Pdt. Rinaldy Damanik, S.Th., M.Si, adalah seorang pendeta dan tokoh gereja di Indonesia. Rinaldy termasuk salah satu deklarator perdamaian Poso yang digelar pada akhir tahun 2001, Deklarasi Malino.

Kehidupan pribadi

sunting

Rinaldy Damanik dilahirkan pada tahun 1957, dan merupakan anak tertua dari enam bersaudara, yang semuanya berprofesi sebagai dokter. Ia menempuh pendidikannya di Universitas Sumatera Utara pada tahun 1975 hingga 1978 dan kemudian melanjutkannya di Sekolah Tinggi Teologi Ujung Pandang dan lulus pada tahun 1985 dengan gelar Sarjana Theologia dengan predikat cum laude. Pada tahun 1992, ia melanjutkan studi di Institut Hendrik Kraemer, Utrecht, Belanda. Pada tahun 1998, ia mendapatkan beasiswa dan melanjutkan pendidikannya di Universitas Kristen Satya Wacana dan lulus dengan gelar Magister Sosiologi. Ia menikah dengan Atika Citrawaty Batewa dan mempunyai dua orang anak, masing-masing bernama Ananda Damanik dan Ryan Damanik (alm.).

Karier

sunting

Pada tahun 2000 hingga 2004, ia dipilih sebagai Sekretaris Umum Majelis Sinode dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), sebuah gereja beraliran Calvinisme di Indonesia. Rinaldy aktif dalam berbagai lembaga sosial dan hak asasi manusia, antara lain Dewan Federasi KontraS Nasional; Asean Human Right Comission. Ia juga banyak melibatkan diri dalam organisasi gereja dan sosial di tingkat nasional dan internasional, termasuk menghadiri undangan ke berbagai benua seperti Asia, Eropa, Australia, dan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Kanada. Ketika ia masih berada di balik jeruji besi, ia dipilih menjadi Ketua Umum Majelis Sinode (uskup) GKST untuk periode 2004 hingga 2008 dan anggota Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia untuk periode 2004 hingga 2008.

Kerusuhan dan penjara

sunting

Pada awal tahun 2000-an, Kerusuhan Poso pecah. Rinaldy Damanik ditunjuk sebagai Koordinator Crisis Center untuk Poso yang bertugas mengevakuasi korban kerusuhan, investigasi, advokasi dan publikasi fakta terkait kerusuhan. Ia termasuk tokoh yang dengan keras mengkritisi pemerintah dan aparat keamanan dalam penanganan kerusuhan. Pada tanggal 11 September 2002, ia ditahan saat memberikan kesaksian terkait kekerasan di Poso pada bulan Agustus 2002, dalam sidang yang digelar di Mabes Polri di Jakarta. Ia pada awalnya ditahan dengan tuduhan kepemilikan senjata api yang diduga disita saat kendaraannya digeledah. Pada tanggal 18 Februari 2003, Rinaldy memboikot sidang saat mengetahui bahwa dirinya disebut sebagai provokator dalam kerusuhan. Jaksa Penuntut gagal menghasilkan satu saksi yang dapat dipercaya yang menghubungkan Damanik dengan mobil tersebut dan atas tuduhan bahwa dirinya adalah provokator. Prisoner Alert menyebut bahwa Damanik kemungkinan besar dijadikan pion dalam konflik yang jauh lebih besar dan bukan hanya tentang agama tetapi juga masalah politik, ekonomi dan militer. Pada tanggal 16 Juni 2003, Rinaldy Damanik dijatuhi hukuman tiga tahun penjara karena kepemilikan senjata ilegal. Ia berencana mengajukan banding atas hukuman ini. Pengacara Rinaldy yang beragama Islam dituduh melanggar agama mereka karena ikut ambil bagian dalam permasalahan ini. Nama-nama pendukung Rinaldy Damanik diterbitkan di surat kabar lokal dengan ancaman bahwa mereka juga akan ditangkap.[1]

Pada tanggal 24 September 2004, International Friends of Compassion mengumumkan peluang dibebaskannya Rinaldy Damanik. Ia akhirnya dibebaskan pada tanggal 9 November 2004, setelah Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, menerbitkan surat pembebasan bersyarat beberapa bulan sebelumnya. Ia dibebaskan karena berkelakuan baik selama mendekam di penjara. Meski demikian, Rinaldy tetap diawasi hingga masa tahanannya berakhir.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ "Rinaldy Damanik". Prisoner Alert. 10 April 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-13. Diakses tanggal 13 Desember 2017. 
  2. ^ Darlis (9 November 2004). "Pendeta Damanik Bebas". Tempo. Diakses tanggal 13 Desember 2017. 

Bibliografi

sunting

Sumber

sunting