Lucien Adam (8 Oktober 1890 – 28 September 1974) adalah pejabat pemerintahan di Hindia Belanda antara tahun 1912–1942.[1]

Hamengkubuwana VIII (kiri) dan Lucien Adam

Kehidupan awal sunting

Ia lahir di Tanjungsari (afdeling Panaroekan, Karesidenan Besuki) sebagai putra Lawrence Adam, pengurus pabrik gula di Hindia Belanda dan Josephine Bernardine Frohnhäuser. Keluarga Adam telah tinggal di Hindia Belanda sejak dua generasi dan turut berperan serta dalam Tanam Paksa. Kakek dan ayah Lucien menduduki jabatan penting di serikat dagang dan produsen. Lucien menyelesaikan pendidikan dasar di Amersfoort dan melanjutkan ke HBS di sana. Pada tahun 1909, ia masuk Universitas Leiden untuk belajar Indologi dan mengikuti ujian pejabat tinggi pada tahun 1912. Pada tahun yang sama, ia menikah dengan Jeannette Gerardina de Vries dan memiliki seorang putra. Pada masa ini, ia tak hanya ikut Menonit, melainkan juga Freemasonry di Amersfoort.

Karier sunting

Pada akhir tahun 1912, ia bertugas di Binnenlands Bestuur (pemerintahan dalam negeri) di Hindia Belanda. Hingga 5 tahun ke depan, ia menjadi pejabat administratif dan kontrolir di Banyuwangi dan Kediri. Pada tahun 1917, ia ditempatkan di Minahasa atas permintaan sendiri selama 3 tahun, dengan kedudukan di Manado. Di daerah itu, ia mengembangkan minat dalam masyarakat pedesaan dan struktur adat, yang dalam hal ini ia terilhami karya Van Vollenhoven mengenai hukum adat, yang hasil karyanya dikirimkan kepadanya.

Pada tahun 1919, Adam menemani Jacob Hendrik Liefrinck, anggota Dewan Hindia, dalam penyelidikan atas pelanggaran di Minahasa dan menghadiri semua pertemuan rakyat. Dalam kesempatan itu, Liefrinck mengirimkan pesan pribadi kepada ketua Binnenlands Bestuur di Batavia (kini Jakarta). Pada masa ini, ia menggagas seri artikel dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde[2] mengenai suku Minahasa.

Selama penempatannya di Yogyakarta, ia dapat membawa pengetahuannya dalam hukum adat ke dalam praktik ketika jaminan simpanan besar dalam penyelesaian kasasi tentang hukum kepemilikan dan bangunan harus dihilangkan. Pada saat cuti studi antara tahun 1921–1924, ia melanjutkan promosi dalam ilmu hukum di Leiden dengan memiliki judul De autonomie in het Indonesische dorp (Otonomi di Pedesaan Indonesia). Kata "Indonesia" telah menunjukkan bagaimana ia memikirkan tentang hubungan di koloni ini.[3] Kemudian, ia digambarkan G.J. Resink sebagai "pasca neo-etik".[4] Namun ketika ia telah berkenalan dengan Hubertus Johannes van Mook serta sama-sama belajar dan menjadi Freemason, ia hampir tidak aktif di Stuwgroep.[5] Dari surat-menyurat singkat pada tahun 1948 dengan H.J. van Mook tampak nyata bahwa ia tak menolak pandangannya.[6]

Adam merasa amat dekat dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan masih menggunakan adat yang hidup. Karena pemikiran itulah, ia memperpanjang masa jabatannya di Yogyakarta. Masa jabatan sebagai residen Madiun dapat dianggap sebagai persiapan atas pengangkatannya sebagai Gubernur Yogyakarta pada tahun 1939. Ujian berat tiba tak lama setelah pengangkatannya ketika berhadapan dengan peralihan tahta dari Hamengkubuwana VIII yang telah mangkat. Tak hanya ia harus menjalankan peranan sultan untuk sementara, tetapi ia juga harus merundingkan kontrak pemerintahan yang baru dengan putera mahkota Dorodjatun yang berpendidikan Belanda. Pada saat penobatan Dorodjatun, Adam memperlihatkan rasa hormat atas martabat otonomi kesultanan dengan menghentikan kebiasaan bahwa sultan harus berjalan bergandengan dengan residen. Penghargaan kelak diterima pada tahun 1969, ketika ia diminta memberikan sumbangan untuk biografi resmi sultan.[7]

 
Hamengkubuwono IX

Kemerdekaan Indonesia sunting

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Adam tidak menduduki jabatan apapun. Pada tahun 1948, ia bekerja di Afrika-Instituut Universitas Leiden dan bekerja hingga tahun 1960. Pada tahun itu, ia menerbitkan banyak monografi di Leidse Universitaire Pers tentang negara dan pembangunan di Afrika.

Adam tidak melupakan ungkapan terbuka atas hubungan dengan Indonesia. Ia memang memberikan pandangan kepada Hamengkubuwana IX atas gagasannya, ketika ia memberi selamat kepadanya atas kenyataan bahwa melalui bantuannya kepada Indonesia, pemerintahan atas negerinya telah berhasil bertahan, karena kesultanan telah menjadi daerah istimewa di Republik Indonesia.[7]

Adam meninggal dunia di Den Haag dalam usia 84 tahun.

Referensi sunting

  1. ^ Biografische aantekeningen, ca. 1970-1972. Manuscript en deels typoscript. In bezit van F.B. Adam
  2. ^ Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 85 (1925), no. 1.
  3. ^ Jan Anne Jonkman menggunakan istilah "Hindia" untuk pertama kalinya dalam organ Hindia Poetera milik Indonesisch Verbond voor Studerenden (R. Nieuwenhuys, Oost-Indische spiegel. Amsterdam, 1978, 629).
  4. ^ G. Resink. Te weinig gestuwd In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 143 (1987), no: 2/3, Leiden, 372-373.
  5. ^ Dengan judul L.A., ia menerbitkan sebuah artikel di De Stuw pada tahun (3), 1932: Grootgrondbezit in de Inlandsche Maatschappij.
  6. ^ Terima kasih kepada dr. T. van den Berge (KITLV) untuk informasi karena dapat menampilkan biografi Dr. H.J. van Mook (H.J. van Mook, 1894-1965: Macht, moraal en eenzaamheid).
  7. ^ a b L. Adam, Herinneringen uit drie levensjaren van Zijne Hoogheid SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO ke IX. typoscript, 1969
Didahului oleh:
Josef Ferdinand Verhoog
Residen Madiun
1934-1938
Diteruskan oleh:
Hendrik Jan Kuneman
Didahului oleh:
Johannes Bijleveld
Gubernur Yogyakarta
1939-1942
Diteruskan oleh:
Hamengkubuwana IX