Muhammad Ahyad al-Bughuri

Syaikh Haji Muhammad Ahyad al-Bughuri dikenal sebagai Ulama yang multi dalam menguasai berbagai disiplin keilmuan.[1] Meskipun sudah diangkat menjadi pengajar di Masjidil Haram, Ahyad masih mengaji kepada Masyayikh Haramain, khususnya Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bughuri.[1] Ketika Syaikh Mukhtar wafat, Ahyad diminta untuk menggantikan posisinya dalam mengajar berbagai disiplin keilmuan di Masjidil Haram, halaqah-nya terbilang besar, ada sekitar 300 thalabah yang setia mendengarkan butiran ilmu darinya.[2] Selain mengajar di Masjidil Haram, Ahyad juga mengajar di Masjid Nabawi dan memimpin majelis dzikir di Makkah.[2] Syaikh Ahyad juga adalah menantu dari Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bughuri.[3]

Muhammad Ahyad
Syeikh Haji
Muhammad Ahyad
al-Bughuri
Nama dan Gelar
Semua Gelar
Gelar (Islam)Syeikh Haji
Nama
NamaMuhammad Ahyad
Nisbahal-Bughuri
Kelahirannya
Tanggal lahir (H)21
Tanggal lahir (M)4
Bulan lahir (H)Ramadan
Bulan lahir (M)Juli
Tahun lahir (H)1302
Tahun lahir (M)1885
Tempat lahirBogor
Negara lahir
(penguasa wilayah)
Hindia Belanda Hindia Belanda
Nama ayahMuhammad Idris
Nama lahirMuhammad Ahyad
Agama: Islam (Muslim)
Panduan Infobox

Kelahiran dan silsilah

sunting

Muhammad Ahyad lahir di Bogor, Jawa Barat pada malam Rabu tanggal 21 Ramadhan 1302 H (4 Juli 1885 M [4]) adalah putra dari Kiai Muhammad Idris bin Abi Bakar bin Tubagus Mustofa al-Bakri al-Bughuri.[1]

Pendidikan

sunting

Pendidikan awal

sunting

Mulanya Ahyad menerima didikan ilmu agama dari ayahnya dan Ulama-ulama yang ada di daerahnya. Dasar-dasar ilmu agama Islam seperti membaca Al-Qur’an, Nahwu, Sharaf, Fiqih, Hadist, dan lain-lain dikuasainya dengan baik. Metode menghafal, sorogon, dan bandongan selalu menjadi makanan keseharian Ahyad ketika masih dalam prosesi belajar di kampung halamannya.[2]

Dalam mendidikan putra-putrinya, Kiai Idris sangat mengutamakan pengajaran agama dibanding dengan yang lainnya.[2] Ketika sendi-sendi ajaran Islam sudah tertanam baik, maka Kiai Idris memerintahkan anaknya seperti Ahyad untuk mengkaji pelajaran umum supaya antara ilmu agama dan umum dapat selaras dan seimbang.[2]

Untuk sekolah umum, Kiai Idris memasukkan Ahyad di Volk School hingga tamat di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP.[2] Di sekolah buatan Belanda ini, Ahyad dapat menguasai bahasa Belanda, Matematika, Biografi, dan ilmu umum lainnya.[2]

Merantau ke Haramain

sunting

Pada tahun 1899, saat umur Ahyad 15 tahun, ia berangkat ke Haramain untuk mematangkan keilmuannya kepada Ulama yang menggelar halaqah di Masjidil Haram.[2] Rihlah ini sudah menjadi idamannya sejak kecil, sebab ayahnya sering bercerita tentang kelebihan belajar di Haramain dibanding dengan yang lainnya.[2] Terlebih di sana, sang ayah mempunyai sahabat yang menjadi pengajar di Masjidil Haram, yaitu Syaikh Mukhtar ibn Atharid al-Bughuri.[2] Kegiatan belajar mengajar di Haramain sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan yang ada di Hindia Belanda (Indonesia).[2] Kompeni selalu mengawasi setiap kegiatan agama Islam yang dianggapnya berbahaya semenjak terjadinya perlawanan para Kiai Banten pada 1888 yang dikenal dengan pemberontakan Cilegon.[2] Pemberontakan ini terjadi sebab kompeni telah menghina sebagian ajaran Islam dan kelakuannya yang selalu menyengsarakan rakyat petani.[2]

Setibanya di Haramain, Ahyad ikut bergabung dengan halaqah Masyayikh Haramain, baik yang ada di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan di kediaman mereka.[2] Kepada Ulama Haramain ini, terlebih Syaikh Mukhtar yang menjadi guru sandaran utamanya, Ahyad mendalami ilmu Fiqih Syafii, Tafsir, Hadist, Ushul, Faraidh, Falak, Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan Arûdh.[2] Jika sudah menghatamkan satu disiplin ilmu dari awal hingga akhir, maka Syaikh Mukhtar akan membacakan sanad atau silsilah keilmuan kitab tersebut kepada santri-santrinya termasuk Ahyad.[2]

Nantinya, meskipun Ahyad sudah diangkat menjadi pengajar di Masjidil Haram, ia tetap merasa masih haus dengan kajian keilmuan. Ia sering mendatangi halaqah Masyayikh Haramain, terlebih Syaikh Mukhtar hingga akhir hayatnya.[1]

Guru-gurunya

sunting
Daftar guru-guru Syaikh Ahyad
No Tahun Lahir Tahun Wafat Umur Wafat (±) Nama Keterangan Rujukan
(Masehi) (Hijriah) (Masehi) (Hijriah) (Masehi) (Hijriah)
1 1862 ? 1930 ? 68 ? Syaikh Mukhtar ibn Atharid al-Bughuri Guru utama sekaligus mertua Syaikh Ahyad [a 1][a 2]
2 1888 ? 1943 ? 55 ? Syaikh Baqir ibn Muhammad Nur al-Jukjawi Ulama Nusantara dari Yogyakarta, salah satu pengajar yang mengajar di Masjidil Haram [a 1][a 3]
3 ? ? ? ? ? ? Syaikh Ahmad Sanusi [a 1]
4 ? ? ? ? ? ? Syaikh Ahmad Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani [a 1]
5 ? ? ? ? ? ? Syaikh Abbas bin Muhammad bin Ahmad Ridwan Putra Syekh Ahmad Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani [a 1]
6 ? ? ? ? ? ? Syaikh Muhammad Abdul Hayyi al-Kittani [a 1]
Keterangan Tabel
Catatan
Catatan Kaki
  1. ^ a b c d e f Ulum 2017, Menyebutkan: "Di antara guru Ahyad ketika belajar di Haramain adalah Syekh Muhtar ibn Atharid al-Bughuri, Syekh Baqir ibn Muhammad Nur al-Jukjawi, Syekh Ahmad Sanusi, Syekh Ahmad Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani, Syekh Abbas bin Muhammad bin Ahmad Ridwan (putra Syekh Ahmad Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani), dan Syekh Muhammad Abdul Hayyi al-Kittani ".
  2. ^ Abdullah 2005, Menyebutkan" Tuan Mukhtar Lahir di Bogor, Jawa Barat, pada hari Khamis, 14 Syaaban 1278 H/14 Februari 1862 M.
  3. ^ Faishol 2016, Menyebutkan "Syaikh Baqir al-Jukjawi lahir pada tahun 1306 H/ 1888 M & Syaikh Baqir al-Jukjawi meninggal pada 1363 H/1943 M.".
Daftar Pustaka


Dakwah, ketokohan & pengaruh

sunting

Mengajar di Masjidil Haram

sunting

Dengan penuh ketekunan dan kesungguhan, Ahyad mempelajari apa yang transmisikan oleh Masyayikh Haramain.[1] Ia kelihatan lebih menonjol dibandingkan dengan yang lainnya.[1] Karena kealiman yang tersemat dalam dirinya, Syaikh Mukhtar mengusulkan kepada Masyayikh Masjidil Haram agar mengikut sertakan Ahyad dalam mengajar di tempat yang penuh dengan keberkahan tersebut.[1] Usulan tersebut diterima dan akhirnya Ahyad diberi amanah untuk ikut mengajar di Masjidil Haram pada 1346 H (1927), tepatnya di Bab al-Nabi Muhammad ﷺ.[1] Adapun waktunya adalah sebelum shalat Dzuhur, sesudah shalat Shubuh, sesudah shalat Magrib, dan sesudah shalat Isya, sedangkan materi yang diajarkan adalah bermula tentang seputar Faraidh dan Fiqih asy-Syafii.[1]

“Kitab-kitab yang diajarkan oleh Syekh Muhammad Ahyad Al-Bughuri di Masjidil Haram seperti halnya Jâmi al-Tirmidzî, Iqna’ li al-Khatîb al-Syarbinî, Umdatu al-Abrâr fi al-Manâsiki al-Hajji wa al-Umrah, Syarah ibn Aqîl ala al-Fiyah ibn Malik, Mandzumâtu al-Qawâ’idu al-Fiqhiyyah, al-Mawâhibu al-Staniyyah Syarh Mandzumâtu al-Qawâ’idu al-Fiqhiyyah, dan Risâlah Adab wa al-Bahats.”

—  Syaikh Yasin al-Fadani; Musnid ad-Dunya (pakar sanad sedunia)[5]

Saat mengajar di Masjidil Haram, banyak thalabah yang terkesan dengan materi yang disampaikan Ahyad, mereka merasakan betul bagaimana petuah keilmuan Ahyad merasuk dalam hati sanubari, hingga tiada bosan-bosan mereka menghadiri majelis Ahyad karena merasa masih haus dengan keilmuan Ahyad.[2] Maka sebagian thalabah, khususnya yang dari Melayu, Indonesia-Malaysia meminta jadwal tambahan agar Ahyad berkenan membuka majelis taklim di kediamannya dan akhirnya permintaan itupun disanggupinya.[2]

Metode pengajaran

sunting

Saat mengajar santri-santrinya, Ahyad sering mempraktikkan sebagian amalan ibadah yang perlu untuk dipraktikkan, seperti tayamum, maka Ahyad mengambil debu suci untuk bertayamum yang dikerjakan di hadapan santri-santrinya yang sesusai dengan apa yang ia pelajari dari guru-gurunya hingga sanadnya muttasil sampai Rasulullah ﷺ.[1] Praktikum juga dilakukan Ahyad ketika mengajar Falak dengan pedoman kitab karya Syaikh Mukhtar yang berjudul al-Rubu’ al-Mujayyab.[1]

Tarikh singkat
Keterangan kolom
M Tahun Masehi
H Tahun Hijriah
UM ± Perkiraan umur dalam tahun masehi
UH ± Perkiraan umur dalam tahun hijriah
Catatan Catatan tarikh singkat
Penting Perkiraan umur akan terhitung secara otomatis apabila tahun lahir diisikan !!
M H UM ± UH ± Catatan
1885 0 0 Kelahiran
1888 3 ? Pemberontakan Cilegon
1899 14 ? Merantau ke Haramain
1927 42 ? Mengajar di Masjidil Haram
1952 67 ? Meninggal Dunia

Untuk mengetahui nama bintang-bintang yang ada di langit, Ahyad mengajak santri-santrinya supaya mengamati langsung dengan mata telanjang atas pemandangan langit yang dipenuhi dengan bintang-bintang yang beraneka ragam.[1] Metode mengajar Ahyad ini, yakni teori dan praktikum telah diwarisi oleh santri-santrinya, salah satunya adalah Syaikh Yasin ibn Isa al-Fadani yang sering mengajak santrinya untuk mengamati bintang-bintang di padang pasir ketika matahari tenggelam hingga waktu fajar menyongsong.[1] Dikenalkanlah nama-nama bintang dan planet satu persatu dan tanda-tanda yang melekat padanya.[1]

Menggantikan Syaikh Mukhtar

sunting

Ketika Syaikh Mukhtar wafat, maka Ahyad diamanahi untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar di Masjidil Haram yang mempunyai tanggung jawab banyak dalam mengajar berbagai disiplin ilmu, sebab ia adalah Masyayikh Haramain yang halaqahnya paling ramai dihadiri di Masjidil Haram, yaitu ada sekitar 400 thalabah dari penjuru dunia, khususnya kalangan Jawa (Asia Tenggara/ Melayu).[2] Ketika tugas Syaikh Mukhtar dilimpahkan kepada Ahyad, maka kebanyakan santri-santrinya pindah belajar kepadanya, halaqah Ahyad meskipun tidak seramai dengan halaqah Syekh Mukhtar, namun terbilang besar sebab dihadiri sekitar 300 thalabah.[2] Diantara kitab-kitab yang diajarkannya di Masjidil Haram adalah Fathul Wahab, Al Iqna Fi Hilli Al Fazhi Abi Syuja', Al Muhalla 'Ala Al Qolyubi, Riyadh Ash Sholihin, Minhaj Al 'Abiclin sebuah kitab tasawuf, Umdah Al Abror sebuah kitab mantiq, Fath Al Qodir Fi Nusuk Al Ajir.[6]

Hampir semua tugas yang diemban Syaikh Mukhtar dilimpahkan kepada Ahyad, sebab selain dirinya adalah santri kesayangannya, ia juga adalah menantu Syekh Mukhtar.[2] Ketika membina rumah tangga dengan putri Syaikh Mukhtar, Ahyad dikarunia keturunan 7, di antaranya adalah Muhammad Thayyib, Idris, Sa’dullah, dan Abdullah.[2] Amanah yang diemban Ahyad selama berkiprah di Haramain tidak hanya mengajar, akan tetapi ia juga aktif memimpin majelis dzikir dan menyampaikan mawaid yang dahulunya dipimpin oleh gurunya, Syaikh Mukhtar Atharid. Majelis dzikir peninggalan Syekh Mukhtar ini jamaahnya mayoritas mengikuti tarekat Qadiriyah wa al-Naqsabandiyah.[2] Ahyad menerima baiatan tarekat tersebut dari Syaikh Mukhtar dan ia juga diangkat menjadi khalifahnya (penggantinya).[2]

Mengajar di Masjid Nabawi

sunting

Gema kealiman Ahyad yang menjadi bahan pembicaraan ahlu al-ilmi di kalangan Ulama dan thalabah Makkah terdengar hingga ke Madinah al-Munawarah, tempat yang pernah disinggahinya dalam menuntut ilmu kepada ulama terkemuka di sana, yaitu Syaikh Abbas bin Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani dan Syaikh Ahmad Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani.[2] Oleh sang guru yang merupakan ulama terhormat di Madinah, Ahyad diminta untuk ikut serta mengajar di Masjid an-Nabawi. Dengan penuh ketaatan, Ahyad menjalankan titah yang diperintahkan gurunya.[2]

Murid-Muridnya

sunting
Daftar murid-murid Syaikh Ahyad
No Tahun Lahir Tahun Wafat Umur Wafat (±) Nama Keterangan Rujukan
(Masehi) (Hijriah) (Masehi) (Hijriah) (Masehi) (Hijriah)
1 1905 ? 1935 ? 30 ? Sayyid Muhsin bin ‘Ali bin ‘Abdurrahman al-Musawa al-Falimbani Pendiri Madrasah al-Ulumid Diniyah, Makkah; Syaikh Musawa inilah yang merintis berdirinya Madrasah Darul Ulum Ad-Diniyah bersama dengan Syaikh Muhaimin bin Abdul Aziz Lasem yang menelurkan banyak ustadz dan alumi yang di kemudian hari mengajar di madrasah-madrasah negeri dan swasta. Di antara alumni madrasah yang terkenal adalah Musnidul ‘Ashr Al ‘Allamah Abul Faidh Al Fadani, yang lebih dikenal dengan Syaikh Yasin Padang, dan juga KH.Maimun Zubair Rembang [b 1] [b 2] [b 3]
2 1887 ? 1940 ? 53 ? Syaikh Muhammad Kasyful Anwar Pimpinan periode ketiga Pondok Pesantren Darussalam Martapura yang merupakan pesantren tertua dan terbesar di Kalimantan [b 4]
3 1910 ? 1965 ? 55 ? Syaikh Abdul Qodir ibn Muthalib al-Mandaili Ada dua nama Syaikh Abdul Qadir asal Mandailing yang terkenal, satu terkenal di Makkah dan satunya lagi terkenal di dunia Melayu, yang lebih senior dan terkenal di Makkah adalah Syeikh Abdul Qadir bin Shobir Al Mandili, kelahiran Huta Siantar, Panyabungan Kota, Mandailing Natal, Sumatera Utara, sedangkan Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib lebih terkenal di Melayu dahulu baru kemudian pada tahun 1936 berangkat ke Makkah untuk menuntut ilmu [b 5] [b 3] [b 1]
4 1914 ? 1969 ? 55 ? Syaikh Anang Sya'rani Arif Kerap juga disebut Al-Arif billah Al-Muhaddist wal-Mufassir Asy-Syeikh Haji Anang Sya’rani, seorang muhadits dan juga salah satu Pimpinan Pesantren Darussalam Martapura [b 6] [b 4]
5 1901 ? 1971 ? 70 ? K.H. Muchtar Thabrani KH. Muchtar Thabrani merupakan salah satu tokoh Ulama Betawi abad 20, yang sangat terkenal dan dikagumi oleh masyarakat Bekasi dan sekitarnya [b 7] [b 3]
6 1912 ? 1973 ? 61 ? Kiai Muhammad Na'im Guru Na`im Cipete meninggal dunia pada 12 Mei 1973 pada usia 61 tahun setelah dirawat empat hari di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta [b 8]
7 1915 ? 1990 ? 75 ? Syaikh Abul Faidh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-Fadani Al-Makki Bergelar Musnid ad-Dunya atau pakar sanad sedunia [b 1] [b 9]
8 1911 ? 1992 ? 81 ? Syaikh Zakariya Bin Abdullah Bin Husan Bin Zainal Bilah Berasal dari Kesultanan Bilah, Sumatera Utara [b 1]
9 1911 ? 1997 ? 86 ? K.H. Ahmad Djunaidi Salah seorang muridnya yang menjadi ulama Betawi terkemuka adalah K.H. Sabilalrasyad [b 10]
10 1924 ? 2003 ? 79 ? K.H. Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary Sebagai ulama asli Betawi, KH. Muhadjirin populer menguasai sejumlah ilmu agama: Nahwu, Fiqih, Hadits, Falak (Astronomi), hingga Tafsir, hal ini bisa dilihat dari karya-karyanya yang berjumlah 34 buah [b 11]
11 1915 ? 2005 ? 90 ? Syaikh Muhammad Zainuddin al-Baweani Syekh Muhammad Zainuddin Bawean atau al-Baweani adalah salah seorang ulama keturunan Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur, yang menjadi pengajar di Masjidil Haram, Makkah. Setelah Syeikh Zainuddin berhasil menamatkan pendidikkannya di Madrasah Solatiyah, maka beliau beserta Syeikh Sayyid Muhsin al-Musawa al-Palembani dan kawan-kawannya [b 1] [b 12] [b 13]
12 1927 ? 2015 ? 88 ? Sayyid Hamid ibn Alawi al-Kaff Syeikh Hamid Alawi Al-Kaff lahir di Banjarmasin pada tahun 1927 . Syeikh As Sayyid Hamid Al Kaff yang wafat di Makkah Al Mukarramah pada hari Ahad (22/11/2015) [b 1] [b 14] [b 15]
13 ? ? ? ? ? ? Syaikh Husein al-Palimbani [siapa?] [b 1]
14 ? ? ? ? ? ? Syaikh Sodiq ibn Muhammad al-Jawi [siapa?] [b 1]
15 ? ? ? ? ? ? Syaikh Abdul Karim al-Banjari [siapa?] [b 1]
16 ? ? ? ? ? ? Syaikh Ibrahim al-Mandili [siapa?] [b 3]
17 ? ? ? ? ? ? K.H. Muhammad Thoha [siapa?] [b 16]
Keterangan Tabel
Catatan
Catatan Kaki
  1. ^ a b c d e f g h i Ulum 2017, Menyebutkan: "Di antara santrinya yang menjadi ulama besar adalah Syaik Husein al-Palimbani, Syekh Abdul Qodir ibn Muthalib al-Mindili, Syekh Sodiq ibn Muhammad al-Jawi, Syekh Zakaria Bela, Syekh Yasin ibn Isa al-Fadani, Sayyid Muhsin ibn Ali al-Musawa, Sayyid Hamid ibn Alawi al-Kaff, Syekh Zain ibn Abdullah al-Baweani, dan Syekh Abdul Karim al-Banjari.".
  2. ^ Rangkuti 2018.
  3. ^ a b c d Bizawie 2016, hlm,426 Menyebutkan: "Muridnya antara lain, Syekh Abdul Qadir al-Mandaili, Sayyid Muhammad Ali al-Musawa, Syekh Ibrahim al-Mandili, KH Mukhtar Thabrani Bekasi (yang pulang ke Indonesia setelah Syekh Ahyad wafat) dan lain sebagainya".
  4. ^ a b Maulana 2016.
  5. ^ Majalah Alkisah 2014.
  6. ^ Humas banjarkab.go.id 2015.
  7. ^ Muchtar 2017, Wawancara pribadi oleh Dliya Mubarokah dengan KH. Ishomuddin Muchtar, Lc, (putra ke-3 KH. Muchtar Thabrani ), Bekasi, 23 Januari 2017, ditulis dalam Mubarokah 2017, hlm. 54.
  8. ^ Kiki 2011, hlm. 137.
  9. ^ Nazilah 2017, Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani, Pakar Sanad dari Sumatera.
  10. ^ Kiki 2011, hlm. 174.
  11. ^ Muaz 2003.
  12. ^ Amrullah 2015.
  13. ^ Rozi 2016.
  14. ^ Rangkuti 2015.
  15. ^ Salim 2015.
  16. ^ Ardiansyah 2017.
Daftar Pustaka
Buku
  • (Indonesia) Bizawie, Zainul (2016). Masterpiece Islam Nusantara : sanad dan jejaring ulama-santri, 1830-1945. Ciputat, Tangerang: Pustaka Compass. ISBN 978-602-72621-5-7. OCLC 948824357. 
  • (Indonesia) Kiki, Rakhmad (2011). Genealogi intelektual ulama Betawi : melacak jaringan ulama Betawi dari abad ke-19 sampai abad ke-21. Jakarta: Jakarta Islamic Centre. ISBN 978-602-98707-0-1. 
Jurnal
Jurnal
Skripsi, Tesis, Disertasi
Situs Web


Karya Tulis

sunting
Daftar karya tulis Syaikh Ahyad
No Tahun (ditulis/diselesaikan) Judul Keterangan Rujukan
(Masehi) (Hijriah) (Akrasa Latin) (Aksara Arab)
1 [per kapan?] [per kapan?] Ta’lîqat alâ Kitab Jâmi al-Tirmidzi [c 1]
2 [per kapan?] [per kapan?] Hasiyah alâ al-Kitab Umdati al-Abrâr fi Manâsiki al-Hajji wa al-I’timâr li Sayyid Ali al-Wanâ’i [c 1]
3 [per kapan?] [per kapan?] Ta’liqatu ala Nadzmi al-Qawâ’idi al-Fiqhiyyati [c 1]
4 [per kapan?] [per kapan?] Tsabat bi Asânidihi [c 1]
Keterangan Tabel
Catatan
Catatan Kaki
  1. ^ a b c d Ulum 2017, Menyebutkan: "Dalam sumbangsih masalah keilmuan yang dituangkan ke dalam karya tulis, Ahyad pernah mengarang beberapa kitab di antaranya adalah, Ta’lîqat alâ Kitab Jâmi al-Tirmidzî, Hasiyah alâ al-Kitab Umdati al-Abrâr fi Manâsiki al-Hajji wa al-I’timâr li Sayyid Ali al-Wanâ’i, Ta’liqatu ala Nadzmi al-Qawâ’idi al-Fiqhiyyati, dan Tsabat bi Asânidihi. Karya-karya ini dan beberapa kitab koleksi pribadinya, banyak yang diwakafkan di Madrasah Dar al-Ulum supaya bisa bermanfaat lebih luas.".
Daftar Pustaka


Aktivitas & Wafat

sunting

Dalam kesehariannya, Ahyad sering menggunakan waktunya untuk kemanfaatan, seperti mengajar, belajar, beribadah, dan mengarang sebuah kitab.[2] Aktivitas mulianya ini dijalani hingga ia kembali ke Rahmatullah pada malam Sabtu tanggal 9 bulan Shafar 1372 [2] (29 Oktober 1952 M [4]) dengan usia kurang lebih 67 tahun, dan dimakamkan di Ma’la.[2]

Catatan akhir

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n Ulum 2017.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac Ulum 2018.
  3. ^ Abdullah 2005.
  4. ^ a b Date Converter 2018.
  5. ^ Al-Fadani, dikutip dalam Ulum 2017.
  6. ^ Addary, dikutip dalam Khoirunnisa 2014, hlm. 86.

Daftar Pustaka

sunting
Buku
  • (Indonesia) Sya'ban, A. Ginanjar (2017). Mahakarya Islam Nusantara : kitab, naskah, manuskrip, dan korespondensi ulama Nusantara (dalam bahasa Melayu). Ciputat, Tangerang: Pustaka Compass. ISBN 978-602-60537-4-9. 
  • (Indonesia) Bizawie, Zainul (2016). Masterpiece Islam Nusantara : sanad dan jejaring ulama-santri, 1830-1945. Ciputat, Tangerang: Pustaka Compass. ISBN 978-602-72621-5-7. OCLC 948824357. 
Skripsi, Tesis, Disertasi
Situs Web

Pranala luar

sunting

Lihat Pula

sunting