Jonggol sebagai Kandidat Ibukota Indonesia

Wilayah Kawasan Jonggol, Kabubaten Bogor, Jawa Barat pernah dicanangkan sebagai kandidat Ibu kota Indonesia saat era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Jonggol digadang-gadang sebagai pilihan yang paling realistis dan rasional untuk memindahkan ibu kota, karena letaknya hanya 40 kilometer di sebelah tenggara Jakarta.[1]

Jonggol
Kota Mandiri Jonggol (Garudasakti)
Negara Indonesia
Provinsi Jawa Barat
Luas
 • Luas daratan35,000 ha (86,487 acre)
Zona waktuUTC+07:00

Latar Belakang sunting

Usulan pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke lokasi lainnya telah didiskusikan sejak kepresidenan Soekarno untuk membuat pusat politik dan administrasi Indonesia yang baru, karena masalah lingkungan dan overpopulasi Jakarta.

Ada tiga pendapat utama tentang proposal ini:[2]

  • Pindahkan ibu kota resmi, seperti cara Brasil memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia
  • Pisahkan pusat administratif dan Jakarta masih ditetapkan sebagai ibu kota resmi, seperti Malaysia memindahkan pusat pemerintahan federal administratifnya ke Putrajaya
  • Jakarta masih tetap sebagai ibu kota dan pusat administrasi, sebagaimana Tokyo yang tetap menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi Jepang.

Jika Jakarta tetap dipertahankan sebagai ibu kota resmi negara, sementara pusat administrasi dipindahkan ke lokasi lain yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, maka lokasi yang diusulkan antara lain adalah Jonggol, Karawang, Kertajati di wilayah Jawa Barat dan Maja di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.

Pada era Orde Baru, Jonggol dipilih sebagai kandidat Ibukota karena dianggap sebagai pilihan yang paling realistis dan rasional berkat jaraknya yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, yakni hanya 40 km di sebelah tenggara.[1]

Rencana Pengembangan dan Realisasi Awal sunting

Pemindahan ibukota negara ke Jonggol telah dipersiapkan melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) No 1 tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai Kota Mandiri, rencananya 24 desa di Kawasan Jonggol dengan luas 35.000 hektare (wilayah inti) dan 115.000 hektare (wilayah pendukung) seperti Cibubur, Sentul, Babakan Madang, Setu, Cibarusah, Serangbaru, Bojongmangu, Loji, Tegalwaru, Cikalong Kulon dan Ciranjang. Wilayah tersebut dipersiapkan terlebih dahulu sebagai Kota Mandiri yang terkoneksi, mandiri ekonomi, canggih, futuristik dan ramah lingkungan, sebelum ditetapkan sebagai ibu kota. Selain pusat pemerintahan, pusat-pusat bisnis pun akan ikut dipindahkan secara bertahap ke wilayah ini. Bandara Internasional baru dengan dua kali lebih luas dari Bandara Internasional Soekarno Hatta yaitu seluas 3.500 hektare akan berdiri di timur Cibarusah hingga Cariu bagian utara. Kota ini dirancang untuk menampung dua setengah juta jiwa, dengan 30% wilayahnya akan dibuatkan hutan kota.[3]

Menurut Bappenas kala itu, pemindahan ibukota ke Jonggol akan menggabungkan dua konsep, yaitu konsep Canberra dan konsep Putrajaya, yang akan memisahkan antara wilayah pusat pemerintahan, wilayah pusat bisnis, dan wilayah permukiman dengan batas-batasnya ialah hutan kota yang juga akan berfungsi sebagai tadah hujan serta pemasok oksigen. Pemindahan ibukota negara ke Jonggol juga diklaim dapat menyelesaikan berbagai permasalahan, tantangan, dan ancaman yang dihadapi oleh Jakarta. Jonggol dianggap sebagai pilihan lokasi ibukota baru yang paling rasional, karena selain jarak dengan Jakarta dan merupakan daerah yang bebas dari banjir serta ketersedian lahan yang masih besar, Jonggol juga secara letak geografis berada di wilayah yang sangat strategis karena dikelilingi oleh kota-kota yang telah hidup seperti Jakarta, Depok, Bogor di barat; Bekasi, Cikarang, Karawang di utara; Purwakarta, Bandung di timur; dan Cianjur, Puncak, Sukabumi di selatan, sehingga usaha untuk menghidupkan Jonggol sebagai kota yang baru bukanlah perkara yang sulit.[butuh rujukan]

Dari segi pertahanan dan keamanan Jonggol memiliki banyak keunggulan. Pertama, Jonggol dibentengi oleh beberapa pegunungan seperti Pegunungan Jonggol atau Puncak di selatan, Pegunungan Sanggabuana di timur, Pegunungan Hambalang di barat dan Pegunungan Kapur di utara, benteng-benteng alami ini memudahkan TNI-POLRI dalam melaksanakan fungsi pertahanan dan keamanan di wilayah ini. Kedua, kondisi geografis Jonggol yang berbukit-bukit sedikit diklaim akan memudahkan aparat keamanan dalam mencegah dan mengatasi timbulnya berbagai ancaman kerusuhan, kekacauan bahkan pemberontakan, dimana kondisi geografis akan menyulitkan para perusuh, pengacau yang berupaya memantik kerusuhan atau Kekacauan sehingga aparat keamanan yang terlatih serta lebih menguasai medan, akan mudah dalam upaya pencegahan atau mengagalkan serta mengatasi kerusuhan atau kekacauan di wilayah tersebut.[butuh rujukan]

Rencana Akses sunting

Jalan Raya Transyogie yang berawal dari akses keluar Jalan Tol Jagorawi di daerah Cibubur merupakan akses pertama menuju rencana Kota Mandiri Jonggol yang awalnya dibangun sebagai akses menuju Taman Buah Mekarsari. Pada tahun 1997 untuk mempersiapkan Jalan Transyogie menjadi akses utama menuju Jonggol sebagai Ibu Kota baru Indonesia, Pemerintah Pusat berencana menaikan status jalan menjadi Jalan Nasional serta memperlebar jalan ini menjadi 10-12 lajur. Jika terealisasi, maka Jalan Transyogi diklaim akan menjadi jalan paling lebar di Asia Tenggara, namun wacana tersebut tidak terlaksana akibat lengsernya Presiden Soeharto.[4] Selain itu, sempat ada rencana pembangunan jalan tol penghubung antara Jakarta dengan Bandung yang akan bercabang dari Cikarang kemudian berbelok menuju Jonggol, lalu Cianjur (Timur) hingga Padalarang hingga terhubung dengan Tol Padaleunyi. Rencana proyek ini sempat dinamakan Plan Tol Cigolarang (Cikarang, Jonggol, Cianjur, dan Padalarang). Jarak antara Jakarta dengan Bandung dengan trayek tol via Kota Mandiri Jonggol atau Cigolarang diperkirakan akan lebih singkat dari Jalan Tol Jakarta Cikampek dan Jalan Tol Cipularang saat ini. Selain Cigolarang, ada juga rencana jalan tol penghubung dari daerah Citeureup, Cipayung dan Cipanas ke kawasan Kota Mandiri Jonggol yang sekaligus menjadi koneksi baru dari Jalan Tol Jagorawi selain Jalan Transyogi.[butuh rujukan]

Kegagalan sunting

 
Kerusuhan Mei 1998. Peristiwa yang mengakibatkan lengsernya Presiden Soeharto yang menyebabkan kegagalan proyek Kota Mandiri Jonggol.

Kegagalan proyek Kota Mandiri Jonggol disebabkan oleh Krisis finansial Asia 1997 yang mengakibatkan Kerusuhan Mei 1998. Akibat kerusuhan tersebut, Presiden Soeharto terpaksa lengser dari jabatannya dan meninggalkan seluruh rencana besar yang digaungkan selama masa orde baru, termasuk proyek Kota Mandiri Jonggol sebagai Ibu kota Indonesia.[butuh rujukan]

Rencana Realisasi Kembali sunting

Pasca Reformasi, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sempat melirik kembali kawasan Jonggol untuk dijadikan lokasi ibukota negara baru, namun beliau bersikap hati-hati dan terukur dengan meminta para akademisi, teknokrat mengkaji ulang Jonggol terlebih dahulu serta tidak langsung menggulirkan wacana itu ke publik. Sedangkan, Presiden Joko Widodo melalui Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa pemindahan ibukota negara ke Jonggol tidak akan menyelesaikan permasalahan pemerataan, hingga Jonggol yang dianggap sangat kental sebagai legacy (peninggalan) dari Rezim Orde Baru. Sebagai solusi agar potensi Jonggol tidak terabaikan begitu saja, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan akhirnya menawarkan Jonggol kepada BUMN asal China yaitu China Railways Construction (CRC) bersama Sentul City dengan investasi senilai Rp. 22 triliun untuk membangun Kota Mandiri yang futuristik. Terlepas dari berbagai wacana yang digulirkan oleh pemerintah, kondisi Jonggol kini sangat memprihatinkan, seperti infrastruktur yang buruk, penataan kota/guna lahan yang buruk, penguasaan tanah oleh biong-biong (makelar atau calo jual tanah) ilegal, banyaknya kavling tanah ilegal diatas lahan yang telah dimiliki warga atau dikuasai korporasi besar, hingga berbagai persoalan lingkungan [5]. Rencana realisasi kembali Kota Mandiri Jonggol resmi dibatalkan sejak pemerintah resmi akan memindahkan Ibukota ke Nusantara di pulau Kalimantan dengan disahkannya Rancangan Undang Undang Ibu Kota Negara menjadi Undang Undang Ibukota Negara.[6]

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b Tempo Interaktif: Pemindahan Ibukota ke Jonggol Lebih Realistis https://web.archive.org/web/20160808002555/http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2010/07/30/brk,20100730-267685,id.html
  2. ^ "VIVAnews - Pendapat Tujuh Pakar Soal Pemindahan Ibukota". web.archive.org. 2010-08-16. Archived from the original on 2010-08-16. Diakses tanggal 2022-06-04. 
  3. ^ "Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai Kota Mandiri [JDIH BPK RI]". peraturan.bpk.go.id. Diakses tanggal 2023-05-24. 
  4. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-12-15. Diakses tanggal 2022-08-27. 
  5. ^ Suhendra, Zulfi. "Perusahaan China Bangun Kota Mandiri Rp 22 T di Jonggol". detikcom. Diakses tanggal 2022-06-04. 
  6. ^ "RUU Ibu Kota Negara Sah Jadi Undang-Undang". Republika Online. 2022-01-18. Diakses tanggal 2022-08-27.