Paha kodok adalah salah satu bahan pangan unik yang dikenal, khususnya dalam tradisi kuliner Prancis dan Tionghoa. Paha kodok yang dapat dimakan juga dikonsumsi di berbagai bagian dunia, antara lain di Vietnam, Kamboja, Thailand, Indonesia, Italia Utara, wilayah Alentejo di Portugal, Spanyol, Albania, Slovenia, Rumania, barat laut Yunani, dan Amerika Serikat bagian selatan. Pada 2014, pengekspor kodok pangan terbesar di dunia adalah Indonesia. Di Brasil, Meksiko, dan Karibia, banyak kodok yang masih ditangkap secara liar.

Swike Kodok Oh, paha kodok dalam kuah tauco, disajikan di restoran Tionghoa Indonesia di Jakarta

Daging kodok kaya akan kandungan protein, asam lemak omega-3, vitamin A, dan kalium.[1] Daging kodok sering disebutkan memiliki rasa seperti ayam[2] karena rasanya yang lembut, dengan tekstur yang mirip dengan sayap ayam.[3] Daging kodok memiliki rasa dan tekstur antara rasa daging ayam dan ikan.[4] Kodok diternakkan secara komersial di negara-negara tertentu, misalnya di Vietnam. Otot kodok tidak mengalami rigor mortis secepat otot dari hewan berdarah panas (misalnya ayam), jadi jika terpapar panas saat memasak, dapat menyebabkan kaki katak segar itu bergerak dan berkedut-kedut.

Dari perspektif perlindungan hewan, hidangan paha kodok dianggap kontroversial akibat alasan kemanusiaan. Hal ini karena paha kodok sering kali dipotong tanpa pertimbangan atas rasa sakit dan penderitaan mereka. Kodok untuk konsumsi umumnya diamputasi dan dibuang hidup-hidup, akibatnya mereka menderita kematian yang menyakitkan.[5]

Masalah sunting

 
Sekantung paha kodok beku yang diimpor dari Vietnam

Perdagangan sunting

Setiap tahun, nilai perdagangan paha kodok secara internasional mencapai US $ 40 juta, dengan sebagian besar negara di dunia berpartisipasi dalam perdagangan ini.[6] Importir paha kodok terbesar di dunia adalah Prancis, Belgia, dan Amerika Serikat; sementara eksportir internasional terbesar adalah Indonesia dan Cina.[6] Walaupun angka-angka ini tidak memperhitungkan konsumsi domestik, ketika produksi dari peternakan kodok diperhitungkan, secara konservatif, diperkirakan bahwa setiap tahun di seluruh dunia, manusia mengkonsumsi hingga 3,2 miliar kodok sebagai makanan.[6]

Kesehatan sunting

Perdagangan amfibi hidup, tidak beku, atau tanpa kulit, merupakan cara potensial untuk penyebaran penyakit amfibi yang mematikan, seperti Batrachochytrium dendrobatidis dan Ranavirus. Ada rekomendasi untuk mencegah penyebaran penyakit ini dari OIE, sebuah badan yang mengatur penyebaran penyakit epizootik internasional.[7] Beberapa negara telah mengadopsi rekomendasi ini sebagai undang-undang untuk mencegah penyebaran penyakit ini.

Di Kanada, penjualan paha kodok segar atau beku adalah ilegal kecuali mereka ditentukan bebas dari bakteri dari genus Salmonella , sesuai metode resmi MFO-10, Pemeriksaan Mikrob atas paha kodok.[8]

Lingkungan Hidup sunting

 
Kaki katak segar dijual di pasar di Paris, Prancis

Banyak aktivis pencinta lingkungan mendesak pembatasan konsumsi kodok—terutama yang ditangkap dari alam—karena hal itu dapat menyebabkan populasi amfibi menurun. Sementara kodok merupakan elemen penting dari sebuah ekosistem. Golongan pelestari lingkungan memperingatkan, bahwa meningkatnya permintaan daging kodok untuk pangan, secara serius dapat memusnahkan populasi kodok setempat.[9] Kodok adalah binatang yang peka terhadap perubahan lingkungan, penyakit, kerusakan habitat, dan polusi.

Pengecualian untuk ini adalah introduksi spesies katak kerbau Amerika di luar habitataslinya. Dalam ekosistem ini, katak kerbau Amerika adalah spesies invasif yang dapat memusnahkan populasi amfibi lokal, mengganggu keseimbangan ekosistem, dan memiliki dampak negatif terhadap spesies satwa liar lainnya.

Keagamaan sunting

Menurut hukum pangan Yahudi, semua reptil dan amfibi dianggap sebagai binatang yang tidak bersih. Karena itu, paha kodok dianggap tidak kosher, dan dilarang dimakan oleh orang Yahudi, terutama golongan Yahudi Ortodoks. Akan tetapi, aliran Yudaisme yang lebih liberal, seperti aliran Yahudi Reformasi, tidak melarang umatnya untuk memakan daging binatang yang tidak kosher.

Daging kodok dianggap haram (non- halal) menurut hukum pangan Islam arus utama. Daging kodok dianggap tidak halal, bersama dengan semut, lebah, dan burung laut, karena mereka adalah hewan yang tidak boleh dibunuh oleh Muslim. Selain itu kodok dianggap sebagai hewan yang hidup di dua alam. Status haram ini telah menimbulkan kontroversi di Demak, Indonesia, di mana ulama mendesak agar pemilik restoran swike agar tidak mengaitkan swike dengan kota Demak, karena itu akan menodai citra Demak sebagai kota Islam pertama di Jawa. Istilah Swikee Demak pun ditentang oleh sebagian penduduknya, terutama yang mengikuti mahzab Syafi'i yang mengharamkan daging kodok.[10] Dalam hukum pangan Islam, ada beberapa perdebatan dan perbedaan mengenai masalah konsumsi daging kodok. Mazhab Islam arus utama seperti Syafi'i, Hanafi, dan Hanbali dengan tegas melarang konsumsi kodok. Akan tetapi, menurut mahzab Maliki, beberapa jenis kodok tertentu boleh dimakan;[11] khususnya katak hijau yang biasa ditemukan di sawah. Sementara spesies lain terutama yang memiliki kulit budug dan berbuntil, dianggap beracun dan tidak bersih, sehingga sama sekali tidak boleh dimakan.

Di Eropa abad pertengahan dan awal modern, daging kodok tidak dianggap sebagai daging. Karena itulah daging kodok dapat dimakan selama puasa Kristen Prapaskah yang berpantang daging, bersama dengan ikan dan daging burung. Pada abad ke-13, biarawan di Lorraine tercatat memakan daging kodok selama masa Prapaskah.[12] Koki Prancis yang terkenal, Grimod de La Reynière, menulis pada awal abad ke-19, bahwa daging kodok disebut sebagai Alouettes de Carême.[13]

Referensi sunting

  1. ^ "Frog legs, raw Nutrition Facts & Calories". nutritiondata.self.com. Diakses tanggal 20 April 2019. 
  2. ^ "Exotic Meats USA : What Things Taste Like" (PDF). 2008. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-06. Diakses tanggal 2008-07-17. 
  3. ^ "Frog legs - Ingredient". 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-10. Diakses tanggal 2008-07-17. 
  4. ^ "Strange Meats: Frog Legs". 2011. Diakses tanggal 2011-10-29. 
  5. ^ "Frog legs". Madame Nature (dalam bahasa Prancis). 2010-12-15. Diakses tanggal 2019-07-29. .
  6. ^ a b c "Is the international frog legs trade a potential vector for deadly amphibian pathogens?" (PDF). 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-08-07. Diakses tanggal 2010-05-11. 
  7. ^ "OIE Aquatic Animal Health Code". 2010. Diakses tanggal 2010-05-11. 
  8. ^ Branch, Legislative Services. "Consolidated federal laws of canada, Food and Drug Regulations". laws.justice.gc.ca (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-07-14. 
  9. ^ "Appetite For Frogs' Legs Harming Wild Populations". ABC News. 16 April 2009. Diakses tanggal 20 April 2019. 
  10. ^ "Tempo Online Bupati vs Kodok". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2019-08-08. 
  11. ^ "Konsultasi Syariah - Akhowat KPII: haramkah kepiting, swike & ikan hiu dimakan?". Diakses tanggal 20 April 2019. 
  12. ^ Deutsch; Murakhver, Natalya, ed. (2012). They Eat That?: A Cultural Encyclopedia of Weird and Exotic Food from around the World. ABC-CLIO. hlm. 74. ISBN 978-0313380587. 
  13. ^ Ducasse, Alain. "Frogs (fish and seafood)". www.allmychefs.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-08. Diakses tanggal 19 February 2018. 

Pranala luar sunting

  •   Media terkait frog legs di Wikimedia Commons