Orang Ryukyu

kelompok etnis
(Dialihkan dari Suku Ryukyu)

Orang Ryukyu atau Lewchewan[5] (琉球民族, Ryūkyū minzoku, Okinawa: Ruuchuu minzuku) adalah penduduk pribumi yang hidup di Kepulauan Ryukyu, yang terletak antara pulau Kyushu dan pulau Taiwan. Orang Ryukyu secara umum terbagi menjadi beberapa subetnis, yaitu Amami, Okinawa, Miyako, Yaeyama, dan Yonaguni.[6] Secara administratif, mereka mendiami Prefektur Okinawa dan Prefektur Kagoshima.

Orang Ryukyu
琉球民族
Daerah dengan populasi signifikan
 Okinawa
Kagoshima (Amami)
Kansai (Osaka)[1], Kanto (Tokyo, Yokohama)[2]
Taiwan
Filipina
Brasil
Peru
California (AS)
Hawaii (AS)
Bahasa
Bahasa-bahasa Ryukyu, Jepang
Agama
Agama Ryukyu, Buddhisme, Shinto, Kekristenan
Kelompok etnik terkait
Orang Yamato, orang Yayoi, Penduduk asli Taiwan, Suku-suku Austronesia[3][4]

Bahasa-bahasa mereka termasuk rumpun bahasa Ryukyu, salah satu dari dua cabang rumpun bahasa Japonik; di mana cabang lainnya adalah bahasa Jepang dan dialek-dialeknya.[6] Populasi penduduk di kepulauan tersebut diperkirakan mencapai 1,4 juta jiwa (2014).[7] Selain itu terdapat pula 300.000 orang keturunan Ryukyu yang bekerja di daratan Jepang,[8] di mana banyak di antaranya merupakan keturunan diaspora Okinawa yang kembali dari Amerika Latin.[8][9]

Sejarah

sunting
 
Lima orang Ryukyu, pada zaman Meiji

Secara genetis, orang-orang pribumi Ryukyu berkerabat dekat dengan orang Ainu, dan kerabat dekat selanjutnya adalah orang Jepang dan Korea.[10] Oranh Ryukyu juga adalah kerabat terdekat kedua setelah orang Ainu dengan orang Jomon, yaitu penduduk zaman prasejarah Jepang. Walaupun demikian, ditemukan pula bahwa sebagian signifikan dari gen maternal mereka berasal penduduk kuno Asia selatan.[11]

Nama Ryukyu pertama kali muncul dalam tulisan sejarah Tiongkok pada tahun 605, yaitu awal Dinasti Sui.[12] Selama berabad-abad kemudian, Tiongkok pada umumnya menyebutkan nama Ryukyu untuk daerah yang meliputi baik Kepulauan Ryukyu maupun Formosa.[12]

Penduduk kepulauan Ryukyu menjalin hubungan yang baik dengan Tiongkok selama Dinasti Ming.[13] Tahun 1392, yaitu pada masa pemerintahan Kaisar Hongwu pendiri Dinasti Ming; 36 keluarga Tionghoa dari Fujian diundang oleh Chūzan seorang penguasa di pulau Okinawa, untuk menetap di pelabuhan Naha dan bekerja menjadi utusan, penerjemah, dan pejabat pemerintah.[13] Di antara pejabat Ryukyu, selanjutnya banyak yang merupakan keturunan imigran Tionghoa tersebut, lahir di Tiongkok, atau memiliki kakek-nenek Tionghoa.[13] Mereka turut berperan serta dalam kemajuan pribumi Ryukyu di bidang teknologi dan hubungan diplomatik.[14][15][16]

Pada 1429, Hashi mendirikan Kerajaan Ryukyu yang berpusat di Pulau Okinawa, dan terus menjalin hubungan baik dengan Tiongkok.[16] Tahun 1609, Kerajaan Ryukyu ditaklukkan oleh Domain Satsuma dari Kyushu, dengan izin dari Keshogunan Tokugawa.[16] Sejak saat itu, kerajaan itu menerima perintah dari para daimyo Satsuma,[16] hingga akhirnya pemerintahan kerajaan dibubarkan secara resmi dan menjadi bagian intergral Jepang sebagai Prefektur Okinawa pada masa Kaisar Meiji.[12] Raja Shō Tai yang terguling dipaksa pindah ke Tokyo dan diangkat menjadi bangsawan tinggi dalam Kekaisaran Jepang.[17]

Budaya

sunting

Orang-orang Ryukyu cenderung menganggap bahwa mereka saling terikat satu sama lain karena pulau tempat tinggal mereka, dan terutama pada generasi tua sering menganggap diri mereka pertama-tama sebagai orang Okinawa, baru kemudian sebagai orang Jepang.[18][19][20]

Masakan Ryukyu memperlihatkan pengaruh Tiongkok dan Jepang yang cukup jelas.[21] Orang Ryukyu menyukai berbagai masakan dari babi, baik daging maupun anggota tubuh lainnya.[21][22] Salah satu hidangan terkenal adalah Rafute, yaitu bahu dan perut babi yang direbus perlahan dengan kecap, gula, dan Awamori (minuman keras lokal).[21] Contoh masakan lainnya adalah Nakami-no-suimono (sup irisan usus dan lambung), Mimikawa-sashimi (selada sunomono dengan telinga babi), dan Ashitebichi (rebusan kikil babi).[21][22] Selain itu babi juga sering dibuat kaldu.[21] Orang Ryukyu tidak memakan ikan sebanyak orang Jepang, namun banyak memakai rumput laut kelp, contohnya Konbu-iirichi yang adalah tumisan rumput laut dan daging babi.[21] Makanan laut khas lainnya adalah Irabu (sejenis ular laut), yang diasapi dan dimasak perlahan hingga setengah hari bersama rumput laut dan kikil babi, dan dimakan sebagai sup.[21][22] Makanan lain yang cukup terkenal bagi turis adalah Champuru, yaitu tumis sayuran belustru, paria, gluten gandum, dan sōmen.[22]

 
Kamekōbaka adalah kuburan keluarga tradisional Ryukyu

Agama asli penduduk Ryukyu bersifat animistik, dan sangat menekankan pada pemujaan leluhur.[23] Seluruh peribadatan dan ritualnya menggunakan bahasa-bahasa setempat, diselenggarakan oleh para pendeta wanita yang disebut Nuuru, serta ada pula shaman wanita Yuta untuk berbicara dengan arwah leluhur.[23] Upacara inisiasi pendeta wanita Izaihoo diadakan 12 tahun sekali setiap tahun kuda, namun tahun 1978 adalah terakhir kalinya upacara ini diadakan karena sudah tidak ada lagi yang paham pelaksanaannya.[23] Pada umumnya praktik keagamaan asli Ryukyu saat ini sudah sangat menurun.[23]

Seni beladiri Karate merupakan suatu beladiri populer yang berasal dari Ryukyu, tepatnya di pulau Okinawa.[24][25] Awalnya Karate berkembang sebagai beladiri rahasia penduduk Okinawa, sebab adanya larangan membawa senjata setelah penaklukan Ryukyu oleh klan Satsuma.[24][25] Beladiri ini pada awalnya berkembang di Shuri, Tomari, dan Naha, sebagai gabungan dari beladiri asli Okinawa ditambah dengan pengaruh beladiri Tiongkok.[24][25] Tokoh-tokoh yang dianggap bapak Karate modern antara lain adalah Higaonna Kanryō dan Ankō Itosu.[24] Pada awal tahun 1900-an, kedua guru beladiri tersebut mulai menerima murid secara terbuka dan mengajarkan Karate di sekolah-sekolah umum.[24][25]

Daftar tokoh

sunting

Berikut ini adalah tokoh-tokoh keturunan orang Ryukyu:

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Okinawa culture thrives in Osaka 100 yrs after exodus, Yomiuri. Akses: 26 Oktober 2023.
  2. ^ Little Okinawa tucked away in Yokohama, Japan Today. Akses: 26 Oktober 2023.
  3. ^ An Austronesian Presence in Southern Japan: Early Occupation in the Yaeyama Islands Diarsipkan 2011-02-20 di Wayback Machine., Glenn R. Summerhayes and Atholl Anderson, Department of Anthropology, Otago University, diakses 22 November 2009
  4. ^ Seafirm, Leon A. (2009). "Linguistically, What is Ryukyuan – Synchronic and diaschronic perspectives" Diarsipkan 2011-12-13 di Wayback Machine. (pre-symposium draft, 2009); diakses 22 November 2009
  5. ^ Lewchew and the Lewchewans: Being a narrative of a visit to Lewchew or Loo Choo, in October, 1850. London, 1853. Tentang Kepulauan Ryukyu. (Juga ditemukan di sini) oleh George Smith.
  6. ^ a b Patrick Heinrich (2012), The Making of Monolingual Japan: Language Ideology and Japanese Modernity, 146, Multilingual Matters, hlm. 85, ISBN 1-84769-656-2, 9781847696564 
  7. ^ Chika Motomura (2014-03-24). "Regional Report: Okinawa Japan (GAIN Report Number: JA4701)" (PDF). Global Agricultural Information Network. USDA Foreign Agricultural Service. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 2015-11-09. 
  8. ^ a b Michael Hoffman. "Okinawa: a long history of hardship". The Japan Times. Diakses tanggal 2015-11-09. 
  9. ^ Yoshitaka Terada, National Museum of Ethnology. Direview oleh Junko Oba. "Reviewed Work: Drumming Out a Message: Eisa and Okinawan Diaspora in Japan No. 1 (Winter, 2007)". JSTOR. 51: 173–175. 
  10. ^ Luigi Luca Cavalli-Sforza, Paolo Menozzi, Alberto Piazza (1994). The History and Geography of Human Genes. Princeton University Press. hlm. 232. ISBN 0-691-08750-4, 9780691087504. 
  11. ^ Ann Kumar (2008). Globalizing the Prehistory of Japan: Language, Genes and Civilisation. Routledge. hlm. 101-102. ISBN 1-135-78472-8, 9781135784720. 
  12. ^ a b c George H. Kerr (1953). Ryukyu Kingdom and Province Before 1945. National Academies. hlm. 12-14. 
  13. ^ a b c Shih-shan Henry Tsai (1996). The eunuchs in the Ming dynasty. SUNY Press. hlm. 145. ISBN 0-7914-2687-4. Diakses tanggal 2011-02-04. 
  14. ^ Angela Schottenhammer (2007). The East Asian maritime world 1400-1800: its fabrics of power and dynamics of exchanges. Otto Harrassowitz Verlag. hlm. xiii. ISBN 3-447-05474-3. Diakses tanggal 2011-02-04. 
  15. ^ Gang Deng (1999). Maritime sector, institutions, and sea power of premodern China. Greenwood Publishing Group. hlm. 125. ISBN 0-313-30712-1. Diakses tanggal 2011-02-04. 
  16. ^ a b c d Katrien Hendrickx (2007). The Origins of Banana-fibre Cloth in the Ryukyus, Japan. Leuven University Press. hlm. 37–46. ISBN 90-5867-614-5. Diakses tanggal 2011-01-11. 
  17. ^ Papinot, Jacques. (2003). Nobiliare du Japon -- Sho, p. 56 (PDF@60); lihat pula: Papinot, Jacques Edmond Joseph. (1906). Dictionnaire d’histoire et de géographie du Japon.
  18. ^ Smits, Gregory. Visions of Ryukyu. University of Hawai'i Press. 1999. Pp 1–3.
  19. ^ Kerr, George. Okinawa: History of an Island People. Charles Tuttle Co. 1959. Pp 454–471.
  20. ^ Glacken, Clarence. "The Great Loochoo: A Study of Okinawan Village Life". University of California Press. 1955. Pp 299–302.
  21. ^ a b c d e f g Alan Davidson (2014). The Oxford Companion to Food (edisi ke-3). OUP Oxford. hlm. 568. ISBN 0-19-104072-X, 9780191040726. 
  22. ^ a b c d Jan Dodd, Simon Richmond (2011). The Rough Guide to Japan (edisi ke-5). Penguin. ISBN 1-4053-8926-5, 9781405389266. 
  23. ^ a b c d Patrick Heinrich, Shinsho Miyara, Michinori Shimoji (2015). Handbook of the Ryukyuan Languages: History, Structure, and Use. 11. Walter de Gruyter GmbH & Co KG. hlm. 624. ISBN 1-61451-115-2, 9781614511151. 
  24. ^ a b c d e Seikichi Toguchi (1976). Okinawan Goju-ryu: The Fundamentals of Shorei-kan Karate (edisi ke-berilustrasi). Black Belt Communications. hlm. 9–14. ISBN 0-89750-018-0, 9780897500180. 
  25. ^ a b c d Jim Ollhoff (2010). Karate: The World of Martial Arts. ABDO Publishing Company. hlm. 6–8. ISBN 1-61784-342-3, 9781617843426. 

Bacaan lanjutan

sunting
  • Kreiner, J. (1996). Sources of Ryūkyūan history and culture in European collections. Monographien aus dem Deutschen Institut für Japanstudien der Philipp-Franz-von-Siebold-Stiftung, Bd. 13. München: Iudicium. ISBN 3-89129-493-X
  • Ota, Masahide. (2000). Essays on Okinawa Problems. Yui Shuppan Co.: Gushikawa City, Okinawa, Japan. ISBN 4-946539-10-7 C0036.
An excellent collection of essays by a peace activist and former governor of Okinawa. Among the issues it discusses are those affecting the development of Ryukyuan identity.
  • Ouwehand, C. (1985). Hateruma: socio-religious aspects of a South-Ryukyuan island culture. Leiden: E.J. Brill. ISBN 90-04-07710-3
  • Pacific Science Congress, and Allan H. Smith. (1964). Ryukyuan culture and society: a survey. Honolulu: University of Hawaii Press.
  • Sakiyama, R. (1995). Ryukyuan dance = Ryūkyū buyō. Naha City: Okinawa Dept. of Commerce, Industry & Labor, Tourism & Cultural Affairs Bureau.
  • Yamazato, Marie. (1995). Ryukyuan cuisine. Naha City, Okinawa Prefecture: Okinawa Tourism & Cultural Affairs Bureau Cultural Promotion Division.

Pranala luar

sunting