O Jawa
O Jawa, O Jowo atau ejaan-O adalah fenomena yang timbul karena adanya pertentangan antara cara penulisan ejaan bahasa Jawa baku dan ejaan bahasa Indonesia. Dalam ejaan bahasa Indonesia huruf "a" hanya bisa dibaca /a/, sementara di dalam bahasa Jawa huruf "a" memiliki dua bunyi, yaitu /a/ dan /ɔ/. Oleh karena itu, kata-kata yang berasal dari bahasa Jawa yang mengandung huruf "a" dalam penulisannya selalu dibaca /a/ walaupun dalam bahasa Jawa dibaca /ɔ/. Oleh karena itu, huruf "a" yang dibaca /ɔ/ akhirnya ditulis menjadi "o" untuk mengakomodasi pembaca yang bukan berasal dari latar belakang bahasa Jawa.
Contoh:
- Susilo Bambang Yudhoyono jika ditulis menggunakan ejaan Jawa baku seharusnya Susila Bambang Yudhayana, sementara Surabaya dibaca Suroboyo
- Hamengkubuwono/Hamengkubuwana
- Mangkunegoro/Mangkunegara
Penggunaan
suntingO Jawa ini berlaku untuk sebagian besar bahasa Jawa baku dalam beberapa dialek antara lain dialek Pati, Blora, Kedu, Madiun, Pantura Timur, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Solo, dan Yogyakarta. Namun O Jawa tidak berlaku dan sangat jarang ditemukan dalam pembendaharaan kosakata bahasa Jawa dialek Tengger, Banyumasan[1], Brebes, Bumiayu, Tegal. O Jawa juga bisa dikatakan tidak berlaku sama sekali untuk dialek bahasa Jawa yang didominasi kesundaan dan betawi seperti dialek Banten[2], Dermayon dan bahasa Cirebon.
Nama tokoh yang jika ditulis menggunakan O Jawa
sunting- Jaka Widada, Presiden Indonesia ke-7 (dalam O Jawa Joko Widodo)
- Prabawa Subianta, Presiden Indonesia ke-8 (dalam O Jawa Prabowo Subianto)
- Suharta, presiden Indonesia kedua (dalam O Jawa Suharto)
- Sukarna, presiden Indonesia pertama, proklamator bangsa (dalam O Jawa Sukarno)
- Ahmad Sukina, pimpinan Majelis Tafsir Alquran (dalam O Jawa Ahmad Sukino)