Partai Fasis Indonesia
Partai Fasis Indonesia (bahasa Belanda: Partij Fascist Indonesia atau Indonesische Fascistische Partij) yang biasa disingkat PFI adalah sebuah partai politik di Indonesia yang telah lama bubar. PFI didirikan oleh Notonindito di Bandung pada bulan Juli 1933. Namun partai tersebut hanya berdiri sebentar sebelum dibubarkan pada tahun yang sama persis dengan tahun didirikannya. PFI memiliki cita-cita untuk membangun kembali kerajaan-kerajaan di Jawa, seperti Majapahit, Mataram dan Sriwijaya di Sumatra dan kerajaan-kerajaan di Kalimantan[1]
Partai Fasis Indonesia | |
---|---|
Singkatan | PFI |
Pendiri | Notonindito |
Dibentuk | Juli 1933 |
Dibubarkan | 1933 |
Ideologi | Fasisme Chauvinisme budaya |
Posisi politik | Kanan-jauh |
Sejarah
suntingPartai Fasis Indonesia lahir pada 1933 di Bandung, Jawa Barat oleh seorang mantan anggota Partai Nasional Indonesia Lama (PNI Lama) atau PNI bentukan Soekarno, yaitu Dr. Notonindito. Dr. Notonindito adalah seorang priyayi Jawa yang sempat menjadi salah satu pengurus cabang PNI Pekalongan, dia sempat mengenyam pendidikan di Barat dan terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran radikal, salah satunya adalah nasionalisme, terutama nasionalisme yang memiliki kecenderungan fasisme, terutama saat Partai Nazi memenangkan Pemilu di Jerman.[2][3]
Ideologi
suntingDr. Notonindito mendasari PFI dengan ideologi fasisme yang terinspirasi oleh Adolf Hitler dan Benito Mussolini. Seperti halnya Hitler yang ingin membangun kembali Kekaisaran Jerman dan Mussolini yang ingin kembali membangun kembali kejayaan Kekaisaran Romawi, maka Notonindito ingin kembali membangun Indonesia kembali jaya seperti Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Mataram dan menjadikan Jawa sebagai etnis dominan, persis seperti ketika Majapahit dan Mataram berkuasa di Nusantara.[3] Namun, yang berbeda antara Notonindito dengan Hitler dan Mussolini dalah bentuk negara, bila Hitler dan Mussolini menjadikan Jerman Nazi dan Republik Sosial Italia sebagai sebuah negara korporasi, Notonindito ingin menjadikan Indonesia sebagai sebuah kerajaan dengan Jawanisasi sebagai pusat dari sistem nilai yang berlaku di Indonesia.[2]
Meskipun ia terinspirasi oleh Hitler dan Mussolini, tetapi ide-ide Notonindito pada dasarnya tidak berlandaskan pada Nazisme ataupun fasisme, meskipun ia menggunakan terminologi "fasisme" tetapi praktiknya jauh dari fasisme yang berkembang saat itu, seperti ide tentang penaklukan etnis atau bangsa lain. Meskipun Notonindito mendasarinya sesuai dengan ide tentang Jawanisasi-nya, tetapi ia tidak punya pemikiran untuk menjadikan Jawa sebagai sebuah bangsa besar yang kemudian menaklukkan etnis lainnya, ia justu menganjurkan dibentuknya semacam federasi antarkerajaan dari seluruh etnis di Nusantara yang kemudiaan terintegrasi menjadi kerajaan di Indonesia, tetapi dipimpin oleh orang Jawa.[4]
Kontroversi
suntingKemunculan PFI dalam kancah politik pergerakan kemerdekaan Indonesia rupanya tidak terlalu disambut oleh kelompok pergerakan kemerdekaan Indonesia sendiri. Salah satunya tertulis dalam surat kabar kaum pergerakan, Harian Pemandangan. Dalam surat kabar tersebut, PFI diberikan sebuah kolom sendiri dan menjadi liputan khusus. PFI dikatakan dalam surat kabar itu sebagai kelanjutan dari sebuah organisasi etnonasionalis Jawa, bernama Komite Nasionalis Jawa yang dipimpin oleh Soetatmo Soerjokoesoemo pada 1914, bahkan di dalam surat kabar itu, dikatakan Nasionalisme Jawa adalah:
Dan Notonindito beserta PFI adaah bentuk baru namun tetap pada gagasan lama Komite Nasionalis Jawa.[5] Penentangan terhadap pemikiran Notonindito dan PFI pun juga muncul dari Partai Nasional Indonesia (PNI) - mantan partai Notonindito. PNI melalui hariannya, Menjala (Menyala), mengatakan bahwa:
"Rakjat Indonesia tidak bergerak karena membaoe asapnja kemenjan, karena mendengar boenyi gamelan ketoprak, karena sama merahnja atau hijaoenja darah kebangsaan."[5]
Maksud dari PNI adalah, pergerakan nasional rakyat Indonesia dalam menuntut kemerdekaannya bukan untuk kembali kepada zaman dahulu, bukan kembali kepada zaman feodal (reaksioner), tetapi kemerdekaan Indonesia berdasarkan pada nasionalisme kerakyatan yang revolusioner dan bukan nasionalisme yang fasis.[5]
Namun, meskipun begitu pada akhirnya PNI dan Soekarno sendiri - terutama pada masa pasca kemerdekaan - menurut pandangan kelompok dan tokoh kiri, seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir, bahkan Mohammad Hatta menunjukkan ciri-ciri fasistik dan ancaman nyata terhadap demokrasi Indonesia saat itu.[6][7]
Terus menerus ditekan oleh kalangannya sendiri, Notonindito akhirnya memilih untuk vakum dari dunia politik, seperti yang ia katakan:
"Boeat sementara waktoe saja masih oendoerkan diri dari kalangan staak politiek."[8]
Meski pernyataan undur diri Notonindito itu dikatakan hanya sementara, tetapi pada aktualisasinya Notonidito benar-benar berhenti dari dunia politik. Hal ini juga yang akhirnya menyudahi PFI sebagai organisasi politik, bahkan sebelum sempat menjalankan program-program politiknya sama sekali seperti yang dilakukan Adolf Hitler ataupun Benito Mussolini.
Referensi
sunting- ^ Manshur, Faiz (2009-11-30). "Kisah Fasisme Hindia-Belanda Halaman 2". KOMPAS.com. Diakses tanggal 31 May 2021.
- ^ a b Oktorino 2015, hlm. 37.
- ^ a b Wilson 2008, hlm. 118.
- ^ Wilson 2008, hlm. 119.
- ^ a b c d Wilson 2008, hlm. 120.
- ^ Sjahrir 1995, hlm. 4-5.
- ^ Pane 2015, hlm. 265.
- ^ Wilson 2008, hlm. 123.
Daftar pustaka
sunting- Oktorino, Nino (2015). Nazi di Indonesia - Sebuah Sejarah yang Terlupakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. ISBN 9786020260532.
- Wilson (2008). Orang dan Partai Nazi di Indonesia: Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme. Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN 9793731249.
- Sjahrir, Sutan (1995) [1945]. Perjuangan Kita. Pusat Dokumentasi Politik "Guntur 49". ISBN 979877101X.
- Pane, Nina (2015). Mohammad Hatta: Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977). Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 9789797099671.