S. Abdullah adalah seorang penyanyi keroncong asal Pekalongan yang dikenal pada dekade 1920an.[1] Ia dianggap sebagai sosok percontohan di ranah musik keroncong asli.[1] Pada tahun 1933, ia mengerjakan rekonstruksi serta pembakuan musik keroncong moreska (moritsku, moritsko, atau moresca) bersama Kusbini dan Kusbandi.[1] Keroncong jenis ini merupakan versi purwarupa musik keroncong atau biasa disebut keroncong asli.[1] Keroncong asli diduga berasal dari abad ke-16, saat para budak-budak Portugis dibebaskan oleh pemerintahan Belanda.[1] Selain berperan sebagai penyanyi ia juga merupakan seorang pencipta lagu.[1][2]

Karier

sunting

Said Abdullah Bamazham, ada penyanyi keroncong keturunan Arab. Ia pernah sangat populer pada 1920-an hingga 1930-an. Suaranya direkam dalam piringan hitam dan radio. Ia pun memenangkan berbagai kontes keroncong di masa itu. Ini kisah Abdullah. Said Abdullah Bamazham, yang merupakan keturunan Arab, lahir di Cirebon, Jawa Barat. Tapi, ada sumber lain yang menyebut, ia berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah. Lalu, pindah ke Surabaya bersama keluarganya. Dari kecil ia sudah tertarik dengan dunia seni, terutama film. Karena ketertarikannya dengan film, di Surabaya ia pernah bekerja sebagai tukang putar film. Tapi pekerjaan itu tak berlangsung lama. Ibunya meminta ia berhenti dan menyuruhnya mencari pekerjaan lain. Selepas itu, ia bekerja di perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij atau KPM. Ia bekerja di sini dari 1926 hingga 1927. Ketika bekerja di KPM inilah ia mulai tertarik pada musik. Alat musik yang pertama kali membuatnya jatuh cinta adalah biola. Kemudian, Abdullah bergabung dengan orkes keroncong Nachtegaal, sebagai pemain biola. Di kelompok musik ini, Abdullah belajar bermain gitar dan bernyanyi. Kemunculan pertama kali Abdullah sebagai penyanyi terjadi pada 1929. Saat itu, ia ikut kontes keroncong di Jaarmarkt atau Pasar Malam Surabaya. Di kontes tersebut, Abdullah menjadi juara ketiga. Setelah itu, Abdullah memilih keluar dari Nachtegaal dan membentuk rombongan musik Tovido. Seiring waktu, kemampuan bernyanyinya makin meningkat. Dalam beberapa kali kontes keroncong ia pun menyabet juara pertama. Misalnya, dalam kontes keroncong di Solo, selama tiga kali berturut-turut, yakni tahun 1931, 1932, dan 1933 ia menjadi juara. Label His Master’s Voice atau HMV lalu mengontrak Abdullah. Dalam dua tahun bersama HMV, pencapaian Abdullah sangat baik. Ia dapat penghargaan dua kali bintang emas dari label itu. Akan tetapi, Abdullah berulah. Meski terikat kontrak dengan HMV, Abdullah nekat bekerja sama dengan label Odeon. Ia memakai nama samaran Sahib Radja. Karena ulahnya, sempat terjadi perselisihan antara dirinya dengan HMV. Namun, ia kembali merekam nyanyiannya di HMV. Peneliti Philip Bradford Yampolsky dalam disertasinya di Washington University berjudul Music and media in the Dutch East Indies: Gramophone records and radio in the late colonial era menyebut, Abdullah memperbarui kontrak tahunan dengan HMV dari 1929 hingga 1938. Akan tetapi, pada 1932 kontrak dengan HMV sudah selesai dan belum diperbarui. Saat itulah Abdullah merekam suaranya untuk Odeon. Pada 1930-an, Abdullah sudah menjadi penyanyi keroncong yang top. Maka tak heran, label memperlakukannya dengan istimewa. Semisal pada 1937, saat merekam 42 lagu di Batavia, pihak HMV memesan hotel dengan ruang tamu, ruang latihan, dan ruang tidur untuk Abdullah. Perekaman sendiri berlangsung selama dua bulan. Suara Abdullah juga bisa didengarkan melalui corong radio NIROM Surabaya. Abdullah pun mahir mencipta lagu. Beberapa karyanya berjudul “Berani karena Benar” dan “Oh Iboe”. Berani kerna Benar direkam di HMV pada 1936. Lagu ini merupakan bentuk simpati Abdullah terhadap nasionalisme Indonesia. Sedangkan lagu Oh Iboe terinspirasi dari ibunya sendiri yang wafat pada 1933. Penulis Japi Tambajong atau Remy Sylado dalam buku Ensiklopedi Musik menyebut, pada 1933 Abdullah bersama Kusbini dan Kusbandi mengerjakan rekonstruksi sekaligus pembakuan keroncong moreska. Nama Abdullah bukan saja dikenal di Jawa. Tapi juga di Borneo hingga Singapura. Pada 1940, Abdullah menjalin kerja sama dengan perusahaan rekaman Hoo Soen Hoo. Ia juga merekam suara di label Canary. Di Canary, Abdullah mengabadikan suaranya dalam lagu mars Laskar Persatoean Arab Indonesia (PAI). Konon, lagu Abdullah berjudul “Mata Setan” pun sempat didengar aktor kondang Charlie Chaplin. Menurut majalah Pedoman Radio Gids edisi 10 Juli 1949, suara Abdullah membuat Chaplin kepincut dan penasaran ingin bersua. Disebutkan, ketika Chaplin mengunjungi Hindia Belanda, ia menyempatkan berkunjung ke rumah Abdullah di Surabaya. Tak disebutkan kapan Chaplin ke Surabaya dalam artikel di majalah itu. Tapi, Chaplin memang pernah mengunjungi beberapa kota di Jawa dan Bali, salah satunya Surabaya, pada 1932 dan 1936. Menurut wartawan Ninok Leksono dalam buku Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman, komponis Ismail Marzuki pernah berguru kepada Abdullah. Abdullah nyaris pula menjadi pemain film. Pada Juni 1941, sebuah artikel singkat di majalah Pertjatoeran Doenia & Film memampang foto Abdullah. Artikel itu menyebut, Abdullah bakal main film dalam film produksi The New Java Industrial Film. Namun, tak ada kabar lagi setelah itu.

Kematian

sunting

Suatu hari di bulan Juni 1941, Abdullah jatuh sakit. Tak disebutkan dalam berbagai sumber sakit yang diderita Abdullah. Pada pertengahan Juni 1941, Abdullah memilih pulang ke kampung halamannya di Cirebon. Awal Agustus 1941, kondisi kesehatannya semakin parah. Napasnya sesak dan penglihatannya kabur. Jumat malam pada tanggal 30 Agustus 1941, Abdullah wafat.

  1. ^ a b c d e f PT., Cipta Adi Pustaka, (1992). Ensiklopedi musik. Cipta Adi Pustaka. OCLC 27455193. 
  2. ^ Tempo (2018-06-02). "Menafsir Ulang Lagu-lagu S. Abdullah". Tempo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-14.