Murasaki Shikibu (紫式部, lahir 973? – meninggal 1014? atau 1025?) adalah novelis dan penyair Jepang, sekaligus dayang di istana kekaisaran pada zaman Heian. Ia dikenal sebagai penulis Hikayat Genji yang ditulis dalam bahasa Jepang kira-kira antara tahun 1000 dan 1012.

Lukisan Murasaki Shikibu duduk di belakang meja di Ishiyama-dera, mencari inspirasi sambil menatap Bulan, ukiyo-e oleh Suzuki Harunobu, 1767?

Murasaki Shikibu adalah nama pena, nama aslinya tidak diketahui. Beberapa sejarawan memperkirakan bahwa nama aslinya adalah Fujiwara Takako, seperti tertulis dalam nama pelayan istana dengan pangkat shōji pada tanggal 29 bulan 1 tahun 4 Kankō (19 Februari 1007) menurut Midō Kampaku Ki, sebuah buku harian yang ditulis oleh Fujiwara no Michinaga, walaupun teori ini tidak banyak didukung oleh sejarawan lainnya.[1] Dalam buku harian pribadinya yang berjudul Buku Harian Murasaki Shikibu, ia menulis bahwa nama panggilannya di istana adalah Murasaki, seperti nama tokoh dalam novel Hikayat Genji yang ditulisnya. "Shikibu" menunjuk kepada pangkat ayahnya di Biro Protokoler Istana (Shikibu-shō).

Dia dibesarkan di rumah keluarga ayahnya, tempatnya belajar membaca dan menulis aksara Tionghoa yang menurut tradisi waktu itu tidak diajarkan kepada perempuan. Ketika itu aksara Tionghoa adalah bahasa tulis di kantor-kantor pemerintah. Dia diperkirakan menikah ketika berumur 25 tahunan hingga menjelang 30 tahun, dan melahirkan seorang anak perempuan sebelum suaminya meninggal, dua tahun setelah mereka menikah. Hikayat Genji tidak jelas diketahui kapan mulai ditulis, tetapi kemungkinan ketika dia masih bersuami atau beberapa lama setelah dia menjanda. Pada sekitar tahun 1005, Murasaki diminta untuk bekerja sebagai dayang di istana kaisar di bawah pemerintahan Permaisuri Shōshi. Kemungkinan dia diminta bekerja di istana karena reputasinya sebagai penulis sudah terkenal. Selama bekerja di istana, dia terus menulis dan terus menambahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama dia bekerja di istana ke dalam karyanya. Setelah lima atau enam tahun mengabdi, dia meninggalkan istana untuk pensiun bersama Permaisuri Shōshi ke sekitar Danau Biwa. Para cendekiawan tidak sepakat mengenai tahun kematiannya, sebagian besar di antara mereka sepakat bahwa Murasaki Shikibu meninggal pada tahun 1014, tetapi sebagian lainnya memperkirakan dia masih hidup hingga tahun 1025.

Dua karya paling utama dari Murasaki Shikibu adalah Hikayat Genji dan kumpulan puisi Buku Harian Murasaki Shikibu. Dalam satu dekade setelah selesai ditulis, Hikayat Genji telah beredar ke seluruh provinsi. Tidak sampai satu abad setelah selesai ditulis, novel ini telah diakui sebagai karya klasik sastra Jepang, dan telah menjadi subjek kritik sastra. Pada awal abad ke-20 karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, semuanya berjumlah enam jilid yang selesai pada tahun 1933. Para ahli sastra terus menyadari pentingnya karya-karya Murasaki yang menggambarkan kehidupan di istana kaisar sepanjang masa keemasan zaman Heian. Sejak abad ke-13 karya-karyanya telah menjadi sumber inspirasi bagi seniman-seniman Jepang dan ahli cetak kayu ukiyo-e.

Masa muda

sunting

Murasaki Shikibu lahir sekitar tahun 973 [2] di Heian-kyō Jepang. Keluarganya adalah klan Fujiwara Utara dari garis keturunan Fujiwara no Yoshifusa, bupati Fujiwara pertama dari abad ke-9.[3] Klan Fujiwara mendominasi politik istana hingga akhir abad ke-11 melalui pernikahan strategis antara anak-anak perempuan klan Fujiwara dan keluarga kekaisaran, serta kendali pemerintahan di tangan pejabat sessho dan kampaku. Pada abad ke-10 dan awal abad ke-11, Fujiwara no Michinaga mengatur pernikahan keempat putrinya dengan kaisar-kaisar, sehingga dirinya memperoleh kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.[4] Kakek buyut dari Murasaki, Fujiwara no Kanesuke adalah pimpinan bangsawan istana, tetapi keluarga yang melahirkan Murasaki berasal dari percabangan keluarga yang kehilangan kekuasaan secara bertahap. Ketika ia lahir, menurut hierarki bangsawan Heian, kedudukan keluarganya sudah jatuh ke tingkat menengah hingga bawah, setara dengan keluarga gubernur-gubernur provinsi.[5] Pada zaman itu, bangsawan tingkat rendah biasanya dikirim untuk bertugas jauh dari istana untuk menempati jabatan kering di daerah-daerah, jauh dari kekuasaan istana dan pemerintah pusat di Kyoto.[6]

Meskipun sudah kehilangan status, keluarga Murasaki memiliki reputasi baik di kalangan sastrawan berkat kakek dan kakek buyut dari pihak ayah yang keduanya terkenal sebagai penyair. Kakek buyutnya bernama Fujiwara no Kanesuke yang berhasil memasukkan lima puluh enam puisi di dalam tiga belas antologi kekaisaran yang disebut Koleksi Tiga Puluh Enam Penyair dan Yamato Monogatari (Hikayat Yamato).[7] Kakek buyut dan kakeknya sama-sama bersahabat dengan Ki no Tsurayuki, penyair yang terkenal karena memopulerkan syair dalam tulisan bahasa Jepang.[6] Ayahnya bernama Fujiwara no Tametoki, lulusan akademi kekaisaran (Daigaku-ryō)[8] yang menjadi penyair sekaligus cendekiawan sastra Tionghoa Klasik dan puisi-puisinya diterbitkan sebagai antologi syair[9] Ayahnya memasuki dinas pegawai negeri sekitar tahun 968 sebagai pejabat rendahan, namun terus naik pangkat hingga akhirnya diangkat sebagai gubernur pada tahun 996. Pengabdiannya tidak terputus hingga sekitar tahun 1018.[6][10] Ibu Murasaki bernama Tametoki, juga berasal dari percabangan klan Fujiwara Utara. Orang tua Murasaki memiliki tiga anak, seorang putra dan dua orang putri.[9]

Murasaki Shikibu sebagai salah seorang dari Seratus Penyair, terlihat sedang mengenakan kimono berwarna ungu, warna yang sesuai dengan namanya (murasaki). Lukisan dari zaman Edo.
Penasihat kaisar Fujiwara no Michinaga yang sangat berkuasa sekaligus pelindung Murasaki Shikibu. Ilustrasi abad ke-19 karya Kikuchi Yōsai.

Pada zaman Heian, nama anak perempuan tidak dicatat ke dalam buku keluarga. Nama asli Murasaki tidak diketahui, seperti sudah menjadi kebiasaan bagi perempuan dari zamannya, dia dikenal dengan nama panggilan, Murasaki Shikibu. Nama panggilan untuk perempuan zaman itu dikaitkan dengan kantor tempat bekerja pihak kerabat laki-laki. Shikibu berasal dari nama Biro Protokoler Istana (Shikibu-shō) tempat ayahnya bekerja sebagai pejabat. Murasaki berarti ungu, kemungkinan berasal dari warna bunga wisteria (bunga fuji), tetapi kemungkinan besar Murasaki adalah nama panggilan untuknya di istana. Michinaga menyebutkan nama dayang-dayang catatan harian tahun 1007. Salah seorang di antara dayang-dayang bernama Fujiwara Takako alias Kyōshi, yang kemungkinan adalah nama sebenarnya dari Murasaki Shikibu.[7][11]

Pada zaman Heian, suami dan istri tinggal di rumah terpisah. Meskipun menganut sistem patrilineal,[12] anak-anak dibesarkan oleh pihak ibu. Keluarga Murasaki menyimpang kebiasaan karena Murasaki dibesarkan bersama adik laki-laki bernama Nobunori di rumah ayahnya yang kemungkinan besar berada di Jalan Teramachi, Kyoto. Ibu mereka sudah meninggal, kemungkinan ketika melahirkan atau ketika anak-anak masih kecil. Murasaki memiliki setidaknya tiga saudara tidak sekandung yang dibesarkan oleh ibu-ibu mereka. Dia sangat dekat dengan salah seorang saudara perempuan yang meninggal pada usia dua puluhan.[13][14][15]

Murasaki lahir pada masa ketika Jepang menjadi lebih terisolasi, setelah diakhirinya utusan Kekaisaran Jepang ke Cina dan munculnya budaya nasional yang lebih kuat.[16] Pada abad ke-9 dan abad ke-10, bahasa Jepang secara bertahap menjadi bahasa tulis setelah dikembangkannya aksara kana sebagai aksara silabis yang berasal dari penyederhanaan aksara Tionghoa. Pada zaman itu, laki-laki di kantor pemerintahan menulis bahasa Jepang memakai aksara Tionghoa, sedangkan aksara kana dipakai untuk menulis oleh wanita bangsawan.[17]

Adik laki-laki Murasaki belajar bahasa Tionghoa sebagai persiapan kariernya di kantor pemerintah. Murasaki ketika masih anak-anak juga ikut belajar bersamanya, dan akhirnya menjadi mahir dalam bahasa Tionghoa Klasik.[8] Dalam buku hariannya, dia menulis, "Ketika adik aku... masih kecil, dia belajar Tionghoa Klasik. Aku jadi kebiasaan mendengarkannya, dan akhirnya menjadi betul-betul mengerti bait-bait yang menurut adikku sulit untuk dimengerti dan dihafal. Ayahku, seorang pria yang terpelajar, selalu menyesali kenyataan itu: "Aku hanya kebetulan saja," begitu katanya, "'Sayang sekali dia tidak dilahirkan sebagai seorang laki-laki!'"[18] Ketika bersama adiknya menerima pelajaran sastra Tionghoa, Murasaki juga kemungkinan diajari subjek-subjek yang lebih tradisional, seperti musik, kaligrafi dan tanka.[13] Murasaki adalah seorang wanita yang berpendidikan tidak biasa. Louis Perez menjelaskan dalam The History of Japan bahwa "Perempuan [zaman itu] ... dianggap tidak memiliki cukup kecerdasan, dan karena itu tidak diajari bahasa Tionghoa." [19] Murasaki menyadari bahwa orang lain memandangnya sebagai perempuan "sok, canggung, sulit untuk didekati, aneh, terlalu menyukai cerita-cerita diri sendiri, angkuh, cenderung menulis dalam syair, meremehkan, serta suka mencemooh dan membantah".[20] Cendekiawan sastra Asia Thomas Inge percaya dia memiliki "kepribadian kuat sehingga jarang disukai teman-temannya." [8]

Pernikahan

sunting

Kehidupan wanita bangsawan zaman Heian dibatasi peraturan-peraturan ketat dan dikucilkan. Mereka hanya dibolehkan untuk berbicara dengan pria hanya kalau pria itu kerabat dekat atau masih anggota keluarga. Puisi otobiografi yang ditulis Murasaki menunjukkan bahwa dirinya bergaul dengan wanita, namun hanya dapat melakukan kontak terbatas dengan laki-laki lain selain ayah dan adik laki-lakinya. Dia sering tukar menukar puisi dengan wanita, tetapi tidak pernah dengan pria.[13] Tidak seperti wanita bangsawan yang sederajat dengannya, Murasaki tidak langsung menikah setelah dia mencapai usia pubertas. Dia tetap tinggal di rumah ayahnya hingga dia berusia 25 tahunan atau mungkin hingga di awal usia 30 tahunan.[13][21]

Pada tahun 996 ketika ayahnya ditugaskan ke Provinsi Echizen selama empat tahun, Murasaki ikut pergi bersama ayahnya. Kepergiannya ke tempat jauh bersama ayahnya bukanlah sesuatu yang umum untuk wanita bangsawan zaman itu, apalagi kemungkinan bisa sampai lima hari di perjalanan.[22] Dia kembali ke Kyoto, mungkin pada tahun 998 untuk menikah dengan teman ayahnya yang bernama Fujiwara no Nobutaka (950?-1001?), sepupu kedua yang berusia jauh lebih tua.[6][13] Suaminya berasal dari percabangan keluarga klan Fujiwara yang sama. Pekerjaannya sebagai pejabat istana dan birokrat di Biro Protokoler, serta dikenal suka berpakaian mewah sekaligus seorang penari berbakat.[22] Ketika mereka menikah, suaminya sudah berusia hampir 50 tahunan dan sudah memiliki banyak rumah yang dihuni banyak istri dan anak-anak mereka.[7] Suaminya dikenal suka berteman dan terkenal di istana, serta terlibat dalam sejumlah hubungan cinta yang kemungkinan terus berlanjut setelah menikah dengan Murasaki.[13] Sebagaimana adat zaman itu, Murasaki tetap tinggal di rumah ayahnya, dan hanya menunggu suaminya datang berkunjung.[7] Nobutaka, sang suami, telah menerima hak kekuasaan lebih dari satu provinsi, dan pada saat pernikahannya dengan Murasaki, dia mungkin cukup kaya. Catatan tentang kisah perkawinan mereka bervariasi. Richard Bowring menulis bahwa pernikahan mereka bahagia. Sebaliknya, sastrawan Jepang Haruo Shirane berpendapat bahwa dari puisi-puisi yang ditulis Murasaki tercermin rasa kebencian terhadap suaminya.[6][13]

Murasaki Shikibu di Ishiyama-dera, lukisan oleh Hiroshige III (kira-kira 1880)
Murasaki digambar sedang memandangi Bulan mencari inspirasi di Ishiyama-dera oleh Yoshitoshi (1889)

Murasaki bersama suami memiliki seorang anak perempuan bernama Kenshi (Kataiko) yang lahir tahun 999. Dua tahun kemudian suaminya, Nobutaka meninggal dunia akibat epidemi kolera. [13] Sebagai wanita menikah, Murasaki kemungkinan memiliki banyak pelayan untuk mengurus rumah tangga dan merawat anak perempuannya, sehingga dia memiliki cukup waktu luang. Dia senang membaca, termasuk buku-buku roman (monogatari) seperti Putri Kaguya dan Hikayat Ise.[22] Ahli sastra berpendapat bahwa dia diperkirakan mulai menulis Hikayat Genji sebelum ditinggal mati suaminya. Ia juga diketahui masih menulis menjanda, kemungkinan dalam keadaan duka.[3][6] Dalam buku hariannya, dia menggambarkan perasaan setelah suaminya meninggal, "Saya merasa tertekan dan bingung. Selama beberapa tahun saya menjalani dari hari ke hari dalam keadaan lesu ... melakukan tidak lebih dari mencatat perjalanan waktu .... Perasaan kesepian yang berkelanjutan sangat tidak tertahankan ".[23]

Menurut legenda, Murasaki pensiun dan menyepi ke Ishiyama-dera di Danau Biwa, tempatnya mendapat inspirasi untuk menulis Hikayat Genji pada suatu malam bulan Agustus ketika memandangi Bulan. Meskipun para ahli sastra telah menolak spekulasi Murasaki menyepi untuk menulis, seniman-seniman Jepang sering menggambarkan Murasaki Shikibu sedang berada di Kuil Ishiyama, menatap bulan untuk mencari inspirasi.[14]Hikayat Genji kemungkinan ditulisnya sebagai tugas dari istana, dan dia sebelumnya mungkin kenal dengan para pejabat istana dalam pengasingan seperti yang dialami tokoh utama Hikaru Genji.[24] Bab-bab baru Hikayat Genji kemungkinan diteruskan Murasaki ke teman-temannya yang kemudian menyalin dan menyebarkannya lagi kepada orang lain. Melalui praktik seperti ini, cerita Hikayat Genji menjadi terkenal dan dia meraih reputasi sebagai seorang penulis.[25]

Ketika Murasaki berusia 30 tahunan hingga 35 tahunan, dia bekerja sebagai dayang (nyōbō) di istana. Pekerjaan ini mungkin diperolehnya setelah memiliki reputasi sebagai penulis.[3][25] Dalam buku, Japanese Women Writers, a Biocritical Sourcebook Chieko Mulhern mempertanyakan keputusan Murasaki bekerja di istana ketika usianya sudah relatif lanjut. Dari isi buku hariannya terbukti bahwa setelah suaminya meninggal, Murasaki saling tukar menukar puisi dengan Michinaga. Fakta tersebut menimbulkan spekulasi bahwa keduanya mungkin berkasih-kasihan. Bowring tidak menemukan bukti bahwa dia dibawa ke istana sebagai selir Michinaga, meskipun dia dibawa ke istana tanpa melalui jalur resmi. Mulhern berpendapat Michinaga ingin Murasaki tinggal di istana agar dapat disuruh mendidik putri Michinaga yang bernama Shōshi.[26]

Kehidupan di istana

sunting
 
Dayang-dayang istana Heian, lukisan Yamato-e aliran Tosa dari pertengahan hingga akhir abad ke-17 oleh Tosa Mitsuoki, memperlihatkan wanita mengenakan kimono 12 lapis jūnihitoe dan rambut panjang terurai sampai ke lantai.

Budaya dan kehidupan istana Heian mencapai puncak kejayaan pada awal abad ke-11.[4] Populasi penduduk Kyoto bertambah hingga kira-kira 100.000 orang, seiring dengan makin terisolasinya kaum bangsawan yang berdinas sebagai pejabat di kantor pemerintahan dan biro istana.[27] Dayang-dayang menjadi sangat termanja dan kurang pekerjaan, sekaligus terisolasi dari kenyataan. Mereka disibukkan dengan hal-hal kecil dari kehidupan istana, dan beralih meminati bidang seni.[4][27] Luapan perasaan biasanya dinyatakan secara artistik melalui penggunaan kain-kain mahal, wewangian, kaligrafi, kertas berwarna, puisi, dan berlapis-lapis pakaian dengan kombinasi warna-warni yang menyenangkan, mengikuti suasana hati dan musim. Dayang-dayang yang tidak dapat menunjukkan kemampuan mengikuti estetika konvensional akan cepat kehilangan popularitas, terutama di istana.[19] Hiburan populer di kalangan wanita aristokrat Heian, selain menulis puisi dan buku harian, adalah menyeleweng dengan pria lain. Wanita aristokrat Heian terikat aturan cara berpakaian yang ketat, rambut harus panjang terurai hingga ke lantai, kulit harus putih, dan gigi harus dihitamkan. Karya sastra hasil penulis wanita Istana Heian diakui sebagai karya sastra Jepang tertua sekaligus terbaik yang ditulis dalam bentuk syair.[4][27]

Persaingan antarwanita dan antarpenyair istana

sunting

Pada tahun 995, dua saudara laki-laki Michinaga yang bernama Fujiwara no Michitaka dan Fujiwara no Michikane meninggal dunia sehingga jabatan bupati menjadi kosong. Michinaga segera bertindak dan memenangi perebutan kekuasaan melawan keponakan bernama Fujiwara no Korechika (saudara laki-laki dari istri Kaisar Ichijō yang bernama Fujiwara no Teishi). Berkat bantuan saudara perempuan bernama Senshi, Michinaga memperoleh jabatan bupati. Teishi kehilangan kekuasaan setelah mendukung Korechika (kakaknya) yang kemudian dikucilkan dan diasingkan dari istana.[28] Empat tahun kemudian Michinaga mengirimkan Shōshi, putri sulungnya ke rumah selir Kaisar Ichijo. Ketika itu Shōshi berusia kira-kira 12 tahun.[29] Michinaga mengangkat Shōshi yang sudah setahun tinggal di rumah selir kaisar sebagai permaisuri. Tindakan itu dilakukannya dengan maksud memperkuat kedududukan putrinya di istana serta memperkecil pengaruh Teishi yang sebelumnya sudah memegang gelar permaisuri. Sejarawan Donald Shively menjelaskan bahwa, "Michinaga bahkan mengejutkan para pengagumnya dengan mengatur pengangkatan Teishi (alias Sadako) dan Shōshi, kedua-duanya sebagai permaisuri dari seorang kaisar bertahta. Teishi diberi gelar kōgō dan Shōshi diberi gelar chūgū, keduanya berarti permaisuri.[28] Sekitar lima tahun kemudian, Michinaga mengajak Murasaki untuk tinggal di istana sebagai guru untuk Shōshi, jabatan yang menurut Bowring sebagai pendamping sekaligus pendidik.[30]

Kehidupan di Istana Heian tidak hanya sangat modis, melainkan juga tidak bermoral. Wanita tinggal terkucil dalam istana. Mereka hanya dikenal dengan nama panggilan mereka, dan melalui pernikahan strategis, wanita dipakai untuk memperoleh kekuasaan politik. Meskipun hidup terkucil, sejumlah wanita berhasil memiliki pengaruh yang cukup besar, sering kekuasaan tersebut diperoleh melalui persaingan antarklik (kelompok), dan bergantung kepada kualitas para anggotanya.[31] Putri Senshi (ibu dari Ichijō dan saudara perempuan Michinaga) memimpin klik berpengaruh. Michinaga mungkin menginginkan Shōshi dikelilingi oleh wanita cakap seperti Murasaki untuk membangun sebuah klik pesaing.[25]

Izumi Shikibu, penyair di istana Permaisuri Teishi. Lukisan kusazōshi karya Komatsuken dari kira-kira tahun 1765.
Akazome Emon, penyair rival Murasaki di istana Heian, dalam lukisan asal kira-kira tahun 1765. Lukisan kusazōshi oleh Komatsuken
Sei Shōnagon, penyair rival Murasaki. Lukisan benizuri-e (kira-kira dari tahun 1760-an)

Shōshi berusia antara 16 hingga 19 tahun saat Murasaki mulai mengabdi di istana.[32] Menurut Arthur Waley, Shōshi adalah seorang wanita berpikiran serius yang membagi waktunya antara rumah tinggal ayahnya dan kehidupan di istana kaisar.[33] Dia dikelilingi oleh penulis-penulis wanita berbakat seperti Izumi Shikibu dan Akazome Emon. Keduanya adalah penulis sejarah vernakular kuno Hikayat Eiga (Eiga Monogatari).[34] Persaingan antarwanita secara jelas dicatat dalam buku harian Murasaki. Mengenai Izumi, ia menulis dengan nada meremehkan, "Izumi Shikibu adalah seorang penulis surat yang menarik, tetapi ada sesuatu yang tidak sangat memuaskan tentang dia. Dia mempunyai bakat untuk dengan cepat menulis komposisi informal yang ditulisnya dengan teknik serampangan dan ceroboh, tetapi dalam puisi dia membutuhkan entah subjek yang menarik atau beberapa model klasik untuk ditiru. Memang tidak terlihat olehku bahwa dia betul-betul seorang penyair."[35]

Sei Shōnagon, penulis Buku Bantal (Makura no Sōshi) sudah mengabdi sebagai dayang untuk Teishi ketika Shōshi mulai tinggal di istana. Oleh karena itu, ada kemungkinan Murasaki diundang ke istana Shōshi untuk menjadi pesaing Shōnagon. Teishi meninggal pada tahun 1001, sebelum Murasaki mulai mengabdi untuk Shōshi. Keduanya tidak pernah bekerja di istana pada waktu bersamaan. Namun dalam buku hariannya, Murasaki menulis tentang Shōnagon, tampaknya dia kenal siapa itu Shōnagon, atau setidaknya terpengaruh olehnya.[36] Shōnagon mungkin menulis Buku Bantal setelah ditugaskan oleh istana untuk menulis suatu bentuk propaganda bagi istana Teishi yang dikenal memiliki dayang-dayang berpendidikan. Ahli sastra Jepang, Joshua Mostow berpendapat bahwa Michinaga menugaskan Murasaki sebagai dayang untuk Shōshi karena memandangnya sebagai seorang wanita berpendidikan setara atau lebih baik daripada Shōnagon. Dia ingin memperlihatkan kehebatan istana Shōshi dengan cara seperti yang dilakukan Shōnagon.[37]

Murasaki dan Shōnagon masing-masing memiliki temperamen yang berbeda. Shōnagon jenaka, cerdas, dan terus terang, sementara Murasaki terlihat menahan diri dan sensitif. Catatan-catatan dalam buku harian Murasaki menunjukkan bahwa keduanya mungkin tidak akur. Murasaki menulis, "Sei Shōnagon ... itu sangat sombong. Dia berpikir dirinya begitu pintar, menyampahi karangannya dengan karakter Tionghoa hingga hanya sedikit yang bisa diharapkan."[38] Keene berpendapat bahwa kesan Murasaki tentang Shōnagon bisa saja dipengaruhi oleh Shōshi dan para wanita di istananya karena Shōnagon bekerja untuk Teishi, permaisuri saingan majikannya. Selanjutnya, dia percaya Murasaki dibawa ke istana untuk menulis Hikayat Genji sebagai pesaing Buku Bantal dari Shōnagon yang lebih dulu populer.[36] Murasaki bertolak belakang dari Shōnagon dalam berbagai cara. Dia mencaci genre buku bantal, dan tidak seperti halnya Shōnagon yang senang memamerkan pengetahuannya tentang Cina, Murasaki pura-pura tidak mengerti bahasa Tionghoa.[37]

"Dayang ahli sejarah"

sunting

Meskipun orang zaman Heian sudah menganggap budaya Cina dan seni Cina ketinggalan zaman, beberapa syair Tionghoa tetap populer, termasuk syair yang ditulis oleh Bai Juyi, terutama disebabkan penggunaan bahasanya yang sederhana. Murasaki mengajarkan bahasa Tionghoa kepada Shōshi untuk memahami seni Cina dan syair karya Bai Juyi. Setelah menjadi permaisuri, Shōshi memasang pembatas ruangan berhiaskan kaligrafi aksara Tionghoa di istananya. Perbuatannya tersebut memancing kemarahan bangsawan pria yang menganggap aksara Tionghoa hanya untuk pria. Oleh karena itu, pembatas ruangan tersebut disingkirkan dari istana tempat tinggal wanita.[39] Studi tentang Cina dianggap tidak wajar untuk seorang wanita terhormat dan melawan gagasan bahwa hanya laki-laki yang dapat menguasai sastra. Wanita diharuskan hanya dapat membaca dan menulis dalam bahasa Jepang, sehingga mereka dapat dipisahkan dari struktur kekuasaan dan pemerintahan melalui kecakapan penggunaan bahasa. Murasaki adalah seorang wanita yang menerima pendidikan secara nonkonvensional dan menguasai bahasa Tionghoa Klasik. Ia adalah salah seorang dari sedikit wanita yang mampu mengajar bahasa Tionghoa Klasik untuk Shōshi.[40] Bowring menulis bahwa itu sama saja dengan "hampir subversif" bila laki-laki di istana tahu Murasaki dapat berbahasa Tionghoa dan mengajarkannya kepada Shōshi.[41] Murasaki selalu tutup mulut menyembunyikan dirinya terdidik dalam bahasa Tionghoa. Pelajaran bahasa Tionghoa diberikannya kepada Shoshi secara rahasia. Dalam buku hariannya, dia menulis, "Sejak musim panas lalu ... dengan sangat rahasia, mencuri-curi waktu ketika kebetulan tidak ada orang di sekeliling kami, aku membaca bersama Yang Mulia ... Tentu saja ada tidak ada pelajaran resmi ... Aku pikir lebih baik untuk tidak mengatakan apa pun mengenai hal ini kepada siapa pun ".[42]

Lukisan Murasaki sedang menulis sendirian, karya Tosa Mitsuoki, kira-kira dari akhir abad ke-17
Lukisan wanita istana Heian pada musim dingin oleh Tosa Mitsuoki, kira-kira dari abad ke-17

Murasaki kemungkinan memperoleh julukan kedua, dayang ahli sejarah (Nihongi no tsubone), setelah mengajarkan literatur Tionghoa kepada Shōshi.[25] Seorang dayang yang tidak menyukai Murasaki menuduhnya memamerkan pengetahuan tentang Cina dan mulai memanggilnya dayang ahli sejarah, sebagai sebuah alusi pada buku sejarah Nihon Shoki. Julukan tersebut mulai diberikan kepadanya setelah terjadi sebuah insiden di istana. Bab-bab dari Hikayat Genji dibacakan keras-keras kepada kaisar dan pejabat tinggi lainnya. Seorang di antara pejabat melontarkan pujian bahwa penulisnya pasti berpendidikan tinggi. Murasaki menulis dalam buku hariannya, "Benar-benar konyol! Apakah aku, yang ragu untuk mengungkapkan pendidikan yang telah kudapat kepada perempuanku di rumah, pernah berpikir untuk melakukannya di istana?"[43] Meskipun dimaksudkan untuk mencemooh, Mulhern berpendapat Murasaki mungkin tersanjung dengan julukan barunya itu.[25]

Kontradiksi terjadi di istana sehubungan pemakaian bahasa Tionghoa. Di istana Teishi, budaya Cina disanjung-sanjung dan dipandang sebagai simbol kekuasaan kaisar. Namun, kelompok pengikut Shōshi menunjukkan permusuhan terhadap bahasa Tionghoa. Hal tersebut mungkin disebabkan kepatutan politik. Meskipun Shōshi sendiri sudah mempelajarinya, bahasa Tionghoa mulai ditolak dan diganti dengan bahasa Jepang. Permusuhan dengan Teishi mungkin telah mempengaruhi Murasaki dan opininya terhadap istana, dan memaksa dirinya untuk menyembunyikan pengetahuannya tentang Cina. Tidak seperti Shōnagon yang suka pamer dan genit, sekaligus terang-terangan memperlihatkan pengetahuannya tentang bahasa Tionghoa, Murasaki tampak lebih rendah hati, sikap yang mungkin membuat Michinaga terkesan. Meskipun Murasaki menggunakan aksara Tionghoa dan memasukkan unsur-unsurnya ke dalam karangannya, di hadapan publik dia menolak bahasa Tionghoa, sikap terpuji yang dilakukannya selama periode perkembangan budaya Jepang.[44]

Murasaki tampaknya tidak puas dengan kehidupan istana. Dia menjadi pendiam dan muram. Tidak ada dokumen sejarah yang masih tersisa dan menunjukkan bahwa dia pernah mengikuti kompetisi puisi. Meskipun demikian, ia tampaknya sering tukar menukar sejumlah kecil puisi atau surat dengan wanita lain selama bertugas.[6] Secara umum, tidak seperti Sei Shōnagon, Murasaki dalam buku hariannya memberi kesan bahwa dia tidak menyukai kehidupan istana, dayang-dayang lain, dan pesta pora bermabuk-mabukan. Meskipun demikian, dia menjadi teman akrab dengan dayang bernama Saishō, dan dia menulis tentang musim dingin yang disukainya, "Aku senang melihat salju di sini".[45][46]

Menurut Waley, Murasaki mungkin belum puas dengan kehidupan di istana secara umum, namun sudah bosan di istana Shōshi. Ia berspekulasi bahwa Murasaki lebih suka melayani dengan Putri Senshi yang memiliki suasana rumah tangga tidak terlalu ketat dan lebih menyenangkan. Dalam buku hariannya, Murasaki menulis tentang istana Shōshi itu, "[Dia] mengumpulkan sejumlah wanita muda yang sangat layak di sekelilingnya... Yang Mulia mulai memperoleh pengalaman lebih banyak dalam hidup, dan tidak lagi menghakimi orang lain dengan standar kaku seperti sebelumnya. Namun istana tempat tinggalnya sudah mendapat reputasi untuk kebosanan luar biasa".[47]

 
Dalam lukisan abad ke-13 yang diambil dari Emaki Buku Harian Murasaki Shikibu, pejabat istana Heian sedang mabuk dan mengacau. Mereka terlihat sedang bercanda dan main mata dengan wanita istana.

Murasaki tidak menyukai laki-laki di istana yang dia anggap suka mabuk dan bodoh. Namun, beberapa ahli sastra, seperti Waley yakin bahwa dia terlibat asmara dengan Michinaga. Paling tidak, Michinaga mengejar dan mendesaknya. Pengalamannya main mata dengan Michinaga dicatatnya di buku harian setidaknya mulai tahun 1010. Namun sebagai kontradiksi, ada pula puisi yang ditulisnya sebagai berikut, "Kau belum membaca buku tulisanku, atau memenangkan cintaku."[48] Dalam buku hariannya dia mencatat harus menghindari pendekatan dari Michinaga. Pada suatu malam dia menyelinap ke kamar Murasaki, mencuri sebuah bab Hikayat Genji yang baru saja selesai ditulis.[49] Namun Michinaga penting baginya sebagai pelindung kalau dia ingin terus bisa menulis.[50] Murasaki menjelaskan kegiatan putrinya di istana, mengenai upacara mewah, masa pacaran yang rumit, dan "kompleksitas sistem perkawinan",[21] termasuk di antaranya ketika Shōshi melahirkan dua orang putra yang dicatatnya secara mendetail.[49]

Sangat mungkin bahwa Murasaki menikmati menulis dalam kesendirian.[49] Dia percaya dirinya tidak cocok dengan suasana umum di istana, seperti ditulisnya untuk diri sendiri, "Aku terkungkung di dalam studi kisah-kisah kuno ... hidup sepanjang waktu di dalam dunia puisi milik sendiri sambil hampir tidak menyadari keberadaan orang lain .... Tapi ketika mereka mengenalku, mereka akan sangat terkejut setelah mengetahui aku baik dan lembut." [51] Inge mengatakan bahwa dia terlalu vokal untuk dapat berteman dengan orang-orang di istana. Mulhern berpendapat kehidupan istana yang dijalani Murasaki relatif tenang dibandingkan dengan penyair istana lainnya.[8][25] Mulhern berspekulasi bahwa komentarnya tentang Izumi tidak terlalu banyak ditujukan kepada puisi hasil karya Izumi, tetapi kepada perilakunya, kurangnya moralitas dan koneksinya di istana yang tidak disetujui Murasaki.[34]

Hierarki sangat penting bangsawan Heian, dan Murasaki tidak merasa dirinya punya banyak, andaikan ada, kesamaan dengan klan Fujiwara yang berkedudukan lebih tinggi dan berkuasa.[52] Dalam buku hariannya, dia menulis tentang hidupnya di istana, "Aku menyadari bahwa status keluargaku berasal dari percabangan keluarga tingkat rendah, tetapi pemikiran tentang itu jarang mengganggu ku. Aku tidak merasa rendah diri sehingga kehidupan di istana tidak bagaikan siksaan terus-menerus untukku".[53] Jabatan di istana berarti pula kenaikan status sosial bagi dirinya, tetapi lebih penting lagi adalah kesempatan memperoleh lebih banyak pengalaman untuk ditulis.[25] Kehidupan istana, seperti yang dialaminya juga tercermin dalam bab-bab Hikayat Genji yang ditulisnya setelah dia menjadi abdi Shōshi. Nama panggilannya, Murasaki, kemungkinan diberikan pada kesempatan makan malam di istana. Peristiwa tersebut dicatatnya dalam buku harian. Pada kira-kira tahun 1008, penyair istana terkenal Fujiwara no Kintō bertanya-tanya siapa itu "Murasaki Muda", alusi pada tokoh bernama Murasaki dalam Hikayat Genji. Mungkin julukan itu dimaksudkannya sebagai pujian dari penyair pria istana kepada seorang penyair wanita.[25]

Masa tua hingga meninggal dunia

sunting
 
Murasaki digambarkan sedang menulis di Ishiyama-dera pada lukisan abad ke-17 pada gambar muka Genji Album oleh Tosa Mitsuoki, milik Museum Arthur M. Sackler, Universitas Harvard.

Setelah Kaisar Ichijō wafat pada tahun 1011, Shōshi pensiun dari Istana Kekaisaran, dan selanjutnya tinggal di rumah besar klan Fujiwara di Danau Biwa. Ia kemungkinan besar disertai oleh Murasaki yang dicatat berada di sana bersama Shōshi pada tahun 1013.[50] George Aston menjelaskan bahwa setelah Murasaki pensiun dari istana, ia kembali mengunjungi Ishiyama-dera, "Untuk tempat yang indah ini, seperti dikatakan, Murasaki Shikibu pensiun dari kehidupan istana untuk mengabdikan sisa hari-harinya untuk sastra dan agama. Namun ada pula sastrawan skeptis yang menolak untuk mempercayai cerita ini. Motoori Norinaga adalah salah seorang di antaranya. Ia berkata bahwa pernyataan itu tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Sebaliknya, ruangan paling dalam di Ishiyama-dera tempat ditulisnya Hikayat Genji menyimpan bak tinta yang biasa digunakan penulis, dan sutra tulisan tangan yang dibuatnya. Bila ternyata tidak cukup memuaskan para kritikus, bukti-bukti tersebut cukup mengesankan bagi pengunjung awam yang datang ke kuil." [54]

Murasaki diperkirakan meninggal dunia pada tahun 1014. Pada tahun itu, ayahnya dengan tergesa-gesa kembali ke Kyoto dari posnya di Provinsi Echigo, mungkin karena putrinya meninggal dunia. Dalam A Bridge of Dreams: A Poetics "The Tale of Genji", Shirane menyebutkan bahwa tahun 1014 disepakati secara umum sebagai tahun wafatnya Murasaki Shikibu, dan 973 sebagai tahun kelahirannya. Ia berumur 41 tahun saat meninggal dunia.[50] Bowring menganggap tahun 1014 sebagai spekulatif, dan percaya ia mungkin terus menghabiskan sisa hidupnya bersama Shōshi paling tidak hingga tahun 1025.[55] Waley setuju mengingat bahwa Murasaki mungkin menghadiri upacara yang diadakan Shōshi untuk putranya, Kaisar Go-Ichijō yang wafat sekitar tahun 1025.[51]

Nubonori, adik Murasaki meninggal sekitar tahun 1011. Ayah Murasaki kemungkinan mengambil keputusan untuk mundur dari jabatannya setelah dua orang anaknya meninggal dunia dalam waktu berdekatan. Ia kemudian menjadi biksu di Kuil Mii-dera hingga meninggal dunia pada tahun 1029.[3][50] Anak perempuan dari Murasaki diterima sebagai pegawai istana pada tahun 1025 sebagai ibu susu untuk pangeran yang nantinya naik tahta sebagai Kaisar Go-Reizei (1025-1068). Ia kemudian menjadi seorang penyair terkenal dengan nama Daini no Sanmi.[56]

Tiga karya yang ditulis oleh Murasaki Shikibu adalah Hikayat Genji, Buku Harian Murasaki Shikibu, dan kumpulan 128 puisi Murasaki Shikibu Shu.[49] Karya-karyanya dianggap penting karena mencerminkan penciptaan dan pengembangan sistem penulisan bahasa Jepang selama periode peralihan dari bahasa vernakular tidak tertulis menjadi bahasa tertulis.[31] Hingga abad ke-9 teks bahasa Jepang ditulis dengan aksara Tionghoa menggunakan sistem tulisan man'yōgana.[57] Setelah dikembangkannya sistem tulisan asli Jepang dalam bentuk aksara kana dari pertengahan hingga akhir abad ke-9, penulis-penulis Jepang mulai menulis syair dalam bahasa Jepang. Kemajuan ini menyebabkan terciptanya genre-genre baru seperti monogatari (hikayat) dan nikki bungaku (buku harian sastra).[58][59][60] Sejarawan Edwin Reischauer berpendapat bahwa genre seperti monogatari adalah jelas-jelas asli Jepang, dan ditulisnya Hikayat Genji dalam aksara kana merupakan "karya luar biasa dari zaman itu".[17]

Buku harian dan puisi

sunting
 
Lukisan abad ketiga belas (emakimono) Buku Harian Murasaki Shikibu, memperlihatkan Ratu Shōshi dengan Kaisar Go-Ichijō sewaktu masih bayi, dan dayang-dayang di balik kichō.

Murasaki mulai menulis buku harian setelah ia bekerja di istana untuk Shōshi.[49] Pengalamannya menghamba di istana ditulisnya dalam buku harian yang mencakup periode sekitar tahun 1008 hingga 1010. Bagian-bagian deskriptif yang panjang, beberapa di antaranya mungkin awalnya ditulis sebagai surat. Isinya mengisahkan hubungannya dengan dayang-dayang lain, temperamen Michinaga, kelahiran anak-anak Shōshi di rumah besar Michinaga dan bukan di istana kekaisaran, serta cerita tentang proses menulis Hikayat Genji, termasuk bantuan ahli kaligrafi dalam mentranskripsi bab-bab yang baru selesai ditulis.[49][61] Buku harian yang ditulisnya adalah khas buku harian istana dari masa itu yang ditulis untuk menyanjung majikan. Setengah dari isinya menceritakan kelahiran putra Shōshi yang nantinya naik tahta sebagai Kaisar Go-Ichijō. Peristiwa tersebut sangat penting untuk Michinaga karena dia telah merencanakannya sejak semula, mulai dari menikahkan anak perempuannya dengan kaisar, hingga berhasil menjadi kakek dari seorang kaisar, sekaligus bupati de facto untuk kaisar.[62]

Murasaki Shikibu Shu adalah kumpulan 128 puisi yang menurut Mulhern "disusun dalam urutan biografi".[49] Susunan asli kumpulan puisi ini sudah hilang. Menurut tradisi, setelah ditulis, puisi kemudian diteruskan ke orang lain untuk disalin. Sebagian dari puisi tampaknya ditulis untuk seorang kekasih, kemungkinan ditujukan kepada suaminya sewaktu masih hidup, tetapi dia mungkin hanya mengikuti tradisi, dan menulis puisi cinta sederhana. Isinya berisi detail biografi: dia menyebutkan seorang saudara perempuan yang meninggal, kunjungan ke Provinsi Echizen bersama ayahnya dan puisi yang ditulisnya untuk Shōshi. Puisi Murasaki diterbitkan pada tahun 1206 oleh Fujiwara Teika, dalam bentuk yang menurut Mulhern sebagai koleksi yang paling mendekati bentuk aslinya pada sekitar waktu yang sama Teika memasukkan karya terpilih Murasaki dalam sebuah antologi kekaisaran, Shin Kokin Wakashū.[49]

Hikayat Genji

sunting

Karya paling terkenal dari Murasaki Shikibu adalah Hikayat Genji, novel tiga bagian yang terdiri dari 1.100 halaman dan 54 bab.[63][64] Penulisan novel ini diperkirakan perlu waktu satu dekade. Bab-bab paling awal mungkin ditulis untuk majikan sewaktu dia masih bersuami atau tidak lama setelah suaminya meninggal. Dia terus menulis selama bekerja di istana dan kemungkinan selesai ditulis ketika dia masih bekerja untuk Shōshi.[65] Michinaga memberinya kertas berharga mahal dan tinta, dan bantuan ahli kaligrafi. Jilid pertama yang ditulis tangan kemungkinan disusun dan dijilid oleh para dayang.[50]

 
Lukisan Hikaru Genji oleh Kunisada dari abad ke-19.

Dalam buku The Pleasures of Japanese Literature, Keene mengklaim bahwa Murasaki menulis "adikarya fiksi Jepang" dengan mengambil unsur-unsur tradisi waka buku harian istana, dan monogatari asal zaman sebelumnya, ditulisnya dalam campuran aksara Tionghoa dan aksara Jepang seperti dalam Putri Kaguya atau Hikayat Ise.[66] Ia mengambil unsur-unsur serta mencampurkan gaya penulisan sejarah Cina, puisi naratif, dan prosa Jepang kontemporer.[63] Adolphson menulis bahwa penempatan subjek yang biasa-biasa berdampingan dengan gaya sastra Tionghoa menghasilkan kesan parodi atau satire, sekaligus cara pengungkapan yang unik.[67] Hikayat Genji mengikuti format tradisional monogatari yang mengisahkan sebuah cerita, terutama jelas terlihat dari penggunaan narator. Namun Keene berpendapat bahwa Murasaki mengembangkan genre monogatari melampaui batas-batas yang ada, dan dengan demikian telah menciptakan suatu bentuk yang sama sekali modern. Cerita Hikayat Genji berlatar pada akhir abad ke-9 hingga awal abad ke-10, dan Murasaki menghilangkan unsur-unsur dongeng dan fantasi seperti sering ditemukan pada monogatari sebelumnya.[68]

Tema-tema dalam Hikayat Genji umum ditemui pada masa-masa itu, dan didefinisikan oleh Shively sebagai mengemas "tirani waktu dan kesedihan cinta romantis yang tak terhindari".[69] Tema utamanya adalah kerapuhan hidup, "kesedihan eksistensi manusia" atau mono no aware, istilah yang dipakainya lebih dari seribu kali dalam Hikayat Genji.[70] Keene berspekulasi bahwa dalam kisah "pangeran bersinar" (Hikaru Genji), Murasaki mungkin telah menciptakan untuk dirinya sendiri, sebuah pelarian ideal dari kehidupan istana yang kurang menyenangkan untuknya. Tokoh Pangeran Genji dibentuknya sebagai protagonis yang berbakat, tampan, berbudi halus, namun masih manusiawi dan simpatik. Menurut Keene, Genji memberikan gambaran mengenai periode Heian, misalnya tentang maraknya hubungan cinta, meskipun perempuan biasanya tetap tak terlihat di belakang layar, tirai, atau fusuma.[68]

Menurut Helen McCullough karya Murasaki memiliki daya tarik universal dan berpendapat bahwa Hikayat Genji melampaui baik genre maupun zaman. Tema dasar dan latar, cinta di istana Heian, dan asumsi-asumsi budaya berasal dari pertengahan zaman Heian. Namun kegeniusan Murasaki Shikibu yang unik telah membuat karyanya berarti bagi banyak orang sebagai sebagai pernyataan kuat dari hubungan antarmanusia, kemustahilan kebahagiaan abadi dalam cinta ... dan yang terpenting, dalam dunia penuh kesengsaraan, kepekaan terhadap perasaan orang lain".[71] Pangeran Genji mengakui bahwa dalam diri setiap kekasihnya terdapat kecantikan dari dalam seorang wanita dan kerapuhan hidup, yang menurut Keene, membuatnya heroik. Hikayat Genji populer di semua kalangan. Kaisar Ichijō meminta agar cerita itu dibacakan untuknya meskipun ditulis dalam bahasa Jepang. Pada tahun 1021, semua bab diketahui sudah selesai ditulis, dan karya ini sulit diperoleh di daerah-daerah sehingga banyak dicari orang.[68][72]

Warisan

sunting

Reputasi dan pengaruh Murasaki tidak berkurang sejak dari masa hidupnya, ketika dia, bersama penulis wanita lainnya dari zaman Heian, berperan penting dalam mengembangkan bahasa Jepang sebagai bahasa tulisan.[73] Tulisannya dijadikan bacaan wajib untuk para penyair istana sejak awal awal abad ke-12, bersamaan mulai dipelajari karya-karya Murasaki Shikibu oleh para cendekiawan. Tidak sampai seabad sejak wafatnya, ia sudah sangat dihormati sebagai seorang penulis klasik.[72] Pada abad ke-17, karya Murasaki dijadikan simbol filsafat Konfusianisme dan perempuan dianjurkan untuk membaca buku-bukunya. Pada tahun 1673, Kumazawa Banzan berpendapat bahwa tulisannya sebagai berharga terutama dalam penggambaran emosi dan sensitivitas. Menurut dia dalam Discursive Commentary on Genji, ketika "perasaan manusia tidak dipahami, maka keselarasan Lima Hubungan Manusia hilang."[74]

Lukisan emakimono dari awal abad ke-12 menggambarkan adegan dari Hikayat Genji. Sepasang kekasih dan dayang-dayang, dipisahkan oleh kichō dan byōbu.
Lukisan dari awal abad ke-12, menggambarkan adegan dari Hikayat Genji. Seorang wanita di dalam ruangan tradisional Jepang, terlihat partisi dalam bentuk fusuma, shōji, dan kichō. Karya ini terdaftar sebagai Harta Nasional Jepang.

Hikayat Genji disalin dan digambar dalam berbagai bentuk sejak satu abad setelah Murasaki wafat. Genji Monogatari Emaki adalah lukisan gulung asal akhir zaman Heian (abad ke-12, terdiri dari empat gulung, 19 lukisan, dan 20 lembar kaligrafi. Ilustrasi dipastikan berasal dari antara tahun 1110 dan 1120, dan untuk sementara disepakati sebagai karya Fujiwara no Takachika dan kaligrafi karya berbagai ahli kaligrafi kontemporer ternama. Gulungan ini disimpan di Museum Gotoh dan Museum Seni Tokugawa.[75]

Pada abad ke-17, keluhuran budi wanita dikaitkan dengan pengetahuan sastra menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap genji-e, sebutan untuk barang-barang yang berkaitan dengan Murasaki Shikibu atau karya-karya yang inspirasinya berasal dari Hikayat Genji. Perangkat maskawin berhias adegan dari Hikayat Genji atau lukisan Murasaki Shikibu terutama sangat populer di kalangan wanita bangsawan. Pada abad ke-17, genji-e secara simbolis meninggikan status budaya mempelai wanita. Pada abad ke-18, genji-e merupakan simbol keberhasilan perkawinan. Pada tahun 1628, putri dari Tokugawa Iemitsu memiliki seperangkat kotak pernis yang dibuat khusus untuk pernikahannya. Pangeran Toshitada menerima sepasang partisi genji-e yang dilukis oleh Kano Tan'yū sebagai hadiah pernikahannya pada tahun 1649.[76]

Murasaki menjadi subjek populer lukisan dan ilustrasi yang menampilkan dirinya sebagai seorang penyair sekaligus wanita berbudi luhur. Dalam lukisan, dia sering digambarkan sedang duduk di belakang mejanya di Kuil Ishiyama-dera, menatap Bulan untuk mencari inspirasi. Pada abad ke-17, Tosa Mitsuoki membuatnya sebagai subjek lukisan gulung untuk digantung di dinding. Hikayat Genji dijadikan subjek favorit para seniman cukil kayu ukiyo-e selama berabad-abad, seperti oleh Hiroshige, Kiyonaga, dan Utamaro yang masing-masing menggambar ilustrasi dari berbagai edisi novel yang berbeda.[77] Seni Genji dari periode-periode awal dianggap sebagai simbol budaya istana. Namun pada pertengahan zaman Edo, ukiyo-e bergambar tokoh-tokoh Hikayat Genji diproduksi massal dengan teknik cukil kayu sehingga menjadi komoditas terjangkau oleh kalangan samurai dan rakyat biasa.[78]

Dalam Envisioning the "Tale of Genji", Shirane mengamati bahwa "Hikayat Genji telah dijadikan berbagai macam barang dagangan untuk khalayak yang berbeda menggunakan berbagai macam media selama lebih dari seribu tahun ... tak tertandingi oleh artefak atau teks bahasa Jepang lainnya." [78] Karya dan penulisnya dipopulerkan melalui ilustrasi-ilustrasi di berbagai media: emaki (gambar gulung), byōbu-e (lukisan pembatas ruang), ukiyo-e (cetak cukil kayu), film, komik, dan pada zaman modern, sebagai manga.[78] Dalam kisah fiksi kehidupan Murasaki, The Tale of Murasaki: A Novel oleh Liza Dalby, Murasaki diceritakan terlibat percintaan selama perjalanan dengan ayahnya ke Provinsi Echizen.[24]

 
Lukisan tinta di atas kipas kertas emas dari abad ke-17, memperlihatkan Murasaki sedang menulis.

Hikayat Genji diakui sebagai karya klasik abadi. McCullough menulis bahwa Murasaki adalah "wakil klasik dari sebuah masyarakat yang unik, sekaligus seorang penulis yang berbicara untuk keprihatinan universal manusia dengan suara abadi. Masih belum ada lagi penulis genius seperti dia di Jepang".[65] Keene menulis bahwa Hikayat Genji terus memikat, karena, dalam cerita, karakter dan keprihatinan mereka bersifat universal. Pada tahun 1920, ketika terjemahan Waley diterbitkan, pengulas membandingkan Genji dengan Jane Austen, Marcel Proust, dan Shakespeare.[79] Menurut Mulhern, Murasaki setara dengan Shakespeare. Kalau Shakespeare mewakili Inggris dari zaman Elizabeth, Murasaki berhasil menangkap esensi dari Istana Heian, dan sebagai seorang novelis "berhasil bahkan melampaui harapannya sendiri."[80] Seperti Shakespeare, karya-karya Murasaki Shikibu telah menjadi subjek pembahasan untuk ribuan lembar kritik-kritik sastra dan buku-buku.[80]

 
Desain uang kertas Jepang 2.000 yen dibuat untuk mengenang Murasaki Shikibu.

Pada tahun 2008, Kyoto mengadakan perayaan yang berlangsung selama setahun untuk memperingati ulang tahun ke-1000 Hikayat Genji. Perayaan dimeriahkan dengan perlombaan puisi, kunjungan ke Museum Hikayat Genji di Uji dan Ishiyama-dera. Di Ishiyama-dera dipamerkan boneka Murasaki Shikibu dalam ukuran sebenarnya. Perayaan ini juga menampilkan wanita berbusana kimono 12 lapis model zaman Heian yang disebut jūnihitoe, lengkap dengan wig yang panjangnya hingga semata kaki. Murasaki Shikibu dan karya-karyanya dijadikan inspirasi untuk pameran di museum dan manga bertemakan Genji.[15] Ilustrasi sisi belakang uang kertas ¥2.000 dibuat untuk memperingati Murasaki Shikibu dan Hikayat Genji.[81] Nama Jepang untuk tanaman semak Callicarpa japonica adalah murasaki shikibu.

Universitas Harvard menyimpan Genji Album yang pada tahun 1970-an diketahui berasal dari tahun 1510. Album tersebut dianggap sebagai karya terawal dari jenisnya. Isinya terdiri dari 54 lukisan karya Tosa Mitsunobu dan 54 lembar kaligrafi di atas kertas shikishi dalam lima warna yang ditulis oleh seniman ahli kaligrafi. Gambar-gambar ini disimpan dalam kotak asal periode Edo, berikut ilustrasi depan hasil karya Tosa Mitsuoki asal sekitar tahun 1690. Album ini berisi lembar jaminan keaslian Mitsuoki untuk lukisan nenek moyangnya dari abad ke-16.[82]

Galeri

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ (a) Bunei Tsunoda "Real name of Murasahiki Shikibu" Kodai Bunka (Cultura antiqua) 1963, no.7. (b) Gen-e Imai "Questions on the theory of the real name of Murasaki Shikibu as Takako" Kokugo Kokubun (Japanese Language and Literature) Vol. 34 (no. 1) (1965). Kedua artikel dalam bahasa Jepang.
  2. ^ Bowring berpendapat 973 kemungkinan besar sebagai tahun lahirnya; Mulhern memperkirakan antara 970 dan 978, dan Waley berpendapat bahwa 978 adalah tahun kelahirannya. Lihat Bowring (2004), 4; Mulhern (1994), 257; Waley (1960), vii.
  3. ^ a b c d Shirane (2008b), 293
  4. ^ a b c d Henshall (1999), 24–25 Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Henshall24ff" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  5. ^ Shirane (1987), 215
  6. ^ a b c d e f g Bowring (2004), 4
  7. ^ a b c d Mulhern (1994), 257-258
  8. ^ a b c d Inge (1990), 9
  9. ^ a b Mulhern (1991), 79
  10. ^ Adolphson (2007), 111
  11. ^ Dari tujuh wanita yang disebutkan dalam catatan tersebut, empat wanita diketahui nama asli mereka. Dari tiga wanita yang tersisa, satu bukan Fujiwara, seorang lagi berpangkat tinggi dan pastinya harus lebih tua, meninggalkan kemungkinan bahwa wanita ketiga, Takako Fujiwara, adalah Murasaki Shikibu. Lihat Tsunoda (1963), 1-27
  12. ^ Ueno (2009), 254
  13. ^ a b c d e f g h Shirane (1987), 218
  14. ^ a b Puette (1983), 50–51
  15. ^ a b Green, Michelle. "Kyoto Celebrates a 1000-Year Love Affair". (31 Desember 2008). The New York Times. Diakses August 9, 2011
  16. ^ Bowring (1996), xii
  17. ^ a b Reischauer (1999), 29–29
  18. ^ Dikutip oleh Bowring (2004), 11-12
  19. ^ a b Perez (1998), 21
  20. ^ Dikutip oleh Inge (1990), 9
  21. ^ a b Knapp, Bettina. "Lady Murasaki's The Tale of the Genji". Symposium. (1992). (46).
  22. ^ a b c Mulhern (1991), 83–85
  23. ^ Dikutip oleh Mulhern (1991), 84
  24. ^ a b Tyler, Royall. "Murasaki Shikibu: Brief Life of a Legendary Novelist: c. 973 – c. 1014". (May, 2002) Harvard Magazine. Diakses 21 Agustus 2011.
  25. ^ a b c d e f g h Mulhern (1994), 258-259
  26. ^ Bowring (2004), 4; Mulhern (1994), 259
  27. ^ a b c Lockard (2008), 292
  28. ^ a b Shively dan McCullough (1999), 67-69
  29. ^ McCullough (1990), 201
  30. ^ Bowring (1996), xiv
  31. ^ a b Bowring (1996), xv–xvii
  32. ^ Menurut Mulhern, Shōshi sudah berusia 19 ketika Murasaki tiba. Menurut Waley, dia masih 16 tahun. Lihat Mulhern (1994), 259 dan Waley (1960), vii
  33. ^ Waley (1960), vii
  34. ^ a b Mulhern (1994), 156
  35. ^ Waley (1960), xii
  36. ^ a b Keene (1999), 414-415
  37. ^ a b Mostow (2001), 130
  38. ^ Dikutip dalam Keene (1999), 414
  39. ^ Adolphson (2007), 110, 119
  40. ^ Adolphson (2007), 110
  41. ^ Bowring (2004), 11
  42. ^ Dikutip oleh Waley (1960), ix–x
  43. ^ Dikutip oleh Mostow (2001), 133
  44. ^ Mostow (2001), 131, 137
  45. ^ Waley (1960), xiii
  46. ^ Waley (1960), xi
  47. ^ Waley (1960), viii
  48. ^ Waley (1960), x
  49. ^ a b c d e f g h Mulhern (1994), 260–261
  50. ^ a b c d e Shirane (1987), 221-222
  51. ^ a b Waley (1960), xv
  52. ^ Bowring (2004), 3
  53. ^ Waley (1960), xiv
  54. ^ Aston (1907), 95
  55. ^ Bowring (2004), 5
  56. ^ Mulhern (1996), 259
  57. ^ Mason (1997), 81
  58. ^ Kodansha International (2004), 475, 120
  59. ^ Shirane (2008b), 2, 113–114
  60. ^ Frédéric (2005), 594
  61. ^ McCullough (1990), 16
  62. ^ Shirane (2008b), 448
  63. ^ a b Mulhern (1994), 262
  64. ^ McCullough (1990), 9
  65. ^ a b Shively (1999), 445
  66. ^ Keene (1988), 75-79, 81-84
  67. ^ Adolphson (2007), 121–122
  68. ^ a b c Keene (1988), 81-84
  69. ^ Shively (1990), 444
  70. ^ Henshall (1999), 27
  71. ^ McCullough (1999), 9
  72. ^ a b Bowring (2004), 79
  73. ^ Bowring (2004), 12
  74. ^ Dikutip dalam Lillehoj (2007), 110
  75. ^ Frédéric (2005), 238
  76. ^ Lillehoj (2007), 110-113
  77. ^ Geczy (2008), 13
  78. ^ a b c Shirane (2008a), 1-2
  79. ^ Keene (1988), 84
  80. ^ a b Mulhern (1994), 264
  81. ^ "Japanese Feminist to Adorn Yen" Diarsipkan 2013-05-18 di Wayback Machine.. (February 11, 2009). CBSNews.com. Diakses 11 Agustus 2011.
  82. ^ McCormick (2003), 54-56

Daftar pustaka

sunting
  • Adolphson, Mikhael; Kamens, Edward and Matsumoto, Stacie. Heian Japan: Centers and Peripheries. (2007). Honolulu: Hawaii UP. ISBN 978-0-8248-3013-7
  • Aston, William. A History of Japanese Literature. (1907). London: Heinemann.
  • Bowring, Richard John (ed). "Introduction". Dalam The Diary of Lady Murasaki. (1996). London: Penguin. ISBN 978-0-14-043576-4
  • Bowring, Richard John (ed). "Introduction". Dalam The Diary of Lady Murasaki. (2005). London: Penguin. ISBN 978-0-14-043576-4
  • Bowring, Richard John (ed). "The Cultural Background". Dalam The Tale of Genji. (2004). Cambridge: Cambridge UP. ISBN 978-0-521-83208-3
  • Frédéric, Louis. Japan Encyclopedia. (2005). Cambridge, MA: Harvard UP. ISBN 978-0-674-01753-5
  • Geczy, Adam. Art: Histories, Theories and Exceptions. (2008). London: Oxford International Publishers. ISBN 978-1-84520-700-7
  • Inge, Thomas. "Lady Murasaki and the Craft of Fiction". (May, 1990) Atlantic Review. (55). 7–14.
  • Henshall, Kenneth G. A History of Japan. (1999). New York: St. Martin's. ISBN 978-0-312-21986-4
  • Kodansha Encyclopedia of Japan. (1983) New York: Kōdansha. ISBN 978-0-87011-620-9
  • Keene, Donald. Seeds in the Heart: Japanese Literature from Earliest times to the Late Sixteenth Century. (1999). New York: Columbia UP. ISBN 978-0-231-11441-7
  • Keene, Donald. The Pleasures of Japanese Literature. (1988). New York: Columbia UP. ISBN 978-0-231-06736-2
  • The Japan Book: A Comprehensive Pocket Guide. (2004). New York: Kodansha International. ISBN 978-4-7700-2847-1
  • Lillehoj, Elizabeth. Critical Perspectives on Classicism in Japanese Painting, 1600–17. (2004). Honolulu: Hawaii UP. ISBN 978-0-8248-2699-4
  • Lockard, Craig. Societies, Networks, and Transitions, Volume I: To 1500: A Global History. (2008). Boston: Wadsworth. ISBN 978-1-4390-8535-6
  • Mason, R. H. P. and Caiger, John Godwin. A History of Japan. (1997). North Clarendon VT:Tuttle Publishing. ISBN 978-0-8048-2097-4
  • McCormick, Melissa. "Genji Goes West: The 1510 Genji Album and the Visualization of Court and Capital". (March, 2003). Art Bulletin. (85). 54–85
  • McCullough, Helen. Classical Japanese Prose: An Anthology. (1990). Stanford CA: Stanford UP. ISBN 978-0-8047-1960-5
  • Mostow, Joshua. "Mother Tongue and Father Script: The relationship of Sei Shonagon and Murasaki Shikibu". in Copeland, Rebecca L. and Ramirez-Christensen Esperanza (eds). The Father-Daughter Plot: Japanese Literary Women and the Law of the Father. (2001). Honolulu: Hawaii UP. ISBN 978-0-8248-2438-9
  • Mulhern, Chieko Irie. Heroic with Grace: Legendary Women of Japan. (1991). Armonk NY: M.E. Sharpe. ISBN 978-0-87332-527-1
  • Mulhern, Chieko Irie. Japanese Women Writers: a Bio-critical Sourcebook. (1994). Westport CT: Greenwood Press. ISBN 978-0-313-25486-4
  • Perez, Louis G. The History of Japan. (1990). Westport CT: Greenwood Press. ISBN 978-0-313-30296-1
  • Puette, William J. The Tale of Genji: A Reader's Guide. (1983). North Clarendon VT: Tuttle Publishing. ISBN 978-0-8048-3331-8
  • Reschauer, Edwin. Japan: The Story of a Nation. (1999). New York: McGraw-Hill. ISBN 978-0-07-557074-5
  • Shirane, Haruo. The Bridge of Dreams: A Poetics of "The Tale of Genji". (1987). Stanford CA: Stanford UP. ISBN 978-0-8047-1719-9
  • Shirane, Haruo. Envisioning the Tale of Genji: Media, Gender, and Cultural Production. (2008a). New York: Columbia UP. ISBN 978-0-231-14237-3
  • Shirane, Haruo. Traditional Japanese Literature: An Anthology, Beginnings to 1600. (2008b). New York: Columbia UP. ISBN 978-0-231-13697-6
  • Shively, Donald and McCullough, William H. The Cambridge History of Japan: Heian Japan. (1999). Cambridge UP. ISBN 978-0-521-22353-9
  • Tsunoda, Bunei. "Real name of Murasahiki Shikibu". Kodai Bunka (Cultura antiqua). (1963) (55). 1–27.
  • Ueno, Chizuko. The Modern Family in Japan: Its Rise and Fall. (2009). Melbourne: Transpacific Press. ISBN 978-1-876843-56-4
  • Waley, Arthur. "Introduction". in Shikibu, Murasaki, The Tale of Genji: A Novel in Six Parts. translated by Arthur Waley. (1960). New York: Modern Library.

Pranala luar

sunting