Dr. Surya Suryadi, MA (lahir 15 Februari 1965) adalah pakar filologi dan ahli pernaskahan Nusantara. Ia banyak meneliti naskah-naskah klasik Nusantara dan hasil penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal internasional. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Leiden, Belanda.[1][2]

Surya Suryadi
LahirSurya Suryadi
15 Februari 1965 (umur 59)
Nagari Sunur, Nan Sabaris, Padang Pariaman, Sumatera Barat
Warga negara Indonesia
AlmamaterUniversitas Andalas
Universitas Leiden
PekerjaanPengajar
Dikenal atasAhli filologi
Suami/istriNurlismaniar Mustafa
AnakRaisa Mahevara Niadilova dan Farel Darvesh Bramatias Suryadi

Riwayat sunting

Karier sunting

Setamat dari Universitas Andalas (Unand) pada tahun 1991, ia menjadi asisten dosen di almamaternya. Namun, karena tak kunjung diangkat menjadi dosen tetap setelah tiga tahun mengabdi, ia memutuskan pindah mengajar ke Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (UI). Empat tahun menunggu tanpa kepastian kapan diangkat sebagai dosen tetap, ia kembali memutuskan untuk pindah.

Bak kata pepatah Minang: kalau nasib belum berubah, lebih baik rantau diperjauh, ia mengikuti tawaran mengajar dari Universitas Leiden, Belanda. Sejak akhir tahun 1998, ia menjadi dosen tamu untuk penutur ibu bahasa Indonesia di Universitas Leiden dan terhitung tahun 2001 ia diangkat sebagai dosen tetap.[1]

Di Belanda, Suryadi menemukan 'dunia sunyinya' dengan menyelami masa lalu melalui penelitian naskah-naskah lama dan buku-buku klasik mengenai Nusantara yang banyak tersimpan di perpustakaan Leiden. Banyak hasil kajiannya yang telah dipublikasikan di berbagai jurnal internasional dan mendapatkan berbagai tanggapan. Ia juga sering diundang sebagai pemakalah seminar di mancanegara, dan juga dipercaya memimpin proyek pernaskahan yang didanai The British Library.[1][2]

Salah satu karyanya, yaitu kajian terhadap surat-surat raja-raja Buton, Bima, Gowa, dan Minangkabau kemudian dimasukkan dalam suatu proyek di Australian National University, Canberra, Australia dengan nama Malay Concordance Project. Beberapa kajiannya yang lain, di antaranya teks Melayu klasik Syair Lampung Karam, satu-satunya sumber pribumi nusantara tentang letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 yang mengakibatkan gelombang tsunami yang menghancurkan wilayah pantai selatan Sumatra dan pantai barat Jawa.[2]

Pendidikan sunting

Suryadi mengenyam pendidikan hingga tamat SMA di kampung halamannya, Padang Pariaman. Pada tahun 1986, ia masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Andalas (Unand) dan tamat pada tahun 1991. Ia sempat menjadi asisten dosen di almamaternya dan sebagai asisten dosen di Universitas Indonesia sebelum ke Universitas Leiden, Belanda. Pada tahun 2002 ia mendapatkan gelar master (MA) dari Universitas Leiden, kemudian gelar doktor juga dari universitas yang sama pada 16 Desember 2014, dengan disertasi yang berjudul The Recording Industry and Regional Culture in Indonesia: The Case of Minangkabau.[3]

Kehidupan pribadi sunting

Walaupun memakai nama Jawa, ia adalah orang Minang tulen. Ia lahir pada 15 Februari 1965 pasca-penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Tengah oleh pemerintah pusat.

Karya sunting

  • Syair Lampung Karam (2010)
  • Sejarah pengajaran Bahasa Minangkabau (2009)
  • Sepucuk Surat dari Seorang Bangsawan Gowa di Tanah Pembuangan
  • Syair Sunur (2004)
  • Naskah Tradisi Basimalin (1998)
  • Dendang Pauah (1993)
  • Rebab Pesisir Selatan (1993)

Referensi sunting

  1. ^ a b c Dr. Suryadi Leiden University Institute for Area Studies (LIAS). Diakses 11-01-2015.
  2. ^ a b c "Suryadi, Pengelana dari Pariaman" Kompas.com, 20-10-2008. Diakses 11-01-2015.
  3. ^ "Suryadi Raih Doktor di Universitas Leiden" Diarsipkan 2015-01-11 di Wayback Machine. Singgalang, 18-12-2014. Diakses 12-01-2015.

Pranala luar sunting