Cabai

buah dari tumbuhan genus Capsicum yang digunakan sebagai bumbu atau sayur
(Dialihkan dari Cabai merah)

Cabai adalah buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran, rempah, atau bumbu, tergantung bagaimana pemanfaatannya. Buah cabai yang belum matang biasa bewarna hijau atau putih, dan disaat matang buah cabai dapat bewarna merah atau ungu. Buah cabai umumnya berukuran tidak lebih dari 10 cm dan isi buah cabai di dominasi oleh bijinya. Sebenarnya warna, bentuk, dan ukuran cabai bergantung pada varietas cabai itu sendiri.

Cabai
Cabai merah
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Kerajaan: Plantae
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Asterid
Ordo: Solanales
Famili: Solanaceae
Tribus: Capsiceae
Genus: Capsicum

Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas sangat populer di Asia Tenggara sebagai penguat rasa untuk makanan. Bagi seni masakan Padang, cabai bahkan dianggap sebagai "bahan makanan pokok" kesepuluh (alih-alih kesembilan). Sangat sulit bagi masakan Padang dibuat tanpa cabai. Cabai berbeda dengan rempah-rempah lainnya yang bersifat panas atau menghangatkan. Rasa cabai sangatlah kuat, panas, dan menyakitkan, sehingga mengkonsumsinya harus dengan penuh perhatian. Rasa pedas cabai ini disebabkan oleh suatu senyawa aktif yang disebut Capsaicin. Sensasi pedas dan panas inilah yang menyebabkan cabai menjadi bahan bumbu terpenting pada hampir di setiap masakan pedas.

Manfaat cabai

sunting

Cabai merah besar (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran yang memilki nilai ekonomi yang tinggi. Cabai mengandung berbagai macam senyawa yang berguna bagi kesehatan manusia.[1]

Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia karena memiliki harga jual yang tinggi[2] dan memiliki beberapa manfaat kesehatan yang salah satunya adalah zat capsaicin yang berfungsi dalam mengendalikan penyakit kanker. Selain itu, terdapat kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada cabai dapat memenuhi kebutuhan harian setiap orang, tetapi harus dikonsumsi secukupnya untuk menghindari nyeri lambung.

Cara penanaman

sunting
 
Kebun cabai di Bedugul, Bali

Cabai atau lombok termasuk dalam suku terong-terongan (Solanaceae) dan merupakan tanaman yang mudah ditanam pada dataran rendah ataupun dataran tinggi. Tanaman cabai banyak mengandung vitamin A dan vitamin C serta mengandung minyak asiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan panas bila digunakan untuk rempah-rempah (bumbu dapur). Cabai dapat ditanam dengan mudah sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari tanpa harus membelinya di pasar.

Tanaman cabai cocok ditanam pada tanah yang kaya humus, gembur dan sarang, serta tidak tergenang air; pH tanah yang ideal sekitar 5—6. Waktu tanam yang baik untuk lahan kering adalah pada akhir musim hujan (Maret—April). Untuk memperoleh harga cabai yang tinggi, bisa juga dilakukan pada bulan Oktober dan panen pada bulan Desember, walaupun kemungkinan memiliki risiko kegagalan. Tanaman cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari tanaman yang sehat serta bebas dari hama dan penyakit. Buah cabai yang telah diseleksi untuk bibit dijemur hingga kering. Kalau panasnya cukup dalam lima hari telah kering kemudian baru diambil bijinya. Untuk areal satu hektare dibutuhkan sekitar dua sampai tiga kg buah cabai (300—500 gr biji).

Permasalahan produksi

sunting

Salah satu kendala utama dalam sistem produksi cabai di Indonesia adalah dengan adanya serangan lalat buah pada buah cabai. Hama ini sering menyebabkan gagal panen.[3] Laporan Departemen Pertanian Republik Indonesia tahun 2006 menunjukkan bahwa kerusakan pada tanaman cabai di Indonesia akibat hama dapat mencapai 35%. Buah cabai yang terserang sering tampak sehat dan utuh dari luar tetapi bila dilihat di dalamnya membusuk dan mengandung larva lalat. Penyebabnya utamanya adalah lalat buah Bactrocera carambolae. Karena gejala awalnya yang tidak tampak jelas, sementara hama ini sebarannya masih terbatas di Indonesia, lalat buah menjadi hama karantina yang ditakuti sehingga dapat menjadi penghambat ekspor buah-buahan maupun pada produksi cabai.

Selain lalat buah, kutu daun Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) merupakan salah satu hama penting pada budi daya cabai, karena dapat menyebabkan kerusakan hingga 80%. Upaya pengendaliannya dapat menggunakan insektisida nabati ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga.[4]

Upaya penanggulangan hama

sunting

Sebenarnya sudah dilakukan upaya untuk mengendalikan serangan lalat buah ini, di antaranya adalah pembrongsongan yang dapat mencegah serangan lalat buah. Akan tetapi, cara ini tidak praktis dan efektif untuk dilakukan pada tanaman cabai dalam areal yang luas. Sementara penggunaan insektisida selain dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan juga sangat berbahaya bagi konsumen. Oleh karena itu, diperlukan cara pengendalian yang ramah lingkungan dan cocok untuk diterapkan di areal luas seperti di lahan sentral produksi cabai. Upaya pengendalian lalat buah pada tanaman cabai, khususnya cabai merah, adalah penggunaan insektisida sintetik karena dianggap praktis, mudah didapat, dan menunjukkan efek yang cepat. Selain insektisida sintetik, insektisida nabati seperti kacang babi Tephrosia vogelii, jeruk purut Citrus x hystrix, serai wangi Cymbopogon citratus efektif sebagai penolak lalat buah.[5]

 
tanaman cabai

Adiyoga dan Soetiarso (1999) melaporkan 80% petani sayuran menggunakan pestisida untuk mengendalikan penyakit tanaman. Akan tetapi, penggunaan insektisida tersebut sering meninggalkan residu yang berbahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia (Duriat 1996). Di samping harga insektisida sintetik yang mahal, dampak dari adanya residu insektisida sintetik dalam bidang ekonomi adalah penolakan ekspor oleh banyak negara, tujuan ekspor atas produk-produk cabai yang mengandung residu fungisida dan pestisida lain (Caswell & Modjusca 1996). Di antara insektisida yang banyak digunakan dalam pengendalian serangan lalat buah pada cabai adalah Diazinon, Dursban, Supracide, Tamaron dengan konsentrasi 3—5%, dan Agrothion (Pracaya 1991).

Kegunaan

sunting

Cabai adalah buah pokok di Bhutan. Orang Bhutan menyebut tanaman ini ema (dalam Dzongkha) atau solo (dalam Sharchop). Ema datshi seluruhnya terbuat dari cabai yang dicampur dengan keju lokal.

Referensi

sunting
  1. ^ Sayuti A. 2006. Geografi budaya dalam wilayah pembangunan daerah Sumatera Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
  2. ^ Kardinan. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya.
  3. ^ Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
  4. ^ Toksisitas Ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap Myzus persicae pada Tanaman Cabai
  5. ^ Evaluasi Lima Ekstrak Tanaman sebagai Penolak Lalat Buah Bactrocera sp. (Diptera: Tephritidae) pada Cabai Merah.

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting