Tanjung (pohon)

(Dialihkan dari Mimusops elengi)
Tanjung
Tanjung, Mimusops elengi
menurut Blanco, Flora de Filipinas
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
(tanpa takson):
(tanpa takson):
(tanpa takson):
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
M. elengi
Nama binomial
Mimusops elengi

Tanjung (Mimusops elengi) adalah sejenis pohon yang berasal dari India, Sri Lanka dan Burma. Telah masuk ke Nusantara semenjak berabad-abad yang silam, pohon ini juga dikenal dengan nama-nama seperti tanjong (Bug., Mak.), tanju (Bim.), tanjung (Bal.), keupula canggè (Aceh), dan kahekis, karikis, kariskis, rekes (aneka bahasa di Sulut).[1] Pohon tanjung berbunga harum semerbak dan bertajuk rindang, biasa ditanam di taman-taman dan sisi jalan.

Pemerian botanis sunting

 
Perawakan

Pohon berukuran sedang, tumbuh hingga ketinggian 15 m. Daun-daun tunggal, tersebar, bertangkai panjang; daun yang termuda berambut coklat, yang segera gugur. Helaian daun bundar telur hingga melonjong, panjang 9–16 cm, seperti jangat, bertepi rata namun menggelombang.[2]

Bunga berkelamin dua, sendiri atau berdua menggantung di ketiak daun, berbilangan-8, berbau enak semerbak. Kelopak dalam dua karangan, bertaju empat-empat; mahkota dengan tabung lebar dan pendek, dalam dua karangan, 8 dan 16, yang terakhir adalah alat tambahan serupa mahkota, putih kekuning-kuningan. Benang sari 8, berseling dengan staminodia yang ujungnya bergigi. Buah seperti buah buni, berbentuk gelendong, bulat telur panjang seperti peluru, 2–3 cm, akhirnya merah jingga, dengan kelopak yang tidak rontok. Biji kebanyakan 1, gepeng, keras mengilat, coklat kehitaman.[2]

Kegunaan sunting

 
Bunganya yang harum

Bunganya yang wangi mudah rontok dan dikumpulkan di pagi hari untuk mengharumkan pakaian, ruangan atau untuk hiasan. Bunga ini, dan aneka bagian tumbuhan lainnya, juga memiliki khasiat obat. Buahnya dapat dimakan.[1]

Air rebusan pepagannya digunakan sebagai obat penguat dan obat demam. Rebusan pepagan beserta bunganya digunakan untuk mengatasi murus yang disertai demam. Daun segar yang digerus halus digunakan sebagai tapal obat sakit kepala; daun yang dirajang sebagaimana tembakau, dicampur sedikit serutan kayu secang dan dilinting dengan daun pisang, digunakan sebagai rokok untuk mengobati seriawan mulut.[1]

Kulit akarnya mengandung banyak tanin dan sedikit alkaloid yang tidak beracun. Minyak yang diekstrak dari biji tumbuhan ini mengandung beberapa asam lemak. Akarnya yang dicampur dengan cuka dapat digunakan untuk mengobati sakit tenggorokan.[3]

 
Buah tanjung

Kayunya padat, berat, dan keras. Kayu dari varietas parvifolia yang biasa tumbuh dekat pantai dipilih sebagai bahan pasak dalam pembuatan perahu, untuk tangkai tombak dan tangkai perkakas lain, almari dan mebel, serta untuk tiang rumah. Varietas ini bisa tumbuh setinggi 25 m dan segemang 40 cm.[4] Kayu tanjung juga baik untuk dijadikan bahan ukiran, patung, penutup lantai, jembatan, dan bantalan rel kereta api.[5]

Sifat-sifat kayu sunting

 
Jalan di Candi, Candisari, Semarang dengan pohon tanjung pada masa Hindia Belanda

Kayu teras tanjung coklat tua, sedangkan kayu gubalnya berwarna lebih muda dengan batas-batas yang jelas. Teksturnya halus dan merata, dengan arah serat lurus, agak bergelombang atau sedikit berpadu. Berat jenis kayu berkisar antara 0,92–1,12 (rata-rata 1,00), dan termasuk kelas kuat I. Kayu tanjung tergolong mudah dikerjakan dengan hasil yang amat baik; ia dapat diserut, dibor, dilubangi persegi, dan diamplas dengan hasil yang sangat baik; serta dibentuk dan dibubut dengan hasil yang baik hingga sangat baik.[5]

Keawetan kayu tanjung termasuk dalam kelas I-II; daya tahannya terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II, sementara terhadap rayap kayu kering termasuk kelas IV (tidak awet). Dalam pada itu, keterawetannya tergolong sedang.[5]

Sayangnya, kayu tanjung tidak mudah dikeringkan dengan hasil baik. Kayu ini cenderung melengkung, pecah ujung dan retak-retak permukaannya apabila dikeringkan. Meskipun relatifwhw mudah dikupas, akan tetapi venir (lembaran tipis bahan kayu lapis) yang dihasilkan cenderung menggelombang. Pengeringan alami harus dilakukan dengan hati-hati dan dalam waktu lama; pengeringan papan setebal 3 cm (dari kadar air 39% hingga 15%) membutuhkan waktu sekitar 63 hari.[5]

Catatan kaki sunting

  1. ^ a b c Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3:1588-1590 Terj. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta
  2. ^ a b Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta. Hal. 338-339
  3. ^ Dharma, A.P. (1987) Indonesian Medicinal Plants [Tanaman-Tanaman Obat Indonesia]. Hal. 190. Jakarta:Balai Pustaka. ISBN 979-407-032-7
  4. ^ Heyne, K. 1987. "op.cit." hal. 1590
  5. ^ a b c d Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, & K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia, jil. 2:131-135 Balitbang Kehutanan, Bogor

Pranala luar sunting