Panteon Buddhis Jepang


Panteon Buddhis Jepang ditujukan untuk beragam (Panteon) Buddha, Bodhisattva dan dewa-dewi yang lebih rendah tingkatannya dan tokoh agama utama dalam Buddhisme. Dalam aliran Mahāyāna, Panteon Buddhis ada hingga tingkatan tertentu, tetapi lebih ditujukan kepada karakterisasi Buddhisme esoterik seperti Vajrayana, termasuk agama Buddha Tibet dan khususnya agama Buddha Shingon, yang mengkhususkannya pada tingkatan yang lebih tinggi. Pada Panteon Buddhis Jepang kuno, terdapat lebih dari 3.000 Buddha atau dewa, walau sekarang ini beberapa kuil lebih memusatkan pada satu Buddha dan beberapa Bodhisattva.[1]

Beberapa perwakilan utama dari panteon Buddhis di Musée Guimet, Paris.

Sejarah sunting

 
Mandala Jepang mengenai Buddha Dhyani, Bodhisattva lainnya, mengelilingi Buddha Mahavairocana.

Awalnya, Buddhisme pra-sekte tidak menegaskan dengan pasti keberadaan dan pengaruh dewa-dewa. Tentunya, Buddhisme sering kali dianggap menganut kepercayaan atheistik oleh karena penolakannya akan keberadaan tuhan pencipta dan tanggung jawab pribadi akan diri sendiri. Akan tetapi, hampir seluruh mazhab Buddhis modern menerima keberadaan tuhan-tuhan dalam keadaan tertentu; pokok utama perbedaan dikarenakan pengaruh-pengaruh tuhan-tuhan tersebut. Dari mazhab-mazhab utama, Theravada cenderung meniadakan keberadaan tuhan sedangkan Mahayana dan Vajrayana tidak.

Keragaman Panteon Buddhis dari Buddhisme di bagian utara berasal dari Vajrayana dan Tantrisme.[2] Asal-mula penyembahan Buddhis panteisme sepertinya dimulai dari periode Kerajaan Kushan.[3] Pernyataan tegas pertama kali mengenai Panteon Buddis tampak dalam Guhyasamāja sekitar abad ke-3 dan ke-4 masehi, dimana lima Buddha disebutkan, kemunculan yang membentuk sebuah keluarga:[3][4]

Lima Kula yakni Dvesa, Moha, Rāga, Cintāmani, dan Samaya, yang menghasilkan pencapaian seluruh keinginan dan pembebasan

— Guhyasamāja.[4]

Pada abad ke-9 masehi, dibawah kepemimpinan raja Dharmapala dari Kekaisaran Pala, Panteon Buddhis sudah berkembang menjadi sekitar 1.000 Buddha.[5] Di Jepang, Kūkai memperkenalkan Buddhisme Esoterik Shingon dan Panteon Buddhis-nya, juga pada abad ke-9.[6]

Struktur hierarki panteon Buddhis sunting

Dalama kepercayaan Buddhisme di Jepang, Panteon Buddhis dijelaskan dalam struktur hierarki dimana Buddha berada pada kategori tertinggi, diikuti oleh beragam Bodhisattva, Raja Bijaksana (Sanskerta: vidyarāja), Dewa-dewi, "Kemunculan tidak langsung" dan terakhir patriark dan tokoh agama terkenal.[7]

Tingkatan Kategori Istilah Jepang
Tingkat 1 Buddha Nyorai-bu (如来部)
Tingkat 2 Bodhisattva Bosatsu-bu (菩薩部)
Tingkat 3 Raja Bijaksana Myōō-bu (明王部)
Tingkat 4 Dewa-Dewi Ten-bu (天部)
Tingkat 5 Kemunculan tidak langsung Gongen (権現)
Tingkat 6 Tokoh agama Kōsō - Soshi (高僧・祖師)

Sebuah kelompok patung terkemuka, Mandala berada di kuil Tō-ji di Kyōto, menunjukkan beberapa elemen utama dan struktur dalam Panteon Buddhis. Mandala dibuat pada abad ke-9 masehi dan dipersembahkan kepada Kūkai.[8] Sebuah duplikat dibawa ke Paris, Prancis, oleh Emile Guimet pada akhir abad ke-19, dan sekarang berada di Musée Guimet.[8]

Buddhisme di Jepang menggabungkan banyak sekali dewa-dewi Shintō dalam panteon-nya dan begitu pula sebaliknya. Kepercayaan Shingon Jepang juga memiliki kategori lain, seperti Tigabelas Buddha.[9] akan tetapi Buddhisme Zen dengan jelas menolak tegak penggambaran musyrik mengenai Buddhisme ortodoks.[10]

Tingkat 1: Buddha (Nyorai-bu) sunting

 
Hōshō Nyorai/ Buddha Ratnasambhava.

Lima Buddha Kebijaksanaan sunting

Lima Buddha Kebijaksanaan (五仏) diletakkan mengelilingi Vairocana (Bahasa Jepang: Dainichi Nyorai, 大日如来), Buddha yang tertinggi. Satu dari empat Buddha lainnya menempati posisi tetap sesuai mata angin. Masing-masing dari mereka merupakan perwujudan dari ke-Buddha-an, dan aktif dalam berbagai periode-dunia dimama mereka mewujudkan diri mereka di antara Bodhisattva dan manusia.[11]

 
Lima Buddha Kebijaksanaan, dilindungi oleh empat Bodhisattva Intan Agung dimasing-masing sudutnya. Buddha yang berada di depan, di Selatan dan adalah Ratnasambhava.
Fukūjōju Nyorai

(utara)

Amida Nyorai

(barat)

Dainichi Nyorai

(dewa utama)

Ashuku Nyorai

(timur)

Hōshō Nyorai

(selatan)

"Buddha Dhyani" ini membentuk sistem inti panteisme Buddhis, yang oleh karenanya berkembang menjadi beragam bentuk.[3] Di Musée Guimet, lima Buddha dikelilingi oleh Boddhisattva pelindung.[8] Juga terdapat beragam Buddha lain, seperti Yakushi, Buddha obat.

Tingkat 2: Bodhisattva (Bosatsu-bu) sunting

 
Bodhisattva Kongō-Haramitsu/ Vajraparamita.

Bodhisattva adalah tokoh yang berada pada tingkat memasuki ke-Buddha-an tetapi menunda penyempurnaannya guna membantu mahluk lain untuk mencapai pencerahan. Bodhisattva merupakan teladan welas-asih yang dianut dalam kepercayaan Buddhisme Mahayana. Dalam Panteon Buddhis, disamping Buddha terdahulu dan akan datang, terdapat pula banyak Boddhisattva.[12]

Terkadang, lima Boddhisattva "Acuan" utama telah ditetapkan (五大菩薩), dikelompokkan mengelilingi Bodhisattva yang diletakkan di tengah, Kongō-Haramitsu (金剛波羅蜜菩薩) sebagaimana didapati pada kuil Tōji.[8]

 
Lima Bodhisattva Acuan, dijaga pada bagian kanan depan oleh Raja Langit Jikoku, dan kanan belakang oleh Raja Langit Tamon, Musée Guimet.
Miroku

(utara)

Kannon

(barat)

Kongō-Haramitsu

(dewa utama)

Fugen

(timur)

Monju

(selatan)

Selain lima Bodhisattva utama ini, juga terdapat sejumlah besar Bodhisattva lainnya, semua mahluk hidup yang menunda pencapaian pencerahan guna membantu umat manusia.

Tingkat 3: Raja Bijaksana (Myōō-bu) sunting

 
Raja Bijaksana Gundari merupakan satu perwujudan dari Lima Buddha, Ratnasambhava/ Hōshō Nyorai.

Raja Bijaksana (Vidyârâja) pada awalnya adakan ketuhanan dalam Buddhisme Esoterik, tetapi kemudian dianut sepenuhnya oleh agama Buddha Jepang. Tuhan-tuhan ini dilengkapi dengan pengetahuan dan kekuatan tinggi yang memberikan mereka pengaruh baik ke kenyaataan di dalam atau di luar. Raja-raja ini menjadi objek perwujudan, baik itu dalam wujud tenang-damai guna perwujudan kewanitaan, dan wujud murka untuk penggambaran wujud pria. Agresivitas mereka menggambarkan keinginan mereka untuk menghapus kekuatan negatif dalam diri pemuja maupun di dunia. Oleh karena itu, mereka merupakan perwujudan belas kasih Buddha akan seluruh mahluk hidup.[8]

Lima Raja Bijaksana sunting

 
Lima Raja Bijaksana. Bagian kiri depan adalah dewa pelindung: Raja Langit Zōchō, dan satu lagi di kiri belakang: Raja Langit Kōmoku.

Lima Raja Bijaksana (五大明王) merupakan perwujudan Buddha dan melindungi mereka. Mereka biasanya diwujudkan sebagai mahluk yang ganas. Mereka mewakilkan sifat bertentangan, dan sepertinya berasal dari Yaksa kuno dan tradisi Brahmanikal.[13]

Kongō-Yasha

(utara)

Daiitoku

(barat)

Fudō-Myō

(dewa utama)

Gosanze

(timur)

Gundari

(selatan)

Selain lima raja-raja utama, juga terdapat Raja Bijaksana lain dengan beragam peran.

Raja Bijaksana Lainnya sunting

Raja-raja Bijaksana lainnya juga terdapat dengan beragam kegunaan. Pada umumnya, Raja-raja Bijaksana dipandang sebagai penjaga para Buddha dan para Bodhisattva.

Tingkat 4: Dewa-dewi (Ten-bu) sunting

Dewa-dewi, walau mendapatkan keuntungan akan panjang usia yang luar biasa, akan tetapi tetap terikat dengan lingkaran kehidupan kembali, dan berada di luar dunia pencerahan dan Nirwana. Akan tetapi mereka tetapi bertujuan untuk mencapai Nirwana, dan oleh karena hal itulah mereka berusaha keras membantu agama Buddha dan umatnya.[8] Menurut kosmologi Buddhis, yang diambil dari kosmologi India, Dewa-dewi hidup dia Tiga Dunia dan ditempatkan menurut hierarki berdasarkan kedudukan mereka sesuai dengan poros kosmik Gunung Sumeru. Brahma tinggal jauh di atas gunung, pada puncaknya terdapat Tigapuluh Tiga Dewa-dwi dengan Indra sebagai raja mereka, dan pada pertengahan ketinggian tersebut terdapat Raja-raja Tuhan dari Oriental, dan dibawahnya terdapat dewa-dewi bawah.[8] Beragam dewa-dewi termasuk dalam Panteon Buddhis.

Istilah Ten (天) sama dengan Dewa India dan ditujukan kepada dewa tertinggi dari Empat Raja Langit. Istilah Jin (神) ditujukan kepada dewa tingkatan yang lebih rendah.[8]

Empat Raja Langit merupakan bagian penting dari dewa-dewi ini.

Tingkat 5: kemunculan tidak langsung (Suijakushin) sunting

 
Izuna Gongen (飯綱権現), kemunculan tidak langsung di Gunung Izuna (飯綱山).

Walaupun dewa-dewi dianggap sebagai subyek hukum ketidak kekalan, akan tetapi agama Buddha menganggap bahwa manusia harus menempatkan diri dibawah perlindungan mereka. Ketika agama Buddha masuk ke Jepang pada abad ke-6, beragam dewa-dewi Shintō (kami) juga terdapat di kepulauan di Jepang, walau mereka tidak memiliki ikonografi. Kelompok shuijakushin lebih ditujukan kepada Jepang dan tersedia untuk penggabungan kedalam agama Buddha dari kami Shintō.

Istilah Buddhis "Gongen" (権現, "Avatar" (berarti memiliki kemampuan para Buddha dan Bodhisattva untuk mengubah penampilan mereka layaknya kami Jepang untuk mempermudah pengalihan agama bagi orang-orang Jepang) ) yang oleh karenanya digunakan sehubungan dengan dewa-dewi ini. Dewa-dewi Shintō dianggap sebagai perwujudan lokal dari para Buddha dan Bodhisattva asing (suijakushin (垂迹神, tuhan-tuhan yang muncul secara tidak langsung).[14] Dengan demikian, beragam bentuk Shinto diserap sebagai dewa-dewi Buddhis.[9] Terkadang hal ini juga berlawanan, dalam hal Benzaiten Buddhis dan Ugajin Shinto kami.

Penyatuan aliran ini secara resmi dihapus dengan keberadaan Raja Meiji tahun 1868 dan Perintah Pemisahan Shinto dan Buddhisme (神仏分離令, juga 神仏混淆禁止 Shinbutsu Konkō Kinshi).[8]

Tingkat 6: tokoh agama (KōsōSoshi) sunting

 
Bodhidharma "Daruma Daishi", pendiri Buddhisme Zen.

Agama Buddha juga menciptakan ikonografi dari tokoh-tokoh suci yang membantu penyebarannya. Tokoh-tokoh ini merupakan mahluk sejarah, walau beberapa elemen sejarah dapat dilekatkan pada mereka. Beberapa, seperti Kōbō-Daishi, pendiri Budhisme Shingon, merupakan subyek kesetiaan setara dengan kesetiaan terhadap para Buddha dan Bodhisattva. Beberapa juga memiliki sifat sebagai roh pelindung, seperti Battabara pelindung tempat pemandian, atau Fudaishi, pelindung perpustakaan monastik. Daftar dari tokoh-tokoh agama mencakup mereka yang berasal dari "Tiga Negara" dimana agama Buddha dilahirkan dan kemudian berkembang sepanjang Jalur Sutera: India, Tiongkok, Jepang.[8] Tujuh Belas Arahat, para santo buddhis yang juga merupakan pendahulu atau pengikut Buddha, juga merupakan bagian dari kategori ini.

Referensi sunting