Risiko hukum adalah risiko yang timbul karena ketidakmampuan bank dalam mengelola kebijakan hingga menyebabkan kerugian dalam hal yuridis, serta tidak mampu menghadapi tuntutan yang diberikan dari pihak lain.[1] Risiko hukum antara lain dapat bersumber daripada operasional, perjanjian dengan pihak ketiga, ketidakpastian hukum dan kelalaian penerapan hukum, hambatan dalam proses litigasi untuk penyelesaian klaim, serta masalah yurisdiksi antar negara. Litigasi sendiri memiliki arti proses penyelesaian klaim melalui pengadilan, dengan cara memberikan deskripsi dan penjelasan dari setiap kasus, dan memberikan seluruh data dan informasi secara jelas dan menyeluruh.[2] Pengertian lain mengenai risiko hukum yaitu, jenis risiko yang diakibatkan dari adanya tuntutan hukum.[3] Tuntutan hukum yang terjadi akibat beberapa faktor dan aspek yuridis biasa ditemukan dalam aktivitas transaksi yang terjadi di bank, serta dalam kegiatan kontrak yang terjadi antara nasabah dengan pihak ketiga atau pihak lainnya. Risiko hukum tersebut bisa terjadi karena adanya pelanggaran dalam perjanjian kontrak, kurangnya dokumen atau payung hukum yang mendukung, serta hukum dan peraturan yang tidak dijalankan secara prosedural.[4] Di Indonesia, permasalahan yang muncul akibat risiko hukum, di antaranya kasus pengindaran pajak yang menimbulkan permasalahan sengketa pajak, kebakaran hutan dan lahan akibat proyek pembangunan yang tidak taat hukum, hingga perselisihan dengan pihak ketiga yang muncul diperusahaan karena kontrak. Risiko hukum bisa dicegah dengan cara mengelola risiko hukum, dan taat terhadap aturan.[5]

Adanya manajemen risiko hukum, mampu membantu perlindungan bagi bank, dari hal-hal yang berbahaya. Perusahan perbankan perlu memiliki aturan pengamanan risiko hukum dalam setiap kegiatannya, atau dalam setiap transaksinya. Bank harus membuat dan menetapkan kebijakan hukum agar mendukung usaha perbankan tersebut. Pengaplikasian manajemen risiko hukum dapat dijangkau melalui proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko, baik risiko eksternal maupun internal. Apabila perusahaan perbankan mampu mengendalikan risiko hukum, maka seluruh aktivitas yang ada dalam perusahaan tersebut mampu beroperasi secara lancar dan efisien.[6]

Manajemen sunting

Manajemen risiko hukum, dapat diaplikasikan dengan cara identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko.[7] Selain itu, manajemen risiko juga memerlukan sistem informasi manajemen risiko hukum.

Identifikasi sunting

Identifikasi risiko hukum dilaksanakan dengan cara menganalisis risiko secara berkala secara keseluruhan. Hal yang diidentifikasi meliputi seluruh produk, kegiatan bisnis yang ada pada bank, dan menganalisis sumber risiko dari aktivitas-aktivitas dari bank tersebut.[6] Sifat dari identifikasi risiko yaitu untuk antisipatif di seluruh kegiatan operasional. Seluruh informasi digunakan untuk menganalisis informasi.[8]

Bedasarkan teknik identifikasinya, risiko hukum dibagi menjadi dua jenis. Pertama, risiko hukum yang dapat diidentifikasi. Jenis pertama ini, menimbulkan dampak positif bagi perbankan untuk mengendalikan dan mempersiapkan kebijakan hukum dalam pelaksanaan perbankan. Kedua, risiko hukum yang tidak dapat diperkirakan. Jenis kedua ini merupakan risiko hukum yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Hal ini mampu mengakibatkan kerugian bagi perusahaan perbankan, juga menurunnya reputasi terhadap perusahaan.[9]

Pengukuran sunting

Bank harus melakukan pengukuran risiko hukum dengan menggunakan alat ukur yang terhubung dengan kerangka Manajemen Risiko Bank. Metode yang digunakan dalam pengukuran risiko hukum dapat bersifat kuantitatif atau kualitatif. Hal yang dilakukan dalam pengukuran risiko hukum di antaranya dengan menganalisis indikator beberapa potensi kerugian akibat litigasi. Selain itu, indikator lainnya berupa perjanjian kontrak yang dibatalkan. Indikator lainnya yaitu, peraturan perundang-undangan yang berubah dan berdampak terhadap produk bank yang tidak selaras dengan aturan.[6]

Tahap pertama dalam kegiatan pengukuran yaitu memisahkan aktivitas perbankan menjadi tujuh kegiatan. Kegiatan itu, yaitu: 1) kegiatan kredit; 2) treasury dan investasi; 3) aktivitas operasional dan jasa; 4) kegiatan perdagangan dan pembiayaan; 5) pemberian dana dan instrumen utang; 6) teknologi sistem informasi (TSI) dan sistim informasi manajemen; dan 7) pengelolaan Sumber Daya Manusia. Tahap kedua, melakukan input data inheren sesuai dengan ketentuan manajemen risiko hukum. Tahapan ketiga yaitu, memberikan skor terhadap pelanggaran yang dilakukan. Skala skor yang diberikan 0-4. Skor "0" menandakan pelanggaran paling buruk, sedangkan skor "4", menandakan perusahaan perbankan tersebut tidak pernah melakukan pelanggaran. Tahapan keempat, memberikan predikat terhadap skor yang sudah diberikan.[10]

Pemantauan sunting

Pemantauan risiko hukum didasarkan pada kegiatan penyusunan dan penetapan tahapan kesepakatan transaksi, yang mencakup limit yang melampaui batas bagi setiap jenjang jabatan.[6] Hal-hal yang dipantau yaitu, kemampuan bank dalam mengelola modal terhadap kerugian yang mungkin akan dialami. Selain itu, memantau tentang hal-hal yang menyebabkan kerugian di masa lalu, serta kemampuan sumber daya manusia dalam menghadapi hal tersebut.[8]

Pengendalian sunting

Pengendalian risiko hukum merupakan kegiatan pengkajian ulang secara terstruktur tentang kontrak perjanjian antar bank dengan pihak lain. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan penilaian kembali tentang efektivitas proses enforceability dengan tujuan untuk melihat hasil validitas hak yang ada dalam kotrak dan perjanjian yang dilakukan.[6]

Sistem Informasi sunting

Sistem informasi berisi catatan data yang tersusun dalam suatu data statistika yang bisa digunakan untuk menggambarkan hal-hal yang mengakibatkan kerugian aktivitas bisnis bank dalam periode tertentu.[6]

Kebijakan dan strategi sunting

Bank Indonesia pada tahun 2003 menerbitkan peraturan tentang penerapan manajemen risiko Bank Umum.[11] Di dalamnya berisi mengenai kebijakan bank untuk mengaplikasikan manajemen risiko hukum, yang memuat tentang:

  • Bank harus mempunyai kebijakan untuk mengendalikan risiko hukum seara tertulis, dan dapat disesuaikan dengan strategi usaha bank. Kebijakan yang telah dibuat, harus disetujui oleh Direksi, setelah itu harus sebarluaskan kepada setiap organisasi di perusahaan perbankan tersebut agar kebijakan dan aturan hukum tersebut dijalankan secara prosedural.[12]
  • Bank harus memiliki legal watch, yang berfungsi untuk menganalisis dan memberikan saran mengenai hukum kepada seluruh pegawai/organisasi yang berada di perusahaan perbankan tersebut.[12]

Kebijakan yang dibuat, bertujuan untuk pemenuhan undang-undang dan regulasi yang berpengaruh terhadap transaksi dan pelaksanaan kontrak. Oleh karena itu setiap perusahaan perbankan harus memiliki strategi dalam pengendalian risiko hukum. Perbankan harus membuat kebijakannya sendiri karena untuk nasabah atau pihak lain sudah dilindungi oleh undang-undang, sedangkan perbankan harus mengatur manajemennya sendiri. Salah satu contohnya, nasabah dilindungi dalam pembuatan perjanjian kredit. Perlindungan tersebut ada dalam Pasal 18 UUPK tentang pengaduan konsumen, yang didukung oleh kebijakan otoritas jasa keuangan yang tertuang dalam pasal 29.[13] Contoh nyata risiko hukum dalam aktivitas perbankan yaitu, pada saat permohonan kredit, dalam kegiatan analisis kredit, risiko hukum dalam memberikan tinjauan untuk menyepakati kredit, risiko hukum yang terjadi ketika proses persetujuan kredit, risiko yang terjadi dalam perjanjian, pencairan, hingga pengawasan kredit.[14]

Oleh karena itu, bank harus memiliki strategi agar mendapatkan perlindugan hukum. Stategi itu di antaranya:

  • Membuat prosedur dan aturan tertulis, yang berisi mengenai kebijakan perusahaan perbankan.[15]
  • Produk dan aktivitas baru harus dianalisis sesuai prosedur dan ketentuan hukum.[15]
  • Perusahaan perbankan harus memiliki penasihat hukum.[15]
  • Perusahaan harus mampu menilai apakah risiko hukum masih terjadi terhadap pemberlakuan perubahan peraturan yang sudah dianalisis.[15]
  • Perusahaan harus tegas terhadap pelanggaran peraturan hukum dengan pemberian sanksi.[15]
  • Kajian terhadap akad, kontrak, dan perjanjian-perjanjian bank, harus dilakukan secara berkala agar diketahui dampak dan efektivitasnya dari sebuah kebijakan yang dibuat.[15]

Selain itu, ada beberapa strategi untuk menangani pembayaran yang bermasalah kepada perbankan. Strategi pertama, tetap menjaga komunikasi dengan nasabah, dengan persayaratan nasabah tersebut mampu untuk bekerja sama untuk melakukan langkah restruktur. Perusahaan perbankan bisa menyiapkan dan menetapkan langkah restruktur. Pihak bank akan mengumpulkan data nasabah secara lengkap, setelah itu mulai melakukan litigasi berupa jaminan dan gugatan perdata. Strategi kedua yaitu, memutuskan hubungan komunikasi dengan nasabah sebagai penanganan dalam pembiayaan. Hal ini dilakukan karena nasabah sudah tidak bisa bekerja sama dengan perbankan. Penyelesaian akhir dilakukan dengan cara menyerahkan jaminan nasabah dan gugatan perdata.[16]

Referensi sunting

  1. ^ Indonesia, Ikatan Bankir (2015-09-02). Manajemen Risiko 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 16. ISBN 978-602-03-1721-2. 
  2. ^ Banten, Ki (2016-07-20). "Komisi Informasi | Perbedaan Litigasi Dan Non Litigasi". komisiinformasi.bantenprov.go.id. Diakses tanggal 2021-11-22. 
  3. ^ Badan Pengawas Keuangan, - (2020-01-01). "Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia" (PDF). Badan Pengawas Keuangan. hlm. 12. Diakses tanggal 2021-11-21. 
  4. ^ Yulia, Purnama (2019-01-06). "Manajemen Risiko Hukum Perbankan Syariah". STIES Purwakarta. hlm. 38. Diakses tanggal 2021-11-20. 
  5. ^ Resha, Resha (2020-04-12). "Legal Risk Management, Paradigma Baru Risiko Hukum". Kawan Hukum. Diakses tanggal 2021-11-20. 
  6. ^ a b c d e f Zuhri, Muhammad (2018-01-02). "Pengendalian Risiko Hukum dalam Pemberian Kredit oleh Bank Umum" (PDF). Politeknik Mandiri Bina Prestasi. hlm. 1. Diakses tanggal 2021-11-20. 
  7. ^ Rahmany, Sri (2017-12-29). "Sistem Pengendalian Internal dan Sistem Manajemen Resiko Pembiayaan pada Bank Syariah". STIE Syariah Bengkalis. hlm. 194. Diakses tanggal 2021-11-21. 
  8. ^ a b Indonesia, Ikatan Bankir (2015-09-02). Manajemen Risiko 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 6–9. ISBN 978-602-03-1722-9. 
  9. ^ Secioktaviany, Zhaskia Ajeng (2016-02-07). "Optimalisasi Manajemen Risiko sebagai Upaya Preventif Risiko Hukum pada Bank Penyelenggara Branchless Banking di Indonesia" (PDF). Media Neliti. hlm. 90. Diakses tanggal 2021-22-11. 
  10. ^ Sebayang, Immanuel E. S. (2018-02-01). "Pengendalian Risiko Hukum Dalam Kredit Pada PT Bank Sumut Kantor Cabang Pembantu Pancur Batu Medan". Jurnal Ilmiah MBP (dalam bahasa Inggris). 6 (`1): 46–47. ISSN 2337-6341. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-22. Diakses tanggal 2021-11-22. 
  11. ^ Direktur, Bank Indonesia (2003-05-19). "Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum" (PDF). BPK. hlm. 8. Diakses tanggal 2021-11-20. 
  12. ^ a b Ratnawati, T. Endang (2006-01-28). "Penerapan Manajemen Risiko Hukum dalam Aktivitas Perbankan". Perspektif. 11 (1): 42. ISSN 2406-7385. 
  13. ^ Pasangka, Ferdian Nickolas; Murni, R. A. Retno; Sukranatha, A. A. Ketut (2018-05-21). "Risiko Hukum dalam Perjanjian Kredit Bank: Kaitannya dengan Perlindungan Nasabah". Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum (dalam bahasa Inggris). 6 (10): 13. ISSN 2303-0569. 
  14. ^ Wiyono, Yogi (2013-01-01). "Tinjauan Normatif Sistem Informasi Debitur sebagai Sistem untuk Mengelola Risiko Hukum Perbankan" (PDF). Neliti. hlm. 29. Diakses tanggal 2021-11-22. 
  15. ^ a b c d e f Yanuarudin.,, dan Saparuddin Siregar (2020-02-02). "Studi Literatur Manajemen Risiko-Risiko Hukum". Prosiding Seminar Nasional Teknologi Komputer & Sains (SAINTEKS). hlm. 546-547. Diakses tanggal 2021-11-20. 
  16. ^ Usanti, Trisadini Prasastinah (2013-01-01). "Pengelolaan Risiko Pembiayaan di Bank Syariah". ADIL JURNAL HUKUM. hlm. 3. Diakses tanggal 2021-11-22.