Rumah Rakit

rumah tradisional di Indonesia

Rumah Rakit adalah rumah adat yang berasal dari Provinsi Sumatera Selatan. Rumah rakit merupakan salah satu rumah tertua di Provinsi Sumatera Selatan, diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Rumah rakit dibangun di atas rakit dan mengapung di sepanjang pinggiran Sungai Musi, Sungai Ogan, dan Sungai Komering. Supaya tidak hanyut terbawa arus, rumah diikat pada sebuah serdang (penambat).[1][2]

Rumah Rakit di Surulangun, Rawas Ulu, Musi Rawas Utara sekitar tahun 1877-1879

Sejarah sunting

Kota Palembang memiliki letak yang strategis sehingga menjadikannya sebagai pusat kekuatan politik dan ekonomi pada wilayah Asia Tenggara. Sejak dahulu, Palembang banyak didatangi pelaut dan pedagang asing, seperti Tiongkok, Arab dan Persia.[3] Pada masa Kesultanan Palembang, para pendatang tersebut tidak diperbolehkan untuk membangun rumah di darat. Kecuali bangsa Arab dan pendatang muslim yang memiliki kedekatan dengan Kesultanan Palembang.[1] Bentuk dari rumah-rumah menggambarkan kelompok-kelompok masyarakatnya. Rumah panggung hanya bisa dihuni oleh penduduk asli.

Pendatang hanya diperbolehkan membangun rumah di atas rakit, hal ini karena kebijakan yang dibuat pada masa Kesultanan Palembang yang bernuansa politik. kewajiban bagi pendatang untuk tinggal di rumah rakit memudahkan bagi penguasa untuk mengontrol mobilitas warga asing. Pemisahan yang jelas antara penduduk asli dengan pendatang dapat mempermudah penguasa dalam melakukan hukuman terhadap pendatang. Apabila terdapat pendatang yang melakukan tindakan kriminal atau melanggar hukum, penguasa akan memberi perintah untuk melepaskan tambatan pada rumah rakit sehingga rumahnya hanyut terbawa arus sungai.[1][4]

Fungsi rumah rakit selain tempat tinggal, banyak digunakan juga sebagai penginapan, gudang, dan tempat berdagang. Orang China yang umumnya bermata pencaharian sebagai pedagang banyak menggunakan rumah rakit sebagai sarana untuk berdagang.[1] Selain itu, rumah rakit digunakan juga sebagai sarana transportasi bagi penghuninya, rumah ini dapat memudahkan penghuninya melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.[4] Setelah Kesultanan Palembang ditaklukkan oleh Belanda, rumah rakit tidak lagi menjadi tempat yang terpinggirkan. Para pendatang yang sebelumnya harus tinggal di rumah rakit mulai banyak yang pindah membangun rumah di daratan.[1]

Struktur sunting

Rumah rakit mempunyai bentuk persegi panjang, rumah ini dibangun di atas susunan balok kayu atau bambu, sedangkan lantai rumah dibuat menggunakan bahan papan.[5]Untuk menjaga lantai rumah tetap kering, maka di atas balok kayu atau rangkaian bambu diberi alas berupa papan yang disusun berjajar.[6] Untuk membuat rumah mengapung, di bagian bawah ditopang dengan lanting. Lanting adalah kumpulan batang bambu yang diikat menjadi satu, satu lanting terdiri dari 100 bambu. Untuk rumah dengan rukuran 9x12 m, diperlukan 7 lanting.[2] Agar bangunan rumah Rakit tidak berpindah-pindah tempat, keempat sudutnya dipasang tiang yang kokoh. Bangunan diikat dengan menggunakan tali besar yang terbuat dari rotan dan diikatkan pada sebuah tonggak yang ada di tebing sungai. Atap rumah rakit memiliki bentuk pelana dengan menggunakan bahan daun nipah, alang-alang (ijuk) yang diikat dengan tali rotan.[7][5]

Rumah rakit terdiri dari 2 ruangan, Ruangan depan digunakan untuk tempat menerima tamu dan tempat kegiatan sehari-hari, sedangkan ruang belakang berfungsi sebagai tempat tidur. Dapur, jika berada dalam satu bangunan, biasanya berada di sisi luar ruang tidur. Tetapi terkadang ruangan untuk dapur dibangun terpisah. Pintu pada rumah rakit bisanya ada dua, satu menghadap ke sungai dan yang satunya lagi menghadap ke daratan. Jendelanya, biasanya, berada pada sisi kiri dan kanan dinding rumah Rakit, tetapi ada juga yang berada di sisi kanan dan kiri pintu masuk rumah. Pada bagian depan depan rumah terdapat jembatan penghubung yang berupa sekeping papan atau rangkaian bambu. Rumah Rakit pada dasarnya tidak mempunyai hiasan-hiasan, hanya saja pada rumah Rakit modern dihiasi ukiran timbul khas Palembang (berupa stilisasi daun dan kembang) dengan warna merah hati dan emas yang mencolok.[6][7]

Pembangunan sunting

Pembangunan rumah Rakit secara garis besar terdiri dari tiga tahap, yaitu: pembangunan bagian bawah, bagian tengah, dan bagian atas. Bagian bawah dari rumah Rakit merupakan bagian terpenting, bagian ini menentukan kokoh tidaknya rumah Rakit. Hal pertama yang dilakukan adalah pemilihan kayu dan bambu yang cukup tua dengan diameter tertentu. Kayu dan bambu ini saling diikatkan satu sama lain lalu diikatkan dengan sebuah pasak, yang kemudian akan digunakan sebagai pondasi rumah rakit. Fungsinya adalah sebagai alat untuk membuat rumah rakit terapung. Kayu dan bambu yang digunakan harus memiliki serat yang cukup padat karena berhubungan langsung dengan air, selain itu juga untuk menghindari cacat pada kayu dan bambu. Tiang-tiang rumah rakit terbuat dari kayu tembesu, hal ini karena kayu tembesu memiliki kualitas yang paling baik. Setelah pembuatan bagian bawah Rumah Rakit selesai, yang ditandai dengan keberadaan lanting, maka proses selanjutnya adalah pemasangan sako. Sako ditegakkan di atas alang yang berada pada bagian atas lanting. Namun sebelum ditegakkan, sako terlebih dahulu diberi putting dan dilanjutkan dengan pemasangan alang pajang, pemasangan jenang, pemasangan sento-sento, pemasangan dinding rakit, serta pemasangan pintu dan jendela dan ruangan dapur. Bagi keluarga dengan tingkat ekonomi menengah keatas, dinding dan lantai rumahnya menggunakan kayu tembesu. Beberapa rumah rakit menggunakan bambu yang telah dicacah dan direntangkan yang kemudian digunakan sebagai bahan pembuatan dinding rumah, bahan bambu biasanya digunakan oleh keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Tahap selanjutnya sebagai tahap akhir adalah pembangunan bagian atas yang ditandai dengan pemasangan alang panjang, kasau, dan atap. Bagian atas rumah rakit menggunakan kayu seru karena kayu seru memiliki kualitas tahan tarik yang cukup tinggi. Rumah rakit menggunakan bahan yang dapat terapung di atas permukaan air, sehingga membuat ketinggian rumah rakit akan mengikuti tingkat ketinggian permukaan air sungai.[7][5][1]

Semakin Langka sunting

Pada saat ini, jumlah rumah rakit semakin hari semakin sedikit, di antaranya disebabkan oleh perubahan pola pikir manusia dan keterbatasan bahan-bahan untuk membuat rumah Rakit, semakin banyak penduduk yang lebih memilih membangun rumah di darat disebabkan biaya pembangunan yang lebih murah, serta terbatasnya lahan untuk menempatkan dan mengikat rumah. Selain itu, rumah Rakit juga dianggap sebagai sumber pencemaran sungai karena penghuninya membuang sampah dan kotoran langsung ke sungai, hal ini menjadi salah satu alasan untuk menggusur keberadaan rumah Rakit.[1][2][7]

Lihat Pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g Subhi, Noperman. "Rumah Rakit: Sejarah dan Eksistensinya". majalah1000guru. Diakses tanggal 03 April 2019. 
  2. ^ a b c "Rumah Rakit Kota Palembang". palembang-tourism. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-03. Diakses tanggal 03 April 2019. 
  3. ^ Lussetyowati, T (2012). "Peninggalan Aritektur di Tepian Sungai Musi" (PDF). Temu Ilmiah IPLBI 2012. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-10-12. Diakses tanggal 03 April 2019. 
  4. ^ a b Adiyanto, J (September 2008). "Transformasi Bentuk Arsitektural Hunian Masyarakat Keturunan China di Palembang (Pembacaan Arsitektural dengan Metode Hermeneutika Fenomenologi)" (PDF). Seminar Nasional Ke-Bhinekaan Bentuk Arsitektur Nusantara. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-11-02. Diakses tanggal 03 April 2019. 
  5. ^ a b c Darisandi, R. "Rumah Adat Rakit Palembang". budaya-indonesia. Diakses tanggal 08 April 2019. 
  6. ^ a b Zalika, I (2010). "Rumah Bari dalam Kehidupan Masyarakat Adat Palembang Sumatera Selatan". Skripsi. Diakses tanggal 08 April 2019. 
  7. ^ a b c d "Rumah Rakit Palembang". warisanbudaya. Diakses tanggal 08 April 2019.