Wayang Jemblung adalah pertunjukan wayang khas yang berasal dari daerah Banyumas dan Bagelen.[1][2][3] Wayang jemblung menekankan pada aspek lisan (oral) dalam pementasannya.[4] Istilah jemblung merujuk pada bentuk wayang tanpa iringan gamelan.[4] Iringan dan musik pun dibawakan secara oral.[4] Dalam tradisi, wayang jemblung dimainkan untuk acara selametan bayi yang berumur 5 hari.[3] Dalam perkembangannya, wayang jemblung meluas sampai ke daerah Kediri dan Blitar.[5] Wayang jemblung dipentaskan oleh lima orang yang bertindak sebagai dalang sekaligus sebagai wayang, pemusik, dan sindhen.[2] Wayang jemblung menggabungkan gerak (teater) dan tradisi lisan.[4]

Wayang Jemblung berasal dari daerah Banyumas yang terletak di kaki Gunung Slamet

Sejarah Wayang Jemblung sunting

Wayang jemblung merupakan kesenian yang lahir dari daerah Banyumas.[4][2] Menurut sejarah, terdapat tiga versi lahirnya wayang jemblung.[2]

Versi pertama sunting

Dalam masyarakat Banyumas terdapat tradisi slametan untuk bayi yang baru saja lahir.[2][3] Tujuannya adalah menjaga keselamatan ibu dan bayi dari bahaya serangan makhluk halus.[2] Acara yang diadakan semalam suntuk ini disebut Nguyen atau Muyi yang artinya bertemu bayi.[2] Acara ini berisi pembacaan tembang-tembang macapat.[2] Selain itu dibaca juga cerita-cerita babad.[2] Pembacaan cerita ini dibawakan oleh seorang dalang.[2] Sambil bercerita sang dalang juga memeragakan kisah-kisah yang ia baca.[4] Orang-orang mulai menyebutnya gemblung atau gila.[2] Kata gemblung ini perlahan bergeser menjadi jemblung.[2] Maka muncul istilah dalang jemblung.[2] Dalam perkembangannya, wayang jemblung tidak hanya dibawakan oleh satu orang dalang, tetapi 3 sampai 4 dalang dengan satu sindhen.[2] Akan tetapi, yang tidak berubah adalah ciri khas wayang jemblung yang tanpa wayang dan iringan gamelan.[2]

Versi kedua sunting

Versi kedua menceritakan bahwa wayang jemblung muncul pada zaman Amangkurat I di Kerajaan Mataram.[2] Pada zaman itu hidup seorang dalang bernama Ki Lebdojiwo.[2] Tokoh idola Ki Lebdojiwo adalah Umarmadi.[2] Ki Lebdojiwo sering menyebutnya dengan sebutan Jemblung Umarmadi.[2]

 
Kesenian Wayang Jemblung Banyumas

Pada saat pemberontakan Trunajaya terhadap Mataram, Amangkurat I meninggalkan Mataram menuju Batavia.[2] Ki Lebdojiwo yang menjadi salah satu pengikut setia Amangkurat juga mengiringi perjalanan Amangkurat.[2] Di suatu persinggahan orang-orang meminta agar Ki Lebdojiwo membuat pertunjukan wayang.[2] Akan tetapi, karena terburu-buru Ki Lebdojiwo tidak sempat membawa wayang.[2] Maka, Ki Lebdo melakukan pertunjukan wayang tanpa wayang dan iringan.[2] Namun, karena kemahiran Ki Lebdo, pertunjukannya malah menarik para penonton.[2] Setelah itu pertunjukan tanpa wayang dan iringan yang dibawakan oleh Ki Lebdojiwo disebut wayang jemblung, karena tokoh ceritanya adalah Jemblung Umarmadi.[2][4]

Versi ketiga sunting

Versi Ketiga bercerita tentang Raden Kaligenten yang menjadi penguasa di desa Watukumpul, Purbalingga, ingin memperistri putri seorang pendeta.[2] Dalam acara pernikahannya, Raden Kaligenten menghendaki hiburan yang unik dan lain dari biasanya.[2] Maka munculah pembacaan kisah-kisah nabi dengan peragaan yang dilakukan oleh sang pencerita.[2] Pada zaman itu istilah hiburan diberi nama wong gemblung karena membuat orang tampak seperti gila.[2] Istilah itu kemudian bergeser menjadi jemblung.[2] Dalam perkembangannya pula cerita tidak hanya diangkat dari kisah para nabi, tetapi juga mengambil kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana.[2]

Struktur sunting

Wayang Jemblung mempunyai satu struktur cerita yang utuh.[4] Pembawaan cerita selalu didasarkan pada pakem atau tatacara yang berlaku.[4] Artinya, wayang jemblung mengikuti alur cerita yang ada dalam naskah cerita.[4] Tekhnik penceritaan pertunjukan Wayang Jemblung sama dengan tekhnik mendongeng kakek atau nenek kepada cucunya.[4] Bedanya, dongeng kepada cucu hanya didasarkan pada daya ingat pencerita.[4] Sementara penceritaan wayang jemblung selalu mengacu pada teks.[4] Teks yang digunakan adalah teks Babad dan Menak, yang banyak di antaranya sama dengan cerita wayang kulit.[4]

Pengaruh agama Islam cukup terasa dalam pertunjukan wayang Jemblung.[4] Misalnya dalam bagian pembuka wayang Jemblung selalu dibacakan shalawat.[4] Selain itu suluk yang digunakan pun beberapa mengambil syair dari shalawat.[4] Shalawat yang digunakan adalah shalawat Nabi, Badar, dan Nariyah.[4]

Lakon sunting

Penikmat seni Wayang Jemblung banyak berasal dari masyarakat kelas menengah ke bawah.[4] Dalang Jemblung dalam pementasannya menyampaikan nilai moral, etika, sopan santun dan budi luhur yang dikontraskan dengan keburukan, kejahatan dan angkara murka dalam kehidupan.[4] Maka lakon atau konsep cerita disesuaikan dengan nilai-nilai tersebut.[4]

 
Sultan Hadiwijaya membunuh Wiraba akibat salah paham.

Babad Wirasaba sunting

Babad Wirasaba merupakan salah satu lakon yang dimainkan dalam Wayang Jemblung.[4] Babad ini sering disebut sebagai Babad Banyumas, karena mencerminkan kepercayaan yang berkembang di daerah Banyumas.[4] Babad ini memuat beberapa pantangan yang perlu diperhatikan oleh masyarakat.[4] Beberapa pantang tersebut di antaranya: pantang mengambil jodoh di antara keturunan Wirasaba dan keturunan Tojareka, pantang bepergian pada hari Sabtu Pahing, pantang naik kuda berwarna kelabu kemerah-merahan, pantang makan dengan lauk ikan pindang, dan pantang makan dengan lauk timun wulan (sejenis timun di Banyumas).[4] Pantang-pantang tersebut didasarkan pada nasib buruk Wirasaba setelah putus persahabatannya dengan Tojareka.[4]

Babad Wirasaba menceritakan kematian Adipadi Wirasaba akibat salah paham dengan Kerajaan Pajang.[4] Adipati Wirasaba mempunyai seorang putri bernama Ratna Sukaesih yang kemudian dinikahkan dengan Bagus Buang yang adalah putera sahabat Wirasaba, Ki Demang Tojareka.[4] Akan tetapi, pernikahan tersebut gagal akibat Ratna Sukaesih yang merasa tidak cocok dengan Bagus Buang.[4] Setelah kejadian itu, datanglah utusan dari Kerajaan Pajang yang membawa pesan bahwa Sultan Pajang yaitu Sultan Hadiwijaya ingin memperistri Ratna Sukaesih.[4] Mendengar peristiwa ini Tojareka merasa dihina dan melapor kepada Sultan Pajang bahwa Ratna Sukaesih adalah menantunya.[4] Sultan Pajang marah mendengar laporan ini dan mengirim utusan untuk membunuh Wirasaba.[4] Di saat yang sama, Ratna Sukaesih memberitahukan yang sebenarnya terjadi pada Sultan Pajang, yang kemudian mengirim utusan kedua untuk membatalkan niatnya untuk membunuh Wirasaba.[4] Namun, saat utusan kedua datang, utusan pertama mengira bahwa ia diminta untuk segera membunuh Wirasaba.[4] Maka utusan pertama menusuk Wirasaba dengan pedang.[4] Wirasaba akhirnya mati karena kesalahpahaman ini.[4]

Pergeseran bentuk dan fungsi sunting

 
Cerita Diponegoro mulai diangkat dalam Wayang Jemblung

Bentuk sunting

Dalam perkembangannya, kesenian Jemblung meluas sampai ke daerah Blitar.[5] Di Blitar muncul pergesan bentuk Wayang Jemblung dari segi cerita dan iringan.[5] Pengembangan ini dilakukan oleh Kelompok Putra Budaya Kabupaten Blitar yang dimulai sejak tahun 1990-an.[5] Pertunjukan Wayang Jemblung kemudian menggunakan iringan gamelan, seperti kendhang dan kenong yang dikolaborasikan dengan musik terbangan dan organ.[5] Pengembangan ini didasari alasan semakin menurunnya minat masyarakat terhadap Wayang Jemblung.[5] Penyesuaian bentuk ini menuntut penambahan jumlah pemain Wayang Jemblung menjadi sekitar 14 orang, yang terdiri dari pencerita, penabuh gamelan, dan sindhen.[5]Namun, tetap dipertahankan pementasan tanpa wayang.[5] Dari segi cerita yang diangkat, cerita tidak hanya diambil dari Babad atau Menak, tetapi diangkat pula kisah-kisah bernuanasa Islam dan kisah perjuangan.[5] Misalnya kisah-kisah mengenai Sunan Kalijaga, kisah Diponegoro, juga kisah Untung Suropati.[5]

Fungsi sunting

Pada awalnya Wayang Jemblung adalah murni hiburan kesenian rakyat. Akan tetapi, sekarang nilai komersial dan fungsional juga memengaruhi pementasan Wayang Jemblung.[5] Dengan adanya modifikasi dan pengembangan, Wayang Jemblung kemudian dijadikan komoditi untuk menghasilkan uang.[5] Maka pentas dimainkan di acara hajatan dan peringatan-peringatan hari besar dengan tarif tertentu.[5] Selain itu ada pula penyuluhan yang dilakukan lewat seni Jemblung.[5] Misalnya penyuluhan KB dan konvensi minyak gas yang merupakan kerja sama pemerintah dengan seniman Jemblung.[5]

Modifikasi dengan reog sunting

Daerah penyebaran Wayang Jemblung juga sampai ke daerah Ponorogo.[6] Wayang Jemblung di Ponorogo dimodifikasi dengan seni reog.[6] Tujuan utamanya adalah untuk menarik perhatian penonton.[6] Penambahan seni reog dalam Wayang Jemblung tidak mengubah struktur utama Wayang Jemblung.[6] Tari reog dimainkan di tengah-tengah cerita untuk mencegah kebosanan penonton.[6] Dalang Muhammad Yusup adalah satu penggagas modifikasi ini.[6] Ia bekerja sama dengan kelompok reog Kusni Gunapati.[6] Modifikasi di Ponorogo ini berkembang mulai tahun 1990-an.[6]

Rujukan sunting

  1. ^ Koentjaraningrat (1984). Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka. hlm. 221, 227-228, 359. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af Ahmad Yunus,dkk (1995). Kesenian Dalang Jemblung sebagai Sarana Penyebaran Nilai Budaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  3. ^ a b c "Wayang Jemblung". Pusat Data Wayang Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-07. Diakses tanggal 7 Mei 2014. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj Suwardi Endraswara (2011). Metode Pembelajaran Drama. Yogyakarta: CAPS. hlm. 199-213. ISBN 978-602-9324-02-0. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Gita Rizki Permatasari (2013). "Pergeseran Bentuk dan Fungsi Kesenian Wayang Jemblung di Kabupaten Blitar". 2. APRON. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-08. Diakses tanggal 2014-05-07. 
  6. ^ a b c d e f g h Darni (2006). "Modifikasi Seni Jemblung di Ponorogo". Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.