Lorraine V. Aragon (lahir, (1954-01-07)7 Januari 1954), adalah seorang antropolog budaya dan peneliti Amerika Serikat. Aragon telah melakukan penelitian jangka panjang di Indonesia, dan kerja lapangan komparatif di negara-negara Asia Tenggara lainnya termasuk Singapura, Malaysia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Saat ini, dia menjabat sebagai profesor antropologi di University of North Carolina at Chapel Hill.[1]

Lorraine Aragon
LahirLorraine V. Aragon
7 Januari 1954 (umur 70)
KebangsaanAmerika Serikat Amerika Serikat
PekerjaanPeneliti, Antropolog budaya
Tahun aktif1990-sekarang
Karya terkenalFields of the Lord: Animism, Christian Minorities, and State Development in Indonesia (2000)

Kehidupan pribadi

sunting

Aragon lahir pada tanggal 7 Januari 1954. Pada tahun 1992, dia mendapatkan gelar Ph.D dari Universitas Illinois.[2]

Aragon memulai kerja lapangannya di Sulawesi, Indonesia, untuk meneliti konsekuensi dari misi penginjilan Protestan dan konversi petani padi dari dataran tinggi. Pada awal tahun 1998, Aragon menyelidiki dan menganalisis ketegangan regional dan konflik agama di Indonesia, yang berbasis di ketidakadilan pemerintahan yang lama serta kebijakan ekonomi dan politik yang lebih baru.[2]

Bidang penelitian

sunting

Bidang profesional yang digelutinya termasuk persimpangan praktik keagamaan, kesenian daerah, dan lembaga-lembaga negara yang mengatur perbedaan etnis dan hukum properti. Dia telah bekerja di museum serta di bidang akademis dan LSM. Dia adalah penulis atau co-penulis dari berbagai macam artikel dan buku termasuk Fields of the Lord: Animism, Christian Minorities, and State Development in Indonesia (2000) dan Beyond the Java Sea: Art of Indonesia’s Outer Islands (1991).[2]

Penolakan istilah Toraja di Sulawesi

sunting

Aragon juga melakukan penelitian atas istilah Toraja (Toradja) di wilayah Sulawesi, dan menemukan bahwa To Luwu adalah masyarakat yang pertama kali menolak penyebutan Toraja untuk Umat Kristen di Sulawesi Selatan, dan hal tersebut diakui oleh Makkole dan Maddika Luwu saat itu, dan juga karena wilayah yang dihuni Suku Toraja adalah wilayah Kerajaan Luwu yang mana wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Morowali[3], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) sampai ke seluruh wilayah Tana Toraja, oleh karena itu To Luwu menolak terhadap istilah Toraja (Toradja) untuk penyebutan Umat Kristen di Sulawesi Selatan.

Penolakan atas istilah Toraja inilah yang membuat ragu masyarakat Sulawesi pada saat terjadi gerakkan Monangu Buaya oleh Kerajaan Luwu, karena bunyi dari Monangu Buaya adalah sangat bertentangan dengan penolakan istilah Toraja (Toradja) yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, karena bunyi dari Monangu Buaya (Monangu Buaja) adalah "Semua Suku Toraja (Toradja-Stammen) dan Umat Kristen di Tana Poso harus mendukung semua Budaya Luwu termasuk Monangu Buaya", dan itu sangat tidak mungkin terjadi dimana sedang terjadi salah paham dan "pengusiran" antara pihak masyarakat Sulawesi Selatan yang menentang istilah Toraja ciptaan misionaris Belanda dan Budaya Luwu Monangu Buaya yang didukung misionaris Belanda dengan kata lain sedang terjadi permusuhan antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan pihak misionaris Belanda, sehingga semua masyarakat Sulawesi berkesimpulan bahwa gerakan menarik upeti Monangu Buaya (Monangu Buaja; krokodilzwemmen)[4] adalah bukan dari Kerajaan Luwu tetapi Monangu Buaya adalah ciptaan misionaris Hindia Belanda. Terbukti dari Monangu Buaya mengutip ayat dari Alkitab Injil yaitu " dengan melihat kepada Tokoh Alkitab Injil yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus".[5]

Di zaman moderen para peneliti dan akademisi Sulawesi seperti Priyanti Pakan, Mashudin Masyhuda, Andi Mattulada, dan Lorraine Aragon juga pada awalnya menolak penerapan istilah Toraja bagi penduduk Sulawesi Tengah.[6]

Penghargaan

sunting

Dia telah menerima penghargaan penelitian dan beasiswa dari National Endowment for Humanities, National Humanities Center, Yayasan John D. dan Catherine T. MacArthur, US Fulbright, National Science Foundation, ACLS, dan Yayasan Wenner-Gren untuk Penelitian Antropologi.[7]

Sumber

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Lorraine Aragon". Learn NC. Diakses tanggal 19 Oktober 2016. 
  2. ^ a b c "Lorraine V. Aragon on University of North Carolina". University of North Carolina at Chapel Hill. Diakses tanggal 19 Oktober 2016. 
  3. ^ KEDATUAN LUWU WILAYAHNYA HANYA SAMPAI MOROWALI, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH. [1].
  4. ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), menyatakan Monangu buaya yaitu budaya ciptaan Misionaris Belanda dengan meminjam nama dari Kerajaan Luwu , [2], Diakses 30 Juni 2023.
  5. ^ "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), kematian Lazarus yang berbaju apa adanya (To Lampu) berbeda dengan Baju Mewah atau Baju Inodo yang milik dari Suku Bare'e (Bare'e-Stammen), [3].
  6. ^ Aragon 2000, hlm. 2.
  7. ^ "Lorraine V. Aragon F'16". ACLS. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-10-19. Diakses tanggal 19 Oktober 2016. 
  8. ^ "Copyrighting Culture for the Nation? Intangible Property Nationalism and the Regional Arts of Indonesia" (PDF). International Journal of Cultural Property. Diakses tanggal 19 Oktober 2016. 
  9. ^ "Living without Please or Thanks in Indonesia: Cultural Translations of Reciprocity and Respect". Indiana University Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-10-19. Diakses tanggal 19 Oktober 2016. 
  10. ^ "Where Commons Meet Commerce: Circulation and Sequestration Strategies in Indonesian Arts Economies". Anthropology of Work Review. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-24. Diakses tanggal 19 Oktober 2016. 
  11. ^ "Distant Processes: The Global Economy and Outer Island Development in Indonesia". Left Coast Press. Diakses tanggal 19 Oktober 2016.