Mangkunegara IV

Adipati dari Mangkunagaran (1853-1881)
(Dialihkan dari Mangkunagara IV)

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (lahir pada tanggal 3 Maret 1811 – meninggal pada tahun 1881) adalah Adipati keempat Mangkunegaran yang memerintah dari tahun 1853 sampai 1881.[1]

Mangkunegara IV
ꦩꦁꦏꦸꦤꦒꦫ꧇꧔꧇
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Potret Mangkunegara IV, c. 1865
Adipati Mangkunegaran ke-4
Berkuasa1853–1881
PendahuluMangkunegara III
PenerusMangkunegara V
Informasi pribadi
KelahiranB.R.M. Sudira
(1811-03-03)3 Maret 1811
Pura Mangkunegaran, Surakarta, periode perang di Jawa
Kematian1881 – 1811; umur -71–-70 tahun
Pura Mangkunegaran, Surakarta, Hindia Belanda
AyahK.P.A. Adiwijaya I
IbuRA Sekeli (Putri KGPAA Mangkunegara II)
PermaisuriR.Ay. Dunuk

Kelahiran sunting

Mangkunegara IV lahir pada 3 Maret 1811 dengan nama Raden Mas Sudira. Mangkunegara IV adalah anak ketujuh dari Kanjeng Pangeran Harya Hadiwijaya I dan Bandara Raden Ajeng Sekeli yang merupakan anak dari Mangkunegara II.[2]

Pendidikan sunting

R.M. Sudira pada masa kecilnya tidak mendapatkan pendidikan formal, namun pendidikan diberikan secara privat. Ia juga mendapatkan tuntunan dari orang-orang Belanda yang didatangkan oleh K.G.P.A.A. Mangkunagara II, yang selain untuk menuntun Pangeran Riya yang dipersiapkan sebagai K.P. Prangwadana III, juga ditugasi mendidik R.M. Sudira. Pengajaran yang diterimanya antara lain bahasa Belanda, tulisan Latin dan pengetahuan lainnya. Para ahli bahasa Dr. J.F.C. Gericke dan C.F. Winter adalah termasuk juga guru-gurunya.

Sebagaimana para putera bangsawan tinggi Mangkunagaran, pada umur 15 tahun R.M. Sudira menjadi kadet di Legiun Mangkunagaran. Menurut tulisan Letnan Kolonel H.F. Aukes, para kadet dilatih sendiri oleh para perwira senior Legiun, sementara instruktur Belanda hanya ditugasi membantu memberikan pendidikan pelajaran. Setelah lulus pendidikan selama setahun, R.M Sudira ditempatkan di kompi 5 sebagai perwira baru.

Militer sunting

Beberapa bulan setelah R.M. Sudira bertugas di kancah pertempuran, ia menerima kabar bahwa ayahandanya K.P.H. Hadiwijaya I wafat. Ia mendapatkan izin kepada kakeknya, K.G.P.A.A. Mangkunagara II yang sekaligus menjadi panglimanya, untuk pulang dan memberikan penghormatan terakhir kepada ayahandanya.

Setelah pemakaman, R.M. Sudira kembali ke kancah pertempuran. Pasukan Legiun berhasil mengalahkan dan menangkap Panembahan Sungki, yaitu pemimpin pasukan pendukung Pangeran Diponegoro.

Masa dewasa dan naik takhta sunting

Setelah mendapat gelar Pangeran nama R.M Sudira diubah menjadi K.P.H. Gandakusuma. Ia menikah dengan R.Ay. Semi, dan dikaruniai 14 anak. Tidak lama setelah KGPAA Mangkunagara III meninggal tahun 1853, K.P.H. Gandakusuma diangkat menjadi KGPAA Mangkunagara IV. Kurang lebih setahun bertahta kemudian menikah dengan R.Ay. Dunuk, putri dalem (anak kandung) Mangkunagara III.

Pemerintahan sunting

Mangkunegara IV dikenal sebagai pemimpin yang berkepribadian kuat, cakap dalam memerintah, dan memiliki jiwa seni. Selama 28 tahun kepemimpinannya, ia telah mendorong kemajuan di bidang-bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya di wilayahnya.

Di bidang pemerintahan, Mangkunegara IV mendirikan lembaga selain Kasentanaan dan Legiun yang dikenal sebagai Kawedanan yang dipimpin oleh seorang wedana.[2] Selain itu, wilayah kekuasaan Mangkunegaran juga meluas hingga ke Sragen.

Mangkunegara IV juga memprakarsai berdirinya Stasiun Solo Balapan sebagai bagian pembangunan jalur rel kereta api SoloSemarang, kanalisasi kota, serta penataan ruang kota.[butuh rujukan]

Penarikan kembali tanah apanage sunting

Pada masa pemerintahan Mangkunegara IV muncul ide untuk mengabilalih tanah apanage. Tanah apanage yang awalnya digunakan sebagai gaji bagi narapraja diambilalih sebagai modal awal industri tebu milik Mangkunegaran. Sebagai gantinya narapraja menerima gaji bulanan. Selain dari pengambilalihan tanah apanage. Penarikan tanah dilakukan secara bertahap, dimulai dari keluarga raja. Kemudian dilanjutkan dari anggota narapraja lainnya termasuk para anggota Legiun Mangkunegaran. Sebagai gantinya, mereka menerima tunjangan dalam bentuk uang. Jumlah uang yang diterima beragam, tergantung luas tanah dan kualitas tanah yang dimiliki.[3]

Penghapusan tanah apanage ini menimbulkan rasa tidak puas di kalangan pejabat Mangkunegaran karena kebiasaan memegang uang dari upeti apanage tak dapat dirasakan lagi sehingga untuk memenuhi gaya hidup mewah mereka harus berutang kepada para pengusaha Eropa meskipun mereka telah digaji oleh Mangkunegaran.[4]

Merintis industri gula Mangkunegaran sunting

Mangkunegara IV menjadi perintis usaha pabrik gula bagi Mangkunegaran. Beberapa alasan mengapa Mangkunegara IV memilih industri gula pada saat itu. Petama, Gula merupakan produk yang sedang naik daun baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Kedua, tanaman tebu sudah tersedia di Surakarta yang. Ketiga, sumber-sumber pendapatan Mangkunegaran terdahulu, seperti pajak dan sewa tanah dirasa masih kurang mencukupi.[3]

Modal awal untuk industri gula Mangkunegaran selain dari penarikan kembali tanah apanage juga berasal dari kontrak sewa tanah dari pengusaha swasta. Mangkunegaran memutuskan untuk tidak memperpanjang kembali kontrak sewa tanah bagi perusahaan swasta yang berakhir pada 1859-1860. Meskipun mendapat kecaman keras dari para penyewa tanah, Mangkunegara IV tetap bersikeras untuk menjalankan rencananya itu.[3]

Pabrik gula pertama yaitu Pabrik Gula Colomadu yang dibangun pada 1861 dan beroperasi setahun kemudian. Setelah membangun Pabrik Gula Colomadu, Mangkunegara IV kembali membangun pabrik gula di wilayah Karanganyar yang dikenal sebagai Pabrik Gula Tasikmadu. Pabrik ini dibangun pada 1871 dan mulai beroperasi pada 1874. Selain membangun pabrik gula, Mangkunegara IV juga menugaskan Raden Ranasetra untuk mengelola kebun tebu dan R. Kamp yang bertugas mengelola dan melakuan pembangunan pabrik tebu.[5]

Awalnya industri gula ini merupakan industri pribadi milik keluarga Mangkunegara IV. Industri gula ini kemudian diubah menjadi perusahaan Praja pada masa menjelang wafatnya Mangkunegara IV dengan pertimbangan untuk pengembangan lebih lanjut dan diperolehnya keuntungan yang lebih besar bagi kemakmuran Praja Mangkunegaran.[5]

Reformasi pemerintahan sunting

Pada masa pemerintahannya diadakan pembaruan organisasi pemerintahan Mangkunegaran. Dalam Pranatan tanggal 11 Agustus 1867 ditetapkan departemen-departemen dalam pemerintahan di luar Kesentanaan dan Legiun yang disebut Kawedanan yang dipimpin oleh Wedana. Kawedanan-kawedanan tersebut, yaitu:[6]

  1. Kawedanan Hamongprojo. Kawedanan ini dibagi menjadi tiga Kemantren, yaitu: Sastrolukito, bawahan carik yang bertugas menulis dan menghitung; Reksa Pustoko, bertugas merawat dan menyusun surat-surat yang dianggap penting; Pamongsiswo, mengembangkan kesenian dan sastra. membawahi para guru, murid, pelukis, pemahat, yang ada di wilayah Mangkunegaran
  2. Kawedanan Kartapraja. Kawedanan ini dibagi menjadi dua Kemntren, yaitu: Kartahusada, bertugas meningkatan sumber pendapatan Mangkunegaran; Martanimpuna, bertugas menerima setoran pajak dan pendapatan luar biasa Mangkunegaran.
  3. Kawedanan Martapraja. Kawedanan ini hanya terdiri atas satu Kemantren, yaitu Reksahardana yang bekerja menyimpan dan mengetahui uang yang berada di gedong serta mengatur keluar masuknya uang Mangkunegaran.
  4. Kawedanan Karti Praja. Kawedanan ini membawahi satu Kemantren, yaitu Kartapura yang bekerja dalam perbaikan kota dan penanganganan kebakaran.
  5. Kawedanan Reksawibawa. Kawedanan ini membawahi empat Kemantren, yaitu: Reksawarastra, bertugas memelihara senjata; Reksawahana, bertugas menjaga kendaraan dan suku cadangnya; Reksabusana, bertugas merawat dan melengkapi pakaian Praja dan tentara; Langen Praja, bertugas merawat dan melengkapi gamelan.
  6. Kawedanan Madrapura. Kawedanan ini terbagi menjadi empat Kemantren, yaitu; Mandrasana, bertugas merawat perkakas; Reksa Pradipta, bertugas membuat dan menghidupkan lampu; Sabpandaya, mengurusi masalah minuman Praja; Reksasunggata, mengurusi penyediaan makanan istana.
  7. Kawedanan Prababaksana. Kawedanan ini membawahi tiga Kemantren. Reksabaksana yang bertugas memelihara dan membagi bahan pangan. Wreksapandaya, bertugas menyediakan kayu jati untuk bahan bangunan. Tarutala, bertugas membagi sirih, rumput, dan padi.
  8. Kawedanan Yogiswara. Kawedanan ini membawahi tiga Kemantren. Ketib, bertugas menikahkan orang yang akan menikah, mengurusi mayat, dan menyelesaikan perkara yang akan dibawa ke surambi. Naib, berwenang menyelesaikan talak, wasiat, dan semacamnya. Ia membawahi para kaum yang mempelajari agama serta memelihara makam dan tempat suci. Ngulama, bertugas berdoa untuk keselamatan dan kesejahteraan Mangkunegaran

Karya sastra sunting

Pada masa pemerintahannya, pihak istana Mangkunegaran menulis kurang lebih 42 buku, di antaranya Serat Wedhatama, dan beberapa komposisi gamelan. Salah satu karya komposisinya yang terkenal adalah Ketawang Puspawarna, yang turut dikirim ke luar angkasa melalui Piringan Emas Voyager di dalam pesawat antariksa nirawak Voyager I tahun 1977. Atas jasa kepujanggaannya, khususnya dalam penulisan Serat Wedhatama, MN IV mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana dari Pemerintah RI melalui Keppres RI nr. 33/TK/Tahun 2010 secara anumerta yang diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada perwakilan kerabatnya pada tanggal 3 November 2010. MN IV juga sempat menerjemahkan salah satu karya sastra Sunda Klasik berupa Wawacan yang berjudul Wawacan Panji Wulung karya Raden Haji Muhamad Musa yang ditulis tahun 1862 dari bahasa Sunda ke bahasa Jawa yang kemudian diterbitkan oleh Landsdrukkerij dalam bentuk buku pada tahun 1931.[7]

Mangkunegara IV juga menciptkan Serat Darmalaksita atau Darmawasista yang berisi tentang ajaran bahwa derajat wanita setara dengan derajat pria, khususnya dalam meraih pendidikan, karir dan meraih cita-cita sesuai dengan impiannya.[8]

Wafat sunting

Mangkunegara IV wafat tahun 1881 dan dikebumikan di Astana Girilayu.[8] Dapat dikatakan bahwa pada masa pemerintahannya, Mangkunagaran berada pada puncak kebesarannya.

Referensi sunting

  1. ^ "Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (1853-1881)". Puro Mangkunegaran. 
  2. ^ a b Wardhani, Novia; Narimo, Sabar; Hartatik, Sri (2019). "The Leadership Analysis of Mangkunegara IV in Millennial Era". Proceedings of the Proceedings of the 1st International Symposium on Indonesian Politics, SIP 2019, 26-27 June 2019, Central Java, Indonesia (dalam bahasa Inggris). Semarang, Indonesia: EAI. doi:10.4108/eai.25-6-2019.2288010. ISBN 978-1-63190-194-2. 
  3. ^ a b c Birsyada, Muhammad Iqbal; Wasino, Wasino; Suyahmo, Suyahmo; Joebagio, Hermanu (2016-06-15). "Bisnis Keluarga Mangkunegaran". Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. 24 (1): 111. doi:10.21580/ws.24.1.975. ISSN 2461-064X. 
  4. ^ Rosyida, Aprilia Arifatur (2017). "Politik Efisiensi Anggaran Mangkunegara VI Tahun 1911-1915". Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah. Universitas Negeri Surabaya. 5 (1): 1447. 
  5. ^ a b Rantikah, Rantikah (2021). "Dinamika Pabrik Gula Tasikmadu di Mangkunegaran 1917-1935". Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah. Universitas Negeri Yogyakarta. 12 (2): 116–117. doi:10.21831/moz.v12i2.45618. ISSN 2808-9308. 
  6. ^ Wasino (2012). "Moderenisasi Pemerintahan Praja Mangkunagaran Surakarta". Paramita: Historical Studies Journal. 22 (1): 35–36. doi:10.15294/paramita.v22i1.1842. ISSN 2407-5825. 
  7. ^ Mangkoenagara, P.A.A (1931). Pandji Woeloeng (PDF). Bataviacentrum: Landsdrukkerij. 
  8. ^ a b Winarni, Endang Tri; Zulianto, Sugit (2021-05-17). "Successful Life and Politeness Ethic in Darmalaksita Manuscript by Mangkunegara IV" (dalam bahasa Inggris). Atlantis Press: 164–168. doi:10.2991/assehr.k.210514.025. ISBN 978-94-6239-380-6. 
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Mangkunegara III
Adipati Mangkunegara
1811—1881
Diteruskan oleh:
Mangkunegara V