Istilah krisis finansial, krisis keuangan, atau kemelut keuangan digunakan untuk berbagai situasi dengan berbagai institusi atau aset keuangan kehilangan sebagian besar nilai mereka. Pada abad ke-19 dan ke-20, banyak krisis finansial berhubungan dengan kepanikan perbankan dan resesi. Situasi lain yang sering disebut sebagai krisis finansial adalah runtuhnya bursa efek dan krisis mata uang.[1][2]

Krisis finansial adalah sebuah situasi dimana beberapa aset finasial tiba-tiba kehilangan sebagian besar nilai-nilai nominanya. Efek langsung dari kejadian ini adalah kerugian dari berkurangnya nilai-nilai surat berharga, tetapi tidak berefek secara langsung terhadap perekonomian (sebagai contoh, krisis yang terjadi akibat para tulip maniak pada abad ke 17).

Banyak ekonom menulis teori mengenai bagaimana krisis keuangan terjadi dan dapat dicegah. Tidak ada sensus yang dilakukan, namun krisis finansial selalu terjadi setiap waktu.

Krisis Perbankan

sunting

Penarikan saldo besar-besaran oleh nasabah menyebabkan sebuah bank mengalami bank runs. Bank runs atau dikenal juga sebagai bank panics adalah sebuah peristiwa dimana para nasabah menarik saldo secara simultan karena ketidakpercayaan nasabah terhadap bank. Keuangan sebuah bank berasal dari uang cash yang berasal dari simpanan nasabah (lihat juga cadangan perbankan fraksional), sulit bagi mereka untuk mengembalikan secara mendadak, mereka mengalami kebangkrutan yang menyebabkan nasabah kehilangan uang mereka, terlebih jika nasabah tidak tercover oleh asuransi perbankan. Kejadian dimana kebangkrutan terjadi secara meluas disebut krisis sistem perbankan.[3]

Krisis Mata Uang

sunting

Krisis mata uang atau disebut juga dengan krisis devaluasi[4], adalah hal yang normal ketika terjadi krisis keuangan atau krisis perbankan. Sebagai contoh, menurut Kaminsky et al. (1998), krisis mata uang terjadi ketika menurunnya presentase nilai tukar rata-rata per bulan dan anjloknya nilai tukar cadangan per bulan lebih dari tiga standar devisiasi. Frankel dan Rose (1996) menjelaskan sebuah krisis dengan angka penurunan setidaknya 25%, namun juga menerangkan setidaknya ada kenaikan 10% untuk nilai cadangan. Secara umum, krisis keuangan bisa dijelaskan sebagai suatu peristiwa dimana pasar tukar uang berpatok pada nilai tukar yang hampir gagal, dikarenakan spekulasi yang memperparah kekeliruan juga sebagai penyebab devaluasi.[4]

Spekulasi Gelembung

sunting

Spekulasi gelembung bahkan terjadi bahkan dalam skala besar yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga besar-besaran di beberapa aset.[5] Salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah kehadiran buyer yang membeli aset semata-mata karena mengharapkan keuntungan besar, bukan karena perhitungan yang matang. Jika terjadi gelombang, maka akan ada risiko tabrakan pada harga aset: para pemain hanya akan membeli jika mereka berekspektasi orang lain akan membeli juga, dan ketika memutuskan untuk menjual akan menyebabkan harga turun. Bagimanapun, hal ini sulit untuk diprediksi apakah sebuah harga aset sebetulnya sama dengan harga dasar, sehingga hal ini sulit untuk dijadikan sebuah patokan untuk mendeteksi gelembung. Beberapa pakar ekenomi bahkan menyatakan bahwa gelembung tidak pernah dan hampir tidak pernah terjadi.[6]

Contoh terkenal dari gelembung dan benturan di harga saham dan aset diantaranya adalah Tulip Mania pada abad ke 17, Gelembung Laut Selatan pada abad ke 18, Wall Street Crash tahun 1929, Gelembung Properti Jepang pada tahun 80-an, benturan dot-com bubble tahun 2000-2001, dan saat ini penurunan United States Housing Bubble.[7][8] Pada tahun 2000an memicu gelembung real estate dimana harga perumahan meningkat secara signifikan sebagai barang aset.[9]

Krisis Finansial Internasional

sunting

Ketika satu negara yang sedang memperbaiki nilai tukar namun tiba-tiba dipaksa untuk merubah kurs yang disebabkan oleh defisit ketidakseimbang akun disebut krisis mata uang atau krisis keseimbangan pembayaran. Ketika sebuah negara gagal membayar hutang negaranya disebut dengan kegagalan negara. Sementara itu devaluasi maupun kegagalan dapat menjadi relawan keputusan bagi pemerintahan, mereka sering dianggap menjadi faktor ketidaksengajaan dari perubahan sentimen investor yang mengarah pada pemberhentian arus masuk modal maupun peningkatan pelarian modal secara tiba-tiba.

Sebab dan Akibat

sunting

Strategi Komplementer dalam Pasar Keuangan

sunting

Kesuksesan investasi mengharuskan setiap investor di suatu pasar keuangan menganalisis apa yang investor lain akan lakukan. George Soros menyebut kebutuhan ini untuk menganalisis 'kerefleksan' orang lain.[10] Sama halnya dengan John Maynard Keynes yang mengumpamakan pasar keuangan dengan kontes kecantikan. Pada kontes kecantikan, peserta akan mencoba menebak model mana yang paling cantik menurut peserta lain.[11]

Investor sering kali memiliki dorongan untuk menyamakan pilihannya. Contohnya, investor yang melihat investor lain membeli yen Jepang secara besar-besaran, mengira nilai yen akan meningkat dan terdorong untuk membelinya. Contoh lain ketika nasabah yang mengamati nasabah lain menarik dananya, mengira bank akan jatuh dan terdorong untuk menarik dananya pula. Para ekonom menyebut dorongan untuk meniru strategi dari orang lain dengan strategi komplementer.[12]

Jika seseorang atau perusahaan memiliki dorongan yang cukup untuk melakukan hal yang sama dengan orang lain, maka prediksi dengan sendirinya akan terjadi.[13] Krisis finansial terkadang dilihat sebagai lingkaran setan: investor menghindari suatu perusahaan atau aset sebab mengira orang lain juga menghindarinya.[14]

Leverage

sunting

Leverage berarti menggunakan aset dan sumber dana (sources of funds) oleh perusahaan yang memiliki biaya tetap dengan maksud agar meningkatkan keuntungan potensial pemegang saham.[15] Leverage adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan kemampuan dari suatu perusahaan dalam memakai sumber daya yang ada untuk membuat keuntungan maksimal.[16]

Ketika lembaga keuangan (atau individu) hanya menginvestasikan uangnya sendiri, kemungkinan terburuknya akan kehilangan seluruh uangnya. Tetapi jika melakukan pinjaman untuk berinvestasi lebih banyak, maka ia berpeluang untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan, tetapi juga berpeluang untuk kehilangan seluruhnya. Karena itu, leverage dapat meningkatkan potensi keuntungan juga meningkatkan risiko kebangkrutan. Kebangkrutan berarti kegagalan dari suatu perusahaan untuk menepati prestasi kepada perusahaan lain, hal itu dapat menyebabkan masalah keuangan dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Tingkat rata-rata dari leverage sering meningkat sebelum terjadinya krisis keuangan. Sebagai contoh, peminjaman untuk investasi pada pasar saham (Marjin (keuangan)) yang menjadi semakin umum sebelum terjadinya keruntuhan Wall Street pada tahun 1929.[17]

Ketidaksesuaian Aset dan Liabilitas

sunting

Faktor lain yang diyakini menyebabkan krisis finansial yaitu adanya ketidaksesuaian antara aset dengan liabilitas, situasi ketika utang dan aset yang dimiliki oleh perusahaan tidak sebanding. Contohnya, bank komersial menawarkan rekening deposito yang dapat diambil kapan saja dan hasilnya dikelola untuk pinjaman jangka panjang bisnis dan pemilik rumah. Ketidaksesuaian antara kewajiban jangka pendek (deposito) dan aset jangka panjang (utang) dilihat sebagai salah satu alasan terjadinya bank run (ketika nasabah panik dan memutuskan untuk mengambil depositonya lebih cepat daripada dana yang dapat bank kumpulkan).[18] Begitu pula dengan Bear Stearns yang gagal pada 2007-2008 karena tidak bisa mengembalikan utang jangka pendek yang digunakan untuk membiayai investasi jangka panjang dalam bentuk hipotek.

Dalam konteks internasional, banyak pemerintahan di negara berkembang yang tidak dapat menjual obligasi dalam mata uang negara tersebut, maka sebagai gantinya obligasi dijual dalam mata uang dolar AS. Hal seperti ini membuat ketidaksesuaian antara kewajiban yang harus dibayarkan (obligasi) dan aset mereka (pendapatan pajak daerah), sehingga akan menghadapi risiko kegagalan pembayaran utang karena fluktuasi nilai tukar.[19]

Ketidakpastian dan Herd Behavior

sunting

Banyak analisis krisis keuangan menekankan kesalahan investasi disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau ketidaksempurnaan penalaran manusia. Ekonomi perilaku mempelajari kesalahan pada penalaran ekonomi dan kuantitatif. Psikolog Torbjorn K. A. Eliazon juga menganalisis tentang kegagalan dalam penalaran ekonomi pada konsepnya 'œcopathy'.[20]

Sejarawan terkemuka, Charles P. Kindleberger mengemukakan krisis sering terjadi setelah inovasi teknologi keuangan besar yang memberi investor peluang keuntungan yang baru, disebut sebagai "pergeseran" atas ekspektasi investor.[13] Contoh awal meliputi Gelembung Laut Selatan dan Gelembung Mississippi tahun 1720 yang terjadi ketika investasi saham di perusahaan adalah hal yang baru dan asing, serta keruntuhan 1929 yang terjadi setelah inovasi teknologi transportasi dan informasi. Contoh lain, banyak krisis keuangan terjadi mengikuti perubahan dalam lingkungan investasi disebabkan oleh deregulasi keuangan dan jatuhnya gelembung dot-com.

Ketidaktahuan terhadap inovasi teknologi keuangan terbaru dapat menjadi sebab mengapa investor terkadang terlalu melebih-lebihkan nilai aset. Jika investor pertama yang membeli aset baru (seperti saham di perusahaan "dot com") mendapat keuntungan selagi investor lain mempelajari inovasi (misal, ketika orang lain mempelajari potensi dari internet), maka akan banyak investor yang mengikutinya dengan harapan mendapatkan keuntungan yang sama, lalu menaikkan harga aset. Jika "herd behaviour" menyebabkan harga melonjak dari harga asli aset, kejatuhan mungkin akan terjadi. Ketika harga tiba-tiba jatuh, investor menyadari potensi kerugian, kemudian nilai yang menurun menyebabkan penjualan besar-besaran dan memperkuat penurunan harga.[21]

Kegagalan Regulasi

sunting

Pemerintah telah berusaha untuk menghilangkan atau mengurangi krisis keuangan dengan mengatur sektor keuangan. Tujuan utama dari regulasi ini yaitu transparansi: membuat kondisi finansial suatu perusahaan diketahui publik dengan mewajibkan laporan reguler sesuai standar prosedur akuntansi. Tujuan lain dari regulasi yaitu memastikan perusahaan memiliki aset yang cukup untuk memenuhi kewajibannya, melalui kecukupan cadangan, kecukupan modal, dan batasan leverage lainnya.

Beberapa krisis finansial terjadi karena regulasi yang tidak memadai dan menyebabkan perubahan regulasi tersebut untuk menghindari kejadian yang sama. Contohnya, mantan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional, Dominique Strauss-Kahn menyalahkan krisis keuangan tahun 2007-2008 sebagai 'kegagalan regulasi dalam mencegah pengambilan risiko berlebihan pada sistem keuangan, terutama di AS'. New York Times juga memilih deregulasi dari credit default swap (CDS) sebagai penyebab dari krisis keuangan.[18]

Namun, regulasi yang terlalu berlebihan juga dapat menjadi sebab dari krisis keuangan. Secara khusus, Basel II telah dikritik karena mengharuskan bank untuk meningkatkan modal ketika risiko meningkat, yang mana dapat menyebabkan pengurangan pinjaman tepat ketika terjadi kelangkaan modal dan berpotensi memperburuk krisis keuangan.[19]

Contagion Effect (Efek Menular)

sunting

Efek menular mengacu pada gagasan bahwa krisis finansial dapat menyebar dari satu perusahaan ke perusahaan lain, seperti terjadinya bank run yang menyebar dari beberapa bank ke bank lain, atau dari suatu negara ke negara lain. Seperti juga ketika terjadi krisis mata uang, kegagalan pembayaran utang nasional, atau runtuhnya pasar saham yang menyebar ke seluruh negeri. Ketika kegagalan dari salah satu lembaga keuangan mengancam stabilitas dari lembaga lain disebut dengan risiko sistemik.[22]

Salah satu contoh yang sering diberikan tentang efek menular adalah Krisis Thailand 1997 yang menyebar ke negara lain seperti Korea Selatan. Namun, para ekonom sering berdebat tentang apakah krisis di beberapa negara pada waktu yang sama benar diakibatkan oleh efek penularan atau malah diakibatkan masalah dasar sama yang mungkin dialami masing-masing negara, bahkan ketika tidak ada hubungan internasional yang terjalin.

Efek dari Resesi

sunting

Beberapa krisis keuangan memiliki dampak yang kecil diluar dari sektor keuangan, seperti keruntuhan Wall Street pada tahun 1987, tetapi krisis-krisis lain diyakini telah berperan dalam mengurangi pertumbuhan perekonomian. Terdapat banyak teori tentang mengapa krisis keuangan memiliki dampak resesi pada perekonomian, termasuk teori "akselerator finansial", "flight to quality" dan "flight to liquidity", dan model Kiyotaki-Moore. Beberapa model krisis keuangan 'generasi ketiga' menyelidiki bagaimana krisis mata uang dan krisis perbankan dapat menyebabkan resesi.[23]

Teori Austria

sunting

Ekonom Mazhab Austria, Ludwig von Mises dan Friedrich Hayek mulai mendiskusikan tentang siklus bisnis pada buku Theory of Money and Credit, yang diterbitkan pada tahun 1912. Teori siklus bisnis ini merupakan manifestasi langsung dari penolakan Mises terhadap konsep uang netran dan muncul tidak sengaja sebagai produk sampingan dari teori perbankan yang sedang ditelitinya. Teori bisnis Austria merupakan perpaduan dari teori moneter dan teori kapital.[24]

Teori Marxis

sunting

Depresi besar yang berulang dalam dunia ekonomi setiap 20 dan 50 tahun telah menjadi bahan penelitian sejak Jean Charles Léonard de Sismondi (1773–1842) memberikan teori krisis pertama sebagai kritik dari teori ekonomi politik klasik tentang keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Pengembangan teori krisis ekonomi menjadi konsep yang berulang dibahas dalam karya-karya Karl Marx. Hukum Marx tentang The Tendency for the Rate of Profit to Fall mengambil banyak hal dari gagasan John Stuart Mill tentang Of the Tendency of Profits to a Minimum (Prinsip-prinsip Ekonomi Politik Buku IV BAB IV). Teori tersebut adalah akibat wajar dari Tendency towards the Centralization of Profits.

Pada sistem kapitalis, bisnis dikatakan sukses jika uang yang dikembalikan kepada para pekerja (dalam bentuk upah) lebih sedikit daripada nilai dari barang yang diproduksi para pekerja (jumlah uang yang dihasilkan dari penjualan produk). Keuntungan ini pertama-tama dipakai untuk menutupi investasi awal bisnis. Namun, dalam jangka panjang, ketika mempertimbangkan aktivitas ekonomi dari bisnis yang berhasil, jelas bahwa lebih sedikit uang (upah) akan dikembalikan ke masyarakat (pekerja) daripada yang tersedia bagi mereka untuk membeli barang yang diproduksi. Lebih lanjut, perluasan bisnis dalam rangka persaingan pasar mengakibatkan kelebihan stok barang dan penurunan harga secara umum.

Teori ini bergantung pada dua faktor utama: pertama, sejauh mana keuntungan dikenai pajak oleh pemerintah dan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk kesejahteraan, keuntungan keluarga, kesehatan, dan pendidikan; dan kedua, perbandingan antara masyarakat yang menjadi pekerja dengan yang menjadi investor/pemilik bisnis. Mengingat diperlukannya modal yang luar biasa untuk memasuki sektor ekonomi modern seperti transportasi penerbangan, industri militer, atau produksi bahan kimia, sektor-sektor ini sangat sulit dimasuki oleh bisnis baru dan hanya dimiliki oleh segelintir orang.

Penelitian empiris dan ekonometrik berlanjut, terutama pada teori sistem dunia dan perdebatan tentang Nikolai Kondratiev dan 50 tahun Gelombang Kondratiev. Tokoh besar tentang teori sistem dunia, seperti Andre Gunder Frank dan Immanuel Wallerstein, secara konsisten memperingatkan tentang kehancuran yang dihadapi ekonomi dunia saat ini. Pakar sistem dunia dan siklus Kondratiev selalu menyebutkan, ekonom-ekonom yang berorintasi pada Konsensus Washington tidak akan pernah mengerti bahaya yang akan dihadapi oleh negara-negara industri di akhir siklus ekonomi yang panjang setelah krisis minyak pada tahun 1973.

Teori Minsky

sunting

Hyman Minsky telah mengusulkan suatu penjelasan dari ekonomi pasca-Keynesian yang paling mudah diterapkan pada sistem ekonomi tertutup. Dia berteori bahwa kerapuhan finansial adalah ciri khas dari setiap ekonomi kapitalis. Kerapuhan yang tinggi menyebabkan risiko yang lebih tinggi untuki krisis finansial. Untuk mempermudah analisisnya, Minsky menjelaskan tiga pendekatan yang dapat dipilih lembaga keuangan, sesuai dengan toleransi risiko mereka. Pendekatan tersebut yaitu hedge, speculative, dan ponzi. Pendekatan Ponzi menyebabkan kerapuhan yang paling tinggi.

  • Fase hedge, pendapatan perusahaan diperkirakan dapat memenuhi kewajiban pembayaran pada setiap periode, termasuk utang pokok dan bunga pinjaman.
  • Fase speculative, perusahaan harus memperbaharui perjanjian utang disebabkan pendapatan diperkirakan hanya dapat menutupi bunga pinjaman. Utang pokok tidak terlunasi.
  • Fase Ponzi, pendapatan diperkirakan tidak dapat membayar bunga pinjaman dan utang pokok, perusahaan harus melakukan pinjaman lain atau menjual aset untuk membayar utangnya. Perusahaan bergantung pada nilai pasar dari aset atau harapan pendapatan akan naik sehingga cukup untuk membayar bunga dan utang pokok.

Tingkat kerapuhan finansial bergerak bersamaan dengan siklus bisnis. Setelah resesi, perusahaan kehilangan banyak biaya dan berada di fase pembiayaan hedge, yang teraman. Seiring bertumbuhnya ekonomi dan terjadi peningkatan keuntungan, perusahaan mulai berada di fase pembiayaan speculative. Dalam hal ini, mereka tahu keuntungan tidak akan menutupi semua bunga sepanjang waktu. Namun, perusahaan yakin keuntungan akan meningkat dan pinjaman dapat dilunasi tanpa banyak masalah. Semakin banyak pinjaman berarti semakin banyak investasi, dan ekonomi akan tumbuh lebih jauh. Pemberi pinjaman juga mulai yakin akan mendapatkan kembali uang yang dipinjamkan. Oleh karena itu, peminjaman dilakukan tanpa jaminan kesuksesan.

Pemberi pinjaman mengetahui beberapa perusahaan akan mengalami kesulitan dalam pembayaran. Tetapi mereka percaya perusahaan akan membayar entah dari mana lalu seperti yang diharapkan, keuntungan akan meningkat. Ini dinamakan pembayaran Ponzi. Dengan dmikian, ekonomi telah mengambil banyak risiko kredit. Tinggal masalah waktu sebelum suatu perusahaan besar benar-benar tidak dapat membayar utangnya. Pemberi pinjaman tahu risiko nyata dari ekonomi dan berhenti memberikan kredit dengan mudah. Pembiayaan ulang kredit mustahil dilaksanakan untuk kebanyakan perusahaan, sampai terjadi kegagalan pembayaran. Jika tidak ada sumber uang baru yang masuk untuk pembiayaan kembali utang, maka krisis ekonomi akan terjadi. Selama masa resesi perusahaan memulai untuk mengambil pembiayaan hedge kembali, dan siklus ditutup.

Permainan Koordinasi

sunting

Pendekatan matematis untuk model krisis keuangan telah menekankan bahwa sering terdapat umpan balik positif[25] di antara keputusan pelaku pasar.[26] Umpan balik positif menunjukan terdapat kemungkinan perubahan drastis pada nilai aset sebagai respon dari perubahan kecil pada hal-hal dasar ekonomi. Sebagai contoh, beberapa model krisis mata uang (termasuk model Paul Krugman) menunjukan bahwa nilai tukar tetap akan stabil selama jangka waktu yang panjang, tetapi akan jatuh tiba-tiba ketika ada penurunan penjualan mata uang sebagai respon terhadap penurunan keuangan pemerintah atau kondisi ekonomi lain yang mendasarinya.[27][28]

Berdasarkan beberapa teori, umpan balik positif menunjukan ekonomi dapat memiliki lebih dari satu ekuilibrium. Ada keseimbangan yang mungkin terjadi ketika pelaku pasar melakukan investasi besar-besaran pada aset pasar karena mengira aset akan bernilai. Hal seperti ini mendasari Model Diamond dan Dybvig pada penarikan dana besar-besaran yang beranggapan nasabah mengambil aset-aset mereka dari bank karena mengira yang lain akan melakukan penarikan pula.[18] Begitu juga dengan model krisis model mata uang Obstfeld, ketika kondisi ekonomi tidak terlalu buruk ataupun terlalu bagus, ada dua kemungkinan: spekulan dapat memutuskan atau tidak memutuskan untuk menyerang nilai mata uang tergantung dari apa yang mereka kira spekulan lain akan lakukan.[14]

Model Penggiringan dan Model Pembelajaran

sunting

Berbagai macam model telah dikembangkan, termasuk model nilai aset yang dapat naik atau turun secara berlebihan karena para investor yang saling bertukar informasi. Pada model ini, aset dibeli oleh beberapa agen yang menganjurkan orang lain untuk ikut membelinya, bukan karena nilai aset yang sebenarnya akan meningkat ketika banyak pembeli, tetapi karena para investor percaya nilai aset yang sebenarnya akan tinggi ketika mereka melihat orang lain membeli aset tersebut.

Pada model "penggiringan", investor digambarkan sebagai individu yang sepenuhnya rasional, tetapi hanya memiliki sebagian informasi tentang ekonomi. Pada model ini, ketika beberapa investor membeli suatu jenis aset, mengungkapkan bahwa mereka memiliki informasi yang baik tentang aset tersebut dan menggiring rasionalitas individu lain untuk membeli aset yang sama. Walaupun ini adalah keputusan yang sepenuhnya rasional, tetapi kadang menyebabkan kesalahan yang tinggi (bahkan pada akhirnya kehancuran) karena investor pertama, secara kebetulan, telah keliru.[29][30][31] Model "Penggiringan", berdasarkan ilmu kompleksitas, mengindikasikan yang bertanggung jawab atas kejatuhan adalah struktur internal pasar dan bukan pengaruh eksternal.[32]

Dalam model "pembelajaran adaptif", investor digambarkan sebagai individu rasional yang tidak sempurna, didasarkan pada alasan mereka yang terbatas pada pengalaman terbaru. Pada model ini, jika harga dari aset yang diberikan terus naik untuk beberapa waktu, investor mungkin akan percaya harganya akan selalu naik. Hal ini meningkatkan kecenderungan mereka untuk membeli dan mendorong harga untuk semakin melonjak. Begitu pula ketika mengamati beberapa harga yang menurun, kemungkinan dapat menyebabkan penurunan harga terus-menerus. Dengan model ini, fluktuasi besar pada harga aset mungkin terjadi. Model pasar keuangan berbasis agen sering berpendapat investor bergerak atas dasar pembelajaran yang adaptif.

Sejarah

sunting

Salah satu catatan terkenal tentang krisis finansial yaitu This Time is Different: Eight Centuries of Financial Folly yang ditulis oleh ekonom Carmen Reinhart dan Kenneth Rogoff, yang dianggap sebagai sejarawan krisis finansial terkemuka.[33] Pada catatan ini, mereka menelusuri sejarah krisis finansial dari awal kegagalan pembayaran utang nasional (kegagalan pembayaran utang publik), yang merupakan bentuk krisis pada masa awal abad ke-18 dan seterusnya, dari dulu hingga kini menyebabkan kebangkrutan pada bank swasta; krisis dari abad ke-18 meliputi keduanya, kegagalan pembayaran utang publik dan kegagalan pembayaran utang swasta. Reinhart dan Rogoff juga mengklasifikasi penurunan nilai mata uang dan hiperinflasi sebagai bentuk dari krisis finansial karena hal tersebut menyebabkan pengurangan utang (penolakan) sepihak.

Sebelum Abad Ke-19

sunting

Reinhart dan Rogoff menelusuri inflasi (untuk mengurangi utang) dari masa Dionysius I dari Sirakusa pada abad ke-4 SM, dan memulai "delapan abad" mereka di tahun 1258; penurunan nilai mata uang juga telah terjadi ketika masa kekuasaan Kekaisaran Romawi dan Kekaisaran Bizantium.

 
Pecahnya Gelembung Laut Selatan dan Gelembung Mississippi pada 1720 menjadi awal dari krisis finansial modern.

Pada masa-masa awal krisis, Reinhart dan Rogoff meneliti kegagalan pembayaran utang Inggris tahun 1340, yang terjadi akibat kemunduran pada perangnya melawan Perancis (Perang Seratus Tahun). Lebih lanjut, awal dari kegagalan pembayaran utang nasional dilakukan oleh Kekaisaran Spanyol, empat kali dilakukan oleh Philip II, dan tiga kali dilakukan oleh penerusnya.

Krisis finansial global dan nasional lain yang terjadi sejak abad ke-17, yaitu:

  • 1637: Terjadinya tulip mania di Belanda ― tulip mania sering menjadi contoh dari krisis finansial dan termasuk sebagai gelembung spekulatif, para ilmuwan modern berpendapat bahwa dampak ekonomi yang terjadi sangat terbatas dan dapat diabaikan, serta tidak memicu krisis finansial.
  • 1720: Pecahnya Gelembung Laut Selatan (Inggris Raya) dan Gelembung Mississippi (Perancis) ― awal dari krisis finansial modern; pada kedua kasus, perusahaan menanggung utang nasional dari negara tersebut (80-85% di Inggris Raya, 100% di Perancis), dan kemudian gelembung pecah. Kejadian ini menyebabkan krisis kepercayaan yang mendalam terhadap finansial dan politik di Perancis.[34]
  • Krisis 1763: Berawal di Amsterdam, dimulai dengan jatuhnya Bank Johann Ernst Gotzkowsky dan Leendert Pieter de Neufville, lalu menyebar ke Jerman dan Skandinavia.
  • Krisis 1772: Terjadi di London dan Amsterdam. 20 bank penting di London mengalami kebangkrutan setelah satu lembaga perbankan gagal membayar utang (bankir Neal, James, Fordyce, dan Down)
  • Panik 1792: Terjadi pada bank-bank di AS dipicu dengan ekspansi kredit oleh Bank Amerika Serikat yang baru dibentuk.
  • Panik 1796-1797: Krisis kredit Inggris dan AS yang disebabkan gelembung spekulasi tanah.

Abad ke-19

sunting
  • Kebangkrutan Negara Denmark 1813
  • Krisis finansial 1818 di Inggris, menyebabkan bank-bank mencari pinjaman dan membatasi pinjaman baru, serta menghabiskan uang dari AS.
  • Panik 1819: Resesi ekonomi AS, kegagalan-kegagalan bank; puncak dari siklus ekonomi boom-to-bust pertama AS.
  • Panik 1825: Resesi ekonomi Inggris, banyak bank-bank Inggris yang mengalami kegagalan dan Bank of England hampir mengalami kegagalan.
  • Panik 1837: Resesi ekonomi AS, kegagalan-kegagalan bank; terjadi depresi lima tahun.
  • Panik 1847: Keruntuhan pasar keuangan Inggris berkaitan dengan akhir dari ledakan rel kereta api pada tahun 1840-an.
  • Panik 1857: Resesi ekonomi AS, kegagalan-kegagalan bank.
  • Panik 1866: Krisis Overend Gurney (terutama Inggris).
 
Black Friday (Jumat Hitam) pada 9 Mei 1873 di Bursa Efek Wina. Depresi Panjang akan terjadi setelahnya.
  • Black Friday (1869)
  • Panik 1873: Resesi ekonomi AS, kegagalan-kegagalan bank, kemudian dikenal sebagai lima tahun Depresi Besar dan sekarang dikenal sebagai Depresi Panjang.
  • Panik 1884: Kepanikan yang terjadi di Amerika Serikat berpusat pada bank-bank New York.
  • Panik 1890: Krisis Baring; bank besar di London yang hampir gagal mengakibatkan krisis finansial di Amerika Selatan.
  • Panik 1893: Kepanikan di Amerika Serikat ditandai dengan gagalnya pembangunan rel kereta api dan pembiayaan rel kereta api yang goyah menyebabkan beberapa kegagalan bank.
  • Krisis perbankan Australia 1893
  • Panik 1896: Depresi ekonomi akut di Amerika Serikat yang dipicu dengan menurunnya cadangan perak dan kekhawatiran pasar akan dampaknya terhadap standar emas.

Abad ke-20

sunting
  • Panik 1901: Jatuhnya bursa efek New York.
  • Panik 1907: Resesi ekonomi AS, kegagalan-kegagalan bank
  • 1910: Krisis pasar saham karet Shanghai
  • 1914: Krisis Finansial Hebat[35]
  •  
    Kepanikan setelah keruntuhan Wall Street tahun 1929.
    Keruntuhan Wall Street 1929, diikuti dengan Depresi Besar (depresi ekonomi terbesar dan terpenting pada abad ke-20)
  • 1973: Krisis minyak 1973 — harga minyak melonjak, menyebabkan jatuhnya pasar saham 1973-1974.
  • Krisis perbankan sekunder 1973-1975: Inggris Raya
  • 1980s: Krisis utang Amerika Latin — dimulai di Meksiko pada tahun 1982 dengan Akhir Pekan Meksiko.
  • Krisis saham bank Israel 1983
  • 1987: Senin Hitam (1987) — kejatuhan nilai terbesar dalam sejarah pasar saham.
  • Krisis perbankan Norwegia 1988-1992
  • 1989-1991: Krisis simpan pinjam Amerika Serikat.
  • Awal 1990-an: Krisis perbankan Skandinavia, krisis perbankan Swedia, dan krisis perbankan Finlandia tahun 1990-an
  • Resesi awal tahun 1990-an
  • 1990: Jatuhnya gelembung aset harga Jepang.
  • 1992-1993: Rabu Hitam — serangan spekulatif terhadap nilai mata uang di Mekanisme Nilai Tukar Eropa.
  • 1994-1995: Krisis ekonomi di Meksiko — serangan spekulatif dan kegagalan pembayaran utang Meksiko.
  • 1997-1998: Krisis finansial Asia 1997 — devaluasi dan krisis perbankan di seluruh Asia.
  • 1998: Krisis finansial Rusia

Abad ke-21

sunting
  • 1999-2002: Krisis ekonomi Argentina
  • Resesi awal tahun 2000-an
  • 2000-2001: Krisis ekonomi Turki
  • 2001: Pecahnya gelembung dot-com
  • 2007-2008: Krisis finansial global
  • 2008-2011: Krisis finansial Islandia
  • 2008-2014: Krisis finansial Spanyol
  • Krisis kegagalan pembayaran utang negara di Eropa 2010
  • 2010-2018: Krisis pembayaran utang negara Yunani
  • 2014-2016: Krisis finansial Rusia
  • 2018-: Krisis utang dan nilai mata uang Turki
  • 2020: Jatuhnya pasar saham 2020 (Senin Hitam (2020) dan Kamis Hitam (2020))

Referensi

sunting
  1. ^ Charles P. Kindleberger (2005), Manias, Panics, and Crashes: A History of Financial Crises.
  2. ^ Luc Laeven and Fabian Valencia (2008), 'Systemic banking crises: a new database'. International Monetary Fund Working Paper 08/224.
  3. ^ Fratianni, Michele U.; Narchionne, Freanceso (10 April 2009). "The Role of Banks in the Subprime Financial Crisis". Review of Economic Conditions in Italy. SSRN 1383473
  4. ^ a b "What is a currency crisis, currency crisis definition and summary |TheGlobalEconomy.com". TheGlobalEconomy.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 November 2021. Diakses tanggal 2021-11-04. 
  5. ^ Markus Brunnermeier (2008), 'Bubbles', in The New Palgrave Dictionary of Economics, 2nd ed.
  6. ^ Peter Garber (2001), Famous First Bubbles: The Fundamentals of Early Manias. MIT Press, ISBN 0-262-57153-6.
  7. ^ "Transcript". Bill Moyers Journal. Episode ke-06292007. 2007-06-29. PBS. 
  8. ^ Justin Lahart (24 December 2007). "Egg Cracks Differ In Housing, Finance Shells". Wall Street Journal. WSJ.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 August 2017. Diakses tanggal 2008-07-13. It's now conventional wisdom that a housing bubble has burst. In fact, there were two bubbles, a housing bubble and a financing bubble. Each fueled the other, but they didn't follow the same course. 
  9. ^ Price, Steve (Summer 2009). "Real Estate and the Financial Crisis: How Turmoil in the Capital Markets is Restructuring Real Estate Finance". Real Estate Issues. 34 (2): 43–44. ProQuest 214013947. 
  10. ^ "George Soros Theory of Reflexivity MIT Speech | Sharpe Investing". web.archive.org. 2009-12-28. Archived from the original on 2009-12-28. Diakses tanggal 2021-11-21. 
  11. ^ VerfasserIn, Keynes, John Maynard. The general theory of employment, interest, and money. ISBN 978-3-319-70343-5. OCLC 1060241568. 
  12. ^ Bulow, Jeremy I.; Geanakoplos, J.; Klemperer, P. (1985). "Multimarket Oligopoly: Strategic Substitutes and Complements". Journal of Political Economy. doi:10.1086/261312. 
  13. ^ a b Cooper, Russell; John, Andrew (1988). "Coordinating Coordination Failures in Keynesian Models". The Quarterly Journal of Economics. 103 (3): 441–463. doi:10.2307/1885539. ISSN 0033-5533. 
  14. ^ a b Obstfeld, M. (1995). "Models of Currency Crises with Self-Fulfilling Features". doi:10.1016/0014-2921(95)00111-5. 
  15. ^ (Henny), Lestari, H. S. (2009-03-06). Pengaruh Leverage Terhadap Profitabilitas Pada Industri Makanan Dan Minuman Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia. Faculty of Business and Economics, Trisakti University. OCLC 994171482. 
  16. ^ Ojo, Akinmulegun Sunday (2012-02-29). "The Effect of Financial Leverage on Corporate Performance of Some Selected Companies in Nigeria". Canadian Social Science (dalam bahasa Inggris). 8 (1): 85–91. doi:10.3968/j.css.1923669720120801.700. ISSN 1923-6697. 
  17. ^ author., Goel, Suresh,. Crisis management : master the skills to prevent disasters. ISBN 93-81629-17-X. OCLC 1113783689. 
  18. ^ a b c Diamond, Douglas W.; Dybvig, Philip H. (1983). "Bank Runs, Deposit Insurance, and Liquidity". Journal of Political Economy. doi:10.1086/261155. 
  19. ^ a b Eichengreen, Barry; Hausmann, Ricardo (2005). Other People's Money. University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-19455-4. 
  20. ^ Muriithi, M. M. (2010). The effects of financial crisis on the performance of the Nairobi Stock Exchange (Doctoral dissertation, University of Nairobi, Kenya).
  21. ^ "Reserve Bank of India - Publications". rbi.org.in. Diakses tanggal 2021-11-27. 
  22. ^ Kaufman, George G.; Scott, Kenneth E. (2003). "What Is Systemic Risk, and Do Bank Regulators Retard or Contribute to It?". The Independent Review. 7 (3): 371–391. ISSN 1086-1653. 
  23. ^ Burnside, Craig; Eichenbaum, Martin; Rebelo, Sergio (2016). Jones, Garett, ed. currency crises models (dalam bahasa Inggris). London: Palgrave Macmillan UK. hlm. 79–83. doi:10.1057/9781137553799_11. ISBN 978-1-137-55379-9. 
  24. ^ Cochran, John P. (2004-03). "Capital, monetary calculation, and the trade cycle: The importance of sound money". The Quarterly Journal of Austrian Economics (dalam bahasa Inggris). 7 (1): 17–25. doi:10.1007/s12113-004-1032-8. ISSN 1098-3708. 
  25. ^ Krugman, Paul (2008-10-27). "Opinion | The Widening Gyre". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 2021-11-20. 
  26. ^ Cooper, Russell (1998). Coordination Games. Cambridge: Cambridge University Press. 
  27. ^ Krugman, Paul (1979). "A Model of Balance-of-Payments Crises". Journal of Money, Credit and Banking. 11 (3): 311–325. doi:10.2307/1991793. ISSN 0022-2879. 
  28. ^ Morris, Stephen; Shin, Hyun Song (1998). "Unique Equilibrium in a Model of Self-Fulfilling Currency Attacks". The American Economic Review. 88 (3): 587–597. ISSN 0002-8282. 
  29. ^ Banerjee, Abhijit V. (1992). "A Simple Model of Herd Behavior". The Quarterly Journal of Economics. 107 (3): 797–817. doi:10.2307/2118364. ISSN 0033-5533. 
  30. ^ Bikhchandani, S.; Hirshleifer, D.; Welch, I. (1992). "A Theory of Fads, Fashion, Custom, and Cultural Change as Informational Cascades". Journal of Political Economy. doi:10.1086/261849. 
  31. ^ Chari, V. V.; Kehoe, Patrick J. (2004-11-01). "Financial crises as herds: overturning the critiques". Journal of Economic Theory. Macroeconomics of Global Capital Market Imperfections (dalam bahasa Inggris). 119 (1): 128–150. doi:10.1016/S0022-0531(03)00225-4. ISSN 0022-0531. 
  32. ^ Keim, Brandon. "Possible Early Warning Sign for Market Crashes". Wired (dalam bahasa Inggris). ISSN 1059-1028. Diakses tanggal 2021-11-20. 
  33. ^ Arends, Brett (2009-12-18). "What a Sovereign-Debt Crisis Could Mean for You". Wall Street Journal (dalam bahasa Inggris). ISSN 0099-9660. Diakses tanggal 2021-11-20. 
  34. ^ "Law of easy money". The Economist. 2009-08-13. ISSN 0013-0613. Diakses tanggal 2021-11-20. 
  35. ^ Silber, William L. (2007). "The Great Financial Crisis of 1914: What Can We Learn from Aldrich-Vreeland Emergency Currency?". The American Economic Review. 97 (2): 285–289. ISSN 0002-8282. 

Pranala luar

sunting