Stanley Hauerwas (lahir 24 Juli 1940)[1] adalah seorang teolog Metodis dan merupakan seorang pasifis dan komunitarian.[1] Saat ini mengajar sebagai Profesor Etika dan Teologi di Duke Divinity School.[1] Ia mendapatkan gelar doktornya dari Yale University dan University of Edinburgh.[1] Hauerwas menggunakan pendekatan pasca-liberal dalam pemikiran-pemikirannya. Pemikirannya yang utama adalah gereja menjadi dirinya sendiri, yaitu komunitas karakter yang eksemplaris.[2]

Stanley Hauerwas
Lahir24 Juli 1940
Dallas, Texas
KebangsaanAmerika Serikat
AlmamaterSouthwestern University  • Yale University
Dikenal atasKomunitarianisme  • Komunitas Karakter
Karier ilmiah
BidangTeologi  • Etika
InstitusiAugustana College  • Duke Divinity School  • University of Notre Dame

Riwayat Hidup sunting

Stanley Hauerwas dibesarkan di Pleasant Grove, Texas, dalam sebuah keluarga kelas pekerja.[1] Ayahnya adalah seorang tukang batu, dan ia juga mempelajari kerajinan pemasangan batu bata di bawah bimbingan ayahnya.[1] Pengalaman itu membentuk kehidupannya, sehingga kemudian ia sendiri sering membandingkan keahlian dan kerja keras yang dibutuhkan dalam pemasangan batu bata dengan pendekatan pada karya teologisnya dan tantangan untuk hidup sebagai orang Kristen secara penuh.[1] Setelah meninggalkan Pleasant Grove, Hauerwas melanjutkan pendidikan ke Southwestern University, sebuah perguruan tinggi liberal yang berafiliasi dengan United Methodist Church, dan menerima gelar Bachelor of Art (BA) ada pada tahun 1962.[1] Ia kemudian melanjutkan pendidikannya dan mendapatkan gelar Master of Art (MA), Master of Philosophy (M.Phil) dan Doctor of Philosophy (Ph.D) dari Yale University.[1] Hauerwas juga menerima gelar Doktor Kehormatan dari University of Edinburgh.[1]

Setelah lulus dari Yale University, Hauerwas mengajar di Augustana College di Rock Island, Illinois, sebelum kemudian mengajar di University of Notre Dame pada tahun 1970.[1] Pada tahun 1983, ia menjadi staf pengajar di Duke Divinity School pada bidang etika teologis.[1] Pemikiran teologi Hauerwas dipengaruhi oleh pemikir-pemikir besar seperti Thomas Aquinas, Søren Kierkegaard, Karl Barth, Ludwig Wittgenstein, John Howard Yoder, dan Alasdair MacIntyre.[1]

Pemikiran sunting

Dalam pemikiran teologisnya, Hauerwas sangat menekankan narasi yang membentuk komunitas, karakter dan soliditas kebenaran Kristen yang dapat membuat perbedaan dalam dunia.[3] Ia tidak setuju dengan Reinhold Niebuhr yang menganjurkan gereja untuk terjun ke dunia politik.[3] Ia lebih menekankan agar gereja menjadi dirinya sendiri, menjadi gereja yang tidak perlu tercampur dengan dunia dan kekuasaannya.[3] Karena itu kekristenan perlu menguatkan atau memadatkan karakternya sebagai gereja atau kekristenan di tengah dunia.

Karakter dan Ketahanan Diri sunting

Menurut Hauerwas, tugas sosial gereja adalah menjadi gereja yang memiliki karakter yang kuat dan padat agar dapat konsisten dan bertahan.[3] Lebih lanjut ia mengatakan bahwa yang dapat menguatkan karakter kekristenan adalah narasi, yakni narasi yang membentuk komunitas sehinga memiliki karakter yang kuat.[3] Karakter kuat yang diacu Hauerwas adalah karakter gereja mula-mula, tidak terjun, berbaur dan bercampur dengan dunia, melainkan mejadi dirinya sendiri sehingga dapat menjadi terang bagi sekelilingnya.[3]

Gereja sebagai Penempa/Pembakaran Jiwa sunting

Hauerwas mengidentifikasi narasi dalam tiap komunitas yang dia maksud ini dengan "x". Setiap komunitas pasti memiliki "x" yang dapat membangun karakter komunitasnya.[3] Misalnya, dalam kaomunitas Lutheran, "x" itu adalah Injil dan dalam Katolik "x" tersebut adalah rahmat atau anugerah.[3] Hauerwas lebih tertarik menggunakan istilah narasi sebagai penunjuk "x" ini.[3] Narasi yang membangun karakter komunitas yang dikemukakannya di sini adalah narasi Kristus.[3] Sepanjang kehidupan kekristenan, narasi-narasi terus diceritakan secara turun-temurun di dalam geraja, yang menjadi tempat untuk menampa jiwa-jiwa manusia sesuai dengan narasi-narasi yang membentuk karakter komunitas itu menjadi kuat dan padat di tengah dunia.[3]

Oleh karena itu, gereja tidak perlu mengurusi urusan dunia dan politik serta berbicara soal moral sosial.[3] Biarlah gereja menjadi dirinya sendiri dan menguatkan karakternya sehingga menjadi terang bagi dunia.[3] Melalui gereja, Allah mentransformasi kehidupan pribadi manusia, bukan sistem politik atau sosial.[3] Di sini terlihat bahwa Hauerwas mengusung komunitarianisme dan menganjurkan gereja untuk menjadi komunitas karakter yang menjadi teladan bagi dunia.[2]

Melawan Konstantinianisme sunting

Hauerwas juga mengemukakan penolakannya terhadap "Konstantinianisme", yang digambarkannya sebagai berkurangnya konflik dan ketegangan antara gereja dan kekuasaan duniawai atau negara.[3] Di saat negara mengalami kekacauan, ia membutuhkan gereja untuk meredakan kekacauan ini.[3] Ini yang terjadi pada masa pemerintahan Kaisar Konstantinus, yang menjadikan agama Kristen sebagai agama negara untuk mendukung kepentingan politiknya.[4] Hauerwas membandingkan dengan konteks Amerika Serikat, di mana gereja menjadi pemuas kebutuhan negara.[3] Akhirnya gereja melebur dan menyatu dengan negara sehingga menjadi tidak kelihatan, tidak berbobot, dan kehilangan karakternya.[3] Gereja tidak lagi menjadi gereja dengan karakter kuat dan padat yang terpisah dari negara untuk memancarkan terangnya.[3] Inilah yang ditolak Hauerwas.[3] Karena itu, ia menekankan bahwa gereja harus menjadi dirinya sendiri dengan karakter kuat dan padat yang dibentuk oleh narasi-narasi untuk memancarkan terang kepada dunia.[3]

Sepuluh Tesis Pembaruan Etika Sosial Kristen sunting

Tesis-tesis ini dimaksudkan sebagai tantangan pada cara Protestan arus utama dan Katolik di Amerika Serikat memahami dan melakukan etika sosial pada 1970-an.[5] Tesis utama adalah bahwa komunitas Kristen dibentuk oleh keyakinan bahwa narasi Kristus adalah merupakan nilai yang benar dari keberadaan orang Kristen, dan dengan demikian tugas utama gereja Kristus adalah menjadi saksi dalam kehidupan sosial.[5] Hal ini yang kemudian dikenal dengan pernyataan Hauerwas bahwa gereja tidak memiliki etika sosial, gereja adalah etika sosial.[5]

  1. Makna sosial dari Injil mensyaratkan pengakuan atas struktur naratif dari keyakinan Kristen bagi kehidupan gereja.[5]
  2. Setiap etika sosial melibatkan narasi, apakah itu berkaitan dengan perumusan prinsip-prinsip dasar organisasi sosial atau dengan kebijakan alternatif yang konkret.[5]
  3. Kemampuan untuk menyediakan nilai yang memadai dari keberadaan kita adalah ujian utama dari kebenaran etika sosial.[5]
  4. Komunitas yang dibentuk oleh narasi yang jujur harus mampu mengubah nasib menjadi takdir sehingga yang tak terduga dapat disambut sebagai anugerah.[5]
  5. Tugas sosial yang utama dari gereja adalah menjadi dirinya sendiri - yakni orang-orang yang telah dibentuk oleh narasi yang memampukan mereka untuk mengatasi bahaya eksistensi, dan percaya akan janji penebusan Allah.[5]
  6. Etika sosial Kristen hanya dapat dilaksanakan dari perspektif orang-orang yang tidak mencari kontrol atas sejarah nasional atau dunia, melainkan mereka yang hidup "keluar dari kontrol".[5]
  7. Etika sosial Kristen bergantung pada perkembangan kepemimpinan dalam gereja yang percaya dan bergantung pada keberagaman karunia dalam komunitas.[5]
  8. Gereja yang menjadi (bukan memiliki) etika sosial berarti harus menangkap kembali makna sosial dari perilaku bersama, seperti kebaikan, persahabatan, dan pembentukan keluarga.[5]
  9. Dalam usaha untuk mengontrol masyarakat, orang Kristen di Amerika terlalu mudah menerima liberalisme sebagai strategi sosial yang sesuai dengan cerita Kristen.[5]
  10. Gereja tidak ada untuk memberikan etos untuk demokrasi atau bentuk lain dari organisasi sosial, tetapi menjadi alternatif politik dan bersaksi demi kehidupan sosial mereka yang telah dibentuk oleh kisah Kristus.[5]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m (Inggris) Stanley Hauerwas. 2010. Hannah's Child: A Theologian's Memoir. Grand Rapids, MI: Wm. B Eerdmans Publishing Co.
  2. ^ a b (Inggris) Stanley Haurwes. 1981. A Community of Character: Toward a Constructive Christian Social Ethic. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u (Inggris) R.R. Reno. "Stanley Hauerwas". dalam Peter Scott dan William T. Cavanaugh (eds.). 2004. The Blackwell Companion to Political Theology. Oxford, UK: Blackwell Publishing. hlm. 302-16.
  4. ^ (Inggris) Diarmaid MacCulloch. 2009. A History of Christianity: The First Three Thousand Years. London: Penguin Books.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m (Inggris) John Berkman dan Michael Cartwright (ed.). 2001. The Hauerwas Reader. Durham dan London: Duke University Press. hlm. 111-5.

Pranala luar sunting