Melaka Portugis

pos dagang Portugis di Malaka, Asia Tenggara
(Dialihkan dari Melaka Portugal)

Malaka Portugis adalah wilayah Melaka yang menjadi koloni Portugis dari tahun 1511 hingga 1641.

Melaka Portugis

Fortaleza de Malaca
Kota Melaka
1511–1641
Bendera Malaka
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang
Peta Melaka Portugis pada abad ke-17 oleh Manuel Godinho de Erédia
Peta Melaka Portugis pada abad ke-17 oleh Manuel Godinho de Erédia
Lokasi di Malaysia kini
Lokasi di Malaysia kini
StatusKoloni Portugis
Ibu kotaKota Malaka
Bahasa yang umum digunakanPortugis, Melayu
Raja 
• 1511-1521
Manuel I
• 1640-1641
John IV
Kapitan Mayor 
• 1512-1514
Rui de Brito Patalim (pertama)
• 1638-1641
Manuel de Sousa Coutinho (terakhir)
Kapitan Jenderal 
• 1616-1635
António Pinto da Fonseca (pertama)
• 1637-1641
Luís Martins de Sousa Chichorro (terakhir)
Era SejarahKolonialisme Portugis di Melayu
• Invasi Portugal ke Kesultanan Melaka
17 Agustus 1511
• Invasi oleh VOC
17 Januari 1641
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Malaka
Malaka Belanda
Sekarang bagian dari Malaysia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Sejarah

sunting

Menurut sejarawan Portugis abad ke-16 Manuel Godinho de Erédia (1563-1623), situs kota lama Malaka mendapatkan namanya dari sejenis prem, pohon penghasil buah yang tumbuh di sepanjang tepian sebuah sungai bernama Airlele (Ayer Leleh). Sungai Airlele konon bersumber dari Buquet China (Bukit Cina). Erédia mencatat bahwa kota ini didirikan oleh Permicuri (Parameswara) Raja pertama Malaka pada 1411.

Perebutan Malaka

sunting

Kabar kemakmuran Malaka sampai pula ke telinga Raja Portugal Manuel I, maka diutuslah Admiral Diogo Lopes de Sequeira berlayar ke Malaka guna menjalin persekutuan dagang dengan penguasanya sebagai wakil Portugal di timur India. Sequeira tiba di Malaka pada 1509 dan menjadi orang Eropa pertama yang memijakkan kakinya di Malaka sekaligus di Asia Tenggara. Mula-mula kedatangannya disambut baik oleh Sultan Mahmud Syah, namun tak lama kemudian kemalangan datang menyusul.[1] Persaingan umum di kalangan pemeluk Islam dan Kristen dikobarkan oleh sekelompok Muslim Goa di lingkungan istana setelah Goa ditaklukkan oleh Bangsa Portugis.[2] Komunitas dagang Muslim internasional meyakinkan Mahmud bahwa Bangsa Portugis adalah ancaman maut. Oleh karena itu Mahmud kemudian menangkap beberapa anak buah Sequeira, membunuh sisanya, dan berupaya menyerang keempat kapal Portugis yang akhirnya sanggup meloloskan diri. Belajar dari pengalaman di India, Bangsa Portugis menyimpulkan bahwa penaklukanlah satu-satunya cara untuk dapat menancapkan kukunya di Malaka.[1]

Pada April 1511, Afonso de Albuquerque bertolak dari Goa menuju Malaka, membawa 1200 orang dengan tujuh belas atau delapan belas kapal.[1] Sang Raja Muda mengajukan sejumlah tuntutan, salah satunya adalah izin mendirikan sebuah benteng sebagai pos dagang Portugis di dekat kota.[2] Sultan menampik seluruh tuntutan, konflik tak terelakkan lagi, dan setelah bertempur selama 40 hari, Malaka pun jatuh ke tangan Portugis pada 24 Agustus. Pertikaian sengit antara Sultan Mahmud dan puteranya Sultan Ahmad turut pula melemahkan pihak Malaka.[1]

Selepas kekalahan Kesultanan Malaka pada 15 Agustus 1511 dalam peristiwa perebutan Malaka, Afonso de Albuquerque mulai berupaya membangun kubu pertahanan permanen guna mengantisipasi serangan balasan dari Sultan Mahmud. Sebuah benteng dirancang dan dibangun mengungkungi sebuah bukit, menyusuri garis pantai, di tenggara muara sungai, menempati bekas lahan istana Sultan. Albuquerque tinggal di Malaka sampai November 1511 demi mempersiapkan pertahanan Malaka menghadapi segala bentuk serangan balasan dari orang-orang Melayu.[1] Sultan Mahmud Syah terpaksa harus mengungsi meninggalkan Malaka.

Bandar Portugis di kawasan yang tak bersahabat

sunting
 
"Fábrica da Cidade de Malaca: Intramuros Anno 1604" (Pembangunan Kota Malaka: Kawasan Dalam Benteng Tahun 1604) karya Manuel Godinho de Eredia.

Sebagai pangkalan kerajaan niaga Kristiani Eropa pertama di Asia Tenggara, Malaka dikelilingi oleh banyak negara Muslim baru. Selain itu, akibat kontak awal yang tak bersahabat dengan kekuasaan Melayu setempat, Malaka Portugis harus berhadapan dengan sikap permusuhan yang sengit. Kota ini bertahan digempur peperangan bertahun-tahun yang dikobarkan sultan-sultan Melayu demi menyingkirkan orang-orang Portugis dan kembali menduduki negerinya. Sultan Mahmud beberapa kali berusaha merebut kembali ibu kota Malaka. Beliau mengimbau dukungan dari sekutunya Kesultanan Demak di Jawa yang, pada 1511, menanggapi dengan mengirimkan angkatan perang laut sebagai bala bantuan. Di bawah pimpinan Pati Unus, Sultan Demak, kerja sama Melayu–Jawa itu berakhir gagal dan sia-sia. Portugis balas menyerang membuat sultan terpaksa melarikan diri ke Pahang. Sultan kemudian bertolak ke Pulau Bintan, tempat beliau mendirikan ibu kota baru. Setelah memiliki pangkalan baru, sultan mulai menghimpun pasukan-pasukan Melayu yang tercerai-berai lalu mengatur sejumlah penyerbuan dan blokade untuk menggempur pihak Portugis. Serangan yang bertubi-tubi datangnya membuat Portugis sangat menderita. Pada 1521, untuk kedua kalinya, Demak melancarkan peperangan guna membantu Sultan Melayu merebut kembali Malaka, namun juga berakhir gagal untuk kedua kalinya, bahkan merenggut nyawa Sultan Demak sendiri. Beliau kelak dikenang sebagai Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran yang menyeberang (Laut Jawa) ke Utara (Semenanjung Malaya). Serangan-serangan itu menjadikan Portugis yakin bahwa sultan yang tersingkir itu harus dibungkam. Berkali-kali Portugis berusaha menekan pasukan Melayu, namun barulah pada 1526 Portugis berjaya meluluhlantakkan Bintan. Sultan mundur ke Kampar di Riau, Sumatra, tempat beliau wafat dua tahun kemudian. Beliau meninggalkan dua putera: Muzaffar Shah, dan Alauddin Riayat Shah II.

Muzaffar Shah dijemput dan dijadikan raja oleh rakyat di utara semenanjung sehingga berdirilah Kesultanan Perak. Sementara putera Mahmud lainnya, Alauddin, mewarisi jabatan ayahandanya dan mendirikan ibu kota baru di selatan. Wilayah kekuasaannya adalah Kesultanan Johor, penerus Malaka.

Sultan Johor berulang kali berupaya merebut Malaka dari kekuasaan Portugis. Imbauan Sultan Johor yang disampaikan kepada Jawa pada 1550 ditanggapi oleh Ratu Kalinyamat, penguasa Jepara, dengan mengirimkan bala bantuan sebanyak 4.000 prajurit yang diangkut 40 kapal untuk merebut Malaka. Pasukan Jepara kemudian menyatukan kekuatan dengan pasukan persekutuan Melayu dan berhasil mengumpulkan sekitar 200 kapal perang sebagai persiapan penyerbuan. Pasukan gabungan ini menyerbu dari utara dan merebut sebagian besar wilayah Malaka, namun Portugis mampu membalas dan memukul mundur para penyerangnya. Pasukan persekutuan Melayu dipukul mundur ke laut, sementara pasukan Jepara terus bertahan di darat dan baru mundur setelah para pemimpinnya dibantai. Pertempuran berlanjut di pantai dan di laut sehingga lebih dari 2.000 prajurit Jepara terbunuh. Dua kapal Jepara didamparkan badai ke pantai Malaka menjadi mangsa Portugis. Hanya kurang dari setengah prajurit Jepara yang sanggup lolos meninggalkan Malaka.

Pada 1567, Pangeran Husain Ali I Riayat Syah dari Kesultanan Aceh mengerahkan angkatan perang laut untuk memaksa Portugis meninggalkan Malaka, namun serangan ini pun akhirnya gagal. Pada 1574 sebuah serangan gabungan dari Kesultanan Aceh dan pasukan Jawa dari Jepara kembali mencoba merebut Malaka dari Portugis, namun berakhir dengan kegagalan akibat kurangnya koordinasi.

Bandar-bandar lain yang tumbuh menjadi saingan semisal Johor membuat para saudagar Asia tidak lagi berlabuh di Malaka sehingga kota itu mengalami kemunduran sebagai sebuah bandar niaga.[3] Alih-alih mencapai ambisinya menguasai jaringan niaga Asia, Portugis justru menjadikannya kacau-balau. Alih-alih terwujudnya sebuah bandar pusat pertukaran kekayaan Asia, ataupun sebuah negara Melayu pengendali Selat Malaka yang menjadikannya aman bagi lalu-lintas niaga, yang timbul justru perdagangan yang terserak ke sejumlah bandar di antara pahit-getir peperangan di Selat.[3]

Tindak balasan militer Tiongkok terhadap Portugal

sunting
 
Koin timah Malaka Portugis dari periode pemerintahan Raja Manuel I (1495-1521) dan Raja João III (1521-1557) yang ditemukan pada penggalian di sekitar muara Sungai Malaka oleh W. Edgerton, Residen Konsilor Malaka pada 1900.

Kesultanan Malaka adalah salah satu negara penyetor upeti sekaligus sekutu Dinasti Ming di Tiongkok. Penaklukan Malaka oleh Portugal pada 1511 dibalas Tiongkok dengan perlakuan kejam terhadap orang-orang Portugis.

Usai Penaklukan Malaka, Tiongkok menolak ditemui serombongan utusan Portugis.[4]

Pemerintah Kekaisaran Tiongkok di Guangzhou memenjarakan dan menghukum mati banyak utusan diplomatik Portugis sesudah terlebih dahulu menyiksa mereka. Seorang duta Malaka telah memberi tahu pihak Tiongkok perihal perebutan Malaka oleh Portugis, yang ditanggapi Tiongkok dengan menunjukkan sikap permusuhan terhadap orang-orang Portugis. Kepada pihak Tiongkok duta Malaka itu membeberkan tipu-muslihat Portugis, yakni menyamarkan rencana penaklukan dengan pura-pura berdagang, dan mengisahkan pula kesukaran yang dialaminya akibat dijajah Portugis.[5] Malaka berada di bawah perlindungan Tiongkok sehingga invasi Portugis itu membangkitkan murka Tiongkok.[6]

Akibat keluhan yang diajukan Sultan Malaka mengenai invasi Portugis kepada Kaisar Tiongkok, orang-orang Portugis disambut dengan sikap permusuhan oleh orang-orang Tionghoa tatkala mereka tiba di Tiongkok.[7] Keluhan Sultan itu telah menimbulkan "kesulitan besar" bagi orang-orang Portugis di Tiongkok.[8] Orang-orang Tionghoa sangat "tidak ramah" terhadap Portugis.[9] Sultan Malaka yang berpangkalan di Bintan selepas mengungsi dari Malaka, mengirim pesan kepada pihak Tiongkok, yang ditimpali perilaku bandit dan tindak kekerasan Portugis di Tiongkok, menyebabkan pemerintah Tiongkok menghukum mati 23 orang Portugis dan menyiksa yang lain di penjara. Setelah Portugis menempatkan pos-pos dagang dan melakukan kegiatan-kegiatan perompakan serta pengeroyokan di wilayahnya, pihak Tiongkok membalas dengan menumpas tuntas Portugis di Ningbo dan Quanzhou.[10] Pires, seorang duta dagang Portugis, adalah salah satu di antara orang-orang Portugis yang meninggal dalam penjara Tiongkok.[11]

Sekalipun demikian, seiring perlahan membaiknya hubungan, dan setelah Portugis membantu melawan gerombolan perompak Wokou di sepanjang pesisir Tiongkok, pada 1557 Dinasti Ming akhirnya mengizinkan orang-orang Portugis untuk menetap di Makau dalam sebuah koloni dagang Portugis yang baru.[12] Kesultanan Melayu Johor turut pula memperbaiki hubungannya dengan Portugis, bahkan maju berperang bersama mereka melawan Kesultanan Aceh.

Boikot dan serangan balasan Tiongkok

sunting

Para pedagang Tionghoa memboikot Malaka setelah jatuh ke tangan Portugis, beberapa orang Tionghoa di Jawa menyumbangkan kapal-kapal guna membantu upaya-upaya kaum Muslim merebut kembali Malaka dari Portugal. Keterlibatan orang-orang Tionghoa Jawa dalam perebutan kembali Malaka diriwayatkan dalam "The Malay Annals of Semarang and Cerbon" (Sejarah Melayu Semarang dan Cerbon).[13] Saudagar-saudagar Tionghoa berdagang dengan orang-orang Melayu dan orang-orang Jawa, tidak dengan Portugis.[14]

Penaklukan Belanda dan akhir Malaka Portugis

sunting

Menjelang permulaan abad ke-17, Kompeni Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie, VOC) mulai berani menantang kekuasaan Portugis di Timur. Di masa itu, Portugis telah mengubah Malaka menjadi sebuah benteng yang tak tertembus, Fortaleza de Malaca, yang mengendalikan akses ke jalur-jalur pelayaran di Selat Malaka dan perdagangan rempah-rempah di sana. Belanda mulai melakukan penerobosan wilayah dan serangan kecil-kecilan terhadap Portugis. Upaya bersungguh-sungguh yang pertama adalah pengepungan Malaka pada 1606 oleh armada VOC ketiga dari Holandia beranggotakan sebelas kapal, di bawah komando Admiral Cornelis Matelief de Jonge yang mengakibatkan pecahnya pertempuran laut di Tanjung Rachado. Meskipun Belanda dibuat kabur kocar-kacir, lebih banyak korban berjatuhan di pihak armada Portugis yang dipimpin Martim Afonso de Castro, Raja Muda Goa, selain itu pertempuran ini mengakibatkan pasukan-pasukan Kesultanan Johor menjalin persekutuan dengan Belanda dan kelak juga dengan Kesultanan Aceh.

Sekitar kurun waktu itu, Kesultanan Aceh telah tumbuh menjadi sebuah kekuatan regional dengan kesatuan angkatan laut yang mengagumkan dan menganggap Malaka Portugis sebagai ancaman laten. Pada 1629, Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh mengirim beberapa ratus kapal untuk menyerbu Malaka, akan tetapi misi itu mengalami kegagalan besar. Menurut catatan-catatan Portugis, dalam penyerbuan itu seluruh kapal Iskandar Muda dihancurkan dan sekitar 19.000 prajuritnya tewas.

Belanda bersama sekutu-sekutu pribuminya menyerang dan akhirnya merebut Malaka dari Portugis pada bulan Januari 1641. Upaya kerja sama Belanda-Johor-Aceh ini ampuh menghancurkan baluwarti terakhir kekuasaan Portugis, sehingga meredupkan pengaruh mereka di kawasan kepulauan itu. Belanda menduduki kota Malaka, namun tidak berniat menjadikannya pangkalan utama, dan malah bertekun membangun Batavia (sekarang Jakarta) sebagai pusat jaringan dagangnya di belahan dunia Timur. Bandar-bandar Portugis di wilayah-wilayah penghasil rempah-rempah di Maluku juga jatuh ke tangan Belanda pada tahun-tahun berikutnya. Akibat penaklukan-penaklukan ini, luas jajahan Portugis di Asia menyusut hingga terbatas pada Timor Portugis, Goa, Daman dan Diu di India Portugis, serta Makau sampai abad ke-20.

Fortaleza de Malaca

sunting
 
Porta de Santiago sekarang ini.

Cikal bakal tatanan pertahanan Kota Malaka adalah sebuah menara berbentuk persegi yang dinamakan Fortaleza de Malaca. masing-masing sisinya selebar 10 depa dan setinggi 40 depa, berdiri di kaki bukit pertahanan, sebelah-menyebelah dengan lautan. Mulai dari sisi timurnya dibangun tembok melingkar dari mortar dan batu, dan di tengah-tengah halaman bertembok itu digali pula sebuah sumur.

Dari tahun ke tahun, tembok dibangun sampai akhirnya mengelilingi seluruh bukit pertahanan. Benteng berbentuk segi lima mula-mula dibangun di titik terjauh dari tanjung di sebelah tenggara muara sungai menuju ke sebelah barat Fortaleza. Pada titik ini dibangun dua tembok pertahanan yang membentuk sudut siku-siku dan menyusuri garis pantai. Yang satu dibangun sepanjang 130 depa ke arah utara menuju muara sungai dan berakhir di baluwarti São Pedro, sementara yang lain dibangun sepanjang 75 depa ke arah timur, menyusuri garis pantai, dan berujung di gerbang dan selekoh Santiago.

Dari selekoh São Pedro, tembok berbelok ke arah timur-laut sepanjang 150 depa, melewati gerbang Pelataran Rumah Cukai dan berakhir pada titik paling utara dari benteng, yakni selekoh São Domingos. Dari gerbang São Domingos, dibangun tembok pertahanan dari timbunan tanah sepanjang 100 depa ke arah tenggara sampai ke selekoh Madre de Deus. Dari sini, mulai dari gerbang Santo António, pembangunan diteruskan melewati selekoh Onze Mil Virgens hingga berakhir di gerbang Santiago.

Panjang keseluruhan tembok pertahanan mencapai 655 depa ditambah sedepa kurang 10 tapak tangan.

Gerbang

sunting

Benteng Kota Malaka memiliki empat gerbang;

  1. Porta de Santiago
  2. Gerbang Pelataran Rumah Cukai
  3. Porta de São Domingos
  4. Porta de Santo António

Dari empat gerbang ini hanya dua yang terbuka untuk umum: Gerbang Santo António yang membuka akses ke kawasan pemukiman Yler, dan gerbang barat di Pelataran Rumah Cukai yang membuka akses menuju Tranqueira beserta Bazaar-nya.

Pembongkaran

sunting

Setelah tegak selama hampir 300 tahun, pada 1806, bangsa Inggris yang enggan merawat Benteng dan juga khawatir kekuatan-kekuatan Eropa lain akan menguasainya, memerintahkan untuk membongkarnya sedikit demi sedikit. Benteng Malaka nyaris lenyap tak berbekas andai tak dihalangi Sir Stamford Raffles yang berkunjung ke Malaka pada 1810. Yang tersisa dari benteng Portugis pertama di Asia Tenggara ini hanyalah Porta de Santiago, yang kini dikenal dengan sebutan A Famosa.

Kota Malaka pada era Portugis

sunting

Di luar pusat kota yang dilingkungi benteng, berdiri tiga perkampungan. Yang pertama adalah Upe (Upih), lazim disebut Tranqueira (sekarang Kampung Tengkera) yang berarti dinding pertahanan. Dua perkampungan lainnya adalah Yler (Hilir) atau Tanjonpacer (Tanjung Pasir), dan Sabba.

Tranqueira

sunting
 
Benteng Tranqueira di Malaka, karya Carl Friedrich Reimer, 1786.

Tranqueira adalah pemukiman suburban Malaka yang terpenting. Perkampungan ini berbentuk persegi panjang, dengan tembok pertahanan di batas utaranya, Selat Malaka sebagai batas selatannya, serta Sungai Malaka (Rio de Malaca) dan tembok fortaleza menjadi batas timurnya. Tranqueira adalah kawasan pemukiman utama Kota Malaka. Sekalipun demikian, bilamana perang meletus, warga Tranqueira akan diungsikan ke dalam benteng. Tranqueira dibagi menjadi dua paroki, São Tomé dan São Estêvão. Paroki São Tomé juga dikenal dengan nama Campon Chelim (bahasa Melayu: Kampung Keling) karena mayoritas penghuninya adalah Orang Keling atau warga pendatang dari Kerajaan Kalingga di pesisir Pantai Koromandel. Paroki São Estêvão juga dinamakan Campon China (Kampung Cina).

Manuel Godinho de Erédia (1563-1623) mencatat bahwa di kawasan ini rumah-rumah terbuat dari kayu akan tetapi beratap genting. Sebuah jembatan batu dikawal prajurit melintas di atas sungai Malaka, menjadi jalan masuk ke dalam Benteng melalui Pelataran Rumah Cukai. Pusat niaga Malaka juga bertempat di Tranqueira, berdekatan dengan pantai di muara sungai, dan dijuluki Bazaar dos Jaos (Pasar Orang Jawa).

Kawasan ini sekarang dikenal sebagai Kampung Tengkera.

Kawasan Yler (Hilir) kurang lebih meliputi Buquet China (Bukit Cina) dan pesisir tenggara. Sumur di Buquet China adalah salah satu sumber air utama bagi warganya. Tengaran yang menonjol di kawasan ini meliputi Gereja Madre De Deus dan Biara Kapusin São Francisco. Tengaran menonjol lainnya adalah Buquetpiatto (Bukit Piatu). Batas-batas pemukiman tak bertembok ini konon merentang sejauh Buquetpipi dan Tanjonpacer.

Tanjonpacer (bahasa Melayu: Tanjung Pasir) kelak dinamakan Ujong Pasir. Kini di Malaka, di kawasan ini masih terdapat sebuah komunitas keturunan para pendatang Portugis. Perkampungan Yler saat ini dikenal dengan nama Banda Hilir. Reklamasi daratan di zaman modern (dengan tujuan pembangunan kawasan niaga Melaka Raya) telah melenyapkan akses ke laut yang dahulu dimiliki Banda Hilir.

Rumah-rumah di perkampungan ini dibina menyusuri tepian sungai. Beberapa pribumi Melayu Muslim, penghuni asli Kota Malaka, mendiami rawa-rawa yang ditumbuhi pohon Nypeiras, tempat mereka membuat arak Nypa (Nipah) melalui proses penyulingan untuk diperdagangkan. Perkampungan ini dianggap sebagai kawasan hunian terjauh dari kota, karena merupakan kawasan peralihan menuju pedalaman Malaka, tempat melintas kayu dan arang yang dibawa masuk ke Kota. Beberapa paroki juga berlokasi di luar kota di sepanjang sungai; São Lázaro, Nossa Senhora de Guadalupe, dan Nossa Senhora da Esperança. Orang-orang Melayu Muslim mendiami lahan-lahan pertanian yang jauh masuk ke pedalaman.

Kelak pada era Belanda, Inggris, dan kemudian Kota Malaka modern, nama Sabba terabai dan terlupakan. Sekalipun demikian, di masa lampau perkampungan ini meliputi kawasan-kawasan yang kini dikenal sebagai Banda Kaba, Bunga Raya, Kampung Jawa, dan pusat Kota Malaka modern.

Imigrasi Bangsa Portugis

sunting

Bangsa Portugis juga mengirim banyak Órfãs d'El-Rei ke negeri-negeri jajahannya di Afrika, India, dan juga ke Malaka. Secara harfiah Órfãs d'El-Rei berarti "Yatim-Piatu Raja", yakni gadis-gadis yatim-piatu Portugis yang dikirim ke negeri-negeri jajahan di seberang lautan untuk menikah baik dengan warga pendatang Portugis maupun dengan pribumi berderajat mulia.

Pemerintahan Portugis di Malaka

sunting

Penyelenggara pemerintahan Portugis di Malaka adalah seorang Capitão-mor (Kapitan-mayor, Pemimpin Besar) yang ditunjuk untuk menjabat selama tiga tahun, seorang Uskup beserta para pejabat gereja yang menandakan keberadaan komunitas Kristen setingkat keuskupan di Malaka, dan para pejabat kotapraja, yakni pegawai-pegawai Kerajaan Portugal yang menangani urusan keuangan dan kehakiman beserta seorang petinggi pribumi berpangkat Bendahara untuk mengatur penduduk muslim pribumi dan warga asing yang bertempat tinggal di dalam wilayah hukum Portugis.

 
Kapitan-Mayor Malaka (1512–1641)
Kapitan-mayor Mulai Sampai
Rui de Brito Patalim 1512 1514
Jorge de Albuquerque (kali pertama) 1514 1516
Jorge de Brito 1516 1517
Nuno Vaz Pereira 1517 1518
Afonso Lopes da Costa 1518 1519
Garcia de Sá (kali pertama) 1519 1521
Jorge de Albuquerque (kali kedua) 1521 1525
Pero de Mascarenhas 1525 1526
Jorge Cabral 1526 1528
Pero de Faria 1528 1529

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c. 1300, Edisi ke-2. London: MacMillan. hlm. 23. ISBN 0-333-57689-6. 
  2. ^ a b Mohd Fawzi bin Mohd Basri; Mohd Fo'ad bin Sakdan; Azami bin Man (2002). Kurikulum Bersepadu Sekolah Menengah Sejarah Tingkatan 1. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. hlm. 95. ISBN 983-62-7410-3. 
  3. ^ a b Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c. 1300, Edisi ke-2. London: Macmillan. hlm. 23–24. ISBN 0-333-57689-6. 
  4. ^ Kenneth Warren Chase (2003). Firearms: a global history to 1700 (edisi ke-illustrated). Cambridge University Press. hlm. 142. ISBN 0-521-82274-2. Diakses tanggal 14 December 2011. Portugis menghabiskan waktu beberapa tahun, mencoba menjalin hubungan resmi dengan Tiongkok, tetapi Malaka sudah lama menjadi bagian dari tatanan penyetoran upeti Tiongkok, dan pihak Tiongkok akhirnya tahu mengenai serangan Portugis, sehingga menjadi curiga. Perutusan itu secara resmi ditolak pada 1521. 
  5. ^ Nigel Cameron (1976). Barbarians and mandarins: thirteen centuries of Western travelers in China. Volume 681 of A phoenix book (edisi ke-illustrated, reprint). University of Chicago Press. hlm. 143. ISBN 0-226-09229-1. Diakses tanggal 18 July 2011. sang duta, dengan sangat efektif mencurahkan kisah kemalangannya, tentang kesukaran hidup dalam penjajahan Portugis di Malaka; ia menguatkan kisahnya dengan kisah-kisah lain tentang tindakan-tindakan keji Portugis di Maluku, sehingga (dengan cukup jujur) meyakinkan orang bahwasanya kunjungan-kunjungan niaga Eropa hanya permulaan belaka dari perampasan wilayah. Dengan sedikitnya kekuatan laut yang saat itu dimiliki Tiongkok 
  6. ^ Zhidong Hao (2011). Macau History and Society (edisi ke-illustrated). Hong Kong University Press. hlm. 11. ISBN 988-8028-54-5. Diakses tanggal 14 December 2011. Pires datang sebagai seorang duta besar ke Beijing untuk merundingkan syarat-syarat dan ketentuan dagang dengan Tiongkok. Ia berhasil sampai ke Beijing, tetapi misinya gagal karena pertama-tama, ketika Pires berada di Beijing, Sultan Malaka yang terguling dari tahtanya juga mengirim seorang duta ke Beijing untuk mengadukan serangan dan penaklukan Portugis atas Malaka kepada kaisar. Malaka berada di bawah naungan perlindungan Tiongkok ketika Portugis merebutnya. Tentu saja Tiongkok tidak bersuka hati atas apa yang diperbuat Portugis di sana. 
  7. ^ Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, Yasmin Hussain, ed. (1985). Readings on Islam in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 11. ISBN 9971-988-08-9. Diakses tanggal 18 July 2011. di Tiongkok situasi jauh dari bersahabat; ini tampaknya berkaitan dengan keluhan penguasa Malaka, yang ditaklukkan Portugis pada 1511, ke hadapan kaisar Tiongkok, pelindungnya. 
  8. ^ John Horace Parry (June 1, 1981). The discovery of the sea. University of California Press. hlm. 238. ISBN 0-520-04237-9. Diakses tanggal 14 December 2011. In 1511 ... Alboquerque sendiri bertolak ... untuk menyerang Malaka ... Sultan Malaka mengungsi ke pesisir, untuk kemudian memapankan diri di rawa-rawa Johor, dari situ ia mengirimkan tuntutan-tuntutan untuk dibela kepada pelindungnya yang jauh, Kaisar Tionghoa. Petisi-petisi itu di kemudian hari membuat Portugis, yang sedang berupaya mendapatkan izin berdagang di Kanton, mengalami kesulitan yang besar 
  9. ^ John Horace Parry (June 1, 1981). The discovery of the sea. University of California Press. hlm. 239. ISBN 0-520-04237-9. Diakses tanggal 14 December 2011. Bila Portugis mencoba untuk masuk, dengan kapal-kapal milik mereka, ke Kanton itu sendiri, sambutan pemerintah Tiongkok—yang patut dimaklumi, mengingat reputasi mereka di Malaka—tidaklah ramah, dan setelah lewat beberapa dasawarsa barulah mereka mendapatkan tempat berpijak di Makau. 
  10. ^ Ernest S. Dodge (1976). Islands and Empires: Western Impact on the Pacific and East Asia. Jilid 7 : Europe and the World in Age of Expansion. U of Minnesota Press. hlm. 226. ISBN 0-8166-0853-9. Diakses tanggal 18 July 2011. Sepak-terjang Portugis yang tak termaafkan, digabungkan dengan kecerobohan pemilihan kata dalam surat-surat yang diajukan Pires kepada kaisar langit, ditambah dengan peringatan dari Sultan Melayu di Bintan, meyakinkan pihak Tiongkok bahwasanya Pires benar-benar berniat jahat 
  11. ^ Kenneth Scott Latourette (1964). The Chinese, their history and culture, Jilid 1–2 (edisi ke-4, reprint). Macmillan. hlm. 235. Diakses tanggal 18 July 2011. Penguasa Muslim Malaka, yang mereka gulingkan dari tahta, mengadukan mereka ke pemerintah Tiongkok. Seorang utusan Portugis, Pires, yang sampai ke Peking pada 1520 dianggap sebagai mata-mata, dan dipindahkan dengan titah kekaisaran ke Kanton 
  12. ^ Wills, John E., Jr. (1998). "Relations with Maritime Europe, 1514–1662," dalam The Cambridge History of China: Jilid 8, The Ming Dynasty, 1368–1644, Bagian 2, 333–375. Disunting oleh Denis Twitchett, John King Fairbank, dan Albert Feuerwerker. New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-24333-5, 343-344.
  13. ^ C. Guillot, Denys Lombard, Roderich Ptak, ed. (1998). Dari Mediterania ke Laut Tiongkok: berbagai catatan. Otto Harrassowitz Verlag. hlm. 179. ISBN 3-447-04098-X. Diakses tanggal 14 December 2011. Para penulis Tionghoa berpendapat bahwa, orang-orang Tionghoa-Malaka tidaklah diperlakukan dengan baik oleh Portugis ... lazimnya memang kapal-kapal Tionghoa cenderung menghindari Malaka setelah 1511, malahan berlayar ke bandar-bandar lain. Agaknya sebagian besar bandar-bandar ini terletak di pesisir timur semenanjung Malaya dan di Sumatera. Johor, di pelosok selatan semenanjung, adalah tempat lain yang menjadi tujuan banyak orang Tionghoa ... Selepas 1511, banyak orang Tionghoa yang adalah orang-orang Muslim bersekutu dengan pedagang-pedagang Islam lain menentang Portugis; menurut Malay Annals of Semarang and Cerbon, warga Tionghoa yang menetap di pesisir utara Jawa terlibat dalam serangan-serangan balasan atas Malaka. Kapal-kapal Jawa memang dikirim namun mengalami kekalahan telak. Demak dan Jepara saja kehilangan lebih dari tujuh puluh kapal. 
  14. ^ Peter Borschberg, National University of Singapore. Faculty of Arts and Social Sciences, Fundação Oriente (2004). Peter Borschberg, ed. Iberians in the Singapore-Melaka area and adjacent regions (16th to 18th century). Jilid 14 : South China and maritime Asia (edisi ke-illustrated). Otto Harrassowitz Verlag. hlm. 12. ISBN 3-447-05107-8. Diakses tanggal 14 December 2011. tetap saja yang lain menarik diri guna melanjutkan usaha dagang dengan orang-orang Jawa, Melayu, dan Gujarat...Bilamana dunia Islam mempertimbangkan untuk melancarkan serangan balasan terhadap Melaka Portugis, beberapa warga Tionghoa agaknya menyiapkan kapal-kapal dan modal. Orang-orang Tionghoa ini, berasal baik dari Fujian ataupun daerah lain, mungkin adalah keturunan Muslim. Kelompok ini agaknya terdiri atas faksi-faksi kecil yang mengungsi dari Campa setelah krisis tahun 1471.