Landau Kodah, Sekadau Hilir, Sekadau

desa di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat

Landau Kodah adalah salah satu desa di kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, Indonesia. Jarak Landau Kodah dari pusat kabupaten (kota Sekadau) berjarak sekirar 10 Km ke arah utara, untuk sampai ke Landau Kodah dari kota Sekadau harus menyeberang sungai kapuas dilanjutkan dengan kendaraan darat. Desa Landau Kodah terdiri dari 5 dusun, yaitu dusun Landau Kodah, Kodah Raya, Sopan Plangkan, Seberangok dan Sebakong. Pusat pemerintahan desa Landau Kodah berada di dusun Landau Kodah (biasa dikenal masyarakat setempat SP 1 Landau Kodah).

Landau Kodah
Negara Indonesia
ProvinsiKalimantan Barat
KabupatenSekadau
KecamatanSekadau Hilir
Kode pos
79582
Kode Kemendagri61.09.01.2008
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²

Asal Nama Landau Kodah sunting

Nama Landau Kodah berasal dari dua kata, yaitu "Lanau" (lubuk yang panjang dalam bahasa Dayak Kodah) dan "Kedah" (nama anak sungai Kapuas yang mengaliri kawasan ini). Istilah Landau Kodah menjadi populer ketika kawasan itu menggunakan istilah desa untuk menggantikan istilah ketemenggungan yang telah berabad-abad eksis sebelumnya.

Orang dari Landau Kodah asli (pribumi) sebenarnya lebih mengenal istilah Kedah/Gumah Lanau. Sebutan Kodah adalah aksen penduduk di pantai Kapuas (Senganan/Dayak Muslim), yang selanjutnya diadopsi oleh orang di Kecamatan Sekadau untuk memberikan nama desa Kedah, sehingga menjadi Landau Kodah. Orang asli Landau Kodah menyebut diri "kami orang Kedah" bukan "kami orang Kodah".

Kampung Tertua sunting

Kampung tertua di kawasan itu bernama "Gumah Lanau." Dari kampung ini berkembanglah kampung-kampung berikutnya, seperti Langkau Seng, Ulu Melas, Tabai, Setor, Tunggang (dikenal juga sebagai kampung Seganai/Semajau), Sopan Palangkan, Semabi, Merbau dan lain sebagainya.

Pribumi Landau Kodah sunting

Masyarakat pribumi (proto/asli) Landau Kodah adalah orang-orang Suku Dayak Ketungau Tesaek yang berbahasa dengan aksen sungai Kedah. Aksen ini berbeda dengan Ketungau di Sekadau Hulu, Merbang dan Sungai Ketungau di Kabupaten Sintang. Orang Dayak di Tanah Kedah serumpun dengan orang Iban di Serawak dan Kapuas Hulu, dengan orang Mualang di Belitang, dengan orang Kantuk, Desa, Ketungau dan bangsa Dayak berbahasa Iban di Borneo. Leluhur mereka berasal dari Banua Tampun Juah, yang hijrah ke Temawang Labai Lawai dan selanjutnya menetap di kawasan itu.

Sebagai bagian dari keturunan Orang Tampun Juah, orang Landau Kodah atau Gumah Lanau mengenal tokoh legenda seperti: Keling, Kumang, Pai Gana (Puyang Gana), Bui Nasi dan Na'i Abang lain sebagainya.

Masyarakat yang berasal dari Landau Kodah tua (Gumah Lanau) saat ini menganut Agama Nasrani (mayoritas Katolik), Islam (di kawasan sekitar Sopan Palangkan dan Semabi) dan agama asli (agama dulu).

Sebenarnya kaum tua di Landau Kodah tidak mengenal istilah Dayak, mereka hanya mengenal istilah "Darat" untuk orang Kedah atau berasal dari Tanah Kedah yang masih beragama asli (leluhur/kaharingan) dan Nasrani, serta "Senganan" untuk orang Kedah atau dari Tanah Kedah/keturunan Kedah yang Islam. Istilah Dayak secara politis diakui sebagai identitas generik pada masa 1980 an ke atas. Istilah ini lebih banyak dipakai oleh generasi yang sudah mengenal aksara dan simbol politis. Sehingga generasi tua yang saat ini berumur 75 tahunan ke atas, ketka ditanya siapakah orang Dayak, mereka akan menunjuk orang-orang dari kawasan Nanga Dayak (terletak antara kabupaten Sanggau dan Sekadau), ketika menamai diri mereka, mereka hanya mengetahui "orang Kedah" atau "orang Mualang" untuk tetangga mereka di sungai Mualang, atau orang Benawas untuk kerabat mereka yang berbahasa Benawas, atau "orang Jangkang" untuk kerabat mereka yang berada di kawasan sungai Kedukul dan Jangkang.

Orang Gaib sunting

Orang Kedah mempercayai adanya manusia gaib yang disebut panglima atau orang sakti yang berada di kawasan Gampu' Nibung (dekat Gumah Landau) yang bergelar Singa, yaitu Singa Burung dan Singa Ketuntung. Mereka dianggap sebagai manusia yang hidup pada masa lampau, tetapi tidak meninggal, melainkan raib menjadi manusia gaib. Mereka bisa dipanggil apabila masyarakat dalam kondisi genting, misalnya hendak berperang.

Kayau - Mengayau sunting

Orang Kedah mengenal tradisi kayau-mengayau dan menyimpan kepala (tengkorak hasil kayau). Kepala hasil kayau yang disebut PALA KABAK masih tersimpan sampai hari ini di kampung Gumah Lanau, yang sekarang telah ditempatkan pada sebuah "langkau kas" (pondok tempat penyimpanan barang hasil tani atau lainnya), berjarak sekitar 1 Km dari kampung tersebut, tepatnya di "tembawang tuai" Gumah Lanau. Tradisi, makna dan fungsi kayau hampir serupa seperti masyarakat berbahasa Ibanic lainnya.

Rumah Panjang sunting

Pada masa silam, masyarakat Dayak di Gumah Lanau dan kampung-kampung sekitarnya hidup di Rumah Betang atau Betang Panjang. Namun saat ini penduduk rata-rata hidup di rumah tunggal, sedangkan rumah bentang yang sampai saat ini masih berdiri hanya ditempati oleh beberapa keluarga saja (rumah bentang di kampung Gumah Lanau ini hanya tersisa 3 pintu), dan biasannya difungsikan untuk acara-acara besar dan sebagai tempat berkumpul.

Gelar Politis Pemimpin Masa Lalu dan Gelar Adat sunting

Orang Kedah mengenal raja, yaitu pemimpin yang memerintah kerajaan Sekadau. Setelah raja, mereka memiliki temenggung yang memimpin sebuah kawasan (beberapa kampung), dan disetiap kampung memiliki Tuai Kampung/Kepala Kampung. Di dalam sistem adat dikenal mantri adat, sebagai bagian dari kelompok elit adat (pemangku adat) bersama dengan Temenggung.

Pada masa lalu, mereka adalah masyarakat yang egaliter dan tidak mengenal kasta sosial yang dominan, misalnya kelas bangsawan, merdeka dan budak. Meskipun di Banua Tampun Juah, sebagai negeri leluhur mereka dikenal istilah itu.

Tembawang Tua Orang Kedah sunting

Tembawang adalah kawasan yang pernah dihuni, yang ditandai dengan adanya tanaman buah-buahan, khususnya durian. Kawasan yang dianggap tua terletak di bukit Semabi (sekitar 7 – 8 km dari Gumah Lanau). Di tempat ini ada beberapa pokok durian yang telah berusia ratusan tahun.

Belum diketahui, sejak kapan leluhur orang Kedah menempati kawasan Tanah Kedah. Namun mereka sudah ada sebelum Kerajaan Sekadau eksis. Dan mengingat mereka adalah kelompok yang hijrah dari Banua Tampun Juah yang bersama-sama dengan orang Iban, Mualang, Ketungau, Kantuk, Desa, dan bangsa berbahasa Ibanic lainnya, mereka dipastikan sudah ada di kawasan ini dalam rentang berabad-abad.

Sistem Kepemilikan Kawasan Secara Adat sunting

Sistem kepemilikan kawasan secara adat diakui oleh hukum adat. Orang Kedah mengenal kawasan berburu, kawasan meramu dan kawasan untuk bercocok tanam. Untuk mendapatkan hak individu, orang Kedah harus membuka hutan rimba dan meladanginya. Bekas ladang ini diakui sebagai kawasan yang dimiliki oleh penggarapnya, dan oleh penggarapnya bisa diwariskan. Sistem ini berlaku pada semua klan Dayak yang mengenal sistem agraris ala Borneo di seantaro Borneo, seperti Orang Ngaju, Orang Ot Danum, Orang Kayan, Orang Tunjung, Orang Bidayuh, dan lain sebagainya. Sehingga sistem ini sebenarnya sistem pengakuan kepemilikan tertua yang ada di Borneo dan diakui oleh Pemerintahan Kolonial Belanda melalui pengakuan atas hukum adat Dayak dalam perjanjian Tumbang Anoi 1894.

Landau Kodah Saat Ini sunting

Sejak tahun 1982, program transmigrasi dibuka oleh pemerintahan Orde Baru, yang menggunakan kawasan Hutan Adat orang Tanah Kedah. Kawasan transmigrasi yang bisa dikatakan menjadi bagian dari Tanah Kedah adalah Satuan Pemukiman 1 Landau Kodah dan Satuan Pemukiman II Landau Kodah. Sehingga saat ini, selain Orang Dayak (Dayak Nasrani, Dayak Islam yang menyebut diri Melayu, dan Dayak beragama leluhur) juga terdiri dari orang-orang dari Jawa.

Pada era 1980 an, kawasan Landau Kodah masih berupa hutan belantara. Sejak tahun 1982 an, sebagian kawasan hutan digunakan untuk kawasan transmigrasi, sejak 1996 beberapa kawasan digunakan untuk Hutan Tanaman Industri dan sejak tahun 2000 an, beberapanya digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.

Saat ini tidak ada lagi kawasan hutan rimba di Landau Kodah. Yang tersisa hanyalah kebun karet, kebun durian, kebun tengkawang dan bekas-bekas ladang. Berbagai jenis binatang, burung, dan ikan-ikan juga banyak yang punah. Saat ini, anak-anak Dayak asli dari Tanah Kodah tidak lagi mengenal burung Tingang/Enggang, Ruai dan burung-burung khas lalinnya karena memang sudah punah. Beberapa jenis ikan, seperti jelawat, tapah, toman, sudah mulai langka di perairan. Demikian pula beberapa jenis binatang, seperti orangutan, beruk, rusa, kijang hampir tidak pernah lagi ditemukan.

Pada tahun 2011, masuk sebuah perusahaan sawit ke daerah Landau Kodah yang mengakibatkan kawasan hutan seperti kebun karet dan tengkawang makin tergusur untuk perluasan lahan tanam sawit. Praktis hanya tersisa kebun karet dan tengkawang milik warga setempat yang tidak diserahkan untuk perkebunan sawit, serta beberapa kawasan hutan yang dianngap angker atau keramat oleh warga setempat (seperti "Tinting Nepan" yang merupakan kuburan tua orang kedah).

Pranala luar sunting