Lucas, Anton (2012). Radikalisme Lokal: Oposisi dan Perlawanan terhadap Pendudukan Jepang di Jawa (1942-1945). Yogyakarta: Syarikat Indonesia. ISBN 978-978-128-705-3. 
  • Parlaungan (1956). Hasil Rakjat Memilih Tokoh-tokoh Parlemen (Hasil Pemilihan Umum Pertama - 1955) di Republik Indonesia. Jakarta: C.V. Gita. 
  • Roosa, John (2008). Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia. ISBN 978-979-17579-0-4. 
  • Sudisman (2001). Pleidoi Sudisman: & Statement Politiknya menyongsong Eksekusi. Jakarta: Pustaka Pena. 
Didahului oleh:
D.N. Aidit
Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia
1965–1966
Diteruskan oleh:
Partai dibubarkan