Asmuni (ulama)

Ulama Banjar
(Dialihkan dari KH. Asmuni)

K.H. Asmuni bin H. Masuni (meninggal pada 2 Februari 2024) adalah seorang ulama yang berasal dari Danau Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Bagi para jamaahnya, dia sering disapa "Guru Danau" karena dia memiliki majelis taklim di daerahnya, yaitu Danau Panggang.[1][2]

Infobox orangAsmuni
Biografi
Kelahiran1955 Edit nilai pada Wikidata
Danau Panggang Edit nilai pada Wikidata
Kematian2 Februari 2024 Edit nilai pada Wikidata (68/69 tahun)
Danau Panggang Edit nilai pada Wikidata
Data pribadi
AgamaIslam Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
Pekerjaanulama Edit nilai pada Wikidata

Kelahiran

sunting

Guru Danau dilahirkan pada tahun 50-an di Danau Panggang. Ada yang menulis tahun 1951, tahun 1955, dan adapula yang menulis tahun 1957 sebagai tahun kelahirannya[2]. Sewaktu kecil, dia bernama Zarkasyi. Lalu, namanya berganti menjadi Asmuni oleh seorang Habib yang bernama Habib Salim. Nama Asmuni berarti "berharga", dimana dia hidup di lingkungan keluarga yang sederhana dan taat beragama.[1]

Ayahnya bernama Haji Masuni yang berasal dari daerah Danau Panggang dan ibunya bernama Hajjah Masjubah yang berasal dari suku Dayak Bakumpai di Marabahan yang pindah ke Danau Panggang. Dari garis ibunya, Guru Danau merupakan keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari melalui Datu Tuan Guru Haji Abdussamad. Dari hasil pernikahannya, mereka dikaruniai delapan orang anak, dimana Guru Danau merupakan anak yang ketiga.[1][2]

Pendidikan

sunting

Meskipun orang tuanya bekerja sebagai buruh kapal atau buruh angkut dengan pendapatan yang pas-pasan, karena memiliki kehidupan yang sederhana dan taat beragama, mereka mampu membiayai pendidikan Guru Danau hingga belajar ke daerah Martapura dan Pulau Jawa.[1]

Guru Danau menempuh pendidikan tingkat dasar atau ibtidaiah sampai tahun 1971 dan menengah atau tsanawiyah sampai tahun 1974 di Pesantren Mu’alimin Danau Panggang. Setelah itu, sampai tahun 1977, dia meneruskan studinya di tingkat aliyah/ulya atau atas di Pondok Pesantren Darussalam Martapura. Selama belajar di Pesantren Darussalam, Guru Danau juga belajar dengan sejumlah ulama di wilayah Martapura, diantaranya adalah Tuan Guru Semman Mulya, Tuan Guru Royani dan Tuan Guru Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Sekumpul. Bahkan setelah memilik pengajian dan pesantren sendiri, secara rutin Guru Danau tetap mengikuti pengajian Guru Sekumpul di Martapura baik ketika masih di Keraton (Musala Darul Aman) maupun setelah pindah ke Sekumpul (Musala Ar-Raudhah) sampai sang guru meninggal dunia pada tahun 2005.[2]

Setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam, Guru Danau sempat pulang ke kampung halamannya. Namun pada tahun 1978, atas anjuran Guru Sekumpul, dia berangkat ke Bangil, Pasuruan, Jawa Timur untuk memperoleh bimbingan spiritual (suluk) dan belajar secara khusus kepada Kyai Haji Muhammad Syarwani Abdan, seorang ulama keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang mendirikan Pondok Pesantren Datuk Kalampayan di sana selama beberapa waktu.[2]

Selain ke Bangil, Guru Danau juga berkunjung ke sejumlah wilayah di Pulau Jawa seperti Pasuruan, Jember, Malang, Wonosobo, Purwokerto, Surakarta, dan Yogyakarta untuk memperoleh keberkahan ilmu, amalan dan tarekat tertentu dari beberapa menemui ulama dan habaib yang ada di sana, seperti K.H. Abdul Hamid Pasuruan, Habib Sholeh al-Hamid Jember, Mbah Malik Purwokerto, Kyai Syakur Wonosobo, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih Malang, Habib Anis al-Habsyi Solo, Habib Ahmad Bafaqih Tempel Yogyakarta, dan lain-lain.[2] Bahkan sewaktu Guru Dananu berkunjung ke Wonosobo, dia bersama Habib Lutfi Pekalongan untuk mengambil tarikat Naqsyabandiyah dari tokoh habaib di sana.[1]

Perjalanan Dakwah

sunting

Membuka pengajian di Bitin

sunting

Pada tahun 1980-an, Guru Danau ingin membuka pengajian, sehingga dia meminta izin kepada gurunya, yaitu Guru Sekumpul. Sewaktu Guru Danau meminta izin, Guru Sekumpul berpesan bahwa dalam menjalankan pengajian tidak boleh bapintaan (meminta uang dari masyarakat) dan harus memakai halat (dinding yang membedakan laki-laki dan perempuan). Selain itu, gurunya berpesan agar harus memiliki kemandirian finansial sehingga dapat berkonsentrasi pada mengajar dan berdakwah tanpa mengharapkan imbalan finansial.[2]

Atas izin gurunya, pada tahun 1980, Guru Danau membuka pengajian di rumahnya di sekitar pasar di Desa Bitin, Danau Panggang setiap Sabtu malam. Kemudian, pada tahun 1981, dia kembali mengajar di kampung halamannya sendiri, Danau Panggang setiap Senin Malam, tepatnya di Musala Darul Aman (nama yang sama dengan Langgar Darul Aman tempat Guru Sekumpul mengajar di Keraton, Martapura) yang berada di samping rumahnya. Awalnya, jamaah pengajian di Bitin dan Danau Panggang tidak banyak. Namun seiring dengan berjalannya waktu, jumlahnya semakin meningkat hingga mencapai ribuan orang, sehingga menempati teras dan halaman rumah penduduk sekitar. Bahkan, ada yang duduk berbaris di pinggir-pinggir jalan hingga mencapai beberapa kilometer.[2]

Membangun pondok pesantren

sunting

Selain mengasuh pengajian besar, dia uga mendirikan dan membina beberapa pondok pesantren. Pada tahun 1982, ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Aman di Kecamatan Babirik, Hulu Sungai Utara. Selain itu, dia juga mendirikan dan membina Pondok Pesantren Raudatus Sibyan di Desa Longkong, Kecamatan Danau Panggang dan Pesantren Ar Raudah I di Jaro, Tabalong dan Ar Raudah II di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.[2]

Membuka pengajian di Mabu'un

sunting

Pada sekitar 1998, seiring dengan semakin meluasnya pengaruh dan popularitasnya, Guru Danau kembali membuka pengajian di Mabu'un, Murung Pudak, Kabupaten Tabalong. Menurut cerita, pada awalnya, Mabuun merupakan sarang pelacuran dan perjudian, sehingga dia berusaha melawannya dengan cara menghubungi pihak-pihak berwenang untuk menutupnya. Namun usaha ini tidak berhasil, sehingga dia harus mengubah strategi dengan membuka pengajian di tempat itu. Dengan adanya pengajian tersebut, praktik pelacuran dan perjudian itu tidak mendapat tempat dan berhenti dengan sendirinya dan berubah menjadi tempat pengajian. Bahkan, pengajian di tempat ini merupakan pengajian binaan Guru Danau yang terbesar karena dihadiri oleh puluhan ribu jamaah (kira-kira mencapai 40 ribuan jamaah) karena didukung oleh area yang lebih luas dan lebih baik kondisinya dibanding pengajiannya di Bitin dan Danau Panggang. Selain itu, pengajiannya yang diadakan pada malam Rabu setiap setengah bulan sekali ini membuat para jamaah dari kawasan Amuntai, Paringin, atau Kalimantan Tengah memiliki persiapan yang lebih matang untuk menghadiri pengajian di Mabuun, seperti transportasi dan lain-lain, sehingga terdapat ratusan buah mobil yang parkir di sekitar lokasi saat pengajian berlangsung.[2]

Kitab yang diajarkan

sunting

Adapun materi yang sering dibahas oleh Guru Danau semasa hidupnya meliputi, tauhid, fikih, tasawuf, hadis, tafsir, kisah-kisah dan lainnya, dimana dia memakai-kitab-kitab berbahasa Arab dan Jawi. Kitab-kitab tersebut antara lain Irsyad al-‘Ibad karangan Syekh Zainuddin al-Malibari, Nasha`ih al-‘Ibad, Muraqi al-‘Ubudiyyah dan Tanqih al-Qawl karangan Syekh Nawawi al-Bantani, Risalah al-Mu’awanah dan Nasha`ih al-Diniyyah karya Al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, Tuhfah al-Raghibin karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syarah Sittin karya Syekh Ahmad Ramli, dan lain-lain. Setiap pengajiannya, dia selalu menjelaskan kitab tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami oleh jamaahnya dan diselipkan dengan cerita-cerita lucu, pantun-pantun, dan singkatan-singkatan yang membuat para jamaah tertawa, sehingga para jamaah tidak merasa bosan dalam mempelajari kitab-kitab yang diajarkan.[2]

Berwirausaha

sunting

Meski dia aktif berdakwah melalui pengajian dan pondok pesantren yang dia bina dan bernampilan yang sederhana dalam hidupnya, dia juga aktif dalam berwirausaha, seperti bisnis sarang burung walet yang dia pelajari dari seorang habib di Jawa, dagang emas, membeli tanah sebagai investasi, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan dia tidak mau meminta bantuan dana dari masyarakat, pemerintah, dan partai politik karena khawatir akan menimbulkan rasa tidak ikhlas dan tidak lagi menasihat masyarakat dan penguasa. Terlebih lagi sejak dia masih muda, dia terbiasa bertani, berdagang dan bisnis lainnya. Dari pendapatannya tersebut, dia mampu membiayai semua pembangunan komplek pengajian dan pesantren yang dia bina tanpa bantuan orang lain.[2]

Kematian

sunting

Pada Kamis malam tanggal 1 Februari 2024, Guru Danau mengalami kondisi kritis dan akhirnya menghembuskan napas terakhir di rumahnya pada Jumat sore pukul 16.30 WITA tanggal 21 Rajab 1445 Hijriah atau tanggal 2 Februari 2024. Beberapa jam kemudian, kabar ini tersebar di mana-mana hingga ucapan belasungkawa dari warganet membanjiri beranda media sosial dan banyak jamaah yang datang ke rumah duka.[3][4]

Berbagai rekaman ceramah Guru Danau semasa hidupnya juga mengiringi kabar kematiannya, termasuk video yang berisi pesan terkait Pemilu 2024. Dia mengatakan bahwa tokoh-tokoh yang bertarung di Pemilihan Presiden 2024 adalah temannya, mengingat beberapa tokoh seperti Mahfud MD, Prabowo Subianto, dan Muhaimin Iskandar pernah sowan ke tempatnya. Dia mengatakan bahwa dalam menjalankan rangkaian Pemilu, jangan membuat masalah, jangan berpecah belah, dan ciptakan suasana damai.[3] Sontak, berbagai ucapan belasungkawa juga disampaikan oleh berbagai kalangan, termasuk Presiden Joko Widodo dan para pejabat pemerintahan yang mengirimkan karangan bunga ke rumah duka.[5]

Dia dimakamkan pada hari Sabtu tanggal 3 Februari 2024 pukul 13.30 WITA di Alkah Keluarga di Desa Danau Panggang, tidak jauh dari Masjid Sirajul Ummah Danau Panggang dan rumah duka. Saat proses pemakamannya, banyak jamaah dari berbagai daerah yang mengikuti prosesinya, seperti salat jenazah dan pemakaman.[6]

Saat kematiannya, dia meninggalkan istri yang bernama Hj. Jamilah binti Maskur yang dia nikahi pada tahun 1980, dimana isrinya berasal dari desa Bitin. Dia juga meninggalkan tiga belas orang anak yang terdiri tujuh orang anak laki-laki dan enam orang anak perempuan, di antaranya Wahid, Ladaniah, Musanna, Mufidah, Muktiah, Noor ’Ainah, Noorhasanah, Haudi, Syahli, Mujiburrahman, Mujahidah, Syamsuddin dan M. Naseh.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e Akbar, Muhammad (2 Februari 2024). "Asal Mula KH Asmuni Disebut Guru Danau, Begini Ceritanya". Radar Banjarmasin. Diakses tanggal 3 Februari 2024. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m Tim MUI Kalsel; Tim LP2M UIN Antasari Banjarmasin (2019). Ulama Banjar dari Masa ke Masa (Edisi Revisi). Banjarmasin: Antasari Press. ISBN 9786237665052. 
  3. ^ a b Lianor, Hendra (2 Februari 2024). "Pesan Guru Danau Sebelum Wafat: Pemilu Damai, Jangan Bikin Masalah". Apahabar.com. Diakses tanggal 5 Februari 2024. 
  4. ^ Akabr, Muhammad (2 Februari 2024). "Innalilahi Wainnailaihi Rojiun, Kalsel Berduka, Guru Danau Meninggal Dunia". Radar Banjarmasin. Diakses tanggal 5 Februari 2024. 
  5. ^ Akbar, Muhammad (3 Februari 2024). "Ungkapan Duka Cita, Ada Karangan Bunga Bertuliskan Presiden Joko Widodo di Lokasi Kediaman Guru Danau". Radar Banjarmasin. Diakses tanggal 5 Februari 2024. 
  6. ^ Akbar, Muhammad (3 Februari 2024). "Diiringi Tangisan Para Pelayat, Guru Danau Dimakamkan Usai Shalat Dzuhur, Ini Pesan Penting dari Pihak Keluarga Almarhum". Radar Banjarmasin. Diakses tanggal 5 Februari 2024.