Suku Citak

suku bangsa di Indonesia
(Dialihkan dari Suku Kau)

Suku Citak (Kau atau Kaunak;[2] disebut juga sebagai Cicak yang merupakan sebutan eksonim dari suku Awyu untuk suku ini) adalah kelompok etnis yang mendiami Papua Selatan, Indonesia. Mereka menggunakan bahasa Citak atau Kau Adagum sebagai bahasa komunikasi antar masyarakat suku ini. Berdasarkan dialeknya, bahasa ini dibagi menjadi dialek Tamnim, Diuwe, dan Citak.

Citak
Kau, Kaunak
Jumlah populasi
8.000[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Papua Selatan (Indonesia)
Bahasa
Citak, Indonesia
Agama
Kekristenan (terutama Katolik), Animisme
Kelompok etnik terkait
Asmat • Awyu • Sawi

Sejarah

sunting

Pada awalnya, suku Citak berkehidupan semi-nomaden, dan tinggal di kampung-kampung kecil yang tersebar disekitar Sungai Brazza. Setelah adanya paksaan dari pemerintahan Hindia Belanda mereka mulai hidup permanen di kampung-kampung yang lebih besar, hal ini dimaksudkan agar pemerintah Hindia Belanda lebih mudah untuk mengontrol mereka.[3]

Suku Citak menggunakan sistem kekerabatan matrilineal dengan adat menetap menikah matrilokal. Selain itu masyarakat suku Citak juga tidak mengenal sistem klan. Walaupun kemudian perlahan berubah disaat masuknya misionaris Kristen.[3]

Penyebaran

sunting

Masyarakat suku Citak mendiami hulu Sungai Brazza dan dibatasi di sebelah timur oleh hulu Sungai Digul, sedangkan di sebelah barat dibatasi oleh Sungai Pulau dan Sungai Wildeman.[2] Disebelah baratnya berdiam suku Asmat, sebelah selatannya adalah suku Awyu atau disebut juga suku Mitak. Bahasa mereka memiliki persamaan dengan bahasa Asmat, sehingga sebagian ahli bahasa cenderung menggolongkan mereka sebagai salah satu sub-suku berbahasa Asmat.[3]

Desa-desa mereka adalah Daikut, Samnak, Sipanap,[1] Senggo, Kunasuma, Basman, Tiau, Amazu, Binerbis, Bidneu (Bidnew), Vamu (Vomu, Fomu), Ipem, Binam, Vakam, Bi-namzein (Mbinamzain), Womin, Sagamu, Buruba, Abau, Komasma (Kumasma), Vou, Imembi, Patipi, Piramanak, Burbis, Binam, Sagis, Emenepe, Tokemau, Dja-wok, dan Asserep.[2][4] Secara administratif, wilayah yang didiami suku ini termasuk kedalam wilayah kecamatan Citak Mitak (Kampung Senggo), Kabupaten Mappi, Papua Selatan, Indonesia. Jumlah populasi suku ini sekitar 8.000 jiwa.[1]

Masyarakat

sunting

Makanan pokok masyarakat Citak adalah sagu yang dilengkapi dengan ikan dan daging. Sagu dan ikan merupakan hasil dari kaum perempuan sedangkan daging merupakan hasil buruan kaum laki-laki. Kaum laki-laki berburu menggunakan perahu berukuran panjang 4 meter, lebih kecil dari perahu untuk keluarga yang memiliki panjang 10 meter.[3]

Budaya

sunting

Peninggalan dari suku Citak yang berada di Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat disimpan di dalam koleksi Yupmakcain. Menurut direktur museum tersebut, Eric Sarkol, nama tersebut diberikan oleh pendahulunya Yufentius Biakai. Menurut Biakai, nama Yupmakcain merupakan nama emik dari daerah utara Binam dan Mbinamzain. Beberapa contoh cabang seni suku ini berupa seni drama dan seni rupa yang merupakan bagian dari upacara adat. Mirip dengan suku Asmat, beberapa seni ukiran berupa pahatan perisai dengan pilihan warna yang mirip dengan gaya seni barat-daya lainnya seperti suku Asmat dan Awyu.[3]

Tradisi

sunting

Agu Ibit

sunting

Menurut Pido seorang zauwaibit (pemimpin perang) yang berasal dari Senggo Lama, awalnya suku ini tinggal di rumah pohon tetapi kemudian berubah karena berbahaya bagi anak kecil yang mudah jatuh. Legenda leluhur suku ini adalah Agu Ibit yang dinarasikan Pido kepada Josef Haas tahun 1981 (yang diterjemahkan berdasarkan rekaman oleh Alexander de Antoni, Stefanus Supprobo, dan Cornelis di Senggo, 2007):

Agu Ibit melangkah keluar dari air ke darat. Setelah semalaman di sungai, dia kemudian duduk diatas pohon ki, kemudian dia juga telah duduk diatas pohon tinak. Setelah buang air besar ia kemudian buang air kecil di pagi hari. Ia kemudian melompat dari pohon ke pohon, lalu di atas pohon ia menghadap ke barat. Kemudian kamu memakai ikat pinggang dari kerang dan kalung dari gigi anjing. Dia kemudian bangun dengan kaki yang kaku dan membuka tangan di atas pohon ki. "Oh pohon ki berikanlah cuaca yang baik, sehingga lengan tangan bisa bergerak bebas", dengan suara yang ceria, "Saya sedang mencari sesuatu untuk dimakan, Hujan jangan turun, saya mau berburu tikus besar, kasuari, dan ikan di sungai. Jika ada perempuan disana, saya ingin memukul sagu." Fo....fo.... Kemudian perempuan lain berkata, "Saya tinggal di siang ini untuk menyusui bayi." Siang ini sangat terik, ingin pergi jauh. Agu Ibit memberi cuaca yang baik. Di atas pohon ki, di atas pohon kuru, di atas pohon badam, di atas pohon utua, pohon kayu, pohon pambam, daun tinak, daun pohon, pohon sagu. Daun pohon sagu, tatapan matamu bercahaya. Agu Ibit, Agu Ibit, Tanambitda (matahari laki-kaki nama lain Agu Ibit), Tanambitda, matamu bercahaya sepanjang hari. Sekarang kamu akan pergi berangkat dari timur ke barat, hingga menghilang.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Hidayah, Dr Zulyani (2015-01-01). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 9789794619292. 
  2. ^ a b c d Antoni, Alexander de (2010). ""Call Us Kau, Not Citak." Constitutive Factors for the Ethnic Consciousness of an Asmat Subgroup". Anthropos. Nomos Verlag. 105 (2): 411–422. doi:10.5771/0257-9774-2010-2-411. ISSN 0257-9774. 
  3. ^ a b c d e Melalatoa, M.J. (1995). Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia: A-K. Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. hlm. 212. Diakses tanggal 2022-10-25. 
  4. ^ "Peta Bahasa Kemendikbud, Bahasa Papua, Bahasa Citak". petabahasa.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2022-11-07.