Muhammad Djamil Djambek

Ulama Islam dan tokoh pendidikan dari Indonesia
(Dialihkan dari Muhammad Jamil Jambek)

Syekh Muhammad Jamil Jambek (lahir di Bukittinggi, Hindia Belanda, 1862 atau 1860 - meninggal di Bukittinggi, 30 Desember 1947 pada umur 85 atau 87)[1] adalah seorang ulama pelopor pembaruan Islam dari Minangkabau pada awal abad ke-20. Ia juga dikenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka.[2]

Infobox orangMuhammad Djamil Djambek
Biografi
Kelahiran1860
Kota Bukittinggi
Kematian30 Desember 1947 (86/87 tahun)
Data pribadi
Kelompok etnikOrang Minangkabau
AgamaIslam
Kegiatan
SpesialisasiIslamic sciences (en)
Pekerjaanguru, ulama
Keluarga
AnakZain Djambek, Abdul Bari Djambek, Saadoeddin Djambek, Dahlan Djambek, Zainal Abidin Djambek
AyahSaleh Datuak Maleka

Riwayat sunting

Kehidupan awal sunting

Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Saleh Datuak Maleka, merupakan seorang penghulu dan kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.[3]

Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun untuk menimba ilmu.

Pendidikan sunting

Ketika di Mekkah ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula Syekh Muhammad Jambek tertarik untuk mempelajari ilmu sihir, tetapi dia disadarkan dan diinsyafkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang ia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais. Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari Tarekat Naqsyabandiyah - Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak.

Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Syekh Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Thawalib Padang Japang, Lima Puluh Kota) yang kemudian berganti nama menjadi Darul Funun El Abbasiyah.

Aktivitas sunting

 
Duduk dari kanan: Syekh Daud Rasyidi, Syekh Djamil Djambek, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Inyiak Canduang), Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek), Syekh DR. Abdullah Ahmad

Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh Tarekat.

Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Jambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau, yakni Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang. Keduanya dikenal sebagai Surau Inyik Jambek.

Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Minangkabau. Mengutip Ensiklopedia Islam, Syekh Muhammad Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.

Demikian halnya dengan kebiasaan membaca riwayat Isra Mi'raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Menurutnya, semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.

Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Jambek kemudian tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad Jambek berada di pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan" dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.

Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.

Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat.

Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Jambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.

Syekh Djamil Djambek diangkat oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia sejak 25 September 1945.[4]

Kehidupan pribadi sunting

Jamil Jambek dikaruniai Allah 17 orang putra-putri dari lima orang istri yaitu Ummi Matun, Ummi Majida, Ummi Siti Arab, Ummi Darana dan Ummi Liun. Tujuh belas anak tersebut yaitu :

  1. Fatimah Djambek,
  2. Abdul Majid Djambek,
  3. M. Saleh Djambek,
  4. M. Zain Djambek,
  5. M. Zainuddin Djambek,
  6. Zainal Abidin Djambek,
  7. Abdul Gaffar Djambek,
  8. Saadoe'ddin Jambek,
  9. Muhammad Rasyid Djambek,
  10. Muhammad Rasyad Djambek,
  11. Abdul Bari Djambek,
  12. Djamilah Djambek,
  13. Muhammad Dahlan Jambek,
  14. Zahrah Djambek,
  15. Naimah Djambek
  16. Halimah Djambek.[5][6]

Penghargaan sunting

Referensi sunting

Daftar pustaka sunting

  • Harian Republika, "Syekh Muhammad Jambek" edisi 8 Agustus 2003.

Pranala luar sunting