Bahasa Jawa Banyumasan

bagian dari rumpun bahasa Austronesia

Bahasa Jawa Banyumasan (bahasa Jawa: ꦧꦱꦗꦮꦧꦚꦸꦩꦱꦤ꧀, translit. basa Jawa Banyumasan; dikenal juga sebagai bahasa Ngapak) disebut sebagai dialek bahasa Jawa modern yang paling konservatif setelah Dialek Tegal, peradaban Banyumasan merupakan yang tertua di Jawa karena kompleks percandian Dieng merupakan percandian tertua milik Suku Jawa dan seluruh penduduk Dieng menggunakan dialek ini. Dialek ini kemungkinan besar lahir di Kadipaten Wirasaba (sekitar Purbalingga, Banjarnegara dan Wonosobo) di masa lalu, yang mana Wirasaba merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Bahasa Jawa dialek banyumasan merupakan ragam dialek Jawa kulonan dan dituturkan di wilayah Jawa Tengah bagian barat selatan maupun tengah hingga Dataran tinggi Dieng, lebih tepatnya di dua eks-keresidenan Banyumas dan sebagian eks-keresidenan Kedu.[4] Wilayah eks-Keresidenan Banyumas meliputi Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap, serta sebagian besar Kebumen, sebagian Wonosobo, Pemalang selatan, Pekalongan selatan, dan Batang selatan yang notabene bukan termasuk wilayah eks-Keresidenan Banyumas.

Bahasa Jawa Banyumasan
ꦧꦱꦗꦮꦧꦚꦸꦩꦱꦤ꧀
basa Jawa Banyumasan
Dituturkan diIndonesia
Wilayah
Penutur
13.940.028 (2023)[2]
Lihat sumber templat}}
Beberapa pesan mungkin terpotong pada perangkat mobile, apabila hal tersebut terjadi, silakan kunjungi halaman ini
Klasifikasi bahasa ini dimunculkan secara otomatis dalam rangka penyeragaman padanan, beberapa parameter telah ditanggalkan dan digantikam oleh templat.
Posisi bahasa Jawa Banyumasan dalam dialek-dialek bahasa Jawa Sunting klasifikasi ini

Catatan:

Simbol "" menandai bahwa bahasa tersebut telah atau diperkirakan telah punah
Status resmi
Diatur olehBalai Bahasa Provinsi Jawa Tengah
Kode bahasa
ISO 639-3
Glottologbany1247[3]
Lokasi penuturan
Peta distribusi bahasa Jawa Banyumasan dengan legenda:
Dialek Jawa Banyumasan sebagai mayoritas
Dialek Jawa Banyumasan sebagai minoritas
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Bahasa Jawa Banyumasan juga dituturkan hingga ke Kecamatan Lakbok dan Purwadadi di Kabupaten Ciamis, sebagian kecil Kota Banjar dan sebagian kecil di timur Kabupaten Pangandaran,[5] yang merupakan daerah perbatasan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Dialek Banyumasan di wilayah Jawa Barat telah tercampur dengan bahasa Sunda Priangan.[6]

Dialek ini menjadi salah satu dialek bahasa Jawa modern yang masih mempunyai kaitan dengan fonetik (pengucapan) bahasa Jawa Kuno[7] yang sudah jarang ditemui dalam Bahasa Jawa Surakarta yakni dialek Banyumasan memiliki karakteristik pelafalan huruf ’a’ dan 'k' yang sangat tegas dan jelas serta pelafalan huruf 'h' 'g 'w' 'y' dengan jelas, serta fonem [u] dan [i] juga akan tetap dibaca /u/ dan /i/.[8][9]

Sejarah

sunting

Sejumlah ahli bahasa Jawa menyebut bahasa Jawa Banyumasan sebagai bentuk bahasa Jawa modern tahap awal selain bahasa Jawa Tegal, Bahasa Banyumasan juga merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa Pertengahan begitupun seluruh dialek bahasa Jawa modern lainya, yang membedakan Banyumasan masih mempertahankan beberapa karakteristik lama.[10][11]

Bahasa Jawa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan sebagai berikut:

  • Abad ke-6 hingga ke-12, diklasifikasikan sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno.
  • Abad ke-13 hingga ke-15, berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan.
  • Abad ke-16 hingga ke-19, berkembang menjadi Bahasa Jawa Baru dialek Banyumasan, yang terpisah agak jauh dengan dialek lain dalam bahasa Jawa.

Tahap-tahapan perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh munculnya kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang juga menimbulkan tumbuhnya budaya-budaya feodal. Implikasi selanjutnya adalah pada perkembangan bahasa Jawa yang melahirkan tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya feodal ini tidak terlalu signifikan mempengaruhi masyarakat di wilayah Banyumasan. Meskipun demikian, bahasa krama tetap dibutuhkan untuk berbagai acara formal dan ritual keagamaan. Terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara bahasa Banyumasan dengan bahasa Jawa standar sehingga di masyarakat Banyumasan timbul istilah bandhêkan untuk merepresentasikan gaya bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa Jawa Wetanan (dialek timur).[12]

Menurut M. Koderi, seorang pakar budaya dan bahasa Banyumasan, kata bandhêk secara morfologis berasal dari kata gandhêk yang berarti 'pesuruh' (orang yang diperintah), maksudnya 'orang suruhan raja yang diutus ke wilayah Banyumasan'. Para 'pesuruh' ini tentu menggunakan gaya bahasa Jawa standar (Surakarta–Yogyakarta) yang memang berbeda dengan bahasa Jawa Banyumasan.[13]

Kosakata

sunting

Berikut ini perbandingan kosakata bahasa Jawa Banyumasan, Tegal, Pekalongan, Indramayu, dan Banten yang termasuk kedalam rumpun dialek Jawa Kulonan.

Banyumasan Tegal Pekalongan Indramayu Banten Glosa
inyong, nyong ênyong, nyong, aku nyong, aku kula, réang, isun kitê saya
rika, ko, koè kowên, rika sampéyan, kowé sira, ira sirê, irê Anda, kamu
awaké dhéwék awaké dhéwék awaké dhéwék kita kabeh kitê kami
rika kabèh kowên kabèh kowé kabèh sira kabèh sirê kabèh kalian
kiyé, iki kiyé, iki iki kién, iki kién, puniki, iki ini
kuwé, koh, iku kuwé, kaé kuwi, koh kuèn, kuh, iku kuèn, iku itu
kéné, ngénéh, mengené kéné, méné kéné, méné, mréné kéné, méné kéné, mérené sini
kana, mengana kana, mana kana, mono, mrono kana, mana kana, merana sana
kêpriwé, kêpribé kêprimén, kêpribén kêpriyé, kêpime kêpribén, kêpriwén, kêpriyén kêprémén, kêlipun, kelemen bagaimana
ora, udu, séjén ora, dudu, bélih, béléh, séjén ora, udu, séjén ora, dudu, bêlih, bli, séjén orê, udu tidak, bukan

Perbandingan Kosakata dengan Bahasa Jawa Standar

sunting

Perbandingan kosakata bahasa Jawa Banyumasan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta–Yogyakarta). Diantaranya masih banyak kosakata kuno yang masih dilestarikan dalam dialek Banyumasan, selain itu terdapat beberapa kosakata banyumasan yang tidak dapat ditemui di dialek manapun.

Banyumasan Jawa standar
(Surakarta–Yogyakarta)
Glosa
inyong, nyong aku, awakku, kulå saya
tek tak / dak kata ganti orang (aku / saya)
rika / ko sampéyan anda
awaké dhéwék kitå, awaké dhéwé kami
dhéwék / dhéwékan dhéwé Sendiri
rika kabéh kowé kabéh kalian
maring / aring Menyang ke (suatu tempat)
baén / baé waé Saja
maning meneh lagi
ulih oléh Dapat
ora nana, langka ora ånå, ora enek Tak ada
perek cedhak Dekat
tulih bar ngono lalu
goleti golek mencari
dhisit dhisik Dulu
ngasi nganti, ngasi sampai
liren leren Istirahat
jiot, jukut jupuk ambil
gigal tibå jatuh
ganu, gemiyen, bengiyen biyen dahulu
gili ratan Jalan Raya
gutul, gadug tekan Sampai
kiyé, ikih, keh[a] iki, ki ini
kuwé, koh[b] kuwi, iku itu
kéné, mengéneh kéné, mréné sini
kana, menganah kånå, mrånå sana
kêpriwé, kêpribe kêpiyé, piyé bagaimana
dheleng, pandeng dhelok, sawang Lihat
jorna jarke, loske Biarlah
udu, séjén dudu, bedå bukan, beda
egin isih masih
kencot luwe / ngelih lapar
kayong ketoke / katone kelihatanya, agaknya
teyeng, bisa biså, iså Dapat / bisa
selang / nyelang silih / nyilih Pinjam / Meminjam
melas mesakke kasihan
seru, banter banter kencang (untuk suara)
mandan rådå agak
maen, maer, apik apik Bagus
nglomboni, mbodoni ngapusi Berbohong
umah omah rumah
longok methuk, ngendangi menjenguk
gemblung kenthir, gendheng gila
lengub bodho Bodoh
Gedhagar-dhagar kesusu terburu-buru
sekang såkå Dari
tidokna wenehi weruh Ditunjukkan
abluk lebu Debu
aub iyup Teduh
mbok, mbokan menåwå Barangkali
naming nanging Tetapi
batir kåncå Teman
setitik sithik Sedikit
bodin telå Singkong
deneng la kok Kok
entong entek Habis
bebeh males, wegah Tidak Mau
jambal gadho Makan lauk tanpa nasi
kobar kobong Terbakar
lempog / lempogen kesel Capek
ngode nyambut gawe Kerja
amleng suwung Sunyi, Sepi
ngromed ngelantur Bicara diluar kesadaran
sengit gething Benci
palangapa ra ånå salahe Tidak ada salahnya
jagong lungguh Duduk
ngesogna seleh Menaruh
gandhul kates Pepaya
miki lagi tas Baru saja
mayeng kerep lungå Sering pergi
kacokan kebangeten Keterlaluan
kesuh nesu Marah
gagiyan, mayuh ndang, gage Cepat-cepat
geseng gosong Hangus (makanan)
damoni sebul tiup
suled sumet Menyalakan api
iloken ? [c] måsåk tå ? iya kah ?
gering [d] kuru Kurus
cungur[e] irung Hidung

Berikut ini dikutip dari perkataan Ahmad Tohari tentang bahasa Jawa Banyumasan.

Dalam kenyataan sehari-hari keberadaan basa Banyumasan termasuk dialek lokal yang sungguh terancam. Maka kita sungguh pantas bertanya dengan nada cemas, tinggal berapa persenkah pengguna basa Banyumasan 20 tahun ke depan? Padahal, bahasa atau dialek adalah salah satu ciri utama suatu suku bangsa. Jelasnya tanpa basa Banyumasan sesungguhnya "wong Penginyongan" boleh dikata akan Terhapus dari peta etnik bangsa ini… Mana bacaan teks-teks lama Banyumasan seperti babad-babad Kamandaka, misalnya, malah lebih banyak ditulis dalam dialek Jawa Wetanan. Jadi sebuah teks yang cukup mewakili budaya dan semangat "wong Penginyongan" harus segera disediakan.

Sebuah fakta empiris dikemukakan oleh Ahmad Tohari, menurutnya penutur asli bahasa Jawa Banyumasan akan 'mengalah' jika berbicara dengan penutur bahasa Jawa Wetanan (dialek Surakarta-Yogyakarta) banyak juga yang menggunakan Bahasa Indonesia ketika bertemu dengan orang Wetanan. Alasannya, penutur bahasa Jawa Banyumasan tidak ingin dicap sebagai 'orang rendahan' karena menggunakan 'bahasa berlogat kasar' selain itu juga untuk mengindari ketidaksalingpahaman dengan kedua dialek tersebut.[14]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b "Salinan arsip". Diarsipkan dari asli tanggal 2022-05-13. Diakses tanggal 2024-05-13. ;
  2. ^ "Tabel Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi JAWA Tengah". bps.go.id. Badan Pusat Statistik. Diarsipkan dari asli tanggal 28 Oktober 2011. Diakses tanggal 29 Mei 2020. ;
  3. ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Jawa Banyumasan". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History. ; ;
  4. ^ Budiono Herusasoto (2008) Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa Dan Watak
  5. ^ Peta Bahasa Jawa Provinsi Jawa Barat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  6. ^ Politik Mataram yang Membentuk Bahasa Jawa Banyumasan[1]
  7. ^ Ahmad Tohari, dkk (2014). Kamus Bahasa Jawa Banyumasan-Indonesia. Semarang: Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah. ISBN 9786027664630.
  8. ^ Mujiastuti, Gatikasari; Rahardjo, Turnomo (2023-07-04). "IDENTITAS DIALEK BANYUMASAN SEBAGAI KONSTRUKSI BUDAYA STUDI PENGGUNAAN DIALEK BANYUMASAN DI KALANGAN PENUTUR ASLI BANYUMAS YANG BERADA DI SEMARANG". Interaksi Online. 11 (3): 300–309.
  9. ^ Mujiastuti, Gatikasari; Rahardjo, Turnomo (2023-07-04). "IDENTITAS DIALEK BANYUMASAN SEBAGAI KONSTRUKSI BUDAYA STUDI PENGGUNAAN DIALEK BANYUMASAN DI KALANGAN PENUTUR ASLI BANYUMAS YANG BERADA DI SEMARANG". Interaksi Online. 11 (3): 300–309.
  10. ^ Budiono Herusasoto (2008) Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa Dan Watak
  11. ^ Orang Ngapak Bukannya Kasar, Tapi Blak-blakan dan Apa Adanya[2]
  12. ^ "Bupati Luncurkan Aplikasi Kamus Bahasa Banyumas" [Banyumas Regent Launches Banyumasan Language Dictionary Application]. banyumaskab.go.id. Diarsipkan dari asli tanggal 13 January 2020. Diakses tanggal 15 February 2020.
  13. ^ Dwi Meilani. "MAKALAH BUDAYA BANYUMASAN".
  14. ^ Wicaksono, Wilibrordus Megandika (29-05-2023). "Ahmad Tohari Kembali Ingatkan Pentingnya Kesetaraan" (Online). www.kompas.id. Kompas. Diakses tanggal 31-03-2024.

Pranala luar

sunting
  1. ^ merupakan singkatan dari kata ikih / Iki
  2. ^ merupakan singkatan dari kata ikuh / iku
  3. ^ Sedangkan dalam bahasa Jawa Standar, lok memiliki arti 'mengejek' sinonim dari kata ngece.
  4. ^ Sedangkan dalam bahasa Jawa Standar, gering memiliki arti 'sakit'.
  5. ^ Sedangkan dalam bahasa Jawa Standar, cungur memiliki konotasi kasar yakni berarti 'mulut' hewan.