Nama-nama Tiongkok
Bagian dari seri mengenai |
Nama-nama Tiongkok |
---|
Penamaan Tiongkok (Hanzi tradisional: 中國; Hanzi sederhana: 中国; Pe̍h-ōe-jī: Tiong-kok) atau alternatifnya Cina, adalah kontroversi pilihan penggunaan istilah ini secara resmi dan benar politis (bahasa Inggris: Politically Correct) dan ditinjau dari sejarah, dan etimologi asal muasalnya di dunia.
Nama Sinitik
suntingPada zaman modern ini, istilah Zhongguo/Zhōngguó (baca: Cong1 Kuo2) dalam bahasa Mandarin digunakan untuk merujuk kepada seluruh daratan Tiongkok/中國本部 (termasuk Taiwan), Manchuria, Mongolia Dalam, Xinjiang, Tibet. Sebagai lawannya, Han merujuk pada kelompok etnis Han, yang sebagian besar terkonsentrasi di pusat daratan Tiongkok (中國本部), Manchuria, dan sedikit saja di ketiga bagian lainnya. Tidak ada istilah khusus yang merujuk pada tempat yang didiami oleh orang Han ini dalam bahasa Tionghoa
Zhonghua/Zhōnghuá (baca: Cong1 Hua2) adalah istilah literatur yang digunakan secara sinonim dengan Zhongguo; istilah ini hanya muncul pada nama-nama resmi Zhōnghuá Rénmín Gònghéguó dan Zhōnghuá Mínguó. Istilah Tang digunakan secara sinonim dengan Han di bagian selatan.
Zhongguo dan Zhonghua
sunting"Zhongguo" adalah nama endonim yang digunakan oleh bangsa Tiongkok untuk menyebut negara mereka sendiri. Nama modern "Zhongguo" pertama kali digunakan dalam Kitab Hikayat (Abad 6 SM), dan digunakan untuk menamakan salah satu negara pada Dinasti Zhou yang telah silam, yaitu negara "Zhong" (中國 atau 中国, Zhongguo). Karakter zhōng (中) berarti "tengah" atau "pusat", sementara guó (国 atau 國) berarti "kerajaan" atau "negara". Dalam penggunaan umum bahasa Inggris, para ekspatriat menerjemahkannya sebagai "Kerajaan Tengah", tapi kadang-kadang juga diterjemahkan sebagai "Kerajaan Pusat".[1]. Penamaan ini terkait dengan artinya dimana mereka percaya bahwa mereka adalah "pusat dari peradaban",[2] sementara orang-orang lainnya dalam empat daerah yang berbeda dinamakan Yi Timur, Man Selatan, Rong Barat dan Di Timur sesuai daerahnya. Namun ada beberapa catatan lain yang menyatakan bahwa "Zhongguo" aslinya ditujukan untuk ibu kota dari kerajaan, sebagai pembeda dari kota-kota lainnya yang "dilindungi" oleh kerajaan [3] Penggunaan "Zhongguo" juga merupakan pengesahan secara politik dimana "Zhongguo" sering digunakan oleh negara-negara bagian yang melihat dirinya sebagai penerus sah satu-satunya dari dinasti sebelumnya; sebagai contoh dalam era Dinasi Song Barat, baik Dinasti Jin dan Dinasi Song Barat mengaku sebagai "Zhongguo".[4]
"Zhōngguó" dalam berbagai bahasa:
- Indonesia: Tiongkok
- Jepang: Chūgoku (中国; ちゅうごく)
- Korea: Jungguk, Chungguk (중국; 中國)
- Vietnam: Trung Quốc
- Manchu: Dulimbai gurun
- Mongol: Dumdadu ulus (Думдад улс)
- Tibet: Krung-go (ཀྲུང་གོ་)
- Uighur: Junggo (جۇڭگو)
- Zhuang: Cunghgoz (karakter yang lebih tua: Cungƅgoƨ)
"Zhōnghuá" dalam berbagai bahasa:
- Indonesia: Tionghoa/Tionghua
- Jepang: Chūka (中華; ちゅうか)
- Korea: Junghwa, Chunghwa (중화; 中華)
- Vietnam: Trung Hoa
Tang
suntingNama Tang/Táng (唐, baca: Dang2) berasal dari dinasti Tang, yaitu zaman keemasan kedua sepanjang sejarah Tiongkok. Pada zaman itulah seluruh daratan Tiongkok dipersatukan, dan bagian selatannya melebur menjadi bagian yang tak terpisahkan; maka dari itu, biasanya orang-orang dari selatan-lah yang menamakan dirinya orang Tang/Tangren (唐人, baca: Dang2 Ren2).
"Tángrén" dalam berbagai bahasa:
- Indonesia: Tenglang
Huaxia
suntingNama Huaxia/huáxià (华夏, baca: Hua2 Sia4) merupakan kombinasi dari dua kata:
- Hua yang berarti sejahtera.
- Xia yang dapat berarti dinasti Xia
Istilah ini dulu sering digunakan untuk menunjukkan pada lembah sungai Kuning/Huang He, dengan analogi Zhonghua, yang berarti "pusat yang sejahtera", sebelum istilah Han menjadi populer.
Tianxia
suntingNama Tianxia/Tiānxià (天下, baca: Dien1 Sia4) berarti "di bawah kolong langit". Istilah ini biasanya dipakai dalam konteks perang saudara atau masa-masa perpecahan, dan siapa pun yang berhasil menyatukan seluruh daratan akan disebut telah memerintah Tianxia, atau semua di bawah kolong langit. Hal ini cocok dengan teori kepemimpinan tradisional bangsa Tionghoa bahwa sang kaisar adalah pemimpin seluruh dunia, bukan hanya sebuah kekaisaran.
Jiangshan
suntingNama Jiangshan/Jiāngshān (江山, baca: Ciang1 San1) berarti "Sungai dan Gunung". Istilah ini hampir mirip dengan Tianxia, dan artinya adalah seluruh dunia, dengan diwakili oleh bentang alam yang paling berarti di peradaban Lembah Sungai Kuning, yaitu Sungai dan Gunung. Istilah ini sering dipakai dalam kalimat "merancang sungai dan gunung" yang berarti menjaga dan meningkatkan pemerintahan di seluruh dunia.
Jiuzhou
suntingNama Jiuzhou/Jiǔzhōu (九州, baca: Ciu3 Cou1) berarti "sembilan wilayah". Istilah ini bermula pada pertengahan zaman negara-negara berperang. Pada masa itu, wilayah Sungai Kuning dibagi menjadi sembilan wilayah geografis; demikianlah nama tersebut tercipta.
Shenzhou
suntingNama Shenzhou/Shénzhōu (神州, baca: Sen2 Cou1) berarti "tanah dewa". Istilah ini muncul pada periode yang sama dengan istilah Jiuzhou. Shenzhou adalah kesembilan wilayah pada Jiuzhou secara bersama-sama yang merupakan negara superpower di dunia.
Sihai
suntingNama Sihai/Sìhǎi (四海, baca: Sê1 Hai3) berarti "empat lautan". Istilah ini berasal dari pengertian kuno bahwa dunia adalah datar dan daratan peradaban Lembah Sungai Kuning ada di tengah-tengah dunia dengan dikelilingi oleh empat lautan. Arti yang lain adalah seluruh dunia itu sendiri, yang dibatasi oleh lautan tidak bertepi di empat penjuru.
Dalu
suntingNama Dalu/Dàlù (大陸, baca: Ta4 Lu4) berarti "tanah besar", atau "benua". Sering digunakan untuk menunjuk pada seluruh daratan Tiongkok dalam konteks politis; Hong Kong dan Macau dan Taiwan tidak termasuk dalam pengertian istilah ini. Namun daerah istimewa dan kepulauan termasuk.
Nama-nama yang tercantum di catatan sejarah non-Zhongguo
suntingNama-nama berikut dipakai di negara-negara di Asia, terutama di Asia Timur dan Asia Tenggara, dan biasanya diturunkan dari bahasa-bahasa Tionghoa (中国语文) yang dipelajari lewat jalur darat. Nama-nama ini biasanya memiliki kemiripan dengan bahasa Tionghoa, dikarenakan pengaruh Tiongkok dan bahasanya pada negara-negara di sekitarnya dan kebudayaan bangsa Asia yang tidak berbeda jauh membuat cara pengucapan namanya tidak jauh berbeda.
Nama-nama yang muncul dan digunakan di bahasa-bahasa Eropa, pada kebalikannya, jauh berbeda dengan aslinya, karena melalui jalur laut dan tidak memiliki kemiripan dengan yang dipakai di negara asalnya.
Lalu bangsa Eropa menjajah negara-negara Asia, dan membawa bahasa mereka, serta cara pengucapan dalam bahasa mereka ke dalam negara-negara jajahannya, sehingga terjadi berbagai versi dalam bahasa-bahasa di Asia untuk nama Tiongkok. Sebagai contohnya adalah bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris yang menjajah Indonesia, serta pengaruh budaya Amerika Serikat yang membuat bahasa Indonesia memiliki dua istilah (yang ramai dipertentangkan), yaitu Tiongkok dan "Cina".
Chin
suntingPara pakar tidak mencapai kata sepakat dari mana asal muasal nama ini. Kemungkinan asal-usulnya:
- Dari Sanskrit Cin (चीन IPA: /c͡çiːnə/)
- Dari Dinasti Qin (abad ketiga SM) atau Dinasti Jin (265-420)
Marco Polo secara spesifik menggunakan istilah Chin, yang dipercaya berasal dari bahasa Persia, yaitu lingua franca atau bahasa persatuan pada Jalur Sutera. Barbosa (1516) dan Garcia de Orta (1563) menggunakan istilah China.[butuh rujukan]
Bahasa-bahasa di dunia yang menggunakan variasi dari istilah ini:
- Amharik: Chayna (dari Inggris)
- Azerbaijan: Çin (IPA /tʃin/)
- Basque: Txina (IPA /'tʃinə/)
- Belanda: China
- Bengali: Chin (চীন IPA: /ʧin/)
- Katalan: Xina (IPA /'ʃinə/)
- Ceko: Čína (ˈʧiːna)
- Inggris: China (ˈʧaɪnə)
- Esperanto: Ĉinujo atau Ĉinio atau Ĥinujo
- Filipina: Tsina
- Georgia: ჩინეთი (IPA ʧi:nεti:)
- Jerman: China (IPA /'çi:na/, dalam beberapa dialek selatan /'ki:na/) (lihat Kina)
- Hindi: Chīn चीन (IPA /'ʧi:n/)
- Indonesia: Cina (IPA /ʧina/) (lihat lebih lanjut di bawah)
- Interlingua: China
- Irlandia: An tSín (IPA /ən ˈtʲi:nʲ/)
- Italia: Cina (IPA /ˈʧi:na/)
- Jepang: Shina (支那) — dipertimbangkan sebagai istilah yang kasar, dan sekarang hampir tidak pernah dipakai dan dihindari karena takut menyakiti hubungan bilateral kedua negara. Istilah yang resmi digunakan adalah Chūgoku.
- Korea: Jin, Chin
- Malayalam: Cheenan/Cheenathi
- Palawi: Čīnī
- Prancis: Chine (IPA /ʃin/)
- Persia: Chin چين (IPA /ʧin/)
- Polandia: Chiny (IPA /'xin
ı/) - Portugis: China (IPA /'ʃinɐ/)
- Slowakia: Čína (IPA /ʧi:na/)
- Spanyol: China (IPA /'ʧina/)
- Tamil: Cheenaa
- Thailand: Jiin (จีน)
- Turki: Çin (IPA /ʧin/)
- Urdu: Čīn چين (IPA /ʧi:n/)
- Welsh: Tsieina
Dalam bahasa Tionghoa 支那 Zhīnà merupakan istilah pinjaman balik dari bahasa Jepang yang bermakna menghina dan tidak pernah digunakan.
China
suntingNama China dalam bahasa Inggris, yang diadopsi pula oleh banyak bahasa lainnya, dapat merujuk pada:
- People's Republic of China (PRC)
- Republic of China (ROC)
- "Mainland China" (中国大陆 atau 中國大陸, Zhōngguó Dàlù) yang tidak mencakup Hong Kong dan Macau
- "China proper", yang tidak mencakup Manchuria, Mongolia Dalam, Tibet, and Xinjiang
- "Greater China" (大中华地区 atau 大中華地區, dà Zhōnghhuá dìqū) dalam konteks ekonomi, merupakan cara netral untuk menyebut negara tersebut secara keseluruhan (termasuk Hong Kong, Macau, dan kadang-kadang Taiwan).
- "china" ─ sebagai kata benda umum untuk barang-barang porselen (yang dulunya mayoritas diimpor dari Tiongkok)
Cina
suntingDokumen tertua yang mencatat istilah "cina" di Nusantara adalah inskripsi (tulisan) pada lempeng tembaga Bungur A berangka tahun 860 M. Prasasti ini menyebut tentang juru cina[5] sebagai orang yang bertugas mengurus pedagang/pemukim dari Tiongkok. Dapat diduga, istilah ini dipinjam dari kata bahasa Sanskerta, Cīna (चीन), yang sudah dipakai untuk daerah Tiongkok paling tidak sejak 150 M.[6] Teori Martin Martini menyebutkan bahwa nama Sanskerta ini mengambil dari dinasti Qin (秦, dibaca seperti tchin, IPA: tɕʰǐn) yang berkuasa (221 – 206 SM) atau dari nama salah satu kerajaan Tiongkok pada era dinasti Zhou bernama sama.[7]
Menurut hasil riset Leo Suryadinata, istilah "cina" telah digunakan di Hindia Belanda sejak sejak kedatangan perantau awal abad ke-17.[8][9] Para perantau yang datang dari Tiongkok ke Nusantara kemudian membentuk perkampungan mereka sendiri. Dalam perbauran dengan budaya lokal dikenal wayang 'Po Te Hi' dimana salah satu tokohnya disebut sebagai 'Puteri Cina'.[10]
Makna kata "Cina" berubah pada akhir tahun 1960-an menyusul diterbitkannya sebuah Surat Edaran Nomor 06/Preskab/6/67 yang mengklaim bahwa "istilah 'Tionghoa/Tiongkok' "mengandung nilai-nilai yang memberi assosiasi-psykopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia", sedang istilah 'Cina' tidak lain hanya "mengandung arti nama dari suatu dynasti dari mana ras Cina tersebut datang", sedangkan sesungguhnya kata "cina" tersebut berkonotasi dengan kebencian yang ditujukan untuk menghina dan merendahkan orang Tionghoa.[11]
Pada tanggal 12 Maret 2014, Surat Edaran tersebut akhirnya resmi dicabut dengan diterbitkannya Keppres No. 12/2014 yang menyatakan bahwa 'istilah "Tjina" ... telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam relasi sosial yang dialami warga bangsa Indonesia yang berasal dari keturunan Tionghoa;' dan 'sebutan yang tepat bagi Negara People's Republic of China [adalah] Negara Republik Rakyat Tiongkok;', karena sejak awal kemerdekaan Indonesia, 'para perumus Undang-Undang Dasar tidak menggunakan sebutan Cina, melainkan menggunakan frasa peranakan Tionghoa'[12]
- Keberatan akan istilah "Cina" di Tiongkok
Pada tahun 1850 terjadi pemberontakan Taiping (1850) dan Bokser (1900) yang merintis revolusi pada tahun 1913. Ini mengakibatkan sikap antipati yang besar kepada bangsa Barat, sehingga dengan meningkatnya harga diri seluruh bangsa, mereka kemudian menolak sebutan China dan kembali pada premordialisme kebangsaan dan menyebut negeri mereka sebagai 'Chung-Kuo' atau 'Negara/Kerajaan Tengah/Pusat'
Setelah Restorasi Meiji 1868, Jepang muncul sebagai salah satu adikuasa. Para pemimpin Jepang menjelang abad ke-20 sadar akan akar kebudayaan mereka yang berasal dari daratan Tiongkok, namun di sisi lain mereka melihat akan kebobrokan masyarakat dan pemerintahan kekaisaran Qing itu yang tengah berada di bawah penjajahan bangsa asing. Salah satu tujuan awal mereka menginvasi Manchuria adalah untuk mengusir bangsa Barat tersebut, namun akhirnya berubah menjadi misi kolonialisme dan imperialisme. Istilah Shina yang dipakai orang Jepang digunakan untuk menghina.
- Keberatan akan istilah "Cina" di Indonesia
Di Indonesia, pedagang dari selatan daratan Tiongkok yang sudah lebih dahulu menguasai perdagangan di Indonesia selama beberapa ratus tahun pun bentrok dengan pendatang baru bangsa Barat khususnya Belanda sehingga pada tahun 1740 di Batavia, kemudian disusul kota-kota lain, mereka berontak terhadap dominasi VOC, akibatnya VOC dan kemudian pemerintah Belanda memberikan beberapa konsesi kepada bangsa perantau ini berupa pemberian hak-hak istimewa, bahkan kemudian mereka dianggap sebagai penduduk Timur Asing yang dianggap setingkat lebih tinggi dari warga penduduk asli.
Status istimewa ini mengakibatkan pandangan buruk penduduk pribumi terhadap para perantau tersebut. Pertama karena kolaborasi mereka dengan penjajah dan praktik dagang yang bercorak Quanxi (koneksi/kolusi) dan merugikan masyarakat pribumi, serta banyak perilaku negatif mereka.
Penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa
suntingSekitar akhir abad ke-19[butuh rujukan] diambilah jalan tengah penggunaan istilah Tiongkok yang diambil dari terjemahan Chung Kuo (pinyin: Zhong Guo). Pada tahun 1901 didirikan organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (pinyin: Zhong Hua Hui Guan) terpengaruh gerakan pembaruan di daratan Tiongkok. Organisasi ini dipimpin oleh Kang Yu Wei, Liang Chi Chao, dan Phoa Keng Hek di Jakarta dengan tujuan antara lain mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran Khonghucu dan mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa. Penggunaan kata Tionghoa juga terpengaruh gerakan Dr. Sun Yat Sen untuk meruntuhkan Dinasti Qing dan menggantinya dengan Chung Hwa Ming Kuo (pinyin: Zhong Hua Min Guo) atau "Republik Tiongkok". Sejak saat itu mereka menyebut dirinya orang Tionghoa, yaitu dialek Hokkian dari kata bahasa Mandarin Chung Hwa (pinyin: Zhong Hua), dan menolak disebut Cina.
Pada 1928, tokoh pergerakan Indonesia yang merasa "berutang budi" kepada masyarakat Tionghoa karena koran-korannya banyak memuat tulisan pemimpin pergerakan tersebut ─ koran Sin Po adalah koran pertama yang mengganti sebutan Hindia Belanda dengan Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman ─, sepakat mengganti sebutan Cina dengan Tionghoa. Dalam teks penjelasan UUD 1945 kata yang digunakan adalah Tionghoa pula. Semua itu terus berlangsung sampai jatuhnya Pemerintahan Presiden Soekarno, digantikan rezim Orde Baru.[13]
Sejak itu istilah "Tionghoa" dipakai bersama sebagai padanan istilah "Cina" yang sudah populer lebih dahulu.
Pada tahun 1948 dimasa pemerintahan Presiden Soekarno selepas kemerdekaan, Indonesia mengalami debat panjang menyangkut keberadaan dan penamaan "Cina" dan "Tionghoa". Adanya pemberontakan PKI di Madiun disinyalir mendapat dukungan dari Partai Komunis di RRT[disinyalir], beberapa orang etnis Tionghoa atau Tionghoapun mendukungnya[butuh rujukan]. Akibatnya pada masa itu secara umum etnis Tionghoa atau Tionghoa dicurigai secara politik. Warisan politik tersebut terus diturunkan tanpa ada yang berani menentang hingga berakhirnya Orde Baru pada 1998. Sejak saat itu banyak dialog-dialog diadakan untuk mencari solusi nama yang netral
Pelarangan penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa
suntingKarena perkembangan politik yang kian pelik, munculah larangan tak resmi[butuh rujukan] penggunaan istilah Tionghoa dikarenakan istilah ini digunakan oleh partai dan komunisme.[14]
Pada tahun 1957 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 yaitu larangan dagang bagi semua orang yang masih memiliki "kewarganegaraan Cina" di Daerah Tingkat II. Pada tahun 1959 orang Tiongkok dipersilahkan memilih menjadi warga negara tanah leluhur (menjadi Warga Negara Asing yang tinggal di Indonesia) atau menjadi Warga Negara Indonesia. Konflik ini kemudian meluas dengan puncaknya peristiwa rasialisme pada Peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung dan merambat ke beberapa kota lainnya.
Terjadinya pemberontakan PKI (G30S PKI)pada tahun 1965 dan kecurigaan akan dukungan RRT (yang kala itu disebut sebagai Republik Rakyat Tiongkok (RRT)) membuat pemerintahan Orde Baru pada tahun 1967 mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina dilakukan di Indonesia, pengubahan sebutan kata Tionghoa-Tiongkok kembali menggunakan kata Cina dan mengubah singkatan RRT menjadi RRT (Republik Rakyat Tiongkok), serta Taiwan yang dengan nama Republik Tiongkok. Tahun itu pula dikeluarkan Surat Edaran Nomor 06/Preskab/6/67 [15] dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 [16] yang isinya menganjurkan bahwa WNI keturunan (yaitu istilah yang digunakan secara khusus untuk menunjuk pada orang Tionghoa-Indonesia dan berkonotasi negatif) yang masih menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi. Bakin pun mengawasi gerak-gerik para "WNI keturunan" tersebut melalui sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) terpaut dengan masalah komunisme.
Kompromi diplomatik dan penggunaan di media
suntingPada awal 1990-an Pemerintah RRT dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) melakukan perundingan. Saat perundingan ini terjadi untuk membuka kembali hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang terputus karena politik Soeharto pada masa itu, ada ganjalan dalam penyebutan nama negara. Pemerintah RI ingin mempertahankan sebutan "Republik Rakyat Cina" dan sebaliknya pemerintah RRT ingin menggunakan istilah Indonesia "Republik Rakyat Tiongkok". Setelah perundingan mencapai kebuntuan, diambil jalan tengah dengan memperkenalkan penggunaan kata China (baca: Chaina) dari bahasa Inggris. Kompromi diplomatik ini menyebabkan kerancuan bahasa Indonesia hingga saat ini; dalam kosakata bahasa Indonesia pengucapan "China" oleh masyarakat umum tetap adalah "ci-na". Pengucapaan menggunakan ejaan bahasa Inggris oleh sebagian kalangan dianggap melanggar asas berbahasa Indonesia (dan juga ratusan kata pinjaman dari bahasa Inggris lainnya). Pengucapan ini antara lain digunakan oleh Metro TV, stasiun TV nasional Indonesia. Penulisannya sendiri digunakan oleh surat kabar Kompas dan seluruh jajaran penerbitan Kompas-Gramedia. Surat kabar JawaPos merupakan salah satu koran nasional terbesar yang menggunakan istilah Tionghoa-Tiongkok.
Sin
suntingNama yang asalnya kemungkinan berbeda dari Chin, namun tidak kalah misterius. Kemungkinan asal-usulnya:
- Bahasa Ibrani: Sin[17] סִין
- Bahasa Arab: Ṣin صين
- Bahasa Latin: Sinæ
Bahasa Inggris dan melaluinya bahasa Indonesia serta bahasa-bahasa lainnya menggunakan istilah ini sebagai prefiks atau kata sifat: Sino- (seperti: Sino-Taipei), Sinitik (rumpun bahasa Sinitikus)
Sinae
suntingNama Sinae merupakan nama kuno dalam bahasa Yunani dan Romawi untuk orang-orang yang tinggal di selatan Seres (lihat bagian berikutya) di bagian pucuk timur dunia yang tidak dapat didiami. Referensi untuk istilah ini termasuk catatan mengenai sebuah kota yang oleh orang-orang kuno disebut sebagai "metropolisnya Sinae", yang tidak dapat dilacak oleh ahli-ahli modern keberadaannya. Walaupun nama Sinae kemungkinan besar berasal dari sumber etimologi yang sama dengan istilah Sin, namun hingga saat ini masih terdapat kontroversi mengenai asal kata ini.
Ser
suntingNama Ser pemakaiannya lebih awal daripada Sin, kemungkinan masih berhubungan.
- Bahasa Yunani: Seres, Serikos
- Sêr (σηρ), berarti "ulat sutera", kemungkinan diturunkan dari kata sī (丝, baca: Sê1) yang berarti "sutera" dalam bahasa Tionghoa.
- Serikos (σηρικος), berarti "dibuat dari sutera"
- Seres (σηρες) berarti "tempat sumber sutera"
- Bahasa Latin: Serica ("sutera")
Kina
suntingNama Kina (ʃi:na) dan variasinya digunakan terutama di Eropa Utara dan Timur pada saat ini.
- Albania: Kinë (IPA /kinə/)
- Bosnia: Kina
- Denmark: Kina
- Estonia: Hiina
- Finlandia: Kiina
- Hungaria: Kína (IPA /ki:nɒ/)
- Islandia: Kína
- Kroasia: Kina
- Lituanian: Kinija
- Makedonia: Кина (Kina)
- Norwegia: Kina
- Romania: China (IPA /ki:na/)
- Serbia: Кина (IPA /ki:na/)
- Swedia: Kina (IPA /'ɕi:na/)
- Yunani: Κίνα (Kína)
Cathay
suntingNama Cathay dan variasinya diturunkan dari nama suku Khitan, kelompok etnis yang mendominasi daratan Manchuria pada abad ke-10. Nama bangsa ini selamat dari kepunahan berkat bangsa Rusia yang menggunakan istilah Китай (Kitay) untuk menyebut Tiongkok. Karena dominasi Manchuria yang lama pada zaman Dinasti Qing (dinasti terakhir dan dinasti yang membuka diri kepada bangsa Eropa), maka nama ini melekat penggunaannya pada bahasa-bahasa Eropa, terutama setelah istilah ini digunakan untuk menterjemahkan petualangan Marco Polo di negeri Oriental tersebut. Nama ini terus digunakan sampai sekarang dan juga digunakan di bahasa Inggris kuno (Cathay), bahasa Portugis (Catai), dan bahasa Spanyol (Catay). Istilah Cathay juga diabadikan menjadi nama perusahaan penerbangan Cathay Pacific yang utamanya melayani penerbangan dari dan ke Cathay.
- Inggris: Cathay
- Italia: Catai
- Kazan Tatar (Rusia tengah): Qıtay
- Latín pertengahan: Cataya, Kitai
- Mongol klasik: Хятад (Hyatad/Kitad)
- Portugis: Cataio/Catai
- Rusia, Bulgaria: Китай (Kitai/Kitay)
- Slovenia: Kitajska (IPA /'ki:tajska/)
- Spanyol: Catay
- Turkmenistan: Hitaý
- Uigur: Hyty
- Ukrainia: Kytai (Китай)
Tabgach
suntingNama Tabgach berasal dari metatesis "Tuoba" (*takbat), suku yang dominan di Xianbei. Menunjuk pada bagian utara Tiongkok yang didiami oleh masyarakat separo Xianbei, separo Tionghoa.
- Yunani Pertengahan: Taugats
- Orhon Kok-Turk: Tabgach/Tamgach
Nikan
suntingNama Nikan berasal dari etonim Manchuria yang tidak jelas asalnya yang merujuk pada kelompok etnis Han; akar kata ini juga dikonjugasikan menjadi kata kerja nikara(-mbi) yang berarti "berbicara bahasa Tionghoa".
Karena istilah ini hanya merujuk pada sekelompok orang (bangsa), bukan entitas politik (negara), maka nama Tiongkok diterjemahkan ke dalam bahasa Manchuria sebagai Nikan gurun, yang berarti "negara para Han".
- Bahasa Daur: Niaken ([nja.kən] atau [ɲa.kən]).[18] - Niaken gurun - niakendaaci-->nikara(-mbi).
Kara
suntingNama Kara dalam bahasa Jepang (から; dalam kanji kanji 唐 atau 漢) dipercaya oleh sejarawan dan pakar bahasa Jepang sebagai nama kuno untuk Tiongkok. Nama ini juga tercatat digunakan untuk menunjuk Korea, yang dijelaskan oleh para ahli merupakan bagian dari Tiongkok pada masa penggunaan kata Kara ini.
Dari kata ini diturunkan kata Karate (空手), yang berarti "tangan kosong" ─ pada mulanya ditulis 唐手, yang dapat merujuk pada asal muasal bela diri tersebut, yaitu negeri Kara.
Morokoshi
suntingNama Morokoshi dalam bahasa Jepang (もろこし; dalam kanji 唐 atau 唐土) merupakan nama Tiongkok yang sudah tidak dipakai lagi. Kemungkinan diturunkan dari pembacaan kun dari frasa Zhūyuè (諸越) / Bǎiyuè (百越), yang berarti "semua bangsa Yue" atau "ratusan (banyak) orang Yue" yang merupakan istilah kuno untuk menyebut kelompok masyarakat di bagian selatan daratan Tiongkok.
Kata benda dalam bahasa jepang Tōmorokoshi (トウモロコシ; dalam kanji 玉蜀黍), yang menunjuk pada tepung maizena, tampaknya mengandung unsur yang sama, yang menjelaskan asal usul tepung tersebut.
Mangi
suntingNama Mangi dibawa oleh Marco Polo yang berasal dari kata Manzi yang digunakan, terutama oleh orang utara untuk menyebut orang barbarian dari selatan, yaitu penduduk daratan selatan. Hal tersebut dibawa sejak perpecahan Utara dan Selatan yang dimulai dari Dinasti Jin dan diteruskan ke Dinasti Song yang berlawanan dengan prinsip persatuan dari dinasti-dinasti sebelumnya (seperti Dinasti Han), dan nama hinaan itu umum digunakan oleh orang utara untuk menyebut orang selatan. Nama ini sering muncul dalam dokumen Dinasti Yuan pimpinan bangsa Mongol. Nama ini sekarang tidak pernah digunakan lagi karena konotasinya yang negatif.
Lihat pula
suntingReferensi dan catatan
sunting- ^ * Sumber-sumber dalam mengartikan "Kerajaan Tengah" termasuk:
- Rossabi, Morris, ed. China among Equals: The Middle Kingdom and Its Neighbors, 10th-14th Centuries. Berkeley: University of California Press, 1983.
- Williams, S. Wells. The Middle Kingdom: A Survey of the Geography, Government, Literature, Social Life, Arts, and History of the Chinese Empire and Its Inhabitants. Rev. ed. New York: Scribner, 1883.
- Wilson, James Harrison. China: travels and investigations in the "Middle Kingdom." A study of its civilization and possibilities; with a glance at Japan. New York, Appleton, 1887.
- Zhang, Yongjin. China in the international system, 1918-20: the middle kingdom at the periphery. New York: St. Martin’s, 1991.
- Sumber-sumber yang menggunakan istilah "Kerajaan Pusat" termasuk:
- William Edgar Geil, A Yankee on the Yangtze: Being a Narrative of a Journey from Shanghai Through the Central Kingdom. Hodder and Stoughton, 1904.
- Aihe Wang, Cosmology and Political Culture in Early China. Cambridge University Press, 2000.
- Regarding the accuracy of the translation, Professor Chen Jian writes: "I believe that 'Central Kingdom' is a more accurate translation for 'Zhong Guo' (China) than 'Middle Kingdom'. The term 'Middle Kingdom' does not imply that China is superior to other peoples and nations around it — China just happens to be located in the middle geographically; the term 'Central Kingom', however, implies that China is superior to any other people and nation 'under the heaven' and that it thus occupies a 'central' position in the known universe." (Mao's China and the Cold War. UNC Press. ISBN 0-8078-4932-4)
- ^ 《尚書•梓材》:「皇天既付中國民越厥疆土于先王」secara umum dapat diterjemahkan menjadi "Surga telah memberikan tanah dan rakyat Zhongguo pada pendahulu kami".
- ^ 《毛亨·傳》:「中國,京師也」 Secara umum diterjemahkan sebagai "Zhongguo, Ibu kota."
- ^ Lihat Quansongwen (8345 bab), 2005. Teks sejarah ini ditulis dalam periode Song Barat dan menilai bahwa Dinasti Jin sebagai "barbar", sementara teks Jin menggambarkan rakyat Song sebagai "Manzi". Teks resmi sejarah yang dikeluarkan oleh Songshi, yang ditulis setelah periode ini menggambarkan keduanya secara lebih netral.
- ^ Miksic J.N. 1995. The legacy of Majapahit. National Museum of Singapore. Hal. 92.
- ^ Tertulis pada kitab Arthashastra Buku ke-2 karya Kautilya (Denis Crispin Twitchett, Michael Loewe, John King Fairbank, The Ch'in and Han Empires 221 B.C.-A.D. 220, p. 20.)
- ^ Martino, Martin, Novus Atlas Sinensis, Vienna 1655, Preface, p. 2.
- ^ (Indonesia) menurut Leo Suryadinata dalam tulisan "Tionghoa Atau Cina, Di Era Reformasi" oleh A. Dahana Diarsipkan 2007-10-10 di Wayback Machine.
- ^ *Islam and Chineseness, Denys Lombard
- Claudine Salmon dan Le carrefour javanais, Denys Lombard
- ^ (Indonesia) Yabina: Cina atau Tionghoa Diarsipkan 2007-03-13 di Wayback Machine.
- ^ Legislator wants official abolition of word ‘Cina’ [pranala nonaktif permanen]
- ^ Bagian penjelasan naskah asli UUD 1945 Bab X: Warga Negara, Pasal 26 Ayat 1: Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa, dan peranakan Arab yang bertempat kedudukan di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
- ^ (Indonesia) Blog Lembaga Kajian Agama dan Sosial: Cina, China, dan Tionghoa oleh Benny G. Setiono, Pengamat Sosial dan Politik
- ^ (Indonesia)Hoa Kiauw di Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer.
- ^ (Indonesia) Cina atau Tionghoa
- ^ (Indonesia) Masyarakat Cina di Indonesia
- ^ Dalam Kejadian 10:17 disebutkan bahwa Kanaan memperanakkan orang(-orang) Sini. Beberapa orang berpendapat hal ini menunjukkan orang-orang Tiongkok, walaupun juga dapat berarti salah satu suku bangsa Kanaan.
- ^ Samuel E. Martin, Dagur Mongolian Grammar, Texts, and Lexicon, Indiana University Publications Uralic and Altaic Series, Vol. 4, 1961
Bibliografi bahasa Inggris
sunting- Cassel, Par Kristoffer (2011). Grounds of Judgment: Extraterritoriality and Imperial Power in Nineteenth-Century China and Japan. Oxford University Press. ISBN 978-0199792122. Diakses tanggal 10 March 2014.
- Dvořák, Rudolf (1895). Chinas religionen ... (dalam bahasa Jerman). 12; Volume 15 of Darstellungen aus dem Gebiete der nichtchristlichen Religionsgeschichte (edisi ke-illustrated). Aschendorff (Druck und Verlag der Aschendorffschen Buchhandlung). ISBN 0199792054. Diakses tanggal 10 March 2014.
- Dunnell, Ruth W.; Elliott, Mark C.; Foret, Philippe; Millward, James A (2004). New Qing Imperial History: The Making of Inner Asian Empire at Qing Chengde. Routledge. ISBN 1134362226. Diakses tanggal 10 March 2014.
- Elliott, Mark C. (2001). The Manchu Way: The Eight Banners and Ethnic Identity in Late Imperial China (edisi ke-illustrated, reprint). Stanford University Press. ISBN 0804746842. Diakses tanggal 10 March 2014.
- Hauer, Erich (2007). Corff, Oliver, ed. Handwörterbuch der Mandschusprache (dalam bahasa Jerman). 12; Volume 15 of Darstellungen aus dem Gebiete der nichtchristlichen Religionsgeschichte (edisi ke-illustrated). Otto Harrassowitz Verlag. ISBN 978-3447055284. Diakses tanggal 10 March 2014.
- Esherick, Joseph (2006). "How the Qing Became China". Empire to Nation: Historical Perspectives on the Making of the Modern World. Rowman & Littlefield.
- Perdue, Peter C. (2009). China Marches West: The Qing Conquest of Central Eurasia (edisi ke-reprint). Harvard University Press. ISBN 978-0674042025. Diakses tanggal 10 March 2014.
- Wade, Geoff (May 2009). "The Polity of Yelang and the Origin of the Name 'China'" (PDF). Sino-Platonic Papers. 188. Diakses tanggal 4 October 2011.
- Wilkinson, Endymion (2012), Chinese History: A New Manual, Harvard University Asia Center for the Harvard-Yenching Institute
- Wilkinson, Endymion (2015). Chinese History: A New Manual, 4th edition. Cambridge, MA: Harvard University Asia Center distributed by Harvard University Press. ISBN 9780674088467.
- Wu, Shuhui (1995). Die Eroberung von Qinghai unter Berücksichtigung von Tibet und Khams 1717 - 1727: anhand der Throneingaben des Grossfeldherrn Nian Gengyao (dalam bahasa Jerman). 2 of Tunguso Sibirica (edisi ke-reprint). Otto Harrassowitz Verlag. ISBN 3447037563. Diakses tanggal 10 March 2014.
- Yule, Henry (2005) [1915]. Cordier, Henri, ed. Cathay and the Way Thither. ISBN 8120619668.
- Zhao, Gang (2006). "Reinventing China Imperial Qing Ideology and the Rise of Modern Chinese National Identity in the Early Twentieth Century". Modern China. Sage Publications. 32 (1): 3–30. doi:10.1177/0097700405282349. JSTOR 20062627.