Manchukuo
Manchukuo (Hanzi Tradisional: 滿洲國; Hanzi Sederhana: 满洲国; Pinyin: Mǎnzhōuguó; bahasa Jepang: 滿洲国; arti harfiah: "Negara Manchuria") adalah sebuah negara boneka yang berdiri di daerah Tiongkok Timur Laut dan Mongolia Dalam, yang diperintah dalam bentuk monarki konstitusional. Luas negara ini kira-kira 1.550.000 km², Wilayah ini secara umum dikenal sebagai Manchuria oleh orang Barat dan orang Jepang, yang ditetapkan oleh mantan penguasa Tiongkok, Dinasti Qing sebagai "tanah air" kelompok etnis keluarga penguasa yaitu Bangsa Manchu, tetapi orang-orang Manchu tersebut sendiri tidak pernah menggunakan kata "Manchuria" (滿洲) sebagai nama tempat yang merujuk ke daerah ini.
Negara Manchuria (1932–1934) 滿洲國 Kekaisaran Manchuria Raya (1934–1945) 大滿洲帝國 ᡩᠠᠮᠠᠨᠵᡠ ᡤᡠᡵᡠᠨ | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1932–1945 | |||||||||||
Semboyan: "Lima Ras dibawah Satu Kesatuan" "五族共和" | |||||||||||
Lokasi Manchuko (merah) dalam lingkup pengaruh Jepang. (merah muda) | |||||||||||
Status | Negara boneka dari Kekaisaran Jepang | ||||||||||
Ibu kota | Hsinking (Changchun) (sebelum 9 Agustus 1945) Tonghua (Linjiang) (sebelum 18 Agustus 1945) | ||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jepang Mandarin Mongolia Manchu (tidak resmi)[1] | ||||||||||
Pemerintahan | Monarki konstitusional dengan sistem partai tunggal di bawah Kediktatoran militer | ||||||||||
Kepala Eksekutif | |||||||||||
• 1932–1934 | Aisin-Gioro Puyi | ||||||||||
Kaisar | |||||||||||
• 1934–1945 | Kangde (Aisin-Gioro Puyi) | ||||||||||
Perdana Menteri | |||||||||||
• 1932–1935 | Zheng Xiaoxu | ||||||||||
• 1935–1945 | Zhang Jinghui | ||||||||||
Legislatif | Majelis Legislatif | ||||||||||
Era Sejarah | Periode antar perang · Perang Dunia II | ||||||||||
• Diproklamasikan | 18 Februari 1932 | ||||||||||
• Dibubarkan | Augustus 1945 | ||||||||||
Luas | |||||||||||
- Total | 1,550,000 km² km2 | ||||||||||
Mata uang | Yuan Manchukuo | ||||||||||
| |||||||||||
Sekarang bagian dari | Tiongkok | ||||||||||
Pada tahun 1931, daerah ini diserang dan berhasil dikuasai oleh Jepang setelah Insiden Mukden dan satu tahun kemudian pemerintah pro-Jepang didirikan di wilayah ini dengan Puyi, kaisar Qing terakhir, sebagai regent dan kaisar (secara nominal).[2] Pemerintahan Manchukuo dihapuskan setelah kekalahan Kekaisaran Jepang pada akhir Perang Dunia II. Daerah yang secara formal dikuasai oleh negara boneka ini diserang dan berhasil dikuasai oleh tentara Soviet pada Agustus 1945,[3] dan secara formal diserahkan ke administrasi Tiongkok pada tahun berikutnya.[4]
Meskipun nama negara ini menggunakan kata Manchu, orang-orang Manchu hanya menjadi minoritas di negara ini, dan Han Tiongkok menjadi penduduk mayoritas. Populasi orang-orang Korea bertambah pada zaman Manchukuo. Di samping suku-suku tersebut terdapat juga bangsa minoritas, seperti orang Jepang, Mongol, Rusia Putih, dan lainnya. Namun, daerah mayoritas berbangsa Mongol yang ada di Manchukuo barat diperintah di bawah sistem yang sedikit berbeda karena pengakuan dari tradisi Mongolia di sana. Bagian selatan Semenanjung Liaodong diperintah oleh Jepang sebagai Wilayah Sewaan Kwantung.
Sejarah
suntingAsal
suntingSebagai akibat langsung dari Perang Rusia-Jepang (1904-1905), pengaruh Jepang menggantikan pengaruh Rusia di Mongolia Dalam. Pada tahun 1906, Jepang membangun Jalur Kereta Api Mongolia Selatan yang menuju Port Arthur (Bahasa Jepang: Ryojun). Antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II Manchuria menjadi medan pertempuran politik dan militer antara Rusia, Jepang, dan Tiongkok. Jepang terpaksa pindah ke Manchuria Luar sebagai akibat dari kekacauan yang disebabkan Revolusi Rusia 1917. Namun, kombinasi keberhasilan militer Soviet dan tekanan ekonomi Amerika memaksa Jepang untuk menarik diri dari daerah ini dan Manchuria Luar kembali ke kekuasaan Uni Soviet pada tahun 1925.
Saat zaman panglima perang di Tiongkok, panglima perang Zhang Zuolin mengukuhkan kekuasaanya atas Manchuria Dalam dengan perlindungan Jepang. Namun, Tentara Kwantung Jepang malah menemukan dia terlalu independen. Akibatnya ia dibunuh pada tahun 1928.
Setalah invasi Jepang atas Manchuria pada 1931, militeris Jepang bergerak maju untuk memisahkan wilayah tersebut dari kontrol Tiongkok dan berencana untuk mendirikan negara boneka yang beraliansi dengan Jepang. Untuk membuat suasana legitimasi, kaisar terakhir Tiongkok, Puyi, diundang untuk datang dengan pengikutnya dan diminta menjadi kepala negara Manchuria. Salah satu sahabatnya yang setia adalah Zheng Xiaoxu, seorang reformis dan loyalis Qing.[5]
Pada 18 Februari 1932, Negara Manchu (Manchukuo, Pinyin: Mǎnzhōuguó)[6] diproklamasikan dan diakui oleh Jepang pada 15 September 1932 melalui Protokol Jepang-Manchukuo. Kota Changchun kemudian dinamakan Hsinking (Pinyin: Xinjing) (新京, secara literal "Ibukota Baru") dan menjadi ibukota etintias baru ini. Orang Tionghoa yang hidup di Manchuria mendirikan tentara sukarelawan untuk melawan jepang dan negara baru ini membutuhkan perang yang berlangsung beberapa tahun untuk menenangkan negara.
Jepang awalnya mengangkat Puyi sebagai Kepala Negara pada tahun 1932, dan dua tahun kemudian dia dinyatakan sebagai Kaisar Manchukuo dengan nama zaman Kangde ("Ketenangan dan Kebajikan"; Wade-Giles: Kangte). Manchukuo kemudian menjadi Kekaisaran Manchukuo Raya, sering kali disebut Manchutikuo (Pinyin: Mǎnzhōu Dìguó). Zheng Xiaoxu menjabat sebagai perdana menteri pertama Manchukuo hingga 1935, dan penerusnya adalah Zhang Jinghui menggantikan dia. Puyi tidak lebih dari seorang pemmpin boneka dan otoritas yang nyata berada di tangan para pejabat militer Jepang. Sebuah istana kekaisaran kemudian dibangun untuk Kaisar. Semua menteri Manchu menjabat sebagai kaki tangan para wakil menteri mereka yang berasal dari orang Jepang. Wakil Menteri/Orang-orang Jepang inilah yang membuat semua keputusan.
Dengan cara ini, Jepang secara resmi memisahkan Manchukuo dari Tiongkok pada 1930-an. Dengan investasi Jepang dan sumber daya alam yang kaya, daerah ini menjadi industri pembangkit tenaga listrik. Manchukuo memiliki uang kertas dan perangko pos yang mereka cetak sendiri. Beberapa bank independen juga didirikan.
Pada tahun 1935, Manchukuo membeli Jalur Kereta Api Tiongkok Timur dari Uni Soviet.
Pengakuan diplomatik
suntingTiongkok tidak mengakui Manchukuo namun kedua negara mendirikan hubungan resmi perdagangan, transportasi dan komunikasi. Pada tahun 1933 Liga Bangsa-Bangsa menerbitkan Laporan Lytton, dan mengakui Manchuria tetap menjadi bagian Tiongkok. Hal ini membuat Jepang mengundurkan diri dari LBB. Kasus Manchukuo membuat Amerika Serikat menyatakan Doktrin Stimson. Di luar penolakan LBB negara ini diakui sejulah negara, seperti El Salvador (3 Maret 1934), Republik Dominika (1934), Uni Soviet (de facto 23 Maret 1935; de jure 13 April 1941),[7][8] Italia (29 November 1937), Spanyol (2 Desember 1937), Jerman (12 Mei 1938) dan Italia (9 Januari 1939).
Meskipun Tahta Suci diyakini membuka hubungan diplomatik dengan Manchukuo pada tahun 1934, tetapiTahta Suci sebenarnya tidak pernah melakukannya. Keyakinan ini pada umumnya disebabkan referensi yang salah dari film Bernardo Bertolucci The Last Emperor (1987) yang menyatakan Tahta Suci mengakui Manchukuo. Pastor Auguste Ernest Pierre Gaspais ditunuk sebagai "perwakilan ad tempus Tahta Suci dan Misi Katolik ke Manchukuo" oleh Kongregasi De Propaganda Fide (lembaga yang murni untuk tujuah isi keagamaan) dan bukan oleh Sekretariat Negara yang bertanggng jawab untuk hubungan diplomatik.[9]
Pada permmulaan PD II, negara ini dakui oleh Slowakia (1 Juni 1940), Prancis Vichy (12 Juli 1940), Rumania (1 Desember 1940), Bulgaria (10 Mei 1941), Finlandia (18 Juli 1941), Denmark (Augustus 1941), Kroasia (2 Augustus 1941) yang semuanya dipengaruhi/dikuasai oleh Jerman, serupa dengan Rezim Wang Jingwei di Tiongkok (30 November 1940), Thailand (5 Augustus 1941) dan Filipina (1943) yang semuanya di bawah kekuasaan Jepang.
Referensi
sunting- ^ Mitani, Hiromi (1996). "A STUDY OF MANCHUKUO'S LANGUAGE POLICY : THE REPRESENTATION OF NATION AND NATIONAL LANGUAGE IN THE NEW SCHOOL SYSTEM". Essays and studies. 46 (2).
- ^ "Encyclopædia Britannica article on Manchukuo". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-12-21. Diakses tanggal 2015-07-16.
- ^ [1]
- ^ Catatan- meskipun wilayah ini kemudian berada di tangan Pemerintah nasionalis sebelum Perang Saudara Tiongkok berakhir pada tahun 1949, pendudukan Soviet secara singkat membantu mengubah wilayah itu menjadi basis kekuatan pasukan Komunis Tiongkok yang dipimpin oleh Mao Zedong, dimana Tentara Pembebasan Rakyat dapat memasok kekuatan mereka dengan peralatan Jepang dan mendapatkan keuntungan strategis terhadap pemerintah Nasionalis yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek.
- ^ Reginald Fleming Johnston, p. 438.
- ^ "Between World Wars". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-10-31. Diakses tanggal 2015-07-16.
- ^ Nish, Ian Hill (2002), Japanese foreign policy in the interwar period, Westport, CT: Praeger, hlm. 95, ISBN 0-275-94791-2.
- ^ Lu, David John (2002), Agony of choice: Matsuoka Yōsuke and the rise and fall of the Japanese Empire, 1880-1946, Lanham, MD: Lexington Books, hlm. 83, ISBN 0-7391-0458-6.
- ^ Valente, Gianni. "Vatican-Manchukuo, mea culpas are not necessary". 30giorni. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-02-25. Diakses tanggal February 25, 2013.