Sejarah Minahasa meliputi rentang waktu perkembangan kebudayaan daerah Minahasa yang adalah sebuah daerah yang dihuni oleh Suku Minahasa di ujung utara Sulawesi, Indonesia.

Masa Prasejarah

sunting
 
Peta migrasi orang Austronesia.

Temuan berupa sebuah bukit kerang di Desa Passo yang terletak di barat daya Danau Tondano menunjukkan keberadaan manusia di daerah Minahasa sejak kira-kira tahun 5000 SM. Kumpulan peninggalan kerang-kerang tersebut selebar 30 meter dan setinggi satu meter. Di sekitar bukit kerang ditemukan sisa-sisa bejana tembikar dan alat-alat yang terbuat dari batu obsidian.[1] Selain itu, ada teori bahwa kedatangan orang-orang Austronesia ke Minahasa yang awalnya menghuni Taiwan, sebelum bermigrasi dan menempati daerah-daerah di Filipina utara, Filipina selatan, Kalimantan, dan Sulawesi sebelum berpisah menjadi kelompok-kelompok dengan satu menuju barat ke Jawa, Sumatra, dan Malaysia, sementara yang lain bergerak ke timur menuju Oseania ke arah selatan pada akhir milenium ketiga dan kedua SM.[2]

Menurut mitologi Minahasa, orang Minahasa adalah keturunan Toar dan Lumimuut yang pada awalnya bermukim di sekitar pegunungan Wulur Mahatus (atau ratusan gunung).[3] Diperkirakan lokasi Wulur Mahatus adalah perbukitan di sekitar Gunung Soputan.[4] Terdapat berbagai versi dari cerita rakyat tentang Toar dan Lumimuut. Pada dasarnya perkawinan mereka yang menghasilkan keturunan orang Minahasa. Tokoh sentral lain terkait dengan leluhur orang Minahasa adalah Karema, sosok pemimpin tua spiritual wanita (atau walian tua wewene) yang mengawinkan Toar dan Lumimuut.[5] Awalnya, keturunan Toar dan Lumimuut dibagi menjadi tiga kelompok yaitu Makatelu Pitu (tiga kali tujuh), Makaru Siow (dua kali sembilan), dan Pasiowan Telu (sembilan kali tiga). Makarua Siow adalah para pengatur ibadah dan adat, Makatelu Pitu adalah yang mengatur pemerintahan dan militer, dan Pasiowan Telu adalah rakyat biasa.[6]

Masa klasik

sunting

Prasasti Pinawetengan

sunting
 
Prasasti Pinawetengan

Dua anak pendeta Belanda yaitu Johannes Albert Traugott Schwarz (anak dari Pendeta Johann Gottlieb Schwarz) dan Johann Gerard Friedrich Riedel (anak Pendeta Johann Friedrich Riedel) yang mengumpulkan cerita-cerita rakyat di Minahasa mengambil kesimpulan bahwa ada sebuah batu penting yang sudah tertimbun tanah di sebuah bukit bernama Tonderukan (di Kecamatan Tompaso Barat saat ini). Hal ini berdasarkan cerita dan sebutan yang dikutip oleh Riedel yaitu Watu rerumeran ne empung (atau batu tempat para leluhur berunding). Watu Pinawetengan (atau Batu Pembagi) yang memiliki tulisan-tulisan gambar atau huruf hieroglif kemudian ditemukan pada tahun 1888.[7]

Kembali menurut mitologi Minahasa, keturunan Toar dan Lumimuut berkembang dengan cepat sehingga terjadi perselisihan di antara mereka. Para pemimpin mereka yang bernama Tona'as kemudian memutuskan untuk bertemu dan membicarakan hal ini dalam pertemuan di bukit Tonderukan yang adalah salah satu puncak dari Gunung Soputan. Dalam pertemuan ini, terjadi tiga macam pembagian yang disebut Pahasiwohan (pembagian wilayah), Pinawetengan un Nuwu (pembagian bahasa), dan Pinawetengan un Posan (pembagian ritual). Di tempat berlangsungnya pertemuan ini terdapat sebuah batu peringatan yaitu Watu Pinawetengan.[8][9]

Pembagian and pengembangan suku

sunting

Dalam pertemuan di Watu Pinawetengan terjadi pembagian wilayah dari tiga pakasa'an. Kata pakasa'an berarti mereka yang bersatu karena kesamaan leluhur, adat, dan bahasa.[10] Ketiga pakasa'an itu bernama Tombulu, Tontewoh, dan Tongkimbut.[11][12] Sekarang Tontewoh lebih dikenal dengan nama Tonsea dan Tongkimbut lebih dikenal dengan nama Tontemboan. Ketiga pakasa'an ini kemudian bermukim masing-masing di Mai'esu untuk Pakasa'an Tombulu, di Ni'aranan untuk Pakasa'an Tonsea, dan Tumaratas untuk Pakasa'an Tontemboan.[13] Mai'esu terletak di dekat Kinilow di Tomohon dan Ni'aranan terletak di sekitar Sawangan dan Tanggari di Airmadidi.

Pakasa'an Tombulu

sunting

Pakasa'an Tombulu (pernah ditulis Tou'mbulu[14] dan Tumbuluk[15]) mulanya bermukim di Mai'esu kemudian menyebar ke daerah-daerah di sekitarnya. Kelompok Tombariri pergi ke daerah sekitar Kecamatan Tombariri. Kelompok Tonsaronsong pergi ke daerah sekitar Kecamatan Tomohon Selatan. Kemudian kelompok Tomu'ung pergi ke daerah sekitar pusat Kota Tomohon. Sedangkan kelompok Tonkakaskasen pergi ke daerah sekitar Kecamatan Tomohon Utara yang di antaranya termasuk Desa Kakaskasen. Dari kelompok Tonkakaskasen ini terbentuk dua kelompok yang lebih kecil yaitu Tonares yang mendiami daerah Wenang yang adalah Kota Manado dan Tonmandolang yang mendiami daerah sekitar Kecamatan Mandolang yang di antaranya termasuk Desa Tateli.[16] Di bawah pakasa'an terdapat walak-walak yang merupakan sekumpulan desa-desa (atau wanua) yang mempunyai hubungan erat.[12] Untuk Pakasa'an Tombulu, terdapat tiga walak yaitu Tonsarongsong, Tombariri, dan Tomohon.

Pakasa'an Tondano

sunting

Saat ini suku-suku sub-etnis Minahasa besar atau utama yang dikenal ada empat, yaitu Tombulu, Tondano, Tonsea, dan Tontemboan. Namun hanya Tombulu, Tonsea, dan Tontemboan yang dicatat ikutserta dalam pertemuan di Watu Pinawetengan. Ada beberapa pendapat tentang dari mana asal atau datangnya Pakasa'an Tondano (atau Toulour[17]). Ada yang berpendapat bahwa Pakasa'an Tondano adalah pecahan dari Pakasa'an Tontewoh (yang juga asal dari Pakasa'an Tonsea).[18] Pakasa'an Tondano mendiami daerah sekitar Danau Tondano dan terbagi menjadi kelompok Toulour, Touremboken, dan Toukakas (atau Tousendangan).[19]

Kelompok Toulour dibagi lagi Toulimambot dan Touliang.[18] Kelompok Toulimambot bermukim di daerah sekitar Kota Tondano yang dulunya pernah ada kecamatan yang bernama Kecamatan Toulimambot.[20] Sedangkan kelompok Touliang bermukim di daerah sekitar Desa Toliang. Kemudian kelompok Touremboken mendiami daerah sekitar Kecamatan Remboken dan kelompok Toukakas mendiami daerah sekitar Kecamatan Kakas dan Kecamatan Kakas Barat.

Ada pendapat lain bahwa Pakasa'an Tondano berasal dari kelompok yang juga ikutserta dalam pertemuan di Watu Pinawetengan yang bernama Tousendangan yang terbagi sama seperti pembagian di atas, tapi dengan nama-nam lain yaitu Kinakas untuk Toukakas, Rimembok untuk Touremboken, Kauner untuk Touliang, dan Temboran untuk Toulimambot.[21] Ada juga yang mencatat nama kelompok asal dari Pakasa'an Tondano adalah Tousingal yang datang ke daerah Danau Tondano dan diberi tempat bermukim oleh Tombulu dan Tonsea di Lian dan Limambot.[22][23]

Pakasa'an Tonsea

sunting

Pakasa'an Tonsea yang sebelumnya dikenal dengan nama Tontewoh yang mulanya bermukim di Ni'aranan kemudian menyebar ke daerah-daerah di sekitarnya. Kelompok Toukema awalnya pergi ke daerah Kumelembuai (atau Airmadidi) dan kemudian mereka pindah ke daerah sekitar Kecamatan Kema. Kelompok lain yaitu Tounsea pergi ke daerah sekitar Kecamatan Likupang Barat, Kecamatan Likupang Selatan, dan Kecamatan Likupang Timur. Sedangkan Tounkalabat pergi ke daerah sebelah selatan Gunung Klabat. Kelompok ini bisa dibagi menjadi dua kelompok yang lebih kecil yaitu Kalabat Kalewoan yang bermukim di daerah Klabat dan Kalabat Kaleosan yang bermukim di daerah Wenang atau Kota Manado sehingga mereka berbaur dengan orang-orang Tombulu.[24] Ada pembagian lain yang membagi Pakasa'an Tonsea menjadi Kema di pantai timur, Kumelembuai (Airmadidi), dan Likupang di pantai utara.[18]

Pakasa'an Tontemboan

sunting

Pakasa'an Tontemboan yang sebelumnya dikenal dengan nama Tongkimbut dan juga Tounpakewa[14] yang mulanya bermukim di Tumaratas kemudian menyebar ke daerah-daerah di sekitarnya. Kelompok Tombasian pergi ke daerah sekitar Kecamatan Kawangkoan Barat yang di antaranya termasuk beberapa desa dengan nama Tombasian. Kelompok Tombasian juga menghasilkan kelompok lain bernama Toulangowan yang pindah dan menempati daerah sekitar Langowan.[25] Selain itu, kelompok Tombasian menghasilkan sebuah kelompok yang pergi ke daerah sekitar Amurang.[18]

Kelompok lain dari Pakasa'an Tontemboan bernama Tompaso yang mendiami daerah sekitar Kecamatan Tompaso dekat Watu Pinawetengan. Kelompok ini menghasilkan kelompok lain yang pergi ke daerah bernama Kayuuwi di sekitar Kecamatan Kawangkoan Barat.[25] Kecamatan ini memiliki beberapa desa dengan nama Kayuuwi. Kelompok Tompaso ini juga menghasilkan kelompok yang pergi ke daerah bernama Rumo'ong di Teluk Amurang.[18]

Kelompok lain dari Pakasa'an Tontemboan yaitu Toukawangkoan yang mendiami daerah sekitar Kecamatan Kawangkoan. Kelompok ini juga menghasilkan kelompok lain bernama Tousonder yang pergi ke daerah sekitar Kecamatan Sonder.[25]

Sub-suku lainnya

sunting

Terdapat beberapa sub-suku lainnya yang mendiami daerah Minahasa yaitu Bantik, Pasan/Ratahan, Ponosokan, dan Tonsawang.

Tonsawang adalah gabungan kelompok Tombatu dan Tonsawang di mana kelompok Tonsawang berasal dari kelompok Tombatu. Kelompok Tombatu pernah juga dikenal dengan nama Tonsini[26] dan Toundanouw.[27] Nama Tondanouw berbeda dengan Pakasa'an Tondano yang bermukim di Danau Tondano karena Tondanouw bermukim di daerah sekitar danau-danau Bulilin, Kawelaan, dan Sosong di Kecamatan Tombatu. Kelompok Tombatu kemudian menghasilkan kelompok Tonsawang (atau Tounsawah).[18]

Leluhur kelompok Pasan/Ratahan berasal dari daerah sekitar Pontak yang pindah ke daerah Kabupaten Minahasa Tenggara dan berbaur dengan penduduk setempat yang bernama Touwuntu dan menghasilkan kelompok Pasan/Ratahan.[28] Selain Tonsawang dan Pasan/Ratahan di Kabupaten Minahasa Tenggara, terdapat juga kelompok Ponosokan yang mendiami daerah paling selatan dari kabupaten ini yaitu di Kecamatan Belang dan Kecamatan Ratatotok. Karena berbatasan dengan daerah Mongondow, kelompok Ponosokan mempunyai hubungan dekat dengan Suku Mongondow walaupun masih termasuk sebagai sub-suku dari Suku Minahasa.[27]

Di sebelah utara daerah Minahasa, terdapat juga kelompok Bantik yang awalnya bermukim di daerah pesisir seperti Pulisan, Kema, Bentenan, dan Tateli. Selain itu, mereka juga pergi ke daerah pesisir di Malalayang di Manado, Bulo, dan Kalasey.[29] Terdapat juga kelompok Babontehu yang mendiami Pulau Manado Tua dan pulau-pulau sekitarnya.[30]

Perang dengan Bolaang Mongondow

sunting

Perselisihan dan peperangan dengan Kerajaan Bolaang Mongondow yang terletak di selatan Minahasa terjadi selama masa pemerintahan raja-raja Bolaang Mongondow abad ke-17 yaitu Dodi Mokoagow, Tadohé, dan Loloda Mokoagow.[31] Pangkal perselisihan berawal dari perkawinan pada abad ke-15 antara Raja Damopolii dengan Wulan Uwe Randen dari Minahasa dan sebagai harta kawin raja memberikan daerah di sekitar Sungai Ranoyapo.[32] Namun sebaliknya keturunan Raja Damopolii mengklaim bahwa daerah Minahasa berada di bawah kekuasaan mereka.[30] Ada juga cerita rakyat tentang Pingkan dan Matindas yang disebut menjadi pemicu petengkaran antara Minahasa dan Bolaang Mongondow.[33]

Pertarungan terakhir terjadi pada tahun 1693 di Tompaso dengan kemenangan pasukan gabungan pakasa'an-pakasa'an Minahasa terhadap pasukan Bolaang Mongondow di bawah pimpinan Raja Loloda Mokoagow.[31][34] Di antara para pemimpin Minahasa dalam perang melawan Bolaang Mongondow adalah Pelealu, Tekelingan, Wangka dari Pakasa'an Tombulu; Gerungan, Kambil, Kentur, Tarumetor, dan Wengkang dari Pakasa'an Tondano; Lengkong, Ramber, dan Wuaya dari Pakasa'an Tonsea; Kumeang, Lampas, Porong, dan Waani dari Pakasa'an Tontemboan.[35] Setahun kemudian pada tanggal 21 September 1694, Raja Jacobus Manoppo mengadakan perjanjian dengan kepala-kepala pakasa'an Minahasa yang menentukan perbatasan antara Minahasa dan Bolaang Mongondow di Tanjung Poigar. Perjanjian ini disaksikan oleh utusan dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC atau Perusahaan Hindia Timur Belanda).[36] Pada tahun 1756, perbatasan ini diperjelas dari Poigar (pantai utara) ke selatan Pontak hingga ke Teluk Buyat (pantai selatan).[37]

Sebelumnya pada tahun 1679, walak-walak di Minahasa bergabung untuk menyepakati sebuah perjanjian persahabatan dengan VOC dengan maksud untuk memerangi serangan dari Bolaang Mongondow. Perjanjian ini diadakan dengan gubernur VOC yang berkedudukan di Maluku yaitu Robertus Padtbrugge pada tanggal 10 Januari 1679 pada saat Padtbrugge berkunjung ke Minahasa. Terdapat 23 kepala walak yang menyetujui perjanjian tersebut. Para kepala walak berasal dari Aris, Bantik, Kakas, Kakaskasen, Klabat, Klabat Atas, Langowan, Pasan (yang juga mewakili Pinosokan dan Ratahan), Remboken, Rumoong, Sarongsong, Tombariri, Tombasian, Tomohon, Tompaso, Tondano, Tonkimbut Atas, Tonkimbut Bawah, Tonsawang, dan Tonsea.[38]

Masa kolonial

sunting

Pada akhir abad ke-16, Portugis dan Spanyol tiba di Sulawesi Utara. Saat bangsa Eropa datang, Kesultanan Ternate memiliki pengaruh di Sulawesi Utara, yang sering dikunjungi pedagang Bugis dari Sulawesi Selatan. Kekayaan sumber daya alam Minahasa menjadikan Manado sebagai pelabuhan strategis bagi pedagang-pedagang Eropa yang akan menuju dan pulang dari Maluku.

Bangsa Portugis adalah bangsa barat yang pertama kali datang di Sulawesi Utara, kapal Portugis berlabuh di pulau Manado dimasa Kerajaan Manado tahun 1521. Kapal Spanyol berlabuh di pulau Talaud dan Siau, terus ke Ternate. Portugis membangun benteng di Amurang. Spanyol membangun Benteng di Manado, sejak itu Minahasa mulai di kuasai Spanyol. Perlawanan melawan penjajahan Spanyol memuncak tahun 1660-1664. Kapal Belanda mendarat di Kota Manado pada tahun 1660 dalam membantu perjuangan Konfederasi Minahasa melawan Spanyol. Perserikatan negara-negara republik anggota Konfederasi Minahasa mengadakan Perjanjian Dagang dengan VOC. Perjanjian kerjasama dagang ini kemudian menjadikan VOC memonopoli perdagangan, yang lama kelamaan mulai memaksakan kehendaknya, akhirnya menimbulkan perlawanan tahun 1700 an di Ratahan yang memuncak pada Perang Minahasa-Belanda tahun 1809=1811 di Tondano.

Bangsa Spanyol telah menjajah Kepulauan Filipina pada waktu itu dan Minahasa dijadikan perkebunan kopi yang didatangkan dari Amerika Selatan karena tanah Minahasa yang subur. Manado kemudian lebih dikembangkan oleh Spanyol untuk menjadi pusat perdagangan kopi bagi pedagang-pedagang Tiongkok. Dengan bantuan suku-suku Minahasa yang menjadi sekutu, Spanyol merebut benteng Portugis di Amurang pada 1550-an, dan kolonis Spanyol kemudian membangun benteng di Manado, sehingga akhirnya Spanyol menguasai seluruh Minahasa. Pada abad ke 16 salah satu komunitas Indo-Eurasia pertama di Nusantara muncul di Manado. Raja pertama Manado, Muntu Untu (1630) sebenarnya merupakan keturunan setengah Spanyol.

Spanyol kemudian menyerahkan Minahasa kepada Portugis dengan ganti 350,000 ducat dalam sebuah perjanjian. Para penguasa Minahasa mengirim Supit, Pa’at, dan Lontoh untuk bersekutu dengan Belanda untuk mengusir bangsa Portugis dari Minahasa. Pada 1655 mereka akhirnya unggul, membangun benteng mereka sendiri pada 1658 dan mengusir orang Portugis terakhir beberapa tahun kemudian.

Pada awal abad ke-17 Belanda telah menumbangkan kesultanan Ternate, dan mulai menutup pengaruh Spanyol dan Portugis di Nusantara. Pada 1677 Belanda menguasai kepulauan Sangir dan, dua tahun kemudian, Robert Padtbrugge, gubernur Maluku, mengunjungi Manado. Kedatangannya menghasilkan perjanjian dengan para kepala suku Minahasa yang berujung pada dominasi Belanda selama 300 tahun berikut meskipun pemerintahan langsung oleh Belanda hanya bermula pada 1870.

Bangsa Belanda membantu mempersatukan konfederasi Minahasa, dan pada 1693, bangsa Minahasa memperoleh kemenangan militer mutlak melawan suku Mongondow di selatan. Pengaruh Belanda bertumbuh subur seiring dengan berkembangnya agama Kristen dan budaya Eropa di tanah Minahasa. Sekolah-sekolah misionaris di Manado pada 1881 merupakan salah satu upaya pertama pendidikan massal di Indonesia, memberikan kesempatan bagi lulusannya memperoleh pekerjaan sebagai pegawai negeri, ketentaraan, dan posisi tinggi lainnya dalam pemerintahan Hindia Belanda.

Hubungan Minahasa dengan Belanda sering kali kurang baik. Terjadi perang antara Belanda dan Tondano pada 1807 dan 1809, dan wilayah Minahasa tak berada di bawah pemerintahan langsung Belanda hingga 1870. Namun pada akhirnya Belanda dan Minahasa menjadi sangat dekat hingga Minahasa sering kali disebut sebagai provinsi ke-12 Belanda. Bahkan pada 1947, di Manado dibentuk pergerakan politis Twapro, singkatan dari Twaalfde Profincie (Provinsi Keduabelas) yang memohon integrasi Minahasa secara formal ke dalam Kerajaan Belanda.[39]

Minahasa Raad

sunting

Lembaga Musyawarah Para Ukung (Vergadering der Doopshoofden) atau Dewan Wali Pakasaan (Raad der Doopshoofden); di plesetkan oleh Johannes Wenzel saat menjadi residen pada tanggal 1 September 1825, ia menghapus Dewan Wali Pakasaan, lalu mengantinya dengan Minahasaraad purba; kemudianMinahasaraad purba diubah berdasarkan undang-undang desentralisasi 1905 yang berlaku untuk seluruh Hindia Belanda, namun di Minahasa nanti diberlakukan tahun 1919 dengan namaMinahasaraad. Domeinverklaring, yaitu pemerintahan langsung Belanda atas Minahasa ditolak oleh Minahasa termasuk Manado yang saat itu masih termasuk wilayah Minahasa melalui staadblad Nomor 65. Penolakan pemerintahan langsung Belanda atas Minahasa-Manado mendorong pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan koningen yang isinya memberikan parlemen (DPR) kepada Minahasa pada tahun 1919, yang dikenal dengan nama dewan Minahasa, yang dalam bahasa Belanda disebut Minahasaraad.

Benda Temuan Arkeology Masa Sejarah

sunting

Di antaranya Benteng-benteng Portugis di seperti di Amurang, Kema, Batu Waruga di Sawangan, Tomohon, Tondano, Tompaso kemudian tugu-tugu batu di semua desa yang disebut Batu Tumotowa.

Masa kemerdekaan

sunting

Permesta

sunting

Pada saat negara baru Republik Indonesia menghadapi krisis demi krisis, monopoli kopra oleh Jakarta sangat melemahkan ekonomi Minahasa dan daerah-daerah di luar Jawa lainnya.[40] Seperti di Sumatra, mulai timbul ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat di Minahasa karena inefisiensi, pembangunan tak merata, dan uang yang hanya mengalir ke Jawa.[41] Karena situasi ini, mulai September 1954, ekspor illegal secara langsung ke luar negeri mulai dilakukan.[42] Pemerintah pusat kemudian memerintahkan penutupan pelabuhan Bitung di Minahasa pada tanggal 1 Juni 1956, salah satu pelabuhan penyelundupan kopra.[43]

Pada bulan Maret 1957, para pemimpin militer Sulawesi Utara dan Selatan mengadakan konfrontasi dengan Jawa, dengan tuntutan otonomi daerah yang lebih besar. Mereka meminta pembangunan yang lebih aktif, pembagian pajak yang lebih adil, bantuan menghadapi pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan kabinet pemerintah pusat yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta dengan seimbang.[44] Pada mulanya pergerakan Permesta melalui Piagam Permesta (Piagam Perjuangan Rakyat Semesta) hanyalah merupakan pergerakan reformasi daripada pergerakan separatis.[45]

Negosiasi antara pemerintah pusat dan para pemimpin militer Sulawesi mencegah kekerasan di Sulawesi Selatan, tapi para pemimpin Minahasa tak puas dengan hasil perjanjian dan pergerakan tersebut pecah.[46] Para pemimpin Permesta asal Minahasa memindahkan markas ke Minahasa tepatnya di Kinilow pada Juni 1957. Melalui Operasi Merdeka, TNI berhasil memukul pasukan Permesta dari dari Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sangihe, dan Morotai di Maluku mulai pertengahan tahun 1958. Pesawat-pesawat Permesta (disuplai oleh AS dan diterbangkan oleh pilot Filipina, Taiwan, dan Amerika) dihancurkan. Amerika Serikat kemudian berpindah pihak dan pada Juni 1958 tentara pemerintah pusat mendarat di Minahasa. Pemberontakan Permesta berakhir pada pertengahan 1961.

Efek dari pemberontakan PRRI di Sumatra dan Sulawesi pada akhirnya meningkatkan apa yang ingin dilawan para pemberontak tersebut. Otoritas pemerintahan pusat meningkat sedangkan otonomi daerah melemah, nasionalisme radikal menguat dibandingkan moderasi pragmatis, kekuatan partai komunis dan Sukarno meningkat sedangkan Hatta melemah, dan Sukarno akhirnya menetapkan demokrasi terpimpin pada 1958.

Sejak reformasi 1998, pemerintah Indonesia mulai menetapan undang-undang yang meningkatkan otonomi daerah, ide utama yang diperjuangkan Permesta.[47]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Simanjuntak (2006), hlm. 234.
  2. ^ Bellwood (1995), hlm. 103-114.
  3. ^ Renwarin (2006), hlm. 221.
  4. ^ Renwarin (2006), hlm. 10.
  5. ^ Renwarin (2006), hlm. 57.
  6. ^ Wenas (2007), hlm. 12.
  7. ^ Wenas (2007), hlm. 35.
  8. ^ Renwarin (2006), hlm. 61-81.
  9. ^ Wenas (2007), hlm. 8-17.
  10. ^ Renwarin (2006), hlm. 61.
  11. ^ Renwarin (2006), hlm. 77.
  12. ^ a b Wenas (2007), hlm. 8.
  13. ^ Wenas (2007), hlm. 13, 15.
  14. ^ a b Graafland (1867), hlm. 26.
  15. ^ Wuysang (2014), hlm. 65.
  16. ^ Renwarin (2006), hlm. 88.
  17. ^ Watuseke (1987), hlm. 553.
  18. ^ a b c d e f Wenas (2007), hlm. 14.
  19. ^ Renwarin (2006), hlm. 82.
  20. ^ BPS Kab. Minahasa (2018), hlm. 11.
  21. ^ Jasper (1916).
  22. ^ Kussoy (1960), hlm. 12.
  23. ^ Renwarin (2006), hlm. 81.
  24. ^ Renwarin (2006), hlm. 86.
  25. ^ a b c Renwarin (2006), hlm. 85.
  26. ^ Kussoy (1960), hlm. 13.
  27. ^ a b Renwarin (2006), hlm. 92.
  28. ^ Wenas (2007), hlm. 19.
  29. ^ Renwarin (2006), hlm. 92, 93.
  30. ^ a b Wigboldus (1987), hlm. 66.
  31. ^ a b Watuseke (1968), hlm. 26.
  32. ^ BPNB Sulut (2015).
  33. ^ Wowor (2018).
  34. ^ Henley (1992), hlm. 67.
  35. ^ Talumewo (2010).
  36. ^ Henley (1992), hlm. 64.
  37. ^ Henley (1992), hlm. 65.
  38. ^ Leirissa (1997), hlm. 24.
  39. ^ The Fate of Federalism: North Sulawesi from Persatuan Minahasa to Permesta
  40. ^ Harvey (1977), hlm. 35, 36.
  41. ^ Lundstrom-Burghoorn (1981), hlm. 43.
  42. ^ Harvey (1977), hlm. 36.
  43. ^ Harvey (1977), hlm. 37.
  44. ^ Harvey (1977), hlm. 48.
  45. ^ Harvey (1977), hlm. 54.
  46. ^ Harvey (1977), hlm. 111-13.
  47. ^ Conterius (2019).

Sumber referensi

  • Bellwood, Peter (1995). "Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion, and Transformation" [Prasejarah Austronesia di Asia Tenggara: Tanah Air, Ekspansi, dan Transformasi]. Dalam Bellwood, P.; Fox, J.; Tryon. The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives [Bangsa Austronesia: Perspektif Historis dan Komparatif] (dalam bahasa Inggris). Canberra: Australian National University Press. 
  • Kecamatan Tondano Barat Dalam Angka 2018. Tondano: Badan Pusat Statiska Kabupaten Minahasa (BPS Kabupaten Minahasa). 2018. 
  • Graafland, Nicolaas (1867). Inilah Kitab Batja akan Tanah Minahassa. Roterdam: Wajt dan Anakh. 
  • Harvey, Barbara S. (1977). Permesta: Half a Rebellion [Permesta: Setengah Pemberontakan] (dalam bahasa Inggris). Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University. 
  • Henley, David (1992). Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa In The Dutch East Indies (Tesis PhD). Canberra: Australian National University. 
  • Kussoy, J. (1960). Minahasa Selajang Pandang (Tesis). Universitas Gajah Mada. 
  • Leirissa, R. Z. (1997). Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan. 
  • Lundstrom-Burghoorn, W. (1981). Minahasa Civilization: A Tradition of Change [Peradaban Minahasa: Tradisi Perubahan] (dalam bahasa Inggris). Göteborg: ACTA Universitatis Gothoburgensis. 
  • Renwarin, Paul Richard (2006) (dalam bahasa Inggris). Matuari and Tona'as: The Cultural Dynamics of the Tombulu in Minahasa (Tesis PhD). Universiteit Leiden. 
  • Simanjuntak, Truman (2006). Archaeology Indonesian Perspective: R.P. Soejono's Festschrift [Arkeologi dalam Perspektif Indonesia: Mengenang R. P. Soejono] (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 
  • Watuseke, F. S. (1968). Sedjarah. Jakarta: Pertjetakan Negara. 
  • Watuseke, F. S. (1987). "Tondano and not Toulour" [Tondano dan bukan Toulour]. Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde (dalam bahasa Inggris). 143 (4): 552–554. Diakses tanggal 14 Juli 2020. 
  • Wenas, Jessy (2007). Sejarah dan Kebudayaan Kebudayaan Minahasa. Institut Seni dan Budaya Sulawesi Utara. 
  • Wigboldus, Jouke S. (1987). "A History of the Minahasa c. 1615-1680" [Sejarah Minahasa c. 1615-1680]. Archipel (dalam bahasa Inggris) (34). 
  • Wowor, Fredy Sreudeman (2018). Widodo, Supriyanto, ed. Si Cantik Pingkan. Manado: Balai Bahasa Sulawesi Utara. 
  • Wuysang, Cynthia Erlita Virgin (2014) (dalam bahasa Inggris). Defining Genius Loci dan Qualifying Cultural Landscape of the Minahasa Ethnic Community in the North Sulawesi, Indonesia (Tesis PhD). Adelaide: University of Adelaide. 

Pranala luar

sunting