Radio Republik Indonesia Yogyakarta (RRI Yogyakarta, juga dikenal sebagai RRI Jogja) adalah stasiun radio milik LPP Radio Republik Indonesia di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdiri pada tahun 1934 sebagai Mataramsche Vereeniging voor Radio Omroep (MAVRO), stasiun ini mengoperasikan empat stasiun radio FM dan satu frekuensi AM. RRI Yogyakarta berlokasi di Jalan Ahmad Jazuli Nomor 4, Kotabaru, Gondokusuman, Yogyakarta.[1] Gedung yang ditempati saat ini merupakan salah satu cagar budaya yang terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta.[2]

RRI Yogyakarta
LPP RRI Stasiun Yogyakarta
KotaKota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
Wilayah siarSeluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
Frekuensi
  • 91.1 FM (Pro 1)
  • 102.5 FM (Pro 2)
  • 102.9 FM (Pro 3)
  • 106.6 FM dan 1107 AM (Pro 4)
Mulai mengudara1934; 90 tahun lalu (1934) (sebagai MAVRO)
1945; 79 tahun lalu (1945) (sebagai RRI Yogyakarta)
FormatLihat Radio Republik Indonesia#Radio
BahasaBahasa Indonesia
Bahasa Jawa
Otoritas perizinan
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI
JaringanRRI
PemilikLPP RRI
Situs webrri.co.id/yogyakarta

Sejarah

sunting

Awal berdiri

sunting

Cikal bakal adanya RRI di Yogyakarta adalah adanya radio-radio peninggalan Hindia-Belanda seperti di Yogyakarta yaitu Mataramsche Vereeniging voor Radio Omroep (MAVRO). MAVRO berdiri pada bulan Februari 1934 dan berdirinya radio tersebut tidak terlepas dari peran Sri Sultan Hamengkubuwono VIII yang memberikan bantuan finansial.[3] Pada masa itu terdapat dua studio untuk menyelenggarakan penyiaran, yaitu untuk siaran sore di Kepatihan dan untuk siaran malam di Ndalem Ngabean.

Sayangnya, masa kejayaan MAVRO berhenti ketika Jepang menduduki Hindia-Belanda pada tanggal 8 Maret 1942. Pada zaman Pendudukan Jepang, semua radio-radio di Indonesia berada langsung dibawah naungan Hoso Kyoku, termasuk radio yang ada di Yogyakarta.[3]

Berdirinya RRI Yogyakarta dan masa revolusi kemerdekaan

sunting

Terjadinya pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki membuat tentara Jepang di Indonesia turut berhasil dipukul mundur. Tanpa berlama-lama, pada 11 September 1945, perwakilan dari delapan bekas radio tawanan Jepang yang mana didalamnya termasuk perwakilan dari Yogyakarta mengadakan pertemuan bersama pemerintah di Jakarta. Dari pertemuan ini Radio Republik Indonesia (RRI) resmi didirikan dan tanggal tersebut hingga sekarang diperingati sebagai Hari Radio.[4]

Namun sayang, perjalanan RRI Yogyakarta pada masa awal kemerdekaan mengalami pasang surut, dimana stasiun radio yang awalnya berada di Balai Mataram ini pernah menjadi sasaran pengeboman oleh tentara Sekutu. Pada Minggu 25 Oktober 1945 jam delapan pagi, dua pesawat pengebom sekutu terbang di atas Yogyakarta untuk menyebar selebaran- selebaran berisi ancaman pengeboman atas gedung RRI. Seperempat jam kemudian, mereka benar-benar mengebom gedung RRI Yogya. Untungnya pemancar-pemancar selamat dan para pegawai bisa lolos. Setelah itu, RRI Yogyakarta tetap berjuang dan dibom lagi. Malam sesudah serangan itu, para penyiar tetap mengudara untuk membakar semangat juang. Akibatnya, pada 27 Oktober 1945 pesawat-pesawat Sekutu mengebom lagi kota tersebut dan mengakibatkan banyak kerusakan parah.[5]

Para pegawai dan penyiar RRI Yogya terus berjuang. Alat-alat yang selamat diamankan dan disembunyikan di beberapa tempat seperti di Puro Pakualaman, di asrama CPM Gondolayu, di rumah-rumah di Terban Taman, Patangpuluhan, dan Ngadinegaran. Salah satu alat vital berkekuatan 3,5 KW berhasil selamat sehingga bisa memancarkan siaran sampai ke luar negeri. Begitu suasana reda, para angkasawan RRI Yogyakarta mengudara kembali. Menggelorakan terus semangat kebangsaan melalui corong radio dari stasiun radio darurat di kawasan Terban Taman. Kemudian, RRI Yogyakarta memakai rumah-rumah nomor 6, 8, dan 10 di Secodiningratan. Rumah nomor 8 dipakai sebagai studio siaran dan ruang kontrol. Rumah nomor 6 untuk kantor. Dan rumah nomor 10 untuk mess pegawai RRI dan untuk siaran ke luar negeri.[5]

Komitmen DIY pada RI dan gelora nasionalisme yang terpancar dari Yogyakarta dengan begitu kuatnya mendorong Soekarno-Hatta memindahkan ibukota RI ke Yogyakarta setelah Jakarta tidak lagi kondusif. Sejak 4 Januari 1946, Yogyakarta menjadi Ibukota RI. Karena itu, pusat penyiaran RRI nasional yang semula berada di Surakarta dipindahkan ke Yogyakarta. Dengan sendirinya RRI Yogyakarta mempunyai status istimewa karena melayani kepentingan Pemerintah RI yang harus diikuti oleh daerah-daerah lain di seluruh nusantara. Dalam buku Republik Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta yang diterbitkan Departemen Penerangan (1953) dilaporkan bahwa meskipun waktu itu kekuatan pemancar-pemancar Yogya hanya kurang lebih seperempat KW untuk siaran dalam negeri dan 3,5 KW untuk siaran luar negeri, suaranya kedengaran jelas dari berbagai tempat di Indonesia dan di luar negeri.

Giatnya RRI Yogyakarta waktu itu mendorong kreativitas untuk berkomunikasi. Atas inisiatif Sri Paku Alam VIII, RRI Yogyakarta, dan Jawatan Penerangan, diadakan kegiatan penyiaran berita via telepon sejak Oktober 1947. Setiap hari selama sejam (pukul 17.00–18.00 WIB) disebarkan berita-berita dengan perantaraan telepon dari Yogyakarta ke berbagai daerah di Indonesia. Tim teknis dari RRI Yogyakarta melakukan modifikasi sehingga kalau telepon diangkat maka suaranya dapat didengarkan oleh tiga atau empat orang. Inilah yang kemudian dikenal sebagai ”siaran radio zonder gelombang”.[5]

Perjuangan para angkasawan RRI Yogyakarta diuji manakala Belanda menyerbu Yogyakarta pada 19 Desember 1948. RRI Yogyakarta berhasil dikuasai Belanda. Untungnya sudah ada pemancar rahasia di kecamatan Playen, Gunungkidul. Sayangnya Belanda berhasil merangsek dan merusak alat- alat di Playen itu sehingga para petugas pun menyelamatkan diri dan terus bergerilya. Namun, RRI tidak pernah menemui ajalnya. Pada 30 Mei 1949, sebulan sebelum ”Yogya Kembali”, atas perintah Kementerian Penerangan dibentuk panitia radio yang kemudian bertugas menerima penyerahan kantor radio dari Belanda.[5]

RRI Yogyakarta masa kini

sunting

Empat tahun setelah penyerahan kantor radio dari Belanda dan kembalinya ibukota RI ke Jakarta, RRI Yogyakarta mendapat status sebagai "Nusantara II" pada tahun 1953.

Pada masa pemerintahan orde baru, RRI Yogyakarta berstatus Nusantara II dan bernaung di bawah Departemen Penerangan dengan sebutan RRI Stasiun Nusantara II Yogyakarta. Pada awal era reformasi dari tahun 2000 hingga 2005 sebutan tersebut berubah menjadi RRI Cabang Madya Yogyakarta dengan status Perusahaan Jawatan yang bernaung di bawah Departemen Keuangan.[6] Kemudian pada tahun 2005, statusnya berubah menjadi Lembaga Penyiaran Publik dengan nama LPP RRI Yogyakarta.

RRI Yogyakarta merupakan satu lembaga komunikasi masa elektronik auditif yang berfungsi sebagai sarana komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat. Sebagai radio milik pemerintah sudah barang tentu keberadaannya tidak dapat terlepaskan dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dalam operasionalnya, RRI Yogyakarta berperan dalam menyebarluaskan berbagai siaran mengenai informasi, pendidikan, dan hiburan kepada segala lapisan masyarakat.[6]

Stasiun

sunting
Logo programa siaran RRI Yogyakarta (selain RRI Pro 3).

RRI Yogyakarta saat ini menjalankan empat stasiun radio, salah satu di antaranya merelai RRI Programa 3. Empat stasiun radio tersebut disiarkan baik di gelombang FM maupun AM. Stasiun-stasiun radio tersebut antara lain: Gelombang FM

Gelombang AM

  • RRI Programa 4 Yogyakarta (1007 AM)

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Alamat RRI Yogyakarta". PPID LPP Radio Republik Indonesia. Diakses tanggal 22 Juli 2024. 
  2. ^ "Alamat RRI Yogyakarta". Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi D.I. Yogyakarta. Diakses tanggal 22 Juli 2024. 
  3. ^ a b "Telusuri Sejenak jejak RRI Jogja Masa Lalu". LPP Radio Republik Indonesia. 6 Agustus 2023. Diakses tanggal 23 Juli 2024. 
  4. ^ "Telusuri Sejenak jejak RRI Jogja Masa Lalu". IDN Times Jogja. 21 Januari 2024. Diakses tanggal 23 Juli 2024. 
  5. ^ a b c d "Sejarah RRI Yogyakarta". PPID LPP Radio Republik Indonesia. 
  6. ^ a b "Peran RRI Yogyakarta dalam Pelestarian Karawitan". Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Diakses tanggal 23 Juli 2024. 

Pranala luar

sunting