Orang Belawan Bahari

(Dialihkan dari Nelayan Belawan Bahari)

Orang Belawan Bahari, atau dikenal juga sebagai Nelayan Belawan Bahari, adalah kelompok masyarakat nelayan yang bermukim di desa Belawan Bahari, kecamatan Medan Belawan, Kota Medan, Sumatera Utara. Sebagaimana masyarakat nelayan pada umumnya, masyarakat Belawan Bahari juga mengandalkan sumber kehidupan ekonominya dengan memanfaatkan sumberdaya hasil laut dan perikanan. Aktivitas melaut mereka sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan musim yang terjadi. Terlebih lagi saat munculnya fenomena perubahan iklim yang menjadikan kondisi cuaca sulit untuk diprediksi, aktivitas ekonomi melaut mereka menjadi sangat terpengaruh.[1]

Kependudukan

sunting

Orang Belawan Bahari mendiami desa Belawan Bahari di Medan Belawan yang memiliki luas 1,03 km². Dari luas wilayah tersebut, terhitung sebanyak 10.663 jiwa mendiami wilayah itu. Jumlah penduduk tersebut terbagi menjadi penduduk berjenis kelamin laki-laki berjumlah 5.310 jiwa dan 5.353 jiwa berjenis kelamin perempuan, serta terdapat 2.701 kepala keluarga. Para nelayan ini tersebar di lokasi permukiman yang terbagi ke dalam 13 lingkungan, 12 rukun warga (RW) dan 15 rukun tetangga (RT). Selanjutnya, mereka menyebut lingkungan tepat tinggal mereka dengan istilah "kampung". Pemimpin mereka dijuluki sebagai "ketua lingkungan" atau "ketua kampung". Meskipun wilayah administratif mereka juga dipimpin oleh seorang ketua RT atau ketua RW, masyarakat Belawan Bahari lebih merasakan peran penting ketua kampung dalam berbagai urusan administratif maupun non-administratif.[2]

Kelompok masyarakat Belawan Bahari sebenarnya berasal dari suku Melayu yang berada di semenanjung Selat Malaka. Suku Melayu juga terhitung sebagai cikal bakal terbentuknya komunitas masyarakat nelayan Belawan Bahari. Namun dalam perkembangannya, jumlah mereka kini semakin sedikit. Mereka tergerus oleh suku atau etnis lain dari luar Sumatra yang juga menghuni perkampungan tersebut, khususnya suku Jawa. Banyaknya kelompok etnis yang menghuni desa Belawan Bahari memberikan konsekuensi bagi beragamnya bahasa dan dialek yang digunakan oleh para nelayan. Bahasa Melayu tetap menjadi bahasa utama percakapan keseharian mereka, namun tidak jarang, bahasa-bahasa lain juga kerap terdengar.

Terkait akses pendidikan, umumnya hanya sedikit penduduk desa Belawan Bahari yang mengenyam pendidikan. Pendidikan yang ditempuh mereka baru sebatas sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas yang seluruhnya tidak dikelola oleh pemerintah, melainkan oleh swasta. Jumlahnya pun bervariasi, mulai dari 589, 684, dan 225. Mereka juga memiliki beberapa sekolah taman kanak-kanak sebanyak 9 buah.[3] Meskipun terlihat cukup besar, apabila dibandingkan dengan total jumlah penduduk desa Belawan Bahari yang mencapai 10.000 jiwa, tentu masih belum sepadan. Apalagi dari data yang ada, tidak ada satu pun nelayan Belawan Bahari yang mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi. Rendahnya partisipasi pendidikan itu disebabkan oleh kesulitan ekonomi yang tidak memungkinkan mereka atau anak-anak mereka mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Kebutuhan pokok akan sandang, pangan, dan papan tentu jauh lebih diutamakan dibandingkan kebutuhan lainnya.[2]

Meskipun begitu, data tentang partisipasi pendidikan yang ada merupakan buah dari kenaikan angka partisipasi sekolah yang pernah ada sebelumnya. Peningkatan angka partisipasi pendidikan disinyalir sebagai ancaman terhadap profesi nelayan. Semakin tinggi angka partisipasi sekolah, sebagian besar dari keturunan mereka akan lebih memilih untuk bekerja sebagai karyawan maupun buruh pabrik di perusahaan swasta ketimbang menjadi nelayan. Hal itu logis mengingat profesi tersebut memerlukan skill khusus dan angka partisipasi pendidikan yang tinggi.[4]

Selain pendidikan, persoalan akan akses kesehatan juga masih banyak dihadapi oleh para nelayan di desa Belawan Bahari. Hal itu terlihat dari minimnya akses kesehatan yang ada di perkampungan mereka. Jumlah Puskesmas yang disediakan oleh pemerintah terhitung hanya ada satu buah, yaitu unit Balai Pengobatan Umum (BPU) dan delapan unit Posyandu. Keterbatasan sarana dan prasarana kesehatan itu membuat Puskesmas yang ada tidak mampu lagi melayani ribuan masyarakat Belawan Bahari yang hendak berobat. Akibatnya, penduduk Belawan Bahari banyak mencari fasilitas kesehatan di luar desa mereka yang jaraknya mencapai 10 hingga 20 km dari tempat tinggal mereka.

Kehidupan Kegamaan

sunting

Agama Islam semula adalah agama satu-satunya yang dianut oleh nelayan Belawan Bahari. Domnasi agama Islam dalam kehidupan sosial mereka merupakan konsekuensi logis dari etnis Melayu yang menjadi cikal bakal terbentuknya komunitas nelayan Belawan Bahari. Seiring berkembangnya waktu, Islam bukan satu-satunya agama yang dianut oleh mereka. Agama Kristen juga tumbuh menjadi agama terbesar kedua yang dianut oleh etnis Toba dan Tionghoa, sementara agama Budha juga banyak dianut oleh para nelayan, terutama yang berasal dari etnis Tionghoa.[2]

Dari hasil penelitian yang ada, nelayan Belawan Bahari rupanya tidak terlalu mengindahkan praktik-praktik ibadah agama Islam, sekalipun menjadi agama mayoritas. Menurut Nasution (2012), hal itu terlihat dari sepinya masjid atau mushola ketika adzan shalat wajib berkumandang. Sebagian nelayan masih asyik berkumpul di pusat-pusat keramaian desa serta warung-warung kopi yang ada di tepi laut. Begitu pun ketika bulan Ramadan tiba, banyak di antara mereka yang tidak melaksakan ibadah puasa. Menurut sumber yang sama, beberapa dari mereka juga banyak yang mengonsumsi minuman keras atau minuman lain yang mengandung alkohol, berjudi sambil taruhan, dan lain sebagainya.[5]

Kondisi kegamaan yang dimiliki oleh nelayan Belawan Bahari memang berbeda dengan penduduk Melayu lain yang umumnya lebih strick terhadap ajaran-ajaran Islam. Hal itu disebabkan oleh mulai beragamnya penganut agama yang berdiam diri di Desa Belawan Bahari, yang menjadi permukiman nelayan Belawan Bahari. Dahulu memang Islam menjadi satu-satunya agama yang dianut oleh nelayan Belawan Baharil, namun dalam perkembangnya, banyak agama-agama lain yang kemudian juga dianut oleh mereka, seperti Kristen, Tionghoa, dan Budha. Terlepas dari beragamnya agama yang dianut oleh nelayan di sana, secara ekonomi, pekerjaan mereka yang mengharuskannya melaut terkadang kerap mengabaikan waktu beribadah juga.

Meskipun demikian, nelayan Belawan Bahari juga rutin memberikan sumbangan kepada masjid atau mushola untuk kepentingan umat dan pembangunan. Mereka dengan sangat sukarela melakukannya. Dalam lain hal, nelayan Belawan Bahari juga masih rutin mengikuti kegiatan pengajian yang disebut dengan yasinan dan wiridan. Kegiatan tersebut dilakukan setiap dua kali dalam satu minggu dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perempuan dan laki-laki. Guna menunjang aktivitas ibadah mereka, di Desa Belawan Bahari dibangun beberapa tempat ibadah yang terdiri dari 3 unit masjid, 5 unit mushola, 9 unit gereja, dan 1 unit klenteng.[2]

Aktivitas Melaut

sunting

Nelayan Belawan Bahari dikenal sebagai kelompok nelayan yang hingga kini masih memiliki nelayan tua atau living legend fisherman sekaligus nelayan muda yang memiliki beragam kisah ketangguhan dan ketangkasan mereka dalam mengarungi laut serta menghadapi berbagai tantangan yang ada di lautan. Kelompok nelayan Belawan Bahari dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu tuamang, kerang, dan langgai.[6]

Nelayan tuamang adalah kelompok nelayan yang melaut hanya untuk menangkap biota tangkapan sejenis ikan dan dilakukan di wilayah perairan laut dangkal atau laut pinggir. Sedangkan nelayan langgai adalah kelompok nelayan yang melaut untuk menangkap ikan dan udang sementara nelayan kerang bertujuan untuk menangkap biota laut sejenis kerang yang semuanya dilakukan di wilayah perairan laut dalam atau Laut Tengah.

Aktivitas melaut mereka akan dimulai sejak pukul lima pagi. Di waktu itu, para nelayan yang telah berangkat melaut sore hari sebelumnya baru tiba di tepi laut. Mereka akan disibukkan dengan aktivitas mempersiapkan hasil tangkapan di laut yang akan diperjualbelikan hingga pukul delapan atau sembilan pagi. Selesai menjual hasil tangkapannya, mereka akan berkumpul di warung-warung pinggir laut sambil menyeruput kopi. Warung bukan hanya menjadi tempat mereka makan dan minum, melainkan juga tempat untuk berbagai cerita dan keluh kesah selama aktivitas melaut mereka berlangsung. Bukan hanya nelayan laki-laki saja, kelompok perempuan juga turut meramaikan suasana kampung nelayan setiap harinya. Mereka akan berkumpul ke titik keramaian yang menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari yang biasa mereka beli.[7] Sementara anak-anak nelayan akan beramai-ramai berangkat sekolah. Bagi mereka yang tidak memiliki akses ke sekolah, biasanya akan menjadi tukang cuci perahu yang dilakukan setiap kapal nelayan baru tiba melaut di pagi hari.[8]

Di sore harinya, Desa Belawan Bahari juga akan dipadati oleh aktivitas para nelayan yang juga baru tiba dari melaut setelah berangkat di pagi harinya. Mereka akan langsung berkumpul di warung-warung kopi yang menjadikan suasana malam di desa itu ramai. Tidak berlangsung lama, keramaian itu meredup karena sebagian besar dari mereka akan lebih memilih untuk menghabiskan waktu di rumah, bersama dengan keluarganya.

Perangkat Melaut

sunting

Untuk menunjang aktivitas melautnya, nelayan Belawan Bahari memerlukan perangkat tertentu. Beberapa perangkat yang mereka perlukan adalah bot, pukat, dan beberapa jenis perlengkapan tambahan lainnya. Secara lebih rinci, penjelasan akan perlengkapan melaut nelayan Belawan Bahari adalah sebagai berikut:

Bot (dari kata: boat) adalah seperangkat alat yang memiliki kegunaan sebagai alat transportasi yang mengantarkan nelayan Belawan Bahari menuju ke lokasi melaut. Pada umumnya, mereka hanya mengenal dua jenis bot, yaitu langgai dan tuamang. Keduanya dibedakan menurut model atau potongannya serta bahan dasar atau material yang digunakan untuk membuat bot tersebut. Selain itu, kedua bot yang ada juga dapat dibedakan berdasarkan haluan dan cumpang yang ada di dalamnya. Bot langgai biasanya memiliki haluan yang berukuran besar dan tinggi dengan posisi menjulang ke langit, sedangkan bot tuamang biasanya tidak memiliki haluan yang oleh nelayan setempat biasa disebut dengan istilah ‘potongan sampan’. Lebih jauh lagi, cumpang pada bot langgai biasanya tidak memiliki sekat pemisah, sedangkan pada bot tuamang memiliki sekat pemisah, mulai dari dinding haluan sampai dinding kamar mesin.[6]

Perbedaan antara bot langgai dan tuamang adalah sistem kerja mereka. Pada bot langgai, sistem kerjanya memiliki ukuran sekitar 20 kaki atau delapan meter dengan daya angkut awak bot berjumlah sekitar empat hingga enam orang berikut peralatan kerjanya. Sementara itu, bot pada sistem tuamang memiliki sistem kerja yang lebih pendek, yaitu sekitar 18-19 kaki atau 7 meter dan biasanya hanya mampu membawa 3-4 orang nelayan. Meskipun bot langgai umumnya berukuran lebih panjang daripada bot tuamang, ada juga bot langgai yang hanya berukuran 16 kaki atau 6 meter dan oleh nelayan setempat sering disebut dengan langgai sudoko.

Dilihat dari bahan atau material pembuatannya, umumnya seluruh bot yang dipergunakan oleh nelayan Belawan Bahari berasal dari bahan baku kayu seperti kayu meranti, laban, dan damar laut. Setiap jenis kayu kemudian dibedakan sesuai penggunaannya terhadap bagian-bagian yang terdapat pada bot. Sebagai misal, jenis kayu yang digunakan pada bagian kerangka bot berbeda dengan jenis kayu yang ada di bagian badan bot dan juga isi bot.[6]

Beberapa bagian yang terdapat pada bot dengan sistem kerja langgai maupun tuamang terdiri atas kerangka bot, badan bot, dan isi bot. Kerangka bot merupakan bagian pertama yang dikerjakan oleh nelayan Belawan Bahari ketika akan membuat bot. Bagian kerangka bot tersebut terdiri dari lunas dan haluan. Lunas disebut oleh para nelayan sebagai “nyawa sampan” atau “tulang besar” yang berfungsi sebagai tumpuan atau poros pengatur sambungan dan ukuran panjang maupun lebar papan yang membentuk badan bot, sedangkan bagian haluan berfungsi sebagai pelurus dan penyejajar bot atau agar bot mendapatkan posisi yang lurus dan tepat sehingga dapat stabil ketika melajudi atas permukaan laut. Panjang lunas dalam bot tersebut berkisar antara tujuh hingga delapan meter dengan bahan yang biasa digunakan berupa kayu mancang (sejenis kayu dari pohon kweni) dan damar laut. Pada kedua sisi lunas, terdapat dua keping papan yang biasa disebut dengan apek atau apit lempang. Kedua papan itu berfungsi sebagai pengapit supaya lunas berada pada posisi yang tetap.[8]

Sementara itu, badan bot merupakan kesatuan utuh dari tampilan keseluruhan bentuk bot yang terdiri dari beberapa fungsi tertentu dan memiliki penyebutan tersendiri, yaitu dinding bot, pisang-pisang, dan ekor balam. Dinding bot merupakan bagian dari badan bot yang dibuat dari sambungan potongan papan berbahan kayu meranti yang kemudian disusun dan diletakan pada kerangka bit dengan menggunakan paku logam yang dapat bertahan lebih lama dari proses pengkaratan. Sambungan antar-papan itu kemudian dilapisi dempul kayu agar tidak rentan terhadap pelapukan dan kebocoran akibat rembesan air laut. Selain itu, sisi luar pada dinding bot biasanya juga dicar agar bot terlihat bagus atau gagah sekaligus untuk mengurangi risiko kerusakan akibat hantaman air laut.[8]

Perlengkapan Tambahan

sunting

Disamping bot, nelayan Belawan Bahari juga perlu untuk memanfaatkan perlengkapan lain dalam melaut. Perlengkapan itu diperlukan untuk melancarkan aktivitas melaut sekaligus untuk memenuhi berbagai keperluan para awak bot selama melaut. Beberapa perlengkapan itu adalah batu kajar, lampu, galah, terpal, tali, tak/tangkis, dan peralatan lainnya seperti peralatan memasak berikut keperluan dapur. Batu kajar dipergunakan untuk menjadi pemberat agar bot selalu dalam keadaan seimbang ketika berada di tengah laut; lampu digunakan sebagai alat bantu penerangan bagi para awak bot yang sedang bekerja di atas bot; terpal dipergunakan untuk mengurangi terpaan angina ketika melaut di malam hari sekaligus berlindung dari air hujan. Mereka biasanya menggunakan terpal yang terbuat dari plastik tipis. Sementara tali mereka pergunakan untuk mengikat bot di kayu jangkar saat akan mendarat; taka atau tangkis adalah istilah lokal yang digunakan untuk menampung biota laut hasil tangkapan yang sudah dipisahkan sesuai jenis dan ukurannya masing-masing.[6]

Pelaku Melaut

sunting

Dalam melakukan aktivitas melaut, nelayan Belawan Bahari memiliki armada kapal yang mempunyai sebutan berikut tanggung jawab yang berbeda-beda. Pelaku-pelaku tersebut terdiri dari toke, tekong, wakil tekong, dan para anak buah kapal atau ABK.

Toke merupakan sebutan bagi seseorang yang menguasa peralatan-peralatan kerja dalam kegiatan melaut. Seorang toke biasanya memiliki satu unit bot dengan lebih dari satu jaring penangkap ikan. Toke biasanya juga memiliki perlatan melaut lainnya yang juga digunakan oleh tekong dan para anak buah kapal lainnya. Sementara itu, kepemilikan lebih dari satu jaring penangkap ikan dimaksudkan untuk membuat hasil tangkapan ikan menjadi lebih banyak akibat banyaknya jaring untuk menangkap ikan. Tekong sendiri dalam bahasa sederhana disebut sebagai pemimpin kegiatan melaut sedangkan anak buah kapal bertugas untuk membantu tekong dalam mengoperasikan bot dan kegiatan lainnya.[1]

Wakil tekong, sebagaimana namanya, bertugas untuk mengambil alih tugas tekong apabila berhalangan untuk melaksanakan tugas. Apabila tekong berhalangan berangkat melaut, maka posisinya akan digantikan oleh seorang perwakilan yang bernama wakil tekong. Seperti halnya hak dan kewajiban seorang tekong, wakil tekong juga memiliki hak dan kewajiban yang sama apabila tekong benar-benar berhalangan untuk berangkat melaut.[1]

Anak Buah Kapal (ABK) merupakan awak bot yang bertugas untuk membantu tekong dalam mengoperasikan bot. Anak buah kapal dalam kegiatan melaut juga memiliki jabatan dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Beberapa jabatan itu antara lain adalah toncun atau kacip, anak kajar, anak tekang, dan anak dapur. Toncun bertugas sebagai penjaga pukat yang tengah dilabuh untuk menghindari tergulungnya medang; tocun bertugas untuk menjaga medang agar tidak tersangkut pada berbagai benda penghalang yang banyak terdapat di bawah permukaan atau di dasar laut; anak kajar bertugas untuk menambatkan dan melepaskan tali bot agar bot tidak kandas karena terhalang lumpur atau pasir ketika bersandar; anak tekang bertugas untuk mengawal posisi pelampung pukat yang diikatkan dan bergantung di sepanjang pinggiran medang selama berada di laut sekaligus bertugas untuk membantu tocun dalam membentangkan medang dari sisi sebelah kanan haluan bot ke sisi sebelah kiri bagian lambung bot; anak dapur bertugas untuk mempersiapkan segala kebutuhan makanan dan minuman para awak bot selama perjalanan melaut. Selama perjalanan melaut, anak dapur biasanya memasak makanan selama dua kali yaitu sekitar setengah jam atau satu jam setelah berangkat melaut. Makanan tersebut dipersiapkan sebagai kebutuhan makanan pada malam hari atau pada tengah malam (dini hari).[6]

Untuk melancarkan aktivitas melautnya, seorang toke pemilik bot akan mencari atau menghadirkan awak bot yang menjadi satuan kerja bagi bot-nya, terutama seorang tekong yang akan memimpin pengoperasian bot sekaligus melaksanakan aktivitas melaut secara keseluruhan. Para toke tersebut tidak hanya menunjuk awak kapal yang berasal dari Belawan Bahari, terkadang, mereka juga mengajak awak kapal lain di luar Belawan Bahari. Ajakan untuk melaut itu biasanya dilakukan satu hari sebelum kegiatan melaut dilakukan. Tokek akan menyediakan seluruh kebutuhan logistik yang diperlukan untuk kegiatan melaut mereka. Logistik yang diberikan bukan diberikan secara cuma-cuma, melainkan akan dipotong dari hasil penjualan hasil ikan yang mereka tangkap bersama.[5]


Referensi

sunting
  1. ^ a b c Numberi, F. 2009. Perubahan Iklim: Implikasinya terhadap Kehidupan di Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Citrakreasi Indonesia
  2. ^ a b c d BPS (Badan Pussat Statstik Kota Medan. Kecamatan Medan Belawan dalam Angka-2010
  3. ^ http://referensi.data.kemdikbud.go.id/index21.php?kode=076021&level=3
  4. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-08. Diakses tanggal 2021-05-15. 
  5. ^ a b Anonymous. 2009. Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta: Pusat Penelitian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lembaga Penelitian Universitas Jember dengan Penerbit Ar-RuzzMedia
  6. ^ a b c d e Nasution, Pangeran Putra. 2012. “ONDAK KE LAUT, POKOK HARI NYALAH” (Kajian Etnoekologi dan Siasat Melaut Nelayan Belawan Bahari di Tengah Gejala Perubahan Iklim). Tesis. Program Studi Antropologi Universitas Gadjah Mada
  7. ^ Nasution, M.A. 2005. Isu-isu Kelautan: Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut. Pustaka Pelajar
  8. ^ a b c Anonymous. 2002. Konflik SOsial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. LKiS