Prabu Siliwangi

tokoh semi-mitologis dalam tradisi Sunda

Prabu Siliwangi atau Raja Siliwangi (Sunda: ᮕᮨᮛᮨᮘᮥᮞᮤᮜᮤᮂᮝᮍᮤ, translit. Perebu Silih Wangi) adalah tokoh semi-legendaris yang digambarkan sebagai raja agung Kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu sebelum berkembangnya Islam di Tatar Sunda.[1]:415

Lukisan perwujudan Prabu Siliwangi di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Dia adalah tokoh populer dalam tradisi lisan pantun Sunda, sastra Sunda, dongeng, cerita rakyat, sandiwara, dan legenda yang menggambarkan masa pemerintahannya sebagai masa keemasan masyarakat Sunda. Tradisi Sunda menyebutkan beliau sebagai raja yang sakti, cakap, gagah perkasa, adil, dan bijaksana yang berhasil membawa rakyat dan kerajaannya menuju era kejayaan dan kemakmuran.

Tokoh Prabu Siliwangi adalah tokoh semi-mitologi karena tradisi lisan Sunda hanya menyebutkan raja agung Sunda sebagai "Prabu Siliwangi" tanpa memperhatikan era atau kurun waktu sejarahnya. Sulit untuk memastikan dan mengidentifikasi siapakah tokoh sejarah yang dimaksudkan sebagai Prabu Siliwangi yang legendaris ini. Akibatnya kisah mengenai raja legendaris ini membentang dari era mitologi yang terkait kisah dewa-dewi Sunda kuno, hingga ke zaman kemudian saat datangnya ajaran Islam ke Tatar Sunda menjelang keruntuhan kerajaan Sunda Pajajaran.

Beberapa pihak telah mengajukan pendapat mengenai siapa tokoh sejarah nyata yang menginspirasi kisah Prabu Siliwangi ini. Penafsiran paling populer mengaitkan Prabu Siliwangi dengan tokoh sejarah raja Sunda bernama Sri Baduga Maharaja[2][3] yang disebutkan bertakhta di Pajajaran pada kurun 1482–1521. Sementara ada pihak lain yang berpendapat bahwa legenda Prabu Siliwangi mungkin terinspirasi oleh tokoh sejarah raja Sunda sebelumnya yang bernama Niskala Wastu Kancana, yang disebutkan memerintah selama 104 tahun dari kurun waktu 1371–1475.[1]:415

Etimologi sunting

Sebuah teori kebahasaan menyebutkan bahwa nama Siliwangi berasal dari istilah dalam bahasa Sunda Silih Wangi, yang berarti pengganti atau penerus Raja Wangi. Raja Wangi sendiri berarti seorang raja yang memiliki nama yang harum (wangi).

Menurut Kidung Sunda dan Carita Parahyangan, Raja Wangi diidentifikasi sebagai Maharaja Linggabuana, seorang raja Sunda yang gugur di Majapahit pada 1357 dalam peristiwa Perang Bubat. Dikisahkan Raja Hayam Wuruk, raja Majapahit, berniat mempersunting Dyah Pitaloka Citraresmi, putri raja Sunda. Keluarga kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi, Gajah Mada, mahapatih Majapahit, melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menuntut takluknya kerajaan Sunda di bawah Majapahit. Dia menuntut bahwa sang putri tidak akan dijadikan sebagai permaisuri Majapahit, melainkan hanya akan diperlakukan sebagai selir, sebagai tanda persembahan taklukknya kerajaan Sunda sebagai kerajaan bawahan dari Majapahit.

Murka akibat penghinaan Gajah Mada ini, keluarga kerajaan Sunda berjuang belapati melawan balatentara Majapahit sampai mati demi membela kehormatan mereka. Setelah kematiannya, Raja Lingga Buana diberikan gelar Wangi (raja yang harum namanya) karena aksi keberanian dan kepahlawanannya dalam mempertahankan kehormatan kerajaan.

Keturunannya yang memiliki keagungan yang setara disebut dengan gelar Silihwangi (penerus Raja Wangi). Setelah mangkatnya Raja Wangi (Prebu Maharaja), terdapat tujuh raja penerusnya, yang secara teknis semuanya dianggap pewaris Raja Wangi (Silihwangi).

Sementara sejarahwan lain berpendapat bahwa nama Siliwangi berasal dari istilah Sunda Asilih Wewangi, yang berarti berganti gelar.[4]

Legenda Prabu Siliwangi sunting

 
Sebuah candi dipersembahkan untuk memuliakan Prabu Siliwangi yang terletak di Pura Parahyangan Agung Jagatkarta di Bogor, Jawa Barat.

Sebuah legenda Sunda menyebutkan mengenai kisah Pangeran Jayadewata, putra Prabu Anggalarang, raja Kerajaan Galuh, yang memerintah di keraton Surawisesa di kota Kawali. Pangeran Jayadewata juga dikenal dengan gelar Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana.[2]

Pada saat mudanya, pangeran Jayadewata dikenal dengan panggilan Raden Pamanah Rasa (pemanah rasa cinta). Nama ini menunjukkan bahwa sang pangeran memiliki paras sangat tampan dan mempesona, sehingga semua orang sangat mudah jatuh hati kepadanya. Tradisi Sunda menyebutkan sang pangeran adalah siswa yang cerdas dalam hal kesusastraan, musik, tari, dan seni, termasuk mahir dalam seni bela diri pencak silat, serta keterampilan khas kebangsawanan seperti seni perang dan panahan.

Seorang tokoh di dalam kerajaan berniat jahat menggulingkan Raja Anggalarang dan akhirnya berhasil membunuhnya dan merebut takhta. Sementara Pangeran Jayadewata diracuni dan disihir dengan menggunakan ilmu hitam yang mengakibatkan dia menjadi hilang ingatan bahkan menjadi sinting. Pangeran yang sakti namun kurang waras ini kemudian berkelana ke penjuru negeri menimbulkan kegaduhan di desa-desa. Akhirnya, Ki Gedeng Sindangkasih, kepala desa Sindangkasih, berhasil menjinakannya. Berkat cinta Nyi Ambetkasih, putri Ki Gedeng, sang pangeran akhirnya berhasil disembuhkan dari sakit ingatannya. Pangeran Jayadewata kemudian mengawini Nyi Ambetkasih. Kemudian, Pangeran Jayadewata berhasil menghimpun dukungan rakyat dan berhasil menuntut kembali haknya atas takhta kerajaan Sunda.

Harimau Siliwangi sunting

 
Lambang Harimau Divisi Siliwangi.

Tradisi Sunda mengaitkan Prabu Siliwangi dengan satwa mistis harimau juga macan hitam dan putih, yang dianggap sebagai satwa gaib pengawalnya. Menurut legenda Sunda, ketika bala tentara Cirebon dan Banten menyerbu Dayeuh (ibu kota kerajaan) Pakuan Pajajaran, sang raja menolak berpindah keyakinan masuk Islam. Namun dia juga enggan melawan tentara Muslim yang menyerbu dari Cirebon, karena bagaimanapun Cirebon adalah kerajaan anaknya. Menurut kisah rakyat, setelah jatuhnya ibu kota Pakuan, raja Sunda terakhir dengan ditemani pengiringnya mengundurkan diri ke Gunung Salak yang terletak di selatan ibu kota untuk menghindari pertumpahan darah. Kemudian sang raja ngahyang (menghilang atau moksa) menjadi hyang atau roh kedewaan. Konon dia berubah menjadi satwa mistis berwujud harimau suci. Sementara kisah lain menyebutkan bahwa sang raja menghilang di Leuweung (hutan) Sancang, di dekat laut selatan di Kabupaten Garut.[5]

Pada abad ke-17, lebih dari seratus tahun setelah runtuhnya Kerajaan Sunda, kota Pakuan Pajajaran telah ditinggalkan penghuninya. Perlahan-lahan kota ini telantar, lapuk, dan rusak ditelan semak belukar dan aneka tanaman tropis, sehingga berubah menjadi hutan lebat yang menjadi sarang harimau. Ekspedisi perdana oleh orang Belanda ke pedalaman Jawa Barat dilakukan pada 1687 yang dipimpin Pieter Scipio van Oostende. Dia membawa tim ekspedisi untuk menjelajahi hutan di selatan Batavia menuju bekas ibu kota Pakuan dan akhirnya mencapai Wijnkoopsbaai (kini Palabuhanratu).[6][7] Salah satu anggota ekspedisi ini tewas diterkam harimau di daerah ini dua hari sebelumnya. Scipio mendapat keterangan dari anak buah Letnan Tanuwijaya dari Sumedang, bahwa reruntuhan itu adalah bekas ibu kota kerajaan Pakuan Pajajaran.

Pada 23 Desember 1687, Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs menulis laporan; "di bekas istana yang tanahnya ditinggikan, dekat tablet (prasasti Batutulis) berwarna perak peninggalan Raja Pajajaran yang dikeramatkan, kawasan ini dijaga oleh banyak harimau."[8] Penampakan harimau juga dilaporkan oleh warga Kedung Halang dan Parung Angsana yang mengawal Scipio dalam ekspedisi ini. Mungkin peristiwa inilah yang menjadi sumber legenda lokal yang percaya bahwa Raja Pajajaran beserta segenap bangsawan Sunda dan pengawalnya telah berubah menjadi harimau mistis.[8]

Lihat juga sunting

Catatan sunting

  1. ^ a b Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (2008). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno. Balai Pustaka. ISBN 978-9794074084. OCLC 318053182. Diakses tanggal 17 June 2018. 
  2. ^ a b Moh. Amir Sutaarga. "Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharadja Ratu Hadji di Pakwan Padjadjaran, 1474-1513". Smithsonian Institution (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-06-21. 
  3. ^ "Sri Baduga Sangat Melegenda Dalam Kerajaan Sunda". Pikiran Rakyat. 1 November 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 June 2018. Diakses tanggal 19 June 2018. 
  4. ^ Kompasiana.com. "Napak Tilas Menelusuri Jejak Prabu Siliwangi oleh Diella Dachlan - Kompasiana.com". www.kompasiana.com. Diakses tanggal 2018-06-19. 
  5. ^ Teguh, Irfan. "Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta? - Tirto.ID". tirto.id. Diakses tanggal 2018-06-19. 
  6. ^ Graaf, Hermanus Johannes de (1949-01-01). Geschiedenis van Indonesië (dalam bahasa Belanda). W. van Hoeve. 
  7. ^ Volkslectuur, Dutch East Indies Kantoor voor de (1926-01-01). Nederlandsch Indie: platen atlas met korten beschrijvenden tekst (dalam bahasa Belanda). Volkslectuur. 
  8. ^ a b "Saat Ditemukan, Singgasana Pajajaran Konon Dijaga Kawanan Harimau". Sportourism.id. Diakses tanggal 2018-06-19. 

Referensi sunting

  • Atja (1968), Tjarita Parahijangan: Titilar Karuhun Urang Sunda Abad Ka-16 Masehi. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
  • Berg, C.C., (1938), "Javaansche Geschiedschrijving" dalam F.W. Stapel (ed.,) Geschiedenis van Nederlandsch Indie. Jilid II:7-48. Amsterdam. Diterjemahkan oleh S.Gunawan (1974), Penulisan Sejarah Jawa, Jakarta: Bhratara.
  • Brandes, J.L.A., (1911) "Babad Tjerbon" Uitvoerige inhouds-opgave en Noten door Wijlen Dr.J.L.A.Brandes met inleiding en tekst, uitgegeven door Dr.DA.Rinkes. VBG. LIX. Tweede Druk. Albrecht & Co. -'sGravenhage.
  • Djoko Soekiman (1982), Keris Sejarah dan Funsinya. Depdikbud-BP3K Yogyakarta. Proyek Javanologi.
  • Girardet, Nikolaus et al. (1983),Descriptive Catalogue of the Javanese Manuscripts. Wiesbaden: Franz Steiner Verlag.
  • Graaf, H.J. (1953), Over het Onstaant de Javaanse Rijkskroniek. Leiden.
  • Olthof, W.L. ed., (1941), Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Adam Doemoegi ing Taoen 1647. 'Gravenhage.
  • Padmasusastra, Ki (1902), Sajarah Karaton Surakarta-Ngayogyak arta. Semarang-Surabaya: Van Dorp.
  • Pigeaud, Th. G.Th., (1967–1980), Literature of Java, 4 Jilid. The Hague: Martinus Nijhoff.
  • Pradjasujitna, R.Ng., (1956), Tjatatan Ringkas Karaton Surakarta. Cetakan Ketiga. Sala: Tigalima.
  • Ricklefts, M.C dan p. Voorhoeve (1977), Indonesian Manuscripts in Great Britain, Oxford university Press.
  • Sartono Kartodirdjo et al., (1975), Sejarah Nasional Indonesia II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. PN Balai Pustaka.
  • Sumodiningrat Mr.B.P.H., (1983), Pamor Keris. depdiknud BP3K. Yogyakarta: Proyek Javanologi.