Paul Johannes Tillich (20 Agustus 188622 Oktober 1965) adalah seorang teolog Jerman-Amerika dan seorang filsuf eksistensialis Kristen . Bersama dengan Karl Barth yang hidup sezaman dengannya, Tillich adalah salah satu teolog sistematika Protestan yang paling berpengaruh pada abad ke-20.

Biografi

sunting
 
Batu peringatan Paul Tillich di Taman Paul Tillich di New Harmony, Indiana.

Tillich dilahirkan dalam sebuah keluarga pendeta Lutheran di Starzeddel (di kabupaten Guben yang kini termasuk wilayah Polandia). Ia belajar di sejumlah universitas di Jerman, yaitu di Berlin, Tübingen, Halle, dan Breslau. Ia mendapatkan gelar doktornya dengan menulis disertasi tentang Friedrich Schelling. Tak lama sesudah itu, pada 1912, ia ditahbiskan sebagai pendeta di Gereja Lutheran, dan segera beralih karier menjadi seorang profesor. Kecuali untuk selingan singkat sebagai pendeta tentara di dinas ketentaraan Jerman pada Perang Dunia I, ia mengajar di sejumlah universitas di seluruh Jerman selama dua puluh tahun kemudian. Tillich mengajar teologi di universitas Berlin, Marburg, Dresden, dan Leipzig, dan filsafat di Universitas Goethe, Frankfurt. Namun, perlawanannya terhadap rezim Nazi menyebabkan ia kehilangan pekerjaannya. Ia dipecat pada 1933 dan digantikan oleh filsuf Arnold Gehlen, yang telah bergabung dengan Partai Nazi tahun itu, karena ia dilarang mengajar di universitas-universitas di Jerman, Tillich pun menerima undangan dari Reinhold Niebuhr untuk mengajar di Seminari Teologi Union di Amerika Serikat. Akhirnya Tillich menjadi warga negara AS pada 1940.

Di Seminari Teologi Union inilah Tillich mendapatkan reputasinya setelah menerbitkan serangkaian buku yang menguraikan sintesisnya yang khusus tentang teologi Kristen Protestan dengan filsafat eksistensialis (dengan memanfaatkan penelitian dalam Psikologi di dalam prosesnya). Antara 1952 dan 1954, Tillich menyampaikan kuliah-kuliah Gifford di Universitas Aberdeen, yang menghasilkan tiga jilid bukunya yang komprehensif, yaitu Systematic Theology (Teologi Sistematika). Sebuah buku terbitan 1952 yang menguraikan pandangan-pandangannya tentang eksistensialisme, The Courage to Be, (Keberanian untuk Mengada) ternyata populer bahkan di luar kalangan filsafat dan keagamaan, yang membuatnya terkenal dan berpengaruh. Karya-karyanya ini menyebabkan ia mendapatkan tawaran jabatan yang bergengsi di Universitas Harvard. Pada 1955 ia memasuki masa emeritasi di Seminarinya dan diakui sebagai Superstar intelektual, yang selama ini hanya dikenal di universitas. Ia menerima tawaran dari Harvard dan diangkat sebagai Profesor Universitas. Di sana ia menulis sebuah buku lainnya yang juga populer, Dynamics of Faith (Dinamika Iman) (1957). Ia juga memberikan sumbangan penting kepada pemikiran tentang Doktrin Perang yang Sah modern. Pada 1962, ia pindah ke Universitas Chicago, dan terus mengajar di sana hingga wafatnya di Chicago pada 1965. Jenazah Tillich dikremasikan dan abunya disimpan di Taman Paul Tillich di New Harmony, Indiana.

Teologi

sunting

Pendekatan Tillich terhadap teologi Protestan sangat sistematik. Ia berusaha menghubungkan kebudayaan dan iman dengan begitu rupa sehingga "iman tidak perlu ditolak oleh kebudayaan kontemporer dan kebudayaan tidak perlu ditolak oleh iman", metode inilah yang dikenal dengan metode korelasi. Akibatnya, orientasi Tillich sangat apologetik, karena ia berusaha memberikan jawaban-jawaban teologis yang konkret sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan ia menjadi sangat populer karena pemikirannya mudah diikuti oleh para pembaca awam. Dalam perspektif yang lebih luas, penyataan (revelation) dipahami sebagai sumber mata air agama. Tillich berusaha mempertemukan penyataan dengan penalaran dengan mengajukan argumen bahwa penyataan tidak pernah bertabrakan dengan nalar (dan dengan demikian mengukuhkan Thomas Aquinas ketika ia mengatakan bahwa iman pada hakikatnya rasional), dan bahwa kedua kutub pengalaman subjektif manusia ini saling melengkapi sifatnya.

Dalam pendekatan metafisiknya, Tillich adalah seorang eksistensialis yang gigih, yang memusatkan perhatiannya pada hakikat keberadaan. Ketiadaan (nothingness) adalah sebuah motif penting dalam filsafat eksistensialis dan dengan demikian Tillich mengikutsertakan konsep ini sebagai sarana reifikasi keberadaan itu sendiri. Tillich berpendapat bahwa kecemasan dari ketidakberadaan (non-being) (kecemasan eksistensial) itu inheren di dalam pengalaman mengada itu sendiri. Secara sederhana, orang takut akan ketidakberadaan mereka sendiri, yakni, kematian. Mengikuti alur yang serupa dengan Søren Kierkegaard dan hampir identik dengan alur Sigmund Freud, Tillich mengatakan bahwa di dalam momen-momen paling introspektif kita, kita menghadapi teror dari ketidakberadaan kita sendiri. Artinya, kita "menyadari kefanaan kita", bahwa kita adalah makhluk-makhluk yang fana. Pertanyaan yang sewajarnya muncul dalam pikiran orang di dalam pemikiran introspektif ini ialah apakah yang pertama-tama menyebabkan kita "mengada". Tillich menyimpulkan bahwa makhluk yang secara radikal fana (yang, sebaliknya, sekurang-kurangnya secara potensial, kekal) tidak dapat dipertahankan atau disebabkan oleh makhluk yang fana lainnya. Apa yang memelihara makhluk-makhluk yang fana ini adalah yang mengada itu sendiri (being itself), atau dasar dari keberadaan (ground of being). Inilah yang diidentifikasikan Tillich sebagai Allah.

Nama lain untuk dasar keberadaan adalah esensi. Esensi dipahami sebagai kekuatan dari keberadaan, dan selama-lamanya tidak dapat ditembus oleh pikiran yang sadar. Dengan demikian ia tetap berada di luar ranah pemikiran, dan mempertahankan kebutuhan akan penyataan di dalam tradisi Kristen.

Yang berlawanan dengan esensi, tetapi juga tergantung kepadanya, adalah eksistensi atau keberadaan. Eksistensi bersifat fana, sementara esensi kekal. Karena eksistensi itu adalah keberadaan sementara esensi adalah dasar dari mengada, maka esensi adalah dasar atau sumber dari keberadaan. Namun karena yang satu bersifat kekal sementara yang lainnya fana, maka eksistensi (yang fana) pada dasarnya teralienasi dari esensi. Manusia teralienasi dari Allah. Inilah yang disebutkan Tillich sebagai dosa. Menjadi berada berarti teralienasi.

Pandangan Tillich yang radikal yang meninggalkan teologi Kristen yang tradisional ditemukan dalam pemahamannya tentang Kristus. Menurut Tillich, Kristus adalah "Keberadaan yang Baru", yang di dalam dirinya memperbaiki alienasi antara esensi dengan eksistensi. Esensi sepenuhnya menampakkan dirinya di dalam Kristus, tetapi Kristus pun adalah manusia yang fana. Bagi Tillich, hal ini menunjukkan suatu revolusi di dalam hakikat keberadaan itu sendiri. Jurangnya telah dipulihkan dan esensi kini dapat ditemukan di dalam eksistensi. Dengan demikian menurut Tillich, Kristus bukanlah Allah sendiri di dalam dirinya, sebaliknya Kristus adalah penyataan Allah. Sementara kekristenan tradisional menganggap Kristus sebagai manusia seutuhnya dan Allah seutuhnya, Tilliah percaya bahwa Kristus adalah cerminan dari tujuan tertinggi manusia, apa yang Allah inginkan agar manusia menjadi. Dengan demikian, menjadi seorang Kristen berarti membuat diri sendiri secara progresif semakin "seperti Kristus", suatu tujuan yang sangat mungkin dicapai menurut pendapat Tillich. Dengan kata lain, Kristus bukanlah Allah di dalam pengertian yang tradisional, melainkan mengungkapkan esensi yang terkandung secara inheren di dalam semua eksistensi, termasuk eksistensi Anda dan saya. Dengan demikian Kristus tidaklah berbeda dari Anda atau saya sejauh bahwa ia sepenuhnya menyingkapkan Allah di dalalm kefanaannya sendiri, sesuatu yang pada prinsipnya Anda dan saya pun dapat lakukan.

"Allah tidak eksis (ada). Ia adalah yang ada itu sendiri di luar esensi dan eksistensi. Karena itu berdebat dan mengatakan bahwa Allah itu eksis berarti menyangkal Dia."

Pernyataan Tillich ini meringkaskan konsepsinya tentang Allah. Kita tidak dapat berpikir tentang Allah sebagai suatu keberadaan yang eksis di dalam ruang dan waktu, karena hal itu akan membatasi-Nya, dan membuat-Nya fana (terbatas). Tetapi semua makhluk adalah fana, dan bila Allah adalah Pencipta dari semua makhluk, secara logis tidak mungkin Allah menjadi fana karena sesuatu yang fana tidak dapat menjadi pemelihara dari varitas yang kekal dari hal-hal yang fana. Dengan demikian kita harus memikirkan Allah sebagai yang di luar dari yang mengada, di luar yang fana dan keterbatasan, kuasa atau esensi dari yang ada itu sendiri.

Sebuah pokok penting terakhir dari teologi Tillich adalah ini: karena segala sesuatu yang eksis itu korup dan karenanya ambigu, tak ada sesuatupun yang fana yang dapat mengada (dengan dirinya sendiri) sebagai yang kekal. Yang mungkin hanyalah apabila yang fana itu menjadi sarana untuk menyingkapkan yang kekal, tetapi keduanya tidak boleh dicampur-baurkan. Hal ini membuat agama itu sendiri sebagai wadah yang tidak boleh ditafsirkan terlalu dogmatik, karena sifatnya yang konseptual dan karena itu fana dan korup. Agama yang benar ialah apa yang secara benar mengungkapkan yang fana, tetapi tidak ada satu agamapun yang dapat melakukannya dalam cara yang lain daripada melalui metafora dan simbol. Dengan demikian keseluruhan Alkitab harus dipahami secara simbolik, dan semua pengetahuan rohani dan teologis tidak dapat lain kecuali daripada simbool. Hal ini sering kali diambil oleh para teolog untuk digunakan sebagai kebalikan (counterpoint) yang efektif dalam menghadapi fundamentalisme agama.

Pandangan yang menentang

sunting

Tillich digambarkan sebagai "teolog besar terakhir dari abad ke-19" oleh teolog Methodis paleo-ortodoks Stanley Hauerwas dan William Willimon dalam buku mereka (1989), Resident Aliens. Mereka berpendapat bahwa meskipun cemerlang, Tillich gagal untuk secara sungguh-sungguh memperhitungkan kata-kata, pekerjaan, dan pribadi Yesus Kristus, dan bahwa inovasi Tillich hanyalah sekadar pengulangan kembali dari pemikiran Protestan liberal abad ke-19.


Bibliografi

sunting

Rujukan

sunting
  • Informasi sebagai pendeta tentara dan kewarganegaraannya dari Microsoft Encarta Encyclopedia (ed. 1999)

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting