Keresidenan Surakarta

wilayah administratif di Hindia Belanda

Karesidenan Surakarta ( bahasa Jawa: ꦏꦫꦺꦱꦶꦝꦺꦤꦤ꧀ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ, translit. Karésidhènan Surakarta, EBI: Keresidenan Surakarta) adalah wilayah Karesidenan (bahasa Belanda: Residentie Soerakarta) di Jawa Tengah pada masa Kolonial Belanda dan beberapa tahun setelahnya. Wilayahnya mencakup daerah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mencakup luas 5.677 Km2.

Peta Surakarta sekitar tahun 1945

Setelah Keresidenan Surakarta ditiadakan pada tanggal 4 Juli 1950, maka dari wilayah tersebut dibentuklah Kota Surakarta dan 6 kabupaten di sekitarnya yang merupakan daerah tingkat II di Indonesia.

Sejarah

sunting

Era Hindia-Belanda

sunting
 
Daftar residen Surakarta 1817-1859, dari buku Naamlijst Van Hoofden Van Gewestelijk Bestuur Op Java En Madura Van 1817 Tot 1859 (Daftar Kepala Pemerintah Daerah Di Jawa Dan Madura Dari 1817 Sampai 1859)

Residen Surakarta merupakan kepanjangan tangan administrasi Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia, khususnya pada masa kolonial. Pada tahun 1885 tercatat berpenduduk 1.053.985 jiwa.[1]

Pascakemerdekaan Indonesia

sunting

Pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, wilayah keresidenan ini menjadi "Daerah Istimewa Surakarta", dengan Gubernur Sri Susuhunan Pakubuwono XII dan Wakil Gubernur Sri Mangkunegoro VIII (bersamaan dengan berdirinya DI Yogyakarta).

Status ini tidak berumur panjang karena terjadi revolusi sosial yang didalangi oleh Tan Malaka untuk menentang berkuasanya kekuatan aristokrasi dan feodalisme di wilayah ini, sehingga setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, Surakarta kehilangan otonominya dan wilayah ini menjadi Karesidenan Surakarta.

Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Surakarta kehilangan hak otonominya. Pada masa perang revolusi, Pakubuwana XII naik takhta hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 September 1945, Sri Sunan Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negeri Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan pusat RI. Pada tanggal 6 September 1945 pemerintah RI memberikan piagam kedudukan kepada Sri Sunan Pakubuwana XII yang ditandatangani oleh Soekarno dan tertanggal 19 Agustus 1945.[2]

Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso tanggal 19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa. Pengakuan tersebut masih diperkuat lagi dengan pemberian pangkat militer kepada Sri Sunan Pakubuwana XII dengan pangkat Letnan Jenderal pada tanggal 1 November 1945.[2]

Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda.

Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Sukarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.

Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.

Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kasunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.

Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.

D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka

sunting

Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, Susuhunan Surakarta (Sunan Pakubuwana XII) serta adipati Mangkunegaran (KGPAA Mangkunegara VIII) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Kasunana dan Mangkunegaran) adalah bagian dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan provinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).[butuh rujukan]

Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Persatuan Perjuangan. Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus kekuasaan Kasunanan dan Mangkunegaran. Pertumbuhan gerakan ini cepat dikarenakan ketidakpuasan rakyat Surakarta terhadap Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani (landreform) oleh gerakan sosialis.

Tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Ndalem susuhunan (Perdana Menteri raja), KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Susuhunan dan Adipati Mangkunegara. Bulan Maret 1946, Pepatih ndalem yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.

Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membekukan DIS dan menghilangkan sementara kekuasaan politik Kasunanan dan Mangkunegaran. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta.

Tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap PM Sutan Syahrir di Surakarta oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis Indonesia. PM Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak. Tanggal 1 Juli 1946, ke 14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14-pimpinan pemberontak.

Presiden Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak. Namun Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (bahasa Belanda koppig).[3]

Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden, setelah Letkol. Soeharto berhasil membujuk mereka untuk menghadap Presiden Soekarno. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. PM Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para pemberontak diampuni oleh Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara.

Keresidenan Surakarta

sunting

Pada 16 Juni 1946, dibentuk Keresidenan Surakarta dan terdiri dari daerah-daerah berikut:[butuh rujukan]

Tanggal 16 Juni ini lalu diperingati setiap tahun sebagai tanggal lahir daerah Surakarta dan Kota Solo.

Pembubaran

sunting


Residen

sunting

Berikut adalah daftar residen yang pernah memerintah Surakarta.

Residen Surakarta Mulai Selesai
Diederik Willem Pinket van Haak 1817 1817
Rijk van Prehn 1817 1819
Huibert Gerard Nahuijs van Burgst 1820 1822
Adriaan Maurits Theodorus, baron de Salis 1822 1823
Hendrik Mac Gillavry 1823 1823
Jan Isaak van Sevenhoven 1824 1825
Hendrik Mac Gillavry 1825 1827
Huibert Gerard Nahuijs van Burgst 1827 1830
Johan Frederik Walraven van Nes 1830 1831
Hendrik Mac Gillavry 1831 1834
Jean Frédéric Theodore Maijor 1834 1843
Christiaan Lodewijk Hartmann 1843 1846
Willem Carel Emile de Geer 1846 1850
Hendrik Frederik Buschkens 1851 1858
Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen 1858 9 Juni 1864
Nicolaas Dirk Lammers van Toorenburg 9 Juni 1864 1 Oktober 1867
Johannes Petrus Zoetelief 1 Oktober 1867 30 April 1869
Joan Hendrik Tobias 30 April 1869 23 November 1871
Adriaan Anton Maximiliaan Nicolaas Keuchenius 23 November 1871 18 November 1875
Nicolaas Dirk Lammers van Toorenburg 18 November 1875 25 Agustus 1877
Carel Alexander Lodewijk Jacob Jeekel 25 Agustus 1877 18 Desember 1881
Peter Adriaan Matthes 18 Desember 1881 2 November 1884
Adrianus Johannes Spaan 2 November 1884 12 Mei 1889
Oscar Arend Burnaby Lautier 12 Mei 1889 15 Agustus 1894
Louis Thomas Hora Siccama 15 Agustus 1894 8 April 1897
Willem de Vogel 8 April 1897 11 April 1905
LT. Schneider 11 April 1905 18 Januari 1909
GF. van Wijk 18 Januari 1909 3 April 1914
FP. Sollewijn Gelpke 3 April 1914 4 Februari 1918
Anton Johan Wouter Harloff 4 Februari 1918 10 April 1922
Jan van der Marel 10 April 1922 19 Maret 1924
Jan Hendrik Nieuwenhuis 19 Maret 1924 30 Mei 1927
Max Buttner van der Jagt 30 Mei 1927 1 Juli 1928
Harmen Thieden Ament 1 Juli 1928 November 1931
Gustaaf Karel Johan Alphonse Oosthout November 1931 1934
1934 sebagai asisten residen di bawah Gubernemen Surakarta


Peninggalan

sunting

Meskipun Keresidenan Surakarta sudah tidak ada lagi, warga dari daerah ini masih dengan bangga menyebut dirinya orang 'Solo' (bentuk alternatif dari Surakarta) meskipun tidak berasal dari Kota Surakarta sendiri. Hal ini dilakukan sebagai identifikasi untuk membedakan diri mereka dari orang Semarang dan Yogyakarta.

Terutama setelah runtuhnya Orde Baru dan terbentuk provinsi Banten serta dicanangkannya Otonomi Daerah, banyak terdengar suara-suara yang sebenarnya masih berbentuk wacana saja untuk pembentukan kembali "Provinsi Surakarta". Apakah ini harus berbentuk provinsi 'biasa' atau Daerah Istimewa seperti di Yogyakarta dengan seorang Raja sebagai Gubernur, tidaklah jelas.

Perkembangan dalam administrasi pemerintahan menghapuskan tingkat Karesidenan, dan kemudian Keresidenan Surakarta, sebagaimana Karesidenan lainnya di Indonesia, menjadi Daerah Pembantu Gubernur Jawa Tengah untuk Wilayah Surakarta, hingga sekarang.

Dalam usaha untuk mengintegrasikan pembangunan wilayah eks-Keresidenan Surakarta, ketujuh kabupaten/kota di wilayah ini membentuk suatu bounded zone yang disebut Subosukawonosraten (merupakan akronim dari nama-nama kabupaten/kota anggotanya).[4]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Surakarta, entri pada Meyers Konversationslexikon. Leipzig & Wien. 1885-1892
  2. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama DIS
  3. ^ Ramadhan K.H. "Soeharto: Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya"
  4. ^ Residen Soerakarta 1920: A.J.W. Harloff

Lihat pula

sunting
Didahului oleh:
Daerah Istimewa Surakarta
Keresidenan Surakarta
16 Juni 1946 - 4 Juli 1950
Diteruskan oleh:
menjadi bagian dari Jawa Tengah