Bendungan Panglima Besar Soedirman

danau di Indonesia
(Dialihkan dari PLTA Mrica)

Bendungan Panglima Besar Soedirman atau juga disebut sebagai Bendungan Mrica, adalah sebuah bendungan yang dibangun di perbatasan antara Kecamatan Bawang dan Kecamatan Wanadadi di Kabupaten Banjarnegara untuk membendung aliran Sungai Serayu. Bendungan ini adalah bendungan pertama di Indonesia yang dilengkapi dengan saluran pembuang di bagian bawahnya. Air yang terbendung oleh bendungan ini pun dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik melalui sebuah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dibangun di dekat bendungan[3][4] dan kini dikelola oleh PLN Indonesia Power.[5][6]

Bendungan Mrica
NamaBendungan Panglima Besar Soedirman
LokasiBanjarnegara, Jawa Tengah
Koordinat7°23′03″S 109°37′02″E / 7.384139°S 109.617167°E / -7.384139; 109.617167Koordinat: 7°23′03″S 109°37′02″E / 7.384139°S 109.617167°E / -7.384139; 109.617167
KegunaanPembangkitan listrik
StatusBeroperasi
Mulai dibangun1982
Mulai dioperasikanOktober 1988
Biaya konstruksiUS$ 356 juta
PemilikPerusahaan Listrik Negara
KontraktorSkanska, ASEA, dan Balfour Beatty
PerancangSweco, EPDC, dan Wiratman & Associates
Bendungan dan saluran pelimpah
Tipe bendunganUrugan
Tinggi110 m
Panjang6.572 m
Lebar puncak6 m[1]
Volume bendungan5.760.000 m3
Ketinggian di puncak235 mdpl
MembendungSungai Serayu
Jumlah pelimpah2
Tipe pelimpahOgee
Kapasitas pelimpah9.300 m3 / detik
Waduk
NamaWaduk Mrica
Kapasitas normal157.000.000 m3
Kapasitas aktif47.000.000 m3
Kapasitas nonaktif110.000.000 m3
Luas tangkapan1.022 km2
Luas genangan1.250 hektar[2]
PLTA Panglima Besar Soedirman
PengelolaPLN Indonesia Power
JenisKonvensional
Jumlah turbin3
Kapasitas terpasang184,5 MW
Produksi tahunan564.000 MWh

Sejarah sunting

Perencanaan sunting

Pada tahun 1974, SMEC telah menyelesaikan studi kelayakan mengenai pembangunan bendungan ini, dan bendungan ini dinyatakan layak untuk dibangun. Wakil Presiden Adam Malik lalu ingin agar bendungan ini dibangun oleh perusahaan asal Blok Timur, karena saat itu telah banyak proyek pemerintah Indonesia yang dikerjakan oleh perusahaan asal Blok Barat. Pada akhir tahun 1977, delegasi pemerintah Indonesia pun berangkat ke Moscow untuk mendiskusikan tentang keinginan wakil presiden tersebut. Pada awal tahun 1978, delegasi pemerintah Uni Soviet ganti berkunjung ke Jakarta untuk memfinalisasi kerja sama bilateral dengan pemerintah Indonesia. Pada tahun 1978 juga, pemerintah mulai melakukan musyawarah dengan warga yang tanahnya akan dibebaskan untuk memungkinkan pembangunan bendungan ini.[2]

PLN lalu menunjuk Technopromexport (TPE) asal Leningrad untuk menyusun detailed engineering design (DED) dari bendungan ini dengan menggunakan pinjaman dari pemerintah Uni Soviet sebesar US$ 2,303 juta. Dalam menyusun DED, TPE ternyata menggunakan standar konstruksinya sendiri, tidak menggunakan standar konstruksi internasional. Hal tersebut dikarenakan TPE juga ingin mengerjakan pembangunan bendungan ini, sehingga dalam kontraknya dengan PLN, TPE juga tidak diharuskan untuk menyiapkan dokumen untuk keperluan lelang pembangunan bendungan ini. PLN lalu merasa bahwa hal tersebut akan merepotkan, karena untuk menyusun DED saja, pegawai TPE harus selalu menghadap Gubernur Jawa Tengah dan diantar oleh pegawai PLN, sebelum dapat berkunjung ke lokasi pembangunan bendungan ini dengan izin khusus. Secara kebetulan, pada akhir tahun 1980, saat TPE baru dapat menyelesaikan 28 laporan desain, pemerintah Uni Soviet melakukan agresi ke Afghanistan, sehingga membuat masyarakat Indonesia marah. PLN lalu menganggap bahwa penyusunan DED dari bendungan ini telah selesai, agar pegawai TPE dapat segera keluar dari Indonesia.[2]

Lelang sunting

PLN lalu menawarkan proyek pembangunan bendungan ini ke negara-negara anggota IGGI. Sejumlah negara kemudian menyatakan bahwa mereka tidak berminat, karena DED dari bendungan ini tidak menggunakan standar konstruksi internasional. Bahkan Jepang menyatakan bahwa mereka tidak berminat untuk meneruskan proyek apapun yang pernah dikerjakan oleh Uni Soviet. Negara yang berminat untuk mengerjakan proyek pembangunan bendungan ini pun hanya Swedia-Inggris dan Prancis. PLN lalu menetapkan Swedia-Inggris sebagai pemenang lelang pembangunan bendungan ini. Swedia dan Inggris kemudian membentuk sebuah konsorsium yang beranggotakan Skanska, ASEA, dan Balfour Beatty sebagai kontraktor utama pembangunan bendungan ini. Sementara Sweco, Engineering Power Development Corporation (EPDC), dan Wiratman & Associates bertindak sebagai perancang, sedangkan Halcrow Group, Beca Worley, dan Citaconas bertindak sebagai pengawas konstruksi. Pada tahun 1982, kontrak pembangunan bendungan ini resmi diteken dengan nilai SEK 668.151.696 dan GBP 79.114.000 yang merupakan kredit ekspor dari Swedia dan Inggris. Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan dana sebesar Rp 54,785 milyar untuk pembangunan bendungan ini. Bank yang menjadi penyandang dana dalam pembangunan bendungan ini adalah Skandinaviska Enskilda Banken, Svenska Handelsbanken, dan Barclays.[2]

Pembangunan sunting

Sebelum konstruksi dimulai, dilakukan kajian desain di lokasi pembangunan bendungan, di Stockholm, dan di London. Kajian tersebut juga meliputi penyesuaian dengan standar konstruksi internasional dan uji model. Setelah kajian selesai, dilakukan pembangunan dua buah terowongan pengelak untuk mengalihkan sementara aliran Sungai Serayu selama proses pembangunan bendungan, masing-masing sepanjang 516 meter dan 571 meter. Tiba-tiba, pada tanggal 28 Maret 1983, pihak Swedia-Inggris meminta agar proyek pembangunan bendungan ini dihentikan, padahal saat itu progres pembangunan bendungan ini telah mencapai 7,5%. Pemerintah Indonesia dan PLN kemudian melakukan negosiasi agar proyek pembangunan bendungan ini dapat diteruskan sampai selesai. Akhirnya dicapai kesepakatan bahwa pembangunan bendungan ini akan diteruskan, asal dilakukan penghematan pengeluaran, agar pinjaman yang telah diberikan dapat mencukupi. Setelah dilakukan kajian, kemudian disepakati langkah-langkah penghematan sebagai berikut[2]:

  1. Sejumlah komponen tidak jadi dipasang, dan sejumlah komponen lain baru akan dipasang setelah bendungan mulai dioperasikan
  2. Karena jarak antara lokasi pengambilan urugan dan lokasi pembangunan bendungan cukup jauh, maka setelah tinggi urugan bendungan utama menyamai tinggi urugan bendungan pembantu, urugan bendungan pembantu akan diambil secara bertahap untuk menambah tinggi bendungan utama.
  3. Penyederhanaan pekerjaan persiapan dan desain saluran pelimpah

Sembari bendungan utama mulai dibangun, juga dilakukan pembangunan saluran pembuang di bagian bawah bendungan utama, untuk memungkinkan pengeluaran lumpur yang kedepannya dapat mengendap di bagian bawah dan memungkinkan pengeluaran air secara cepat apabila tinggi muka air yang terbendung hampir menyamai tinggi bendungan utama. Pada tanggal 18 dan 21 Maret 1986, banjir besar melintasi proyek pembangunan bendungan ini. Pada tanggal 24 Maret 1986, banjir besar kembali melintasi proyek pembangunan bendungan ini dengan debit 4.486 meter kubik per detik, yang setelah diperiksa, ternyata banjir tersebut adalah banjir yang hanya terjadi 100 tahun sekali. Banjir tersebut merendam lokasi pembangunan PLTA dan merusak sejumlah alat berat yang belum sempat diselamatkan. Selain itu, banjir tersebut juga menghanyutkan Jembatan Sijolang sepanjang 25 meter yang rencananya baru akan dibongkar setelah bendungan ini mulai dioperasikan. Lebih dari 300 rumah milik warga juga rusak berat akibat banjir tersebut, dan menyebabkan 6 orang meninggal. Andai tidak terjadi pemberhentian sementara pembangunan bendungan ini pada tahun 1983, bendungan ini akan hampir selesai dibangun, tapi tetap tidak akan kuat menahan banjir tersebut, karena saluran pelimpah dari bendungan ini belum selesai dibangun.[2] Bendungan ini akhirnya mulai dioperasikan pada tahun 1988 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 23 Maret 1989.[7]

Manfaat sunting

Waduk ini terutama dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik melalui sebuah PLTA berkapasitas 184,5 MW yang dapat membangkitkan listrik hingga 564.000 MWh per tahun. Waduk ini juga dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian seluas sekitar 4.883 hektar yang sebelumnya rutin diairi oleh Bendung Banjarcahyana. Selain itu, waduk ini juga dimanfaatkan sebagai sumber air bersih dan prasarana perikanan darat oleh masyarakat sekitar. Fasilitas yang tersedia di waduk ini antara lain taman, perahu wisata, panggung, warung makan, bumi perkemahan, dan lapangan golf.[2]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum (1995). Bendungan Besar Di Indonesia (PDF). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. hlm. 62. 
  2. ^ a b c d e f g Sinaro, Radhi (2007). Menyimak Bendungan di Indonesia (1910-2006) (dalam bahasa Indonesia). Tangerang Selatan: Bentara Adhi Cipta. ISBN 978-979-3945-23-1. 
  3. ^ Zafna, Grandyos. "Pesona Waduk Panglima Besar Jenderal Soedirman". detikcom. Diakses tanggal 2022-10-28. 
  4. ^ Anugrah, Arbi. "Nasib Waduk Jenderal Soedirman yang Kini Makin 'Kritis'". detikcom. Diakses tanggal 2022-10-28. 
  5. ^ "Kena Dampak Kemarau, 1 Pembangkit PLTA Mrica di Banjarnegara Setop Operasi". detikfinance. Diakses tanggal 2017-04-23. 
  6. ^ "Waduk PLTA Mrica Siaga Satu dan Bakal Jebol? Berita Menyesatkan". Tribun Jabar. Diakses tanggal 2017-04-23. 
  7. ^ Rifai, M. Alwan. "7 Fakta Unik Waduk Mrica atau Bendungan Panglima Besar Jenderal Soedirman, Nomor 5 Bikin Kita Bangga - Banjarnegaraku". banjarnegara.pikiran-rakyat.com. Diakses tanggal 2022-10-28.