Pati Unus alias Yat Sun (Jawa: ꦥꦠꦶꦪꦸꦤꦸꦱ꧀, Hanzi: 逸新[butuh rujukan], Pinyin: Yat Sun)[butuh rujukan] dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor (14881521) adalah Sultan Demak kedua yang memerintah dari tahun 15181521. Pati Unus bernama asli Raden Abdul Qadir. Ia adalah putra mahkota Raden Patah, pendiri Demak.

Pati Unus
逸新
Pangeran Sabrang Lor
Sultan Demak ke-2
Berkuasa1518–1521
PendahuluRaden Patah
PenerusTrenggana
Informasi pribadi
KelahiranRaden Abdul Qadir
Yat Sun
1488
Jepara, Majapahit
Kematian1521
Melaka, Kesultanan Melaka
Nama lengkap
Pangeran Sabrang Lor
PasanganRatu Wulungayu
Anak
  • Pangeran Panggung
  • R. Ay. Pager Gunung
AgamaIslam

Menurut Tome Pires pada tahun 1513, Pati Unus berusia 25 tahun dan telah selesai menyerbu Malaka pada serangan pertama. Pada tahun 1521, Pati Unus memimpin penyerbuan kedua ke Malaka melawan pendudukan Portugis. Namun, ia gugur dalam pertempuran itu dan digantikan oleh adik iparnya, Trenggana sebagai raja Demak selanjutnya.[1][2][3]

Asal usul sunting

Dalam Suma Oriental, Tomé Pires menyebutkan seorang bernama "Pate Onus" atau "Pate Unus". Ia adalah ipar dari Pate Rodim, penguasa Demak. Pate Rodim adalah tokoh yang identik dengan Raden Patah, pendiri sekaligus raja pertama Demak.

Dalam Hikayat Banjar, raja Demak bergelar Sultan Surya Alam (Raden Surya) telah membantu Pangeran Samudera, penguasa Banjarmasin untuk mengalahkan pamannya penguasa Kerajaan Negara Daha yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan.

Seorang putra Raden Patah bernama Raden Surya dikenal juga dengan julukan Pangeran Sabrang Lor (sabrang berarti menyeberang dan lor berarti utara), karena ia pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk melawan Portugis.

Kenyataan tokoh Pati Unus berbenturan dengan tokoh Trenggana, raja Demak ketiga, yang memerintah tahun 1505-1518, kemudian tahun 1521-1546.

Jepara dalam Suma Oriental (1513 Masehi) sunting

Jepara dipimpin Pate Unus, seorang kesatria tangguh dan bijaksana, yang sering menjadi bahan pembicaraan di Jawa. Negeri yang dikuasainya pun luas.

Kakek Pate Unus adalah pekerja di Kepulauan Laue (Pulau Lawai/Kalimantan). Dengan modal kecil ia pergi ke Malaka dan menikah di sana, hingga lahirlah ayah Pate Unus. Ia kemudian menjadi pedagang di Jawa, dan sekitar 40 – 50 tahun yang lalu berhasil membunuh pate Jepara yang lemah dan hanya memiliki 90 – 100 penduduk. Ia juga berhasil merebut Tidunan dan menyatukan penduduk kedua negeri itu.

Pelabuhan Jepara terletak di kaki gunung dan merupakan pelabuhan terbaik di Jawa. Semua orang yang pergi ke Jawa dan Maluku pasti akan singgah di Jepara. Wilayahnya pun sangat rindang.

Pate Unus seorang pemberani yang mampu menaklukkan Bangka, Tanjungpura, Laue (Lawai di Kalimantan Barat), dan pulau-pulau lainnya. Meskipun Jepara berada di bawah Demak, namun Pate Unus memiliki kekuasaan yang hampir sama dengan Pate Rodim.

Pate Unus berniat untuk menaklukkan Malaka dan merebut negeri itu dari rajanya. Pada saat Pate Unus menyerang, Malaka telah dikuasai oleh Portugis. Pate Unus membangun armada dengan bantuan dari Jawa dan Palembang. Mereka pun berangkat menyerang Malaka dengan membawa 100 kapal. Mereka tiba di Malaka pada malam hari dan kembali pada malam berikutnya, dengan hanya membawa 7 – 8 kapal yang tersisa, sedangkan yang lain dibakar, karam, atau tertangkap.

Saat ini Pate Unus berusia sekitar 25 tahun. Ia jauh lebih hebat dari dugaaan orang Jawa. Ia menikah dengan saudara perempuan Pate Rodim, serta mengajukan lamaran pula kepada mantan Raja Malaka untuk menikahi salah satu putrinya.

Jepara merupakan kunci bagi seluruh Jawa, mengingat letaknya yang di tengah dan di puncak. Jarak menuju Cirebon sama jauhnya dengan jarak menuju Gresik.[4]

TEDUNAN (TIDANA)

Tedunan dipimpin oleh Pate Orob, yang merupakan paman dari Pate Unus. Ia merupakan orang yang bijak dan tidak tunduk kepada siapa pun. Negeri Tedunan menghasilkan beras dalam jumlah yang besar dengan penduduk sekitar 2.000 sampai 3.000 jiwa.

Pate Orob sering berperang dengan orang-orang pedalaman. Ia juga membantu Pate Rodim karena Guste Pate sering menyerang Demak, Tedunan, dan Jepara. Serangan Guste Pate ini banyak menghilangkan nyawa di ketiga negeri tersebut.

Pate Orob banyak memberikan nasihat kepada Pate Rodim dan Pate Unus. Keduanya pun mematuhi Pate Orob meskipun kekuasaan mereka lebih besar daripada dia.[4]

Menantu sunting

Menurut sebuah riwayat, ia adalah anak Raden Patah. Nama aslinya adalah Raden Abdul Qadir putra Raden Muhammad Yunus dari Jepara. Raden Muhammad Yunus adalah putra seorang Muballigh pendatang dari Parsi yang dikenal dengan sebutan Syekh Khaliqul Idrus. Muballigh dan Musafir besar ini datang dari Parsi ke tanah Jawa mendarat dan menetap di Jepara di awal 1400-an masehi. Silsilah Syekh ini yang bernama lengkap Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al Mukhrowi (wafat di Parsi) merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad generasi ke 19, ia memiliki ibu Syarifah Ummu Banin Al-Hasani (keturunan Imam Hasan bin Fathimah binti Nabi Muhammad) dari Parsi (dari Catatan Sayyid Bahruddin Ba'alawi tentang Asyraf di tanah Persia, ditulis pada tanggal 9 September 1979), Sayyidus Syuhada Imam Husayn (Qaddasallohu Sirruhu) putra Imam Besar Sayyidina Ali bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.

Setelah menetap di Jepara, Syekh Khaliqul Idrus menikah dengan putri seorang Muballigh asal Gujarat yang lebih dulu datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh Mawlana Akbar, seorang Ulama, Muballigh dan Musafir besar asal Gujarat, India yang mempelopori dakwah diAsia Tenggara. Seorang putranya adalah Syekh Ibrahim Akbar yang menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja) yang sekarang masih ada perkampungan Muslim. Seorang putranya dikirim ke tanah Jawa untuk berdakwah yang dipanggil dengan Raden Rahmat atau terkenal sebagai Sunan Ampel. Seorang adik perempuannya dari lain Ibu (asal Campa) ikut dibawa ke Pulau Jawa untuk ditawarkan kepada Raja Bhre Kertabhumi sebagai istri untuk langkah awal menyebarkan Islam di tanah Jawa.

Bhre Kertabhumi berkenan menikahi tetapi enggan terang-terangan masuk Islam. Putra yang lahir dari pernikahan ini adalah Dyah Hayu Ratna Pembayung yang menurunkan Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging II), Kebo Kanigoro dan Lembu Amiluhur. Dari kebo Kenongo ini lahir Hadiwijaya (Joko Tingkir). Bhre Kertabhumi juga mengawini seorang putri Tiongkok bernama Siu Ban Ci, putri dari Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong, perkawinan ini melahirkan putra yang dipanggil dengan nama Jim Bun alias Raden Patah. Setelah menjadi Raja Islam yang pertama di beri gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah. Disini terbukalah rahasia kenapa ia Raden Patah diberi gelar Alam Akbar karena ibunya, Siu Ban Ci adalah cucu Ulama Besar Gujarat Syekh Maulana Akbar yang hampir semua keturunannya menggunakan nama Akbar seperti Ibrahim Akbar, Nurul Alam Akbar, Zainal Akbar dan banyak lagi lainnya.

Kembali ke kisah Syekh Khaliqul Idrus, setelah menikah dengan putri Ulama Gujarat keturunan Syekh Mawlana Akbar lahirlah seorang putranya yang bernama Raden Muhammad Yunus yang setelah menikah dengan seorang putri pembesar Majapahit di Jepara dipanggil dengan gelar Wong Agung Jepara. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang kemudian terkenal sangat cerdas dan pemberani bernama Abdul Qadir yang setelah menjadi menantu Sultan Demak I Raden Patah diberi gelar Adipati bin Yunus atau terkenal lagi sebagai Pati Unus yang kelak setelah gugur di Malaka di kenal masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor.

Kiprah sunting

Setelah Raden Abdul Qadir beranjak dewasa di awal 1500-an ia diambil mantu oleh Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden Patah, Abdul Qadir resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat kelahirannya sendiri). Karena ayahnya (Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari banyak orang memanggilnya dengan yang lebih mudah Pati Unus.

Dari pernikahan ini ia diketahui memiliki 2 putra. Ke 2 putranya yang merupakan cucu-cucu Raden Patah ini kelak dibawa serta dalam expedisi besar yang fatal yang segera mengubah nasib Kerajaan Demak.

Sehubungan dengan intensitas persaingan dakwah dan niaga di Asia Tenggara meningkat sangat cepat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, maka Demak mempererat hubungan dengan kesultanan Banten-Cirebon yang juga masih keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat. Karena Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah adalah putra Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Mawlana Akbar, sedangkan Raden Patah seperti yang disebut dimuka adalah ibunya cucu Syekh Mawlana Akbar yang lahir di Campa. Sedangkan Pati Unus neneknya dari pihak ayah adalah juga keturunan Syekh Mawlana Akbar.

Hubungan yang semakin erat adalah ditandai dengan pernikahan ke 2 Pati Unus, yaitu dengan Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati tahun 1511. Tak hanya itu, Pati Unus kemudian diangkat sebagai Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya sendiri yang merupakan Pembina umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Gelarnya yang baru adalah Senapati Sarjawala dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis. Gentingnya situasi ini dikisahkan lebih rinci oleh Sejarawan Sunda Saleh Danasasmita di dalam Pajajaran bab Sri Baduga Maharaja sub bab Pustaka Negara Kretabhumi.

Ekspedisi Malaka I sunting

Tahun 1512 giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis. Hal ini membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin mendesak untuk segera dilaksanakan. Maka akhir tahun 1512 dikirim armada kecil, expedisi jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka. Pada Januari 1513 Pati Unus armada itu sampai di Malaka, membawa sekitar 100 kapal dengan 5.000 tentara Jawa dari Jepara dan Palembang. Sekitar 30 dari mereka adalah jung Jawa besar seberat 350–600 ton (pengecualian untuk kapal utama Pati Unus), sisanya adalah kapal jenis lancaran, penjajap, dan kelulus. Jung-jung itu sendiri membawa 12.000 orang. Kapal-kapal itu membawa banyak artileri yang dibuat di Jawa.[catatan 1][5]:23, 177 Meskipun dikalahkan, Patih Unus berlayar pulang dan mendamparkan kapal perangnya sebagai monumen perjuangan melawan orang-orang yang disebutnya paling berani di dunia. Ini memenangkannya beberapa tahun kemudian dalam tahta Demak.[6]:70–71 Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, 22 Februari 1513, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pate Unus, mengatakan:[7]:151-152

Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa seribu orang tentara di kapal, dan Yang Mulia dapat mempercayaiku ... bahwa itu adalah hal yang sangat luar biasa untuk dilihat, karena Anunciada di dekatnya tidak terlihat seperti sebuah kapal sama sekali. Kami menyerangnya dengan bombard, tetapi bahkan tembakan yang terbesar tidak menembusnya di bawah garis air, dan (tembakan) esfera (meriam besar Portugis)[catatan 2] yang saya miliki di kapal saya berhasil masuk tetapi tidak tembus; kapal itu memiliki tiga lapisan logam, yang semuanya lebih dari satu cruzado tebalnya.[catatan 3] Dan kapal itu benar-benar sangat mengerikan bahkan tidak ada orang yang pernah melihat sejenisnya. Butuh waktu tiga tahun untuk membangunnya, Yang Mulia mungkin pernah mendengar cerita di Malaka tentang Pati Unus, yang membuat armada ini untuk menjadi raja Malaka. – Fernão Pires de Andrade, Cartas, III, h. 59

Ekspedisi Malaka II sunting

Memasuki tahun 1521, ke 375 kapal telah selesai dibangun, maka walaupun baru menjabat Sultan selama 3 tahun, Pati Unus memutuskan untuk mengikuti ekspedisi secara langsung, ikut pula 2 putranya dari pernikahan dengan putri Raden Patah dan seorang putra lagi dari seorang seorang isteri, anak kepada Syeikh Al Sultan Saiyid Ismail, dari Pulau Besar.

Armada perang siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini sejarah keluarganya akan berubah, sejarah kesultanan Demak akan berubah dan sejarah tanah Jawa akan berubah.

Armada perang yang sangat besar berangkat ke Malaka dan Portugis pun sudah mempersiapkan pertahanan menyambut Armada besar ini dengan puluhan meriam besar pula yang mencuat dari benteng Malaka.

Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan perahu untuk merapat ke pantai. Ia gugur akibat serangan tersebut.

Armada pasukan gabungan tanah Jawa yang juga menderita banyak korban kemudian memutuskan mundur di bawah pimpinan Raden Hidayat, orang kedua dalam komando setelah Pati Unus gugur. Satu riwayat yang belum jelas siapa Raden Hidayat ini, kemungkinan ke-2 yang lebih kuat komando setelah Pati Unus gugur diambil alih oleh Fadhlulah Khan (Tubagus Pasai) karena sekembalinya sisa dari Armada Gabungan ini ke Pulau Jawa, Fadhlullah Khan alias Falathehan alias Fatahillah alias Tubagus Pasai-lah yang diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai Panglima Armada Gabungan yang baru menggantikan Pati Unus yang gugur di Malaka.

Kegagalan expedisi yang ke II ke Malaka ini sebagian disebabkan oleh faktor - faktor internal, terutama masalah harmoni hubungan kesultanan - kesultanan Indonesia.

Putra pertama dan ketiga Pati Unus ikut gugur, sedangkan putra kedua, Raden Abdullah selamat untuk meneruskan keturunan Pati Unus. Beliau bergabung dengan armada yang tersisa untuk kembali ke tanah Jawa. Turut pula dalam armada yang balik ke Jawa, sebagian tentara Kesultanan Malaka yang memutuskan hijrah ke tanah Jawa karena negerinya gagal direbut kembali dari tangan penjajah Portugis. Mereka orang Melayu Malaka ini keturunannya kemudian membantu keturunan Raden Abdullah putra Pati Unus dalam meng-Islam-kan tanah Pasundan hingga dinamai satu tempat singgah mereka dalam penaklukan itu di Jawa Barat dengan Tasikmalaya yang berarti Danau nya orang Malaya (Melayu).

Sedangkan Pati Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di seberang utara. Pimpinan Armada Gabungan Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon segera diambil alih oleh Fadhlullah Khan yang oleh Portugis disebut Falthehan, dan belakangan disebut Fatahillah setelah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa 1527. Di ambil alih oleh Fadhlullah Khan adalah atas inisiatif Sunan Gunung Jati yang sekaligus menjadi mertua karena putrinya yang menjadi janda Sabrang Lor dinikahkan dengan Fadhlullah Khan.

Keturunan sunting

Keturunan Pati Unus disintaskan oleh putranya yang kedua, Raden Abdullah. Ketika armada Demak mendaratkan pasukan Banten di teluk Banten, Raden Abdullah diajak pula untuk turun di Banten untuk tidak melanjutkan perjalanan pulang ke Demak. Para komandan dan penasehat armada yang masih saling berkerabat satu sama lain sangat khawatir kalau Raden Abdullah akan dibunuh dalam perebutan tahta mengingat sepeninggal Pati Unus, sebagian orang di Demak merasa lebih berhak untuk mewarisi Kesultanan Demak karena Pati Unus hanya menantu Raden Patah dan keturunan Pati Unus (secara patrilineal) adalah keturunan Arab seperti keluarga Kesultanan Banten dan Cirebon, sementara Raden Patah adalah keturunan Arab hanya dari pihak Ibu sedangkan secara patrilineal (garis laki-laki terus menerus dari pihak ayah, Brawijaya) adalah murni keturunan Jawa (Majapahit).

Raden Abdullah, dikenal juga dengan Pangeran Yunus, dipercaya nantinya dinikahkan dengan putri ketiga Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten, mempererat hubungan antar kesultanan di Jawa.

Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Raden Patah
Raja Demak
1518—1521
Diteruskan oleh:
Trenggana

Catatan sunting

  1. ^ Menurut Horst H. Liebner, sebagian besar meriam tersebut berjenis meriam putar (swivel gun), kemungkinan dari jenis cetbang atau rentaka, yaitu sejenis meriam ukuran kecil dan sedang yang biasa dipasang di pinggir kapal. Meriam tetap yang ukurannya lebih besar pada kapal-kapal Melayu biasanya dipasang di apilan (gunshield atau perisai meriam).
  2. ^ Espera atau esfera adalah meriam besar Portugis yang diisi dari depan. Memiliki panjang 2–5 meter dengan berat hingga 1800 kg, biasanya digunakan pada karavel. Espera menembakkan bola meriam seberat 12–20 pon (5,44–9,1 kg). Lihat Earle, T. F. (1990). Albuquerque: Caesar of the East: Selected texts by Alfonso de Albuquerque and his son. Pers Universitas Oxford. hlm. 287.
  3. ^ Sejenis uang Portugis berdiameter 3,8 cm (Liebner, 2016: h. 45).

Sumber sunting

  • Nasab silsilah Kesultanan Banten
  • Nasab silsilah Kesultanan Cirebon
  • Nasab silsilah Kesultanan Demak
  • Sejarah kota-kota lama Jawa Barat
  • Negarakerthabumi Parwa I Sargha II
  • Berita-berita sumber Eropa abad ke-15 dan k"-16: Barros, Hendrik de Lame
  • van Naerssen, Frits Herman, R. C. de Iongh, The economic and administrative history of early Indonesia, Brill, 1977
  • Pires, Tomé, Suma Oriental
  • Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8

Referensi sunting

  1. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 70. ISBN 9798451163.  ISBN 978-979-8451-16-4
  2. ^ (Indonesia) Parlindungan, Mangaraja Onggang (1 Januari 2007). Tuanku Rao. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 662. ISBN 9789799785336.  ISBN 9799785332
  3. ^ (Inggris) Ricklefs, Merle Calvin (1984). "Theodore Gauthier Th. Pigeaud". Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries: The Malay Annals of Sĕmarang and Cĕrbon. Monash University. hlm. 32. ISBN 9780867464191.  ISBN 0867464194
  4. ^ a b (Inggris) Pires, Tomé (1944). "Francisco Rodrigues". Suma Oriental (PDF). 
  5. ^ Crawfurd, John (1856). A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries. Bradbury and Evans. 
  6. ^ Winstedt, Richard Olaf (1935). "A History of Malaya". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 13 (1): iii–270. 
  7. ^ Cortesão, Armando (1944). The Suma oriental of Tomé Pires : an account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515 ; and, the book of Francisco Rodrigues, rutter of a voyage in the Red Sea, nautical rules, almanack and maps, written and drawn in the East before 1515 volume I. London: The Hakluyt Society. ISBN 9784000085052.    Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.