Loetoeng Kasaroeng

film tahun 1926 karya G. Kruger dan L. Heuveldorp

Loetoeng Kasaroeng adalah film pertama yang diproduksi di Indonesia (dahulu Hindia Belanda). Film bisu ini dirilis pada 1926 oleh NV Java Film Company. Disutradarai dan diproduseri oleh L. Heuveldorp, sedangkan sinematografernya adalah G. Krugers. Film ini dibintangi oleh para pemeran pribumi, menjadikannya sebagai film pertama yang menampilkan penduduk asli. Pemutaran film perdananya di kota Bandung dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927.

Loetoeng Kasaroeng
Iklan di koran
SutradaraL. Heuveldorp
ProduserL. Heuveldorp
Ditulis oleh(tak diketahui)
Berdasarkan
Lutung Kasarung
Pemeran
SinematograferG. Krugers
Perusahaan
produksi
Java Film
Tanggal rilis
  • 31 Desember 1926 (1926-12-31)
Durasi60 menit
NegaraIndonesia
BahasaFilm bisu

Film ini dibuat berdasarkan cerita rakyat Sunda yaitu, Lutung Kasarung. Bercerita tentang seorang gadis yang jatuh cinta pada seekor lutung. Pada akhirnya, diketahui bahwa lutung itu adalah seorang pangeran titisan Sunan Ambu.

Sinopsis

sunting

Purbasari dan Purbararang adalah kakak beradik yang saling berkompetisi. Purbararang, sang kakak, menhina Purbasari karena mempunyai kekasih seekor lutung bernama Guru Minda. Sementara, Purbararang sendiri mempunyai kekasih seorang manusia bernama Indrajaya, yang sangat ia banggakan. Pada akhirnya, terungkap bahwa Guru Minda adalah seorang pangeran tampan titisan dewi Sunan Ambu.[1]

Produksi

sunting
 
Sebuah foto promosi yang memperlihatkan salah satu pemeran film Loetoeng Kasaroeng

Pemutaran film pertama di Hindia Belanda adalah pada tahun 1900.[2] Selama 20 tahun berikutnya, film produksi asing—umumnya dari Amerika Serikat—diimpor dan ditayangkan di seluruh negeri.[3] Produksi film dokumenter dalam negeri telah dimulai pada 1911,[4] tetapi tidak mampu bersaing dengan karya-karya impor.[3] Pada 1923, produksi film fitur lokal yang dipelopori oleh Middle East Film Co. diumumkan, tetapi pengerjaan film itu tidak selesai.[5]

Di bawah tekanan film-film impor, pada 1926, N.V. Java Film memilih untuk membuat film fitur yang dibuat berdasarkan cerita rakyat Sunda yaitu Lutung Kasarung. N.V. Java Film adalah sebuah rumah produksi yang berpusat di Batavia (sekarang Jakarta). Sebelumnya, mereka telah memproduksi sebuah film dokumenter tunggal berjudul Inlanders op de Krokodillenjacht (bahasa Indonesia: Pemburu Buaya Pribumi).[6][1]

Pemilik perusahaan, L. Heuveldorp, bertindak sebagai sutradara dan produser. Sementara itu, kepala laboratorium bernama , G. Krugers yang bertanggung jawab atas sinematografi dan pemrosesan.[6][1] Hanya sedikit informasi biografis yang tersedia mengenai latar belakang kedua orang tersebut, meskipun dikabarkan bahwa Heuveldorp sebelumnya memiliki pengalaman bekerja di Amerika Serikat.[7]

Semua pemeran berasal dari golongan priayi, di bawah koordinasi kepala sekolah Kartabrata.[6] Di antara para pemeran adalah anak-anak Wiranatakusumah V, bupati Bandung.[1] Ia telah setuju untuk membantu mendanai film ini guna mempromosikan budaya Sunda;[8] sebelumnya, ia telah mengangkat cerita ini ke atas panggung.[9] Subsidi lainnya datang dari Kementerian Pertahanan, yang menyumbangkan sejumlah truk untuk memudahkan pembuatan film.[10]

Syuting dimulai pada bulan Agustus 1926,[6] ketika beberapa adegan diambil di sebuah gua yang telah digali untuk keperluan produksi di Bukit Karang.[10] Awalnya, para pemeran berakting tanpa arahan. Namun, hasilnya mengecewakan. Kartabrata lantas berdiri di belakang kameramen dan memberi arahan. Ia juga meminta setiap pemeran untuk berlatih sebelum syuting dilakukan. Setiap shot yang dilakukan di gua dan tebing membuat beberapa aktris berlatih dengan keras karena medan yang sulit.[11]

Perilisan dan tanggapan

sunting

Film ini diputar pada tanggal 31 Desember 1926 di Bioskop Oriental dan Elita di Bandung.[1][10] Loetoeng Kasaroeng menjadi film fitur pertama yang diproduksi di dalam negeri dan yang pertama menampilkan pemeran pribumi.[12][13] Iklan-iklannya dimuat dalam publikasi berbahasa Belanda dan Melayu. Film ini hanya ditayangkan selama seminggu disertai pertunjukan gamelan Sunda secara langsung sebagai musiknya,[14] setelah itu Loetoeng Kasaroeng digantikan oleh film-film Hollywood.[10] Pada tanggal 14 hingga 17 Februari 1927, film ini diputar di bioskop Mignon di Cirebon.[15] Meskipun kinerja box office-nya tidak tercatat, diperkirakan hasilnya buruk.[16]

Sebuah ulasan oleh "Bandoenger" di majalah Panorama menilai film ini memiliki kualitas teknis yang buruk dibandingkan dengan film impor, yang menunjukkan bahwa produksi film ini kekurangan dana. Ulasan tersebut juga menyatakan bahwa beberapa pemeran tidak dibayar atas penampilan mereka.[14][17] Seorang koresponden Buitenzorg dari Java-Bode melaporkan secara pribadi pada gubernur jenderal mengenai film ini, ia menulis: "Gambar-gambarnya tidak fokus dan keseluruhan film berkesan suram dan gelap. Penyutradaraan yang kikuk, set dan kostum sederhana. Dari sekian banyak pemeran, tidak ada satu pun yang aktingnya menarik perhatian."[18]

Sejarawan film Indonesia, Misbach Yusa Biran menulis bahwa Loetoeng Kasaroeng tidak akan diterima dengan baik di luar Jawa Barat, karena budaya dan tarian Sunda tidak dianggap menarik bagi kelompok etnis lain, terutama orang Jawa.[14] William van der Heide, seorang dosen studi film di Universitas Newcastle di Australia, mencatat bahwa kecenderungan para pembuat film Eropa untuk menggambarkan penduduk asli sebagai kaum primitif barangkali juga mempengaruhi penjualan tiket yang buruk.[13]

Legasi

sunting

Walaupun Heuveldorp tidak tercatat terlibat dalam produksi film fiksi lagi,[7] Krugers masih aktif dalam industri perfilman. Ia menyutradarai beberapa film, termasuk film bersuara pertama di Hindia Belanda, Karnadi Anemer Bangkong (1931). Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negara itu pada 1936.[19] Salah satu pemeran, Oemar, tercatat masih terus berakting.[20] Selanjutnya, cerita Lutung Kasarung diadaptasi menjadi film sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1952 dan 1983.[1]

Setelah Loetoeng Kasaroeng dirilis, banyak film domestik yang dibuat. Produksi domestik kedua, Eulis Atjih (1927), disutradarai oleh Krugers dan dirilis lebih luas.[12] Perilisan Lily van Java (bahasa Indonesia: Lili dari Jawa) pada 1928 menandai keterlibatan etnis Tionghoa dalam industri film. Pada 1940, sutradara pribumi telah menjadi hal yang umum.[21] Bagaimanapun, sejatinya film pertama Indonesia adalah Darah dan Doa karya Usmar Ismail pada 1950.[22][23] Film tersebut dirilis setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949.[24]

Loetoeng Kasaroeng tampaknya termasuk film yang hilang. Antropolog visual Amerika, Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia dari sebelum tahun 1950 telah hilang.[25] Namun, Katalog Film Indonesia karya JB Kristanto mencatat bahwa beberapa film masih tersimpan di Sinematek Indonesia. Biran juga menulis bahwa beberapa film propaganda Jepang masih tersimpan di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[26]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
Catatan kaki
  1. ^ a b c d e f Filmindonesia.or.id, Loetoeng Kasaroeng.
  2. ^ Biran 2009, hlm. 2.
  3. ^ a b Biran 2009, hlm. 33–35.
  4. ^ Biran 2009, hlm. 53.
  5. ^ Biran 2009, hlm. 57.
  6. ^ a b c d Biran 2009, hlm. 60–61.
  7. ^ a b Said 1982, hlm. 6.
  8. ^ Biran 2009, hlm. 63.
  9. ^ Setiawati 2012, Sundanese tale.
  10. ^ a b c d Biran 2009, hlm. 66–68.
  11. ^ Pranata 2021, Melihat Produksi.
  12. ^ a b Biran 2009, hlm. 73.
  13. ^ a b van der Heide 2002, hlm. 127.
  14. ^ a b c Biran 2009, hlm. 69.
  15. ^ "Loetoeng Kasaroeng". De Locomotief (dalam bahasa Belanda). Semarang: De Groot, Kolff & Co: 3. 12 Februari 1927. Diakses tanggal 30 November 2022. Deze film komt na zijn tocht door de Preanger den veertienden hier in de Mignon-Bioscoop, waar ze blijft tot den 17den. 
  16. ^ Biran 2009, hlm. 72.
  17. ^ Said 1982, hlm. 16.
  18. ^ "Een Indisch filmspel" [Sebuah film Hindia Belanda]. De Indische Courant (dalam bahasa Belanda): 2. 5 Januari 1927. Diakses tanggal 30 November 2022. De foto's waren onscherp en de geheele film maakte een troebelen en duisteren indruk. De regie was onbeholpen, décors en kleeding poover. Van de talrijke deelnemers en deelneemsters was er niet één, die de aandacht trok door goed spel. 
  19. ^ Filmindonesia.or.id, G. Krugers.
  20. ^ Biran 2009, hlm. 115.
  21. ^ Biran 2009, hlm. 379–381.
  22. ^ Biran 2009, hlm. 45.
  23. ^ Sabarini 2008, National film day.
  24. ^ Kahin 1952, hlm. 445.
  25. ^ Heider 1991, hlm. 14.
  26. ^ Biran 2009, hlm. 351.
Sumber daring
  • "G. Krugers". filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 April 2014. Diakses tanggal 30 November 2022. 
Daftar pustaka
  • Said, Salim (1982). Profil Dunia Film Indonesia (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Grafiti Pers. OCLC 9507803. 

Pranala luar

sunting